Fitnah Wahhaby di hari raya : Wahhaby bid’ahkan takbir Hari Raya

Fatwa Sesat Wahhabi Pasal Raya (DrMaza): TAKBIR RAYA MASUK NERAKA & BID’AH SESAT (berbukti)

WAHHABI MENGHUKUM UMAT ISLAM YG MELAUNGKAN TAKBIR RAYA SEBAGAI SESAT, AHLI BID’AH, MASUK NERAKA

Kesemua umat Islam di masjid-masjid, surau-surau ketika tibanya hari raya mereka akan mengumandangkan takbir raya seperti biasa kita dengar sejak bezaman dan bertahun lalu. Ianya adalah tidak salah dan tidak bercanggah dengan Islam bahkan bukan bid’ah kerana melaungkan takbir raya dilakukan dizaman Nabi Muhammad.

Paling malang Wahhabi menghukum amalan takbir raya sebagai BID’AH, SESAT, MASUK NERAKA.Rujuk fatwa Wahhabi yang telah discan di atas dan rujuk juga laman rasmi Wahhabi yang MENGHUKUM TAKBIR RAYA SEBAGAI SESAT, BID’AH DAN MASUK NERAKA.
( http://www.binbaz.org.sa/mat/8690 )

wa wa wa.

Macam neraka dia (wahhabi) yang punya.

SHALAT SUNAT IED DAN LAFADZ TAKBIR HARI RAYA

1. SHALAT SUNAT IED

Shalat hari raya ada dua, yaitu hari raya Idul Fiti tanggal 1 Syawal dan hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzul Hijjah.

Waktu shalat ‘Ied mulai dari terbit matahari sampai tergelincirnya. Kedua sunat ini hukumnya sunat muakad bagi laki-laki dan perempuan, mukim atau musafir, boleh dikerjakan sendirian namun sebaiknya berjama’ah Adapun cara mengerjakannya :

a. Pada pagi hari tanggal 1 Syawal, sesudah menunaikan shalat subuh dan sesudah kita mandi sunat hari raya, lalu berangkatlah menuju mesjid atau tanah lapang dengan memperbanyak mengucapkan takbir

b. Setelah tiba di mesjid, maka sebelum duduk shalat tahiyatul mesjid dua raka’at, kalau di lapang tidak ada shalat Tahiyatul mesjid, hanya duduklah dengan ikut mengulang-ulang kalimah takbir sampai mulai shalat ‘Ied itu

c. Lafad Niatnya ialah :

اُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ رَكْعَـَيْنِ للهِ تَعَألَى اَللهُ اَكْبَرُ

“ Aku niat shalat Idul Fitri dua raka’at karena Allah Ta’ala Allahu Akbar “.

Niat Sunat Idul Adlha

اُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ اْلاَضْحَىِ رَكْعَـَيْنِ للهِ تَعَألَى اَللهُ اَكْبَرُ

“ Aku niat shalat Idul Adha dua raka’at karena Allah Ta’ala Allahu Akbar .

d. Pada raka’at pertama sesudah niat mulai membaca takbiratul ihram kemudian membaca do’a iftitah selanjutnya takbir 7 kali dan setiap habis takbir disunatkan membaca tasbih :

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

“ Maha suci Allah, dan segala puji bagi Allah tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Allah maha besar”.

Setelah takbir 7 kali dan membaca tasbih tersebut . kemudian membaca surat Al-Fatihah dan disambung dengan membaca surat yang mudah tetapi lebih utama membaca surat Qof dan surat Al-A’la

e. Pada raka’at kedua, sesudah berdiri untuk raka’at kedua membaca takbir 5 kali, dan setiap takbir disunatkan membaca tasbih seperti di atas. kemudian membaca surat fatihah dan membaca surat yang mudah tetapi lebih utama membaca surat Al-ghosyiah, dan bacalah dengan suara yang nyaring

f. Shalat ini dikerjakan dua raka’at dan dilakukan sebagaimana shalat sunat yang lain

g. Khutbah dilakukan sesudah shalat ‘Ied dua kali, yaitu pada khutbah pertama membaca takbir 9 kali dan pada khutbah kedua 7 kali serta pembacaannya harus berturut-turut.

h. Hendaknya pada khutbah ‘Ied fitri berisi penerangan tentang zakat fitrah dan pada hari raya haji berisi penerangan tentang ibadah haji dan hukum berkurban

Hal yang dilakukan sebelum shalat ‘Ied :

1. Pada hari raya disunatkan mandi, dan berhias dengan memakai pakaian yang sebaik-baiknya dan menggunakan wangi-wangian.

2. Disunatkan makan sebelum pergi shalat Idul Fitri tetapi pada hari raya haji disunatkan tidak makan kecuali setelah shalat

3. Pergi untuk melaksanakan shalat dan pulangnya shalat hendaknya berlainan arah.

4. Takbiran

Pada Hari raya Fitrah dan haji disunatkan membaca takbir di luar shalat dan waktunya sbb :

a. Pada hari raya Fitrah takbir dimulai dari terbenamnya matahari hingga imam berdiri untuk melaksanakan mengerjakan shalat hari raya.

b. Pada hari raya haji takbir dimulai dari subuh pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) dan pada tiap-tiap shalat fardlu yang lima waktu pada hari tanggal tersebut sampai ba’da ashar tanggal 13 Dzulhijah

c. Lafad Takbirnya :

اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ اَللهُ اَكْبَرْ لاَالهَ الِلاَّ اللهُ وَالله اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ 3×

اَللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً لاَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَلاَ نَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ لاَاِلهَ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ

Amalan 5 : Tawakal / at-tawakkal

Fitnah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (3) : Sunnahnya Melafadzkan Niat , Bershalawat dan Memberi Komando Shalat Tarawih Berjamaah

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (3) : Sunnahnya Melafadzkan Niat , Bershalawat dan Memberi Komando Shalat Tarawih Berjamaah

Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :

  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan bahkan Ibnu Taymiyahjuga fatwakan tarawih 20 rekaat
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  5. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  6. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  7. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam

*untuk menjawab point 1 dan 2 lihat:

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : Dalil Imsak

Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).

Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38.)

Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.

I. Hukum membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih adalah boleh dan mendapat pahala mengamalkan sunnah bagi yang mengamalkannya

Penjelasan :

–          Hukum membaca shalawat kepada nabi, keluarga dan shabat Nabi adalah sunnah.

–          Tidak ada larangan membaca shalawat Nabi selepas shalat-shalat sunnah bahkan disunnahkan

– Makna shalat tarawih adalah shalat dengan suka-cita, maknanya setiap selesai salam, disunnatkan berhenti dahulu untuk istirahat (dari shalat) maka dibolehkan untuk berdoa.

– Ingat disunnahkan berhenti sebentar pada tiap selesai salam pada tiap 2 rekaat dan berhenti agak lama pada tiap selesai salam pada tiap 4 rekaat.

–          Jadi hokum membaca shalawat Nabi dan kepada keluarga dan shahabatnya selepas selesai mengerjakan shalat tarawih adalah boleh dan bagi yang mengerjakannya akan mendapat pahala sunnah (lihat di kitab syarah safinahtunajah)

II. Hukum memberi komando diantara shalat tarawih adalah adalah boleh dan mendapat pahala mengamalkan sunnah bagi yang mengamalkannya

Penjelasan :

– Tiap-tiap shalat wajib dan semisalnya ada komando untuk mengerjakannya yaitu iqamat

–  Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah yang dilakukan secara berjamaah tidak diperbolehkan adzan maupun iqmat seperti shalat ‘ied, shalat gerhana, shalat jenazah, shalat tarawih (berjamaah), shalat witir berjamaah dsb.

–  Pada shalat-shalat sunnah yang dilakukan berjamaah seperti point diatas, tidak dibolehkan untuk iqamat maupun lafadz “hayya ‘alashshalat”, tapi yangdiperbolehkan adalah lafadz selainnya seperti lafadz : “ashalatu jami’ah”, “asholatu tarawih ra’ataini jami’ah” (utk shalat tarawih), dsb.

–          Jadi bukanlah bidah mengomando utk shalat shalat berjamaah bahkan yang mengamalkannya akan mendapatkan pahala mengerjakan amalan sunnah (karena mengajak kepada kebaikan)! (lihat di kitab syarah safinahtunajah)

III. Hukum melafadzkan niat puasa

A. Hukum Dalam Puasa

Niat setiap malam pada puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa wajib lainnya.

Jika puasa sunnah maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir Matahari dan belum makan dan minum.

Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.

Artinya: Sahajaku puasa esok hari daripada menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada ini tahun Lillahi Ta’ala.

–  niat ini dibaca di dalam hati.

– Sedangkan jika dilafadzkan dengan lisan dengan diiringi dengan hatinya (Hatinya membenarkan apa yang diucapkan lisannya) ini dibolehkan khususnya bagi mereka yang was-was.

B. Tujuan melafadzkan niat

Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :

1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”)

2. Agar menjauhkan dari was-was

3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya

4. Untuk taklim (mengajari orang yang belum tahu cara niat puasa) dan tanbih (mengingatkan kembali akan niat bagi orang mukmin).

C. Ayat – ayat Al-qur’an Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa)

Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).

Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.

Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).

Malsudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).

D. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa)

1.  Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :

“Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).

Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.

2. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ

يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.

”. (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216)).

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.

Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.

3. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)

Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.

4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :

“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.

E. Pendapat Imam-Imam ahlu sunnah (sunni) mengenai melafadzkan niat

1. Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :

“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.

Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas Ra. Beliau berkata :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ

يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.

Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.

Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.”

G. Kesimpulan

Lihatlah bagaimana bahwa melafadzkan niat adalah dibolehkan. Apalagi bagi orang yang berpenyakit was-was. Serja Untuk taklim (mengajari orang yang belum tahu cara niat puasa) dan tanbih (mengingatkan kembali akan niat bagi orang mukmin), kadang sering terlupa niat puasa jika tidak diingatkan.

Hati-hati dengan ucapan fitnah pemecah barisan sunni yakni golongan anti madzab wahhaby yang menebarkan isu khilafiah dan mereka mengambil fatwa bertentangan dengan pegangan majority ummat sunni agar ummat terjauh dari mengikuti ulama yang haq dan terjauh dari kitab imam –imam sunni.

Rujukan :

– Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafei’yah terhadap tuduhan bid’ah, mutiara ilmu Surabaya.

– DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/214

– DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/767

– Imam ramli,  KitabNihayatul Muhtaj,  Jilid I/437

– Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12

– Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302

– Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189

– Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216

– Syarah Safinatunnaja

https://salafytobat.wordpress.com

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : Dalil Imsak

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (2) : dalil Waktu sahur dan Imsyak

Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :

  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan bahkan Ibnu Taymiyahjuga fatwakan tarawih 20 rekaat
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam
  5. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  6. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  7. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan

Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).

Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38. dan kitab sesat  “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu˜alaihi wa sallam , Penerjemah :  Qomar Suâ’aidi,  Cetakan Pertama, Penerbit Cahaya Tauhid Press))

Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.

I. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan

Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur bahkan ibnu taymiyah juga tarawih 20 rekaat!!!. Lihat dalam kitab fiqh 4 madzab dibawah ini :

Dalam Kitab “shalat tarawih 20 rekaat karya mufti mesir juga disebutkan seperti diatas :



Di Sisi Syafeiyyah bilangan raka’at terawih adalah 20 rakaat dan bukan 8 sebgaimana yang digembar-gemburkan oleh Mutasyaddid(pelampau) wahabi !


Didalam muka surat ini pula dijelaskan kenyataan Ibnu Hajar yang menyatakan di sisi kami selain ahli Madinah adalah 20 raka’at.sementara Ahli Madinah melakukan mereka itu dengan 36 raka’at.

Ibnu Taymiyah yang katanya imam badwi Najd wahaby juga fatwakan tarawih 20 rekaat :

Bacalah sendiri penulisan Dr Ali Juma’ah tantang terawih .Nak terjemahkan kurang masa.Walaubagaimana pun telah ana jelaskan dalam tajuk Terawih 20 rakaat. Didalam penulisan Dr Ali Jumaah juga menyatakan Ibnu Taimiyyah yang didokong oleh golongan MUTASYADDID(pelampau) juga memfatwakan bilangan rakaat terawih 20 rakaat.

Untuk dalil-dalil dalam perkara ini lihat pada artikel ini di bagian pertama.

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (1)

II. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur pada saat fajar sidiq telah tiba (sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur).

Wahaby mentafsirkan makna hadits “mengakhirkan sahur” dengan makna :

mensyariatkan makan sahur sehingga lewat fajar sidiq bahkan mendekati waktu iqamat shalat subuh!

Padahal waktu puasa yang sebenarnya adalah dari terbit fajar sidiq sampai terbenam matahari sehingga menurut  imam madzab manapun akan batal puasa orang yang menyengaja makan setelah tahu fajar sidiq sudah tiba.

Adapun beberapa riwayat tentang sahabat yang masih makan sahur sewaktu adzan subuh adalah :

–          Kita pahami Mereka (para sahabat) memulai sahur sebelum adzan subuh (sebelum fajar sidiq) tetapi saat adzan subuh dikumandangkan mereka masih belum selesai makan. Jadi mereka secepatnya menghabiskan makanan tersebut. Bukan menyengaja memulai makan setelah tahu fajar sidiq telah datang. Hati-hatilah dengan tafsiran ahlul hawa khawarij wahhaby!

Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak

  1. Firman Allah:”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).2. HR. Bukhari:Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturnkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]”, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.3. HR. Turmudzi:Dari Samurah bin Jundub ra, ia mengatakan: RasululLah SAW mengatakan: Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang, akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk.4. HR. Bukhari:Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW, ia mengatakan: Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya , karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan di antara kalian yang tidur.5. HR. Bukhari:
    .
    Dari ‘Aisyah ra, dari Nabi SAW, ia mengatakan: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq” [9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919)..

6. HR. Bukhary Muslim

diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :

”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Berdasarkan hadits No. 5, maka inilah waktu yang paling tepat untuk berhenti makan atau sahur yaitu kadar membaca 50 ayat al-quran (dengan tartil dan wajar) sebelum adzan subuh (pada zaman nabi adzan ummi maktum).

Jadi pada zaman rasulullah ada dua adzan yaitu adzan bilal untuk membangunkan manusia agar shalat tahajud dan sahur, serta yang kedua adzan ummi maktum untuk shalat subuh.

Inilah salah satu dasar waktu imsak (waktu yang meragukan antara malam dengan fajar sidiq) yang mana seorang muslim akan berhati-hati atas perkara yang subhat ini.

taqrir003.0

Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-‘Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan, antara lain:-

و يمسك ندبا عن الأكل قبل الفجر بنحو خمسين آية – ربع ساعة

…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”. Yakni seseorang itu disunnatkan melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15 minit atau kadar pembacaan 50 ayat yang sederhana dengan kelajuan yang sederhana. Inilah yang dimaksudkan oleh ulama kita sebagai waktu imsak yang disunnatkan sebagai langkah berhati-hati dan mengikut sunnah Junjungan Nabi s.a.w. Sedangkan imsak setelah masuk fajar adalah wajib. Oleh itu seseorang masih boleh makan-minum selepas waktu imsak tadi selagi mana waktu Subuh belum masuk kerana imsak pada waktu itu dihukumkan sunnat. Tidaklah benar dakwaan yang dibuat oleh Hafiz Firdaus & the gang yang menyatakan bahawa menetapkan waktu imsak beberapa minit sebelum fajar itu sebagai bid`ah dan tidak punya dasar dalam Islam. Ukuran minit-minit tersebut diambil daripada kadar pembacaan 50 ayat tersebut, yang merupakan kadar yang dinyatakan dalam beberapa hadits shohih sebagai senggang waktu antara sahur Junjungan s.a.w. dengan masuknya sholat. Antara hadits-haditsnya ialah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-

عَنْ أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تَسَحَّرْناَ مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة. قلت: كم كان بين الأذانِ و السُّحُوْرِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيةً

Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”

Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit. Senggang masa antara sahur dan masuk fajar (azan subuh) yang dinamakan sebagai waktu imsak yang dihukumkan sunnat imsak (menahan diri daripada perkara membatalkan puasa), diperjelaskan lagi dalam sepotong hadits yang juga riwayat Imam al-Bukhari berbunyi:-

عَنْ أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم و زيد بن ثابت تَسَحَّرَا، فلما فرغا من سحورهما قام نبي الله صلى الله عليه و سلم فصلى. قلنا لأنس: كم كان بين فراغهما من سحورهما و دخولهما في الصلاة ؟
قال: قدر ما يقرأ الرجل خَمْسِيْنَ آيةً

Daripada Sayyidina Anas bin Malik r.a. bahawa Junjungan Nabi s.a.w. bersahur bersama-sama dengan Sayyidina Zaid bin Tsabit. Apabila kedua mereka selesai daripada sahur mereka, baginda bangun mendirikan sembahyang. Kami bertanya kepada Anas: “Berapa lamakah masa (senggang waktu) di antara selesai mereka berdua daripada sahur dan masuk mereka berdua kepada sembahyang (yakni “berapa lamakah masa antara selesai Junjungan dan Zaid bersahur dan masuknya waktu sholat Subuh”). Dia menjawab: “Sekadar 50 ayat yang dibacakan seseorang.”

7. Mukmin wajib meninggalkan perkara yang subhat

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ                                                        [رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah e bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.                        (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Dari nash-nash di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:

[1] Waktu berakhirnya sahur [mulai berpuasa] adalah terbitnya fajar yang menyebar di ufuk, yang dalam fikih disebut sebagai “fajar shadiq”, bukan fajar yang memanjang vertikal, yang dalam fikih dinamai “fajar kadzib”.

Fajar kadzib adalah terangnya ufuk secara vertikal, yang beberapa menit kemudian diikuti oleh kegelapan kembali. Sementara fajar shadiq adalah fajar yang semakin lama semakin terang hingga matahari terbit.

[2] Sebelum turun kalimat “minal fajr, [yaitu fajar]”, sebagian sahabat ada yang mengira, bahwa yang dimaksud dari ayat di muka adalah terangnya pagi hingga tampak jelas perbedaan antara benang putih dan benang hitam. Baru setelah turunnya kalimat tsb, mereka mengerti bahwa yang dimaksud adalah terbitnya fajar. Jadi sejak terbitnya fajar, puasa telah dimulai.

[3] Pada masa Nabi SAW, ada dua adzan yang dikumandangkan di pagi buta. Pertama adzannya Bilal ra. sebelum terbit fajar, untuk membangunkan mereka yang tidur, dan untuk mengingatkan mereka yang telah bangun akan dekatnya fajar. Karena itu, Nabi memberitahukan kepada para sahabat, bahwa adzan Bilal tidak untuk mengumandangkan datangnya subuh atau terbitnya fajar, dus, tidak merupakan peringatan mulainya berpuasa. “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian”.

Adzan kedua adalah adzannya Ibnu Ummi Maktum, yang dikumandangkan saat terbitnya fajar. Dan ini adalah waktu di mulainya berpuasa.

[4] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.

Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.

[5] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100 %. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100 %, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.

[6] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.

Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.

Dengan melihat keterangan-keteranan ini, sebaiknya dalam berimsak mengikuti penanggalan yang ada. Akan tetapi jika terpaksa, bisa saja meneruskan makan dan minum hingga mendekati adzan subuh sekitar 5 menitan.

Demikian, semoga membantu.

bersambung ke bagian 3.

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (1)

Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan

Diantara Fitnah wahhaby dibulan Ramadhan :

  1. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan
  2. Wahaby Mensyariatkan  Makan Sahur sampai mendekati waktu iqamat shalat subuh dengan dalih mengakhirkan sahur.
  3. WahabyMembid’ahkan Niat Puasa Wajib di Bulan Ramadhan
  4. Wahaby Membid’ahkan amalan membangunkan sahur dan shalat malam
  5. Wahaby Membid’ahkan membaca shalawat kepada nabi dan shahabat selepas shalat tarawih
  6. Wahaby Membid’ahkan komando diantara shalat tarawih
  7. wahaby Membid’ahkan tadarus dibulan ramadhan
  8. Wahaby Membid’ahkan ziarah kubur dibulan ramadhan

Dibulan ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Subhanahu wata’ala melipat gandakan pahala amalan sunnah  sehingga menjadi seperti pahala amalan wajib. Sedangkan amalan wajib  adalah seumpama menunaikan 70 amalan wajib (fardhu) dibulan yang lain (Mafhum hadits dari Salman Ra. hadits Riwayat Imam baihaqi, Ibnu Hibban, Ibnu khuzaimah, al-ashbahani, dalam kitab shahihnya dsb).

Maka umat islam berbondong-bondang melakukan amalan-amalan sunnah pada bulan ramadhan ini. Malangnya musuh islam wahhaby menyebarkan fitnah dan membidahkan amalan umat islam (Lihat artikel sesat wahaby Majalah Al-Furqon, Edisi Khusus Th. Ke -9 Romadhon-Syawal 1430 H (September dan Oktober 2009) hal. 35-38.)

Hamba yang dhaif ini mencoba membuat  bantahan terhdap fitnah wahaby dibulan ramadhan, bagi anda yang lebih alim dan lebih teliti lagi mungkin akan menemukan lebih banyak lagi dalil-dalil untuk membantah fitnah keji kaum mujasimmah wahhaby badwi najd ini.

I. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan.

Pendapat jumhur ahlusunnah : mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz.

Sholat Qiyam Ramadhan (sholat pada malam bulan Ramadhan) dinamakan Sholat Tarawih kerana sholat ini panjang dan banyak rakaatnya. Jadi, orang yang mendirikannya perlu berehat. Rehat ini dilakukan selepas mendirikan setiap 4 rakaat, kemudian mereka meneruskannya kembali (sehingga 20 rakaat). Sebab itulah ia dipanggil Sholat Tarawih[4].

Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-Arab: “ اَلتَّرَاوِيحُ “ adalah jama’ (plural) “ تَرْوِيحَةٌ “, yang bermaksud “sekali istirehat”, seperti juga “ تَسْلِيمَةٌ “ yang bermaksud “sekali salam”. Dan perkataan “Tarawih” yang berlaku pada bulan Ramadhan dinamakan begitu kerana orang akan beristirehat selepas mendirikan 4 rakaat[5].

Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur.

Dalil

a) Dalil lebih dari 8 rakaat:

i) Dalil nas khusus:

1) Hadith:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ مِن جَوْفِ اللَّيلِ لَيَالِي مِن رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّقَةٌ: لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، وَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيهَا، وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، وَيُكَمِّلُونَ بَاقِيهَا فِي بُيُوتِهمْ

“Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم keluar untuk sholat malam di bulan Ramadhan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk sholat bersama umat di masjid. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم sholat bersama mereka sebanyak lapan rakaat, dan kemudian mereka menyempurnakan baki sholatnya di rumah masing-masing.”[8]

Jumlah 11 rakaat tidak boleh dijadikan hujah untuk jumlah rakaat Sholat Tarawih kerana Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم hanya sholat berjemaah bersama sahabat 2 atau 3 kali sahaja di masjid dan selepas itu Baginda صلى الله عليه وآله وسلم dan para sahabat menyambung sholat malam di rumah masing-masing.

2) Hadith dari Ibn Abbas berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ

“Adalah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang pada bulan Ramadhan dengan tidak
berjamaah, sebanyak dua puluh rakaat ditambah witir.”[9]

3) Dalam Sunan al-Baihaqi dengan isnad yang shahih sebagaimana ucapan Zain ad-Din al-Iraqi dalam kitab Syarh At-Taqrib, dari As-Sa’ib bin Yazid رضي الله عنه katanya:

كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Adalah para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab
pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”[10]

Hadith ini telah shahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Khulashah dan Al-Majmu’, dan ia diakui shahih juga oleh Az-Zayal’i dalam Nashb ar-Rayah, dishahihkan oleh As-Subki dalam Syarh al-Minhaj, Ibn al-Iraqi dalam Thorh at-Tathrib, Al-Aini dalam Umdah al-Qari, Imam Sayuthi dalam Al-Masabih fi Sholat at-Tarawih, Ali al-Qari dalam Syarh al-Muwaththo’ dan An-Naimawi dalam Athar as-Sunan dan para ulama’ lain[11].

4) Diriwayatkan dari As-Sa’ib bin Yazid juga, dia berkata:

كنَّا نَقُومُ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ

“Kami pernah mendirikan (sholat Tarawih) pada masa Sayyiduna Umar bin Al-Khattab
dengan dua puluh rakaat dan ditambah Witir.”[12]

5) Diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman berkata:

كَانَ النَّاسُ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَقُومُونَ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Adalah orang ramai pada zaman Umar bin Al-Khattab mendirikan sholat Tarawih
pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.”[13]

6) Diriwayatkan dari Al-Hasan:

أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً

“Sesungguhnya Umar mengumpul orang ramai kepada Ubai ibn Ka’ab, lalu dia (Ubai)
mengimami sholat bersama mereka dengan dua puluh rakaat.”[14]

Hadith bernombor 3, 4, 5 dan 6 di atas menunjukkan bahawa para sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم telah ijma’ (sepakat) mendirikan Sholat Tarawih pada masa Sayyiduna Umar sebanyak 20 rakaat. Ijma’ Sahabat mengikut kaedah Ushul Fiqh adalah hujah (iaitu menjadi dalil syari’at)[15].

ii) Dalil nas umum:

Antara dalil lain dalam membolehkan ia dibuat lebih dari 11 rakaat ialah firman Allah Ta’ala:

1)

وَافْعَلُواْ الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan kerjakanlah amal-amal kebajikan; supaya kamu berjaya (di dunia dan di akhirat).”[16]

Mengerjakan amal kebajikan tidak disebutkan di dalam ayat ini secara khusus dan berapa bilangannya. Ia membawa maksud mengerjakan amal kebajikan sebanyak-banyaknya.

2) Disebutkan di dalam hadith:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ

“Sholat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat.”[17]

3) Imam Muslim meriwayatkan, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:

اَلصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ فَمَن شَاءَ اِسْتَقَلَّ وَمَن شَاءَ اِسْتَكْثَرَ

“Sholat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barang siapa berkehendak, dia (boleh) menyedikitkan bilangan rakaatnya dan barang siapa berkehendak, dia (boleh) memperbanyak (bilangan rakaatnya, iaitu menyedikit atau memperbanyakkan sholat sunat/ nawafil).”

iii) Kaedah Ushul

1) Kaedah Ushul Fiqh menyebutkan:

مَا أَكْثَرَ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرَ فَضْلاً

“Ibadah yang banyak perlakuannya (pekerjaannya), akan banyak mendapat fadhilat (pahala).”

Kaedah ini berdasarkan hadith Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم kepada Sayyidatuna ‘Aisyah, riwayat Imam Muslim:

أَجْرُكِ عَلَى نَصَبِكِ

“Pahalamu berdasarkan kadar usahamu.”

Sembahyang adalah ibadat badan yang paling afdhal selepas mengucap dua kalimah syahadah mengikut sebahagian ulama’[18]. Sembahyang Tarawih pula sangat istimewa kerana dilaksanakan pada bulan yang sangat istimewa. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم memberi khabar gembira bahawa satu ibadah sunat dilaksanakan pada bulan ini menyamai satu ibadah fardhu di bulan lain.

Hadith daripada Salman al-Farisi berkata:

خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم آخِرِ يَوْمٍ مِن شَعْبَانَ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظيمٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، شَهْرٌ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً وَقِيَامُ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَن تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ…

“Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah berkhutbah kepada kami pada hari terakhir bulan Syaaban dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu satu bulan yang agung lagi penuh keberkatan (bulan Ramadhan), itulah bulan yang ada padanya satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang Allah jadikan berpuasa padanya suatu kewajipan dan berqiamullail (beribadat pada malam-malamnya) sebagai amalan sunat. Sesiapa yang mendekatkan dirinya kepada Allah pada bulan itu dengan melakukan amalan kebajikan (amalan sunat) maka ia mendapat pahala seperti melaksanakan perintah yang wajib dan sesiapa yang melakukan suatu amalan yang wajib pada bulan Ramadhan maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukan tujuh puluh (70) amalan fardhu selainnya (selain Ramadhan).”[19]

Oleh itu, dari segi bilangan sahaja umpamanya, tentulah 20 rakaat Sholat Tarawih lebih baik dari 8 rakaat dan pahalanya tentu sekali lebih banyak. Ini tidak termasuk pahala berapa kali qiyam, ruku’, sujud…., bacaan Surah Al-Fatihah, bacaan surah dan bacaan-bacaan lain ketika sembahyang, pahala mendengar orang membaca Al-Quran di dalam sembahyang, pahala sabar ketika qiyam yang mungkin agak lama dan panjang…jika dilakukan sebanyak 20 rakaat itu. Bolehlah diqiyaskan kepada perlakuan dan pembacaan yang lain yang ada kaitan dengan Sholat Tarawih ini…Ta’ammaluu…

2) Kaedah lain menyebutkan:

اَلْمُثْبَتُ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِي

“Yang menetapkan ada (sesuatu perkara), didahulukan atas yang tidak menetapkannya.”

Dalam perbahasan Sholat Tarawih ini, jika benar hadith Sayyidatuna ‘Aisyah di atas tentang Sholat Tarawih, ia tetap tidak boleh dijadikan dalil untuk menolak pendapt Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang mereka ijma’ (sepakat) melaksanakannya dengan 20 rakaat. Dalam perkara ini, Sayyidatuna ‘Aisyah melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang 11 rakaat, sedangkan Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang utama juga melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang dengan 23 rakaat. Maka, mengikut kaedah ini, orang yang banyak ilmunya didahulukan dari orang yang kurang ilmu pengetahuannya[20].

Pendapat para ulama’:

Berdasarkan dalil dan kaedah di atas, para ulama’ dalam mazhab Syafi’e (Syafi’iyyah) mengistinbatkan bilangan rakaatnya seperti berikut:

1) Disebutkan di dalam Mukhtashar Al-Muzani:

أَنَّ اْلإِمَامَ الشَّافِعِيَّ رحمه الله قَالَ: رَأَيْتُهُمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ وَأَحَبَّ إِلَيَّ عِشْرُونَ لأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَكَذَلِكَ بِمَكَّةَ يَقُومُونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.

“Sesungguhnya Imam Syafi’e berkata: Aku telah melihat mereka di Madinah mendirikan (Solat Tarawih) denga 39 rakaat, dan aku menyukai 20 rakaat kerana telah diriwayatkan dari Umar. Dan begitu juga di Makkah, mereka mendirikan 20 rakaat dan mengerjakan Witir dengan 3 rakaat.”

2) Imam Nawawi berkata di dalam Syarh al-Muhazzab:

صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ مِنَ النَّوَافِلِ الْمُؤَكَّدَةِ كَمَا دَلَّتْ عَلَى ذَلِكَ اْلأَحَادِيثُ الشَّرِيفَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ صَلاَةِ الْوِتْرِ، وَمَعَ الْوِتْرِ تُصْبِحُ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً … عَلَى ذَلِكَ مَضَتِ السُّنَّةُ وَاتَّفَقَتِ اْلأُمَّةُ، سَلَفًا وَخَلَفًا مِنْ عَهْدِ الْخَلِيفَةِ الرَّاشِدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه وأرضاه – إِلىَ زَمَانِنَا هَذَا … لَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ فَقِيهٌ مِنَ اْلاَئِمَّةِ اْلأَرْبعَةِ الْمُجْتَهِدِينَ إِلاَّ مَا رُوِىَ عَنْ إِمَامِ دَارِ الْهِجْرَةِ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ رضي الله عنه اَلْقَوْلُ بِالزِّيَادَةِ فِيهَا، إِلىَ سِتٍّ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً…فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ عَنْهُ – مُحْتَجًّا بِعَمَلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَدْ رُوِيَ عَن نَافِعٍ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ

“Sholat Tarawih termasuk di dalam sholat Nawafil yang muakkad seperti mana yang ditunjukkan perkara itu oleh hadith-hadith yang mulia yang telah disebut terdahulu. Ia adalah sebanyak dua puluh rakaat selain dari sholat Witir. (Jika) bersama Witir maka ia menjadi 23 rakaat…atas jalan inilah berlalunya sunnah dan sepakat ummah, dari kalangan Salaf dan Khalaf dari zaman Khulafa’ ar-Rasyidin Umar ibn Al-Khattab, semoga Allah meredhainya dan dia meredhaiNya juga sampailah ke zaman kita ini…Tidak ada seorang pun ahli feqah dari kalangan empat imam mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) membantah perkara ini, melainkan apa yang diriwayatkan dari Imam Dar al-Hijrah, Imam Malik bin Anas tentang pendapat yang lebih bilangannya pada sholat Tarawih kepada 36 rakaat…Dalam riwayat kedua daripada Imam Malik, iaitu dengan hujahnya beramal dengan amalan penduduk Madinah iaitu: Sesungguhnya diriwayatkan dari Nafi’ sesungguhnya dia berkata: Aku mendapati orang ramai mendiri Ramadhan (sholat Tarawih) dengan 39 rakaat dan mereka mendirikan Witir daripadanya sebanyak 3 rakaat…”[21]

Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni[22] menambah:

…أَمَّا الرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ عَنْهُ، هِيَ الَّتِي وَافَقَ فِيهَا الْجُمْهُورُ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ عَلَى أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً وَعَلَى ذَلِكَ اتَّفَقَتِ الْمَذَاهِبُ اْلأَرْبعَةُ وَتَمَّ اْلإجْمَاعُ.

“Adapun riwayat yang masyhur daripada Imam Malik, iaitulah yang diittifaqkan Jumhur ulama’ dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah atas sholat Tarawih itu 20 rakaat. (Oleh itu) atas sebab perkara itulah (iaitu riwayat yang kedua ini), maka jadilah (sholat Tarawih sebanyak 20 rakaat) adalah ittifaq empat mazhab dan lengkaplah (ia menjadi) ijma’.”[23]

3) Imam Nawawi juga menyebutkan di dalam Al-Majmu’:

مَذْهَبُنَا أَنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ غَيْرِ الْوِتْرِ وَذَلِكَ خَمْسُ تَرْوِيحَاتٍ وَالتَّرْوِيحَةُ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيمَتَيْنِ… وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقَاضِيُّ عِيَاضٍ عَن جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ. وَقَالَ مَالِكٌ: اَلتَّرَاوِيحُ تِسْعُ تَرْوِيحَاتٍ وَهِيَ سِتَّةٌ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً غَيْرُ الْوِتْرِ

“Mazhab kami ialah sesungguhnya ia 20 rakaat dengan 10 salam selain Witir. Jadi ada 5 rehat, dan setiap sekali rehat ada 4 rakaat dengan 2 salam…Dan mengikut juga pendapat inilah (iaitu 20 rakaat) oleh Abu Hanifah dan rakan-rakannya, Ahmad, Daud (azh-Zahiri) dan selain dari mereka. Al-Qadhi ‘Iyadh juga menukilkannya dari jumhur Ulama’. Imam Malik berkata: Sholat Tarawih ada 9 rehat iaitu 36 rakaat selain dari Witir.”

4) Imam Syarbini al-Khatib menyebutkan:

اَلتَّرَاوِيحُ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشَرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِن رَمَضَانَ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Dan Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 salam setiap bulan Ramadhan. Demikiannlah hadith Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahawasanya sahabat-sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم mendirikan sembahyang pada masa Umar bin Al-Khattab dalam bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat. Dan Imam Malik meriwayatkan di dalam Al-Muwaththo’ sebanyak 23 rakaat, tetapi Imam Al-Baihaqi mengatakan bahawa yang tiga rakaat yang akhir ialah Sembahyang Witir.”[24]

5) Imam Jalal ad-Din al-Mahalli berkata:

وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِاْلإِسْنَادِ الصَّحِيحِ كَمَا قَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Dan Imam Al-Baihaqi dan selainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan di dalam Syarah al-Muhazzab bahawasanya para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”[25]

6) Al-Allamah al-Imam Ar-Ramli berkata:

وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ في كُلِّ لَيْلَةٍ مِن رَمَضَانَ، لِمَا رُوِيَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً

“Dan ia (Sholat Tarawih) adalah 20 rakaat dengan 10 salam pada setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan kerana diriwayatkan bahawasanya para sahabat mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar bin Al-Khattab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”[26]

7) Imam Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menyimpulkan bahawa sholat Tarawih hukumnya sunat yang jumlahnya 20 rakaat:

وَصَلاَةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ (( مَن قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاِحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِهِ )) وَيَجِبُ التَّسْلِيمُ مِن كُلِّ رَكْعَتَيْن فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ تَصِحُّ.

“Sholat Tarawih hukumnya sunat, 20 rakaat dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Kerana ada hadith: Barang siapa melaksanakan (sholat Tarawih) di malam Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu diampuni. Setiap dua rakaat harus salam. Jika sholat Tarawih 4 rakaat dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”[27]

8) Di dalam kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah karangan Al-Allamah Abi Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Uthmani asy-Syafi’e pada Hamisy al-Mizan al-Kubra menyatakan:

فَصْلٌ: وَمِنَ السُّنَنِ صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِندَ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدَ

وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيمَاتٍ وَفِعْلُهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ

“(Fasal): Dan termasuk dari sholat-sholat sunat ialah Sholat Tarawih pada bulan Ramadhan di sisi Abu Hanifah, Syafi’e dan Ahmad iaitu ia adalah sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Dan mendirikannya secara berjama’ah adalah afdhal.”[28]

9) Syaikh Abd al-Qadir ar-Rahbawi menyebutkan di dalam kitabnya As-Sholah ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah:

وَعَدَدُ رَكْعِتِهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً. وَهَذَا الَّذِي بَيَّنَهُ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله بِفِعْلِهِ عِندَمَا جَمَعَ النَّاسَ أَخِيرًا فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلاَتِهِمْ خَلْفَ إِمَامٍ وَاحِدٍ، وَوَافَقَهُ الصَّحَابَةُ عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَكُن لَهُمْ مُخَالِفٌ مِمَّن بَعْدَهُمْ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ…

“Dan bilangan rakaatnya (Sholat Tarawih) 20 rakaat. Dan inilah yang diterangkan oleh Sayyiduna Umar bin Al-Khattab dengan perbuatannya ketika mengumpulkan para sahabat akhirnya dalam masjid. Dan (menyuruh) mereka bersembahyang di belakang seorang imam. Para sahabat bersetuju atas perbuatannya itu dan tidak ada seorangpun Khalifah yang datang selepas mereka (selepas sahabat) yang menyalahkan mereka (Umar dan generasi sahabat yang melakukan 20 rakaat).”[29]

10) Mufti Besar Negara Mesir, Al-Allamah Syaikh Ali Jum’ah [30] menyebutkan di dalam kitabnya Al-Bayan Lima Yasyghal al-Azhan:

وَالْحَقُ أَنَّ اْلأُمَّةَ أَجْمَعَتْ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ عِشْرِينَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ الْوِتْرِ، وَثَلاَثَ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ، وَهُوَ مُعْتَمَدُ الْمَذَاهِبِ الْفِقْهِيَّةِ اْلأَرْبَعَةِ: اَلْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ فِي الْمَشْهُورِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ.

“Dan yang benarnya (dalam perkara rakaat Tarawih) ialah, sesungguhnya umat Islam telah ijma’ ke atas Sholat Tarawih itu 20 rakaat tidak termasuk Witir, dan 23 rakaat termasuk Witir yang mana itulah yang mu’tamad (dipegang) oleh mazhab-mazhab feqah yang empat: Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, mazhab Syafi’e dan mazhab Hanbali.”[32]

11) Di dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah disebutkan:

وَقَدْ ثَبَّتَ أَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ

“Dan sesungguhnya telah tetaplah (thabit) bahawa Sholat Tarawih adalah 20 rakaat (menurut semua imam mazhab) selain Witir[32].

12) Disebutkan di dalam kitab Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih karangan Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni:

قَالَ اْلإِمَامُ التِّرْمِذِي فِي جَامِعِهِ اَلْمُسَمَّى سُنَنِ التِّرْمِذِي: أَكْثَرَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُويَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: عِشْرِينَ رَكْعَةً وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِي وَإِبْنِ الْمُبَارَكَ وَالشَّافِعِيّ وَقَالَ الشَّافِعِي : وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً . أهـ.

“Al-Imam At-Tirmizi berkata di dalam kitab Jami’nya yang bernama Sunan at-Tirmizi: Kebanyakan Ahl al-Ilm di atas pendapat seperti yang diriwayatkan dari Sayyiduna Umar, Sayyiduna Ali dan selain keduanya dari para sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم iaitu (mendirikan sholat Tarawih sebanyak) 20 rakaat. Ia adalah pendapat Sufyan ath-Thauri, Ibn Al-Mubarak, Syafi’e. Imam Syafi’e berkata: Dan beginilah aku mendapati orang ramai di Makkah mereka mendirikan (sholat Tarawih dengan ) 20 rakaat.” Intaha.

Ibn Rusyd menyebutkan di dalam Bidayah al-Mujtahid:

اِخْتَارَ مَالِكٌ – فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ – وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدُ اَلْقِيَامُ

بِعِشْرِينَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ.

“Imam Malik telah memilih –dalam salah satu di antara dua pendapatnya-,
juga Abu Hanifah, Syafi’e, Ahmad dengan 20 rakaat selain Witir.” [33]

Seterusnya Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan:

“Bahawa kedua Haramaian (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) juga menjadi panduan dan ikutan kita dalam perkara Sholat Tarawih 20 rakaat ini yang mana kedua-dua masjid suci ini mendirikan Sholat Tarawih dengan 20 rakaat sejak zaman dahulu lagi sehingga sekarang.”[34]

Pendapat mazhab lain:

1) Mazhab Hanafi

Syaikh As-Sarakhsi menyebutkan:

إِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِندَنَا، وَقَالَ مَالِكٌ: اَلسُّنَّةُ فِيهَا سِتَّةٌ وَثَلاَثونَ

“Sesungguhnya ia (Tarawih) 20 rakaat selain Witir di sisi kami, dan Malik berkata: Sunnah padanya 36 rakaat.”[35]
Syaikh Al-Kasani menyokong pendapat tersebut dengan mengatakan:

وَأَمَّا قَدْرُهَا فَعِشْرُونَ رَكْعَةً فِي عَشَرِ تَسْلِيمَاتٍ، فِي خَمْسِ تَروِيحَاتٍ، كُلُّ تَسْلِيمَتَيْنِ تَرْوِيحَةٌ، وَهَذَا قَوْلُ عَامَّةِ الْعُلمَاءِ

“Dan adapun kadarnya maka (ia adalah) 20 rakaat dalam 10 kali salam, 5 kali rehat, setiap 2 kali salam ada 1 rehat. Dan inilah pendapat kebanyak ulama’.”[36]
Pendapat ini disokong pula oleh Al-Allamah Ibn Abidin di dalam Hasyiahnya:

(قَوْلُهُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً) هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَعَلَيْهِ عَمَلَ النَّاسُ شَرْقًا وَغَرْبًا

“(Perkataannya: Dan ia 20 rakaat) adalah pendapat jumhur, dan atas pendapat inilah orang ramai beramal di timur dan barat.”[37]

2) Mazhab Maliki

Apa yang masyhur dalam mazhab Maliki ialah pendapat yang mengikut jumhur (iaitu 20 rakaat). Al-Allamah Ad-Dardir berkata:

(وَالتَّرَاوِيحُ ): بِرَمَضَانَ (وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ، يُسَلِّمُ مِن كُلِّ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ الشَّفع وَالْوِتْرِ. (وَ) نَدِبَ (الْخَتْمُ فِيهَا): أَيْ اَلتَّرَاوِيحِ، بِأَن يَقْرَأَ كُلَّ لَيْلَةٍ جُزْءًا يُفَرِّقُهُ عَلَى الْعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“(Dan Tarawih): pada bulan Ramadhan (iaitu 20 rakaat) selepas Sholat Isya’, salam pada setiap 2 rakaat selain…. Dan Witir. (Dan) Sunat (mengkhatamkan Al-Quran dalamnya): iaitu ketika Tarawih dengan cara membaca satu juzu’ pada setiap malam yang dibahagi-bahagi dalam 20 rakaat.”[38]
Al-Allamah An-Nafrawi menyebutkan pendapat yang menguatkan pendapat jumhur ulama’ (20 rakaat) dan pengikut mazhab Maliki kembali kepada pendapat ini kerana ia adalah salah satu pendapat Imam Malik sendiri dengan katanya:

(كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ) وَهُمُ الصَّحَابَةُ (يَقُومُونَ فِيهِ) فِي زَمَنِ خِلاَفَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. وَبِأَمْرِهِ كَمَا تَقَدَّمَ (فِي الْمَسَاجِدَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً) وَهُوَ اِخْتِيَارُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ. وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ اْلآنَ فِي سَائِرِ اْلأَمْصَارِ. (ثُمَّ) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشْرِينَ ( يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ) مِن بَابِ تَغْلِيبِ اْلأَشْرَفِ لاَ أَنَّ الثَّلاَثَ وِتْرٌ، لأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَاحدَةٌ كَمَا مَرَّ، – إِلَى أَن قَالَ – وَاسْتَمَرَّ عَمَلَ النَّاسُ عَلَى الثَّلاَثَةِ وَالْعِشْرِينَ شَرْقًا وَغَرْبًا. (ثُمَّ) بَعْدَ وَقَعَةِ الْحَرَّةِ بِالْمَدِينَةِ (صَلُّوا) أَيْ اَلسَّلَفُ الصَّالِحُ غَيْرَ الَّذينَ تَقَدَّمُوا، لأَنَّ الْمُرَادَ بِهمْ هُنَا مَن كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ (بَعْدَ ذَلِكَ) اَلْعَدَدُ الَّذِي كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ (سِتًّا وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً غَيْرَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ) – إِلَى أَن قَالَ – : وَهَذَا اِخْتَارَهُ مَالِكٌ فِي الْمُدَوَّنَةِ وَاسْتَحْسَنَهُ. وَعَلَيْهِ عَمَلَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ. وَرَجَحَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ اَلأَوَّلَ الَّذِي جَمَعَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا لاِسْتِمْرَارِ الْعَمَلِ فِي جَمِيعِ اْلأَمْصَارِ عَلَيْهِ.

“Adalah Salafus Soleh) iaitu para sahabat (mendirikan padanya) iaitu pada zaman kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Dan dengan arahannya seperti yang disebutkan terdahulu (untuk mendirikannya) (di masjid-masjid dengan 20 rakaat) iaitulah pendapat yang dipilih oleh Abu Hanifah, Syafi’e dan Ahmad, dan itulah yang diamalkan sekarang di seluruh tempat. (Kemudian) selepas sholat 20 rakaat (mereka mendirikan Witir dengan 3 rakaat) iaitu termasuk dalam bab melebihkan, bukanlah 3 rakaat itu dinamakan Witir, kerana Witir itu 1 rakaat sahaja seperti yang telah dijelaskan…-sehinggalah kepada perkataannya- Dan berterusanlah perbuatan orang ramai dengan 23 rakaat ini, di timur dan barat. (Kemudian) selepas berlakunya kemarau di Madinah (mereka sembahyang) iaitu ‘Salafus Soleh’ bersembahyang tidak seperti yang mereka telah dilakukan. Yang dimaksudkan ‘Salafus Soleh’ di sini ialah mereka yang berada pada masa Umar bin Abdul Aziz (selepas itu) (tidak seperti) bilangan yang telah dilakukan pada masa Umar bin Al-Khattab (iaitu dalam masa Umar bin Abdul Aziz, mereka melakukannya dengan) (36 rakaat tidak termasuk genap dan Witir) – sehinggalah kepada perkataannya-: Dan inilah yang dipilih oleh Imam Malik di dalam mudawwanah dan dia menganggap ia adalah baik (iaitu 36 rakaat itu). Dan pendapat ini menjadi pegangan penduduk Madinah. Dan sebahagian pengikut Imam Malik pendapat pertama (iaitu 20 rakaat) yang mana Umar bin Al-Khattab telah mengumpul orang ramai dengan bilangan ini agar amalan ini berterusan dilakukan di seluruh tempat.”[39]

3) Mazhab Hanbali

Al-Allamah Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata:

وَالْمُخْتَارُ عِندَ أَبِي عَبْدِ اللهِ فِيهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً. وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةُ وَثَلاَثُونَ. وَزَعَمَ أَنَّهُ اْلأَمْرَ الْقَدِيمَ، وَتَعَلَّقَ بِفِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَإِنَّ صَالِحًا مَوْلَى التَّوْأَمَةَ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ منْهَا بِخَمْسٍ.

“Dan (pendapat) yang dipilih di sisi Abu Abdullah (gelaran kepada Imam Ahmad bin Hanbal) padanya 20 rakaat. Dan inilah juga pendapat Sufyan Ath-Thuri, Abu Hanifah dan Syafi’e. Malik berkata: 36 (rakaat). Beliau mendakwa ia adalah perkara yang lama dan menghubungkan pendapatnya dengan perbuatan penduduk Madinah. Soleh maula kepada At-Tau’amah berkata: Aku mendapati orang ramai mendirikan (Sholat Tarawih) sebanyak 40 rakaat dan melakukan Sholat Witir 5 rakaat.”[40]

Al-Allamah Al-Bahuti menukilkan pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanbali dengan katanya:

سُمِيَتْ بِذَلِكَ لأَنَّهُمْ يَجْلِسُونَ بَيْنَ كُلِّ أَرْبَعَ يَسْتَرِيحُونَ، وَقِيلَ مَشَقَّةٌ مِنَ الْمَرَاوَحَةِ وَهِيَ التِّكْرَارُ فِي الْفِعْلِ، وَهِيَ (عِشْرُونَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ) لِمَا رَوَى مَالِكٌ، عَن يَزِيدٍ بْنِ رُومَانَ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

“Dinamakan begitu kerana mereka duduk di antara setiap 4 rakaat berehat. Dan dikatakan, kesusahan dari…. Iaitu pengulangan pada perbuatan iaitu (20 rakaat pda bulan Ramadhan) mengikut apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman berkata: “Adalah manusia mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.”[41]

Pendapat Syaikh Ibn Taimiyyah dan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhab

Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan:

…..Syaikh Ibn Taimiyyah menyebutkan di dalam Al-Fatawa:

ثَبَتَ أَنَّ أُبَي بْنِ كَعْبٍ، كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ وَيُوَتِّرُ بِثَلاَثٍ فَرَأَى كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ لأَنَّهُ قَامَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلاَنصَارِ وَلَمْ يُنكِرُهُ مُنكِرٌ.

“Telah thabit sesungguhnya Ubay ibn Ka’ab telah mendirikan (sholat Tarawih) bersama orang ramai sebanyak 20 rakaat pada bulan Ramadhan dan dia sholat Witir dengan 3 rakaat. Maka orang ramai melihat perbuatan itu adalah sebagai sunnah kerana bahawasanya dia mendirikannya di antara sahabat dari Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang menegahnya.”

Di dalam Majmu’ al-Fatawa an-Najdiyyah disebutkan bahawa Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhab menyebutkan di dalam jawapannya tentang bilangan rakaat Tarawih:

أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ كَانَتْ صَلاَتُهُمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً.

“Sesungguhnya Umar ketika mengumpulkan orang ramai bersama Ubay ibn Ka’ab, adalah sholat mereka (ketika itu) sebanyak 20 rakaat.”[42]

B) Hujah kepada pendapat yang mengatakan rakaat Tarawih hanya 8 rakaat (dan menjadi 13 termasuk sholat Witir)

a) Dalil hanya 8 rakaat:

Hadits Sholat Tarawih hanya 8 rakaat (menjadi 11 rakaat termasuk 3 rakaat Witir) kerana merujuk kepada hadith dari Sayyidatuna ‘Aisyah:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.

“Tidaklah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم menambah pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih sebelas rakaat. Baginda صلى الله عليه وآله وسلم sembahyang empat rakaat dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian Baginda صلى الله عليه وآله وسلم sembahyang empat rakaat dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian Baginda صلى الله عليه وآله وسلم sembahyang tiga rakaat. Kemudian aku (‘Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum sembahyang Witir?” Baginda صلى الله عليه وآله وسلم bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.”[7]

1) Jumlah 13 rakaat bukan untuk Sholat Tarawih, tetapi sholat malam (Qiyamullail) serta Sholat Witir

Syaikh Muhammad bin ‘Allan dalam kitab Dalil al-Falihin menerangkan bahawa:

“Hadith di atas adalah hadith tentang Sholat Witir kerana Sholat Witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan ‘Aisyah bahawa:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً…

“Tidaklah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم menambah pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih sebelas rakaat….” sedangkan sholat Tarawih atau “Qiyam Ramadhan” hanya ada pada bulan Ramadhan sahaja.” [43]

Syaikh Al-Khan mengatakan di dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafi’i: “Sholat Tarawih hanyalah dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan.”[44]

K.H. Siradjuddin Abbas berkata:

“Sembahyang yang dikatakan oleh Ummul Mu’minin Siti ‘Aisyah yang bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم tidak lebih dari mengerjakannya dari 11 rakaat itu ialah sembahyang Tahajjud malam hari dan Witir di belakangnya, bukan sembahyang Tarawih…”[45]

Beliau (K.H. Siradjuddin Abbas) menulis bahawa Imam Bukhari ketika meletakkan hadith ‘Aisyah ini di dalam Shahihnya, beliau (Imam Bukhari menulis):

بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِهِ

“Bab pada menyatakan Qiyam Nabi صلى الله عليه وآله وسلم pada waktu malam pada bulan Ramadhan dan pada bulan selainnya.”

Komen dari beliau ialah:

“Ini petunjuk bahwa Imam Bukhari juga berpendapat bahwa sembahyang ini bukan Sembahyang Tarawih, tetapi Sembahyang Tahajjud Malam yang dikerjakan dalam bulan Ramadhan dan luar Ramadhan.”[46]

Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Anshari [47] di dalam muqaddimah kitab Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih menyebutkan:

أَمَّا حُجَّةُ مَن يَحْتَجُّ بِحَدِيثِ عَائِشَةَ مِنْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا كَانَ يَزِيدُ عَن ثَلاَثِ عَشْرَةَ رَكْعَةٍ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِ رَمَضَانَ، فَإِنَّهَا تَحْكِي مَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم فِي صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَبِمُفْرَدِهِ. وَهَذَا لاَ يُعَارِضُ مَا رَآهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ إِقَامَةِ صَلاَةِ اللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ بِالْجَمَاعَةِ حَيْثُ جَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ.

وَلَعَلَّ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تَحْكِى غَالِبَ مَا كَانَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي حَيَاتِهِ مِن قِيَامِ اللَّيْلِ وَكَانَ ذَلِكَ تَيْسِيرًا عَلَى أُمَّتِهِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: (( إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ…))

“Adapun hujah orang yang berhujah dengan hadith ‘Aisyah di mana sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم tidak pernah menambah lebih dari 13 rakaat pada Ramadhan dan tidak pula pada luar Ramadhan, maka dia (Sayyidatuna ‘Aisyah) bahawasanya menceritakan apa yang termasuk dalam amalan sholat Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم di rumah Baginda صلى الله عليه وآله وسلم dan apa yang dikerjakan Baginda صلى الله عليه وآله وسلم secara sendirian[48]. Dan ini (apa yang dilihat oleh Sayyidatuna ‘Aisyah) tidaklah menyalahi (membatalkan) apa yang diijtihadkan oleh Umar bin Al-Khattab untuk mendirikan sholat malam pada bulan Ramadhan secera berjemaah di mana dia mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab.

Dan bolehlah dianggapkan bahawa Ummul Mukminin (dalam mengatakan tentang 13 rakaat itu) menceritakan apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dalam hidup Baginda صلى الله عليه وآله وسلم dalam qiyamullail, dan itu adalah kerana Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم inginkan keringanan ke atas umat Baginda صلى الله عليه وآله وسلم seperti yang dinashkan tentangnya oleh Al-Quran al-Karim dalam firman Allah Ta’ala mafhumnya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahawasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam….(Surah Al-Muzammil: 20).”[49]

Mungkin juga hadith Sayyidatuna ‘Aisyah menunjukkan Sholat Witir kerana ia adalah sholat malam yang dilaksanakan dengan 1 atau 3 atau 5 atau 7 atau 9 atau 11, yang dilakukan selepas sholat Isya’, dilaksanakan pada bulan Ramadhan dan luar Ramadhan [50].

Al-Mukarram H.M.H. Alhamid Alhusaini di dalam bukunya Risalah Tentang Beberapa Soal Khilafiyah[51] mengatakan bahawa hadith ‘Aisyah tidak boleh dijadikan alasan kerana 2 sebab:

1- Hadith daripada ‘Aisyah menunjukkan apa yang dilihat oleh ‘Aisyah ketika giliran Baginda صلى الله عليه وآله وسلم di rumahnya pada malam-malam tertentu sahaja kerana Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم mempunyai isteri-isteri lain. Kemungkinan bilangan rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم di rumah isteri-isteri Baginda صلى الله عليه وآله وسلم yang lain adalah lebih dari itu. Perkara ini tidak mustahil kerana perkara lain pernah berlaku kepada ‘Aisyah umpamanya dalam Sholat Dhuha.

Di dalam hadith dari ‘Aisyah menyebutkan:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي سَبْحَةَ الضُّحَى، وَإِنِّي لأُسَبِّحُهَا – أَيْ لأُصَلِّيهَا – وَإِن كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِيَدْعَ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَن يَعْمَلَ خَشْيَةً أَن يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضُ عَلَيْهِمْ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang Sholat Dhuha sama sekali. Dan aku sendiri mendirikan sembahyang Dhuha. Dan walaupun Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم sendiri sebenarnya menyukainya tetapi Baginda صلى الله عليه وآله وسلم meninggalkannya kerana khuwatir orang ramai akan melakukannya lalu (nantinya) akan difardhukan ke atas mereka.”[52]

Walau bagaimana pun, terdapat hadith lain yang jelas menunjukkan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم mendirikan Sholat Dhuha dan menganjurkan Abu Hurairah agar tidak meninggalkannya. Di dalam hadith dari Abu Hurairah disebutkan:

أَوْصَانِي حَبِيبِي بِثَلاَثٍ لَنْ أَدْعُهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ كُلَّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَبِأَن لاَّ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ

“Kekasihku (Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) telah mewasiatkanku 3 perkara, tidak sekali-kali aku meninggalkannya selagi masih hidup: agar berpuasa 3 hari setiap bulan, Sholat Dhuha dan tidak tidur sehingga sholat Witir terlebih dahulu.”[53]

Di dalam hadith dari Abd ar-Rahman bin Abi Laila menyebutkan:

مَا أَخْبَرَنِي أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الضُّحَى إِلاَّ أُمُّ هَانِئ، فَإِنَّهَا حَدَثَتْ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَصَلَّى ثَمَانِي رَكَعَات مَا رَأَيْتُهُ قَطٌّ صَلَّى صَلاَةً أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ

“Tidak ada seorang pun yang pernah memberitahu kepadaku bahawa dia pernah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang Dhuha melainkan Ummu Hani’, sesungguhnya dia berkata: Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وآله وسلم masuk ke rumahnya pada hari pembukaan Makkah, lalu sholat 8 rakaat. Aku tidak pernah melihat Baginda صلى الله عليه وآله وسلم sholat lebih ringan daripada sholat yang aku lihat itu, beliau ruku’ dan sujud dengan sempurna.”[54]

Pernyataan Sayyidatuna ‘Aisyah bahawa Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tidak pernah bersembahyang Dhuha adalah berdasarkan apa yang dilihatnya di rumahnya. Walau bagaimana pun, di tempat lain, Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم memang ada melakukannya.

2) Hadith lain menunjukkan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang malam lebih dari 11 rakaat.

Hadith dari Ibn Abbas mengatakan:

كَانَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً سِوَى الْمَكْتُوبَةِ

“Adalah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang malam 13 rakaat.”[55]

Hadith dari Ali bin Abi Tholib pula menyatakan:

كَانَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Adalah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang malam 16 rakaat selain sholat wajib.”

Dalam hadith dari Zaid bin Khalid al-Jahni pula mengatakan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang malam sebanyak 13 rakaat [56]

Semua hadith ini menunjukkan bahawa sembahyang malam Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم lebih dari 11 rakaat, tidak sama dengan bilangan rakaat yang disebutkan oleh Sayyidatuna ‘Aisyah.

2) Kedudukan istimewa para sahabat

Pendapat dan kedudukan para sahabat adalah sangat istimewa yang harus diikuti oleh umat Islam. Sabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِن بَعْدِي
“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunatku
dan sunat al-Khulafa’ Ar-Rasyidun sesudah aku.”[57]

Oleh itu, Sayyiduna Umar tidak mungkin mengada-adakan sesuatu tanpa ada asas pendapat dari Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم kerana para sahabat semuanya sepakat mengerjakan Tarawih dengan 20 rakaat pada zaman Umar dan selepasnya dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Ini dinama “ إِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ السُّكُوتِي “ (Sepakat para sahabat menerimanya walaupun tidak menyuarakan pendapat mereka ketika bersetuju tentangnya).

Al-Allamah Taqiy ad-Din Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ketika menyebutkan tentang ijtihad Sayyiduna Umar menyuruh 20 rakaat itu menyatakan di dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar:

وَأَجْمَعَ الصَّحَابَةُ مَعَهُ عَلَى ذَلِكَ

“Dan para sahabat telah ijma’ bersama (pendapat)nya atas perkara itu (mengerjakan Tarawih 20 rakaat secara berjemaah dengan dipimpin oleh seorang imam di masjid).” [58]

K.H. Siradjudin Abas menulis:

“Saidina Umar, seorang Sahabat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang dipercayai Khalifah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang kedua memerintahkan 20 rakaat. Ini berarti bahwa beliau mengetahui bahwa banyaknya sembahyang Tarawih Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, baik di mesjid atau di rumah sebanyak 20 rakaat. Kalau tidak, tentu Saidina Umar tidak akan memerintahkan begitu. Ini namanya riwayat hadits dengan perbuatan. Kita ummat Islam disuruh oleh Nabi صلى الله عليه وآله وسلم mengikuti Saidina Abu Bakar dan Umar.”[59]

Drs. K.H. Achmad Masduqi Machfudh dalam tulisannya telah menukilkan pendapat yang ditulis oleh Almarhum K.H. Ali Ma’sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah:

“…..Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab رضي الله عنه Beliau menjelaskan, “Sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah. Umar رضي الله عنه tidak menentukan bilangan 20 rakaat tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid’ah. Beliau tidak memerintahkan sholat 20 rakaat, kecuali berasal dari sumber pokoknya iaitu dari Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم.”[60]

3) Jika benar jumlah 11 rakaat itu untuk Sholat Tarawih (dan Witir), ia adalah apa yang dilihat oleh Sayyidatuna ‘Aisyah sahaja

Sebahagian yang lain mengatakan, jumlah yang dikatakan oleh Sayyidatuna ‘Aisyah, kerana mungkin itulah dilihat oleh Sayyidatuna ‘Aisyah ketika giliran Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم di rumahnya. Kemungkinan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم mengerjakannya lebih daripada lapan rakaat pada malam lain ketika giliran Baginda صلى الله عليه وآله وسلم bersama isteri-isteri lain [61]

Renungan:

Syaikh Ali Jum’ah ketika menjawab persoalan berapa rakaat Tarawih ini menyebutkan di awal jawapannya:

“Bahawa terdapat golongan yang dengan lantang menyalahkan para Aimmah (Imam-imam mazhab) dan umat yang terdahulu, mengingkari mereka dengan ingkar yang keras dan menuduh para Aimmah dan umat ini melakukan bid’ah (dhalalah). Mereka juga mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dengan kata mereka: “Tidak boleh menambah lebih dari 8 rakaat pada Sholat Tarawih”. “[62]

Beliau menulis lagi:

وَلَمْ تَعْرِفِ اْلأُمَّةُ الْقَوْلَ بِأَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ ثَمَانُ رَكَعَاتٍ إِلاَّ فِي هَذَا الزَّمَانِ، وَسَبَبُ وُقُوعِهِمْ فِي تِلْكَ الْمُخَالَفَةِ اَلْفَهْمُ الْخَاطِئُ لِلسُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ، وَعَدَمُ قُدْرَتِهِمْ عَلَى الْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيثِ، وَعَدَمُ اِلْتِفَاتِهِمْ إِلَى اْلإِجْمَاعِ الْقَوْلِي وَالْفِعْلِي مِن لَّدُنِ الصَّحَابَةِ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، فَاسْتَشْهَدُوا بِحَدِيثِ عَائِشَةَ رضي الله عنها…

“Dan umat Islam tidak pernah tahu adanya pendapat yang mengatakan bahawasanya Sholat Tarawih itu 8 rakaat kecuali pada zaman ini (zaman moden ini). Dan sebab terjatuhnya mereka ke dalam perkara khilafiyyah itu ialah kerana kefahaman yang salah kepada sunnah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, ketidak upayaan (ilmu) mereka dalam menghimpunkan antara hadith-hadith dan keengganan mereka merujuk kepada ijma qauli (perkataan) dan ijma’ fi’li (perbuatan) yang berlaku dari zaman para sahabat sehinggalah ke zaman kita ini, lalu mereka terus berhujah dengan hadith Sayyidatuna Aisyah…”[63]

Beliau seterusnya memberi komentar tentang golongan yang keras ini dengan katanya:

إِن لَمْ يَكُن مُسْتَنِدُ الأُمَّةِ فِعْلَ سَيِّدنَا عُمَرَ فَلِمَ تُؤَدِّي التَّرَاوِيحَ فِي جَمَاعَةٍ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ، وَكَأَنَّ هَؤُلاَءِ يَأْخُذُونَ مِن سُنَّةِ سَيِّدِنَا عُمَرَ جَمْعَ النَّاسِ عَلَى إِمَامٍ طَالَ الشَّهْرُ وَهُوَ مَا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَيَتْرُكُونَ عَدَدَ الرَّكَعَاتٍ وَيَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ يُطَبِّقُونَ السُّنَّةَ فَإِن كَانَ هَذَا صَحِيحًا، وَأَنتُمْ لاَ تلتفوا لِفعْلِ سَيِّدِنَا عُمَرَ فَيَجبُ عَلَيْكُمْ أَن تُصَلُّوا التَّرَاويحَ فِي الْبَيْتِ وَتَتْرُكُوا النَّاسَ يُطَبِّقُونَ دِينَ اللهِ كَمَا وَرَثُوهُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.

“Jika tidak berlaku sandaran umat kepada perbuatan Sayyiduna Umar, kenapakah umat Islam menunaikan Sholat Tarawih secara berjemaah di masjid di belakang seorang imam?[64]. Dan adalah mereka[65] itu seolah-olah mengambil salah satu sunah (perlakuan) Sayyiduna Umar umpamanya mengumpulkan orang ramai di belakang seorang imam (untuk sembahyang Tarawih) sepanjang bulan Ramadhan, sedangkan perkara ini tidak pernah dilakukan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم [66] dan mereka meninggalkan bilangan rakaat[67]. Mereka mendakwa bahawa mereka mengikut sunnah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم walau pun memang betul (jika mengikut sunnah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم sebab ia adalah ajaran Islam). Dan kamu[68] (jika) tidak memilih perbuatan Sayyiduna Umar, maka hendaklah kamu bersembahyang Tarawih di rumah[69] dan biarkanlah orang ramai mengikut agama Allah (Islam) seperti yang mereka warisi dari para ulama’ mereka. Tidak ada daya (meninggalkan maksiat) dan kekuatan (melakukan ketaatan) melainkan dengan kekuasaan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”[70]

Kesimpulan:

  1. Pendapat yang paling kuat tentang jumlah rakaat sholat Tarawih adalah 20 rakaat. Inilah yang dipilih oleh ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah [71] Ia telah menjadi ittifaq empat mazhab dan menjadi ijma’ di kalangan ulama’[72]. Walau bagaimana pun, kepada sesiapa yang melaksanakan Sholat Tarawih 8 rakaat (menjadi 11 termasuk 3 rakaat Witir), juga mempunyai asasnya.
  2. Hadith yang diriwayatkan oleh Sayyidatuna ‘Aisyah di atas lebih menunjukkan sunnahnya perlaksanaan sholat-sholat Sunat pada waktu malam (Nafilah Qiyam al-Lail) dan bukannya sunnahnya perlaksanaan Sholat Tarawih [73].
  3. Jumlah rakaat Tarawih ini hanyalah masalah furu’iyyah/ khilafiyyah yang tidak seharusnya menimbulkan bimbit-bimbit perpecahan di dalam masyarakat terutamanya masyarakat Islam di Malaysia yang sejak dahulu lagi sudah melaksanakan Sholat Tarawih dengan 20 rakaat.
  4. Pendapat yang mengatakan bid’ah (dhalalah) orang yang mengerjakan Sholat Tarawih lebih dari 8 rakaat atau “ia seperti menambah Sholat Zohor menjadi 5 rakaat”, adalah pendapat yang kurang cermat dalam beristidlal. Hendaklah kita sentiasa insaf dan menyedari kemampuan keilmuan diri sendiri di bandingkan dengan ketokohan, keluasan ilmu, kefahaman dan bashirah serta ketinggian ubudiyyah para ulama’ mu’tabar terdahulu dan sekarang.
  5. Bulan Ramadhan ialah bulan beramal yang seharusnya amal ubudiyyah ditingkat dan digandakan kerana ganjaran besar yang dijanjikan Allah. Secara zahirnya, tentulah semakin banyak amal kebajikan dibuat, maka semakin besarlah juga ganjaran pahalanya. Walau bagaimana pun, setiap amalan mestilah disertai dengan ikhlas.

Antara tulisan yang boleh dirujuk dalam masalah ini ialah Al-Mashabih fi Solah at-Tarawih [74], karangan Imam Sayuthi, Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih[75], karangan Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, Tahqiq Ahkam Ba’dh Ummahat as-Solawat an-Nafilah[76], karangan Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim, Al-Bayan lima Yasyghal al-Azhan[77], karangan Syaikh Ali Jum’ah dan Risalah Tentang Beberapa Soal Khilafiyah[78], H.M.H. Alhamid Alhusaini lain-lain.

Bagi mereka yang inginkan penjelasan lebih jelas tentang hadith Sholat Tarawih dan perbahasannya secara ilmiah dan mudah serta pendapat golongan yang mengharamkan lebih rakaat pada Sholat Tarawih dan jawapan kepada pendapat ini, bolehlah merujuk buku Tashhih Hadith Shalah at-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa Ar-Radd ‘ala Al-Albani fi Tadh’ifih (Membetulkan Hadith Sholat Tarawih 20 Rakaat dan Penolakan atas Al-Albani kerana Mendhaifkannya), karangan Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari, anggota Dewan Mufti (Dar al-Ifta’), Kerajaan Arab Saudi.

Notakaki:

1 – Jawapan ini dinukilkan sepenuhnya daripada buku Menjawab Persoalan Khilafiyyah, tulisan dan susunan Al-Faqir, Ustaz Muhadir bin Haji Joll. (Buku ini akan berada di pasaran sedikit masa lagi, InsyaAllah).
2 – sunat yang sangat dituntut untuk mengerjakannya bagi lelaki dan perempuan.
3 – Lihat Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih, Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, Jeddah, 1404H/1983M, ms. 38.
4 – Ibid, ms. 49-50.
5 – Lihat Lisan al-Arab, 1/615, perkataan: رَوَحَ rawaha.
6 – Lihat dalam Nail al-Author, 3/289.
7 – Muttafaq alaih dan An-Nasa’i.
8 – Riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
9 – Riwayat Al-Baihaqi, Ath-Thobrani dan Abd bin Humaid. Walau bagaimana pun, Imam Sayuthi mengatakan: “Hadith ini Dhaif jiddan (terlalu dhaif) tidak boleh digunakan untuk berhujah”. (Lihat Al-Mashabih fi Solah at-Tarawih di dalam Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah, Bogor: Ma’had az-Zain al-Makki al-Ali li at-Tafaqquh fi ad-Din, Cetakan Pertama, 1428H/2007M, ms. 172. Kitab Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah ini adalah susunan Syaikhuna, Al-Faqih Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki. Kitab berbahasa Arab ini setebal 592 muka surat. Syaikh Muhammad Nuruddin telah mengumpul dan menyusun sebanyak 15 buah risalah dan 25 buah perbahasan yang diambil dari kitab-kitab tulisan para ulama’ muktabar termasuklah Al-Allamah al-Imam Ibn Al-Mulqan (guru Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani), Imam Al-Hafiz Jalal ad-Din as-Sayuthi, Al-Allamah Yusuf ad-Dijwi, Al-Allamah Zahid Al-Kauthari, Al-Allamah Syaikh Ismail Uthman Zain al-Yamani dan Al-Allamah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki).
10 – As-Sunan al-Kubra, Al-Baihaqi, pada bab Apa yang diriwayatkan Tentang Bilangan Rakaat Qiyam pada Bulan Ramadhan, 2/496.
11 – Tashhih Hadith Shalah at-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa Ar-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih, karangan Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshari, ms. 7.
12 – Riwayat Al-Baihaqi. Imam Nawawi di dalam Khulashah mengatakan Isnadnya shahih.
13 – Riwayat Malik dalam Al-Muwaththo’.
14 – Ibn Qudamah di dalam Al-Mughni mengatakan bahawa ia diriwayatkan oleh Abu Daud.
15 – Lihat 40 Masalah Agama, K.H. Siradjuddin Abbas, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Jakarta, 1425H/ 2005M, 1/318.
16 – Surah Al-Hajj: 77.
17 – Riwayat Al-Bukhari.
18 – Sabil al-Muhtadin li At-Tafaqquh bi Amr al-Din, Al-Imam Al-Allamah Syaikh Muhammad Ahmad bin Abdullah al-Banjari, Thailand: Maktabah wa Matba’ah Muhammad al-Nahdi wa Auladih, t.t, 1/11.
19 – Riwayat Ibn Khuzaimah di dalam Shahihnya.
20 – Lihat 40 Masalah Agama, 1/324.
21 – 3/527.
22 – Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni hafizahullah ialah seorang ulama’ besar dan ahli tafsir yang sangat terkenal kerana ilmu dan wara’nya, dari Makkah. Beliau pernah menyandang jawatan Ketua Fakulti Syari‘ah di Universiti Umm al-Qura’, Makkah. Beliau mengarang banyak kitab terutamanya dalam bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) yang menjadi rujukan ulama’ seluruh dunia termasuklah Mukhtashar Tafsir Ath-Thobari, Mukhtashar Tafsir Ibn Kathir, At-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an, Shafwah at-Tafasir, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam dan Qabas Min Nur al-Qur’an. Beliau mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Al-Marhum, Al-Allamah Al-Muhaddith Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki semasa beliau masih hidup.
23 – Lihat Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih, Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, Jeddah, 1404H/1983M, ms. 54.
24 – Lihat Mughni al-Muhtaj, 1/226.
25 – Lihat Al-Mahalli, 1/217.
26 – Lihat Nihayah al-Muhtaj, 2/127.
27 – 1/360. Lihat juga di dalam I’anah ath-Tholibin, 1/265.
28 – 1/56.
29 – As-Solah ala al-Mazahib al-Arba’ah, Syaikh Abd al-Qadir Ar-Rahbawi, Al-Qahirah: Dar as-Salam, Cetakan Kedua, 1403H/1983M, ms. 169.
30 – Beliau adalah antara ulama’ besar Islam yang masih hidup pada zaman ini. Beliau mempunyai sanad keempat-empat mazhab. Beliau banyak menulis kitab-kitab yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan kesucian aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Antara gurunya yang masyhur ialah Al-Allamah al-Muhaddith, Syaikh Abdullah bin Ash-Shiddiq Al-Ghumari dan Al-Allamah al-Muhaddith al-Muhaqqiq Syaikh Abd al-Fattah Abu Ghuddah.
31 – ms. 265-266.
32 – 1/276.
33 – ms. 66.
34 – Ibid, ms. 73.
35 – Al-Mabsuth, As-Sarakhsi, 2/144.
36 – Bada’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani, 1/288.
37 – Radd al-Mukhtar ‘ala Ad-Durr al-Mukhtar yang dikenali dengan Hasyiah Ibn Abidin, 2/46.
38 – Asy-Syarh ash-Shaghir, Ad-Dardir, di tepinya ada Hasyiah Al-Allamah Ash-Shawi, 1/404-405.
39 – Al-Fawakih ad-Dawani, An-Nafrawi, 1/318-319.
40 – Al-Mughni, 1/456.
41 – Riwayat Malik dalam Al-Muwaththo’. Lihat Kasysyaf al-Qina’, Al-Bahuti, 1/425.
42 – Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih, ms. 70-71.
43 – 3/659. Lihat juga dalam Tashhih Hadith Shalah at-Tarawih ‘Isyrin Rak’ah wa Ar-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’ifih, ms. 13.
44 – Damasyq: Maktabah Dar al-Qalam, 1998, ms. 238.
45 – 40 Masalah Agama, 1/324.
46 – Ibid, 1/325.
47 – Mudir (Ketua), Yayasan Ihya’ at-Turath al-Islami, Doha, Qatar.
48 – Ia membawa maksud bahawa apa yang dilihat oleh Sayyidatuna ‘Aisyah sebanyak 13 rakaat itu ialah apa yang hanya dilihatnya di rumahnya dan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم mengerjakannya secara bersendirian, bukanlah seperti bilangan rakaat yang dikerjakan Baginda صلى الله عليه وآله وسلم secara berjemaah di masjid kerana Nabi صلى الله عليه وآله وسلم selalu mengerjakan sholat di masjid.
49 – Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih, ms. 8-9.
50 – Lihat Landasan Amaliyah NU, Lajnah Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama’, Jombang: Darul Hikmah, Cetakan Kedua, 2008, ms. 50.
51 – Semarang: C.V. Toha Putera, Cetakan Pertama, 1986M, ms. 219-224.
52 – Riwayat Muslim.
53 – Riwayat Muslim.
54 – Riwayat Muslim.
55 – Riwayat Muslim.
56 – Riwayat Muslim.
57 – Musnad Imam Ahmad.
58 – Kifayah al-Akhyar, tahqiq, takhrij dan ta’liq oleh Ali Abd al-Hamid Abu al-Khair dan Muhammad Wahbi Sulaiman, Bairut: Dar al-Khair, Cetakan Pertama, 1417H/1996M, ms. 112.
59 – 40 Masalah Agama, 1/319.
60 – ms. 24-40.
61 – Al-Bid’ah fi al-Mafhum al-Islami ad-Daqiq (Salah Faham Terhadap Bid’ah), Dr. Abdul Malik bin Abdur Rahman as-Sa’adi, terjemahan Muhammad Fadhli bin Ismail, Kuala Lumpur: Darul Nu’man, Cetakan Pertama, 2002M, ms. 193.
62 – Al-Bayan lima Yasyghal al-Azhan, Syaikh Ali Jum’ah, Al-Qahirah: Al-Maqthum, Cetakan Pertama, 1425H/2005M, ms. 265.
63 – Ibid, ms. 266.
64 – Umat Islam sejak dahulu lagi memang mengikut ijtihad Sayyiduna Umar ini. Sebab itulah mereka menunaikan Sholat Tarawih secara berjemaah di masjid-masjid.
65 – iaitu orang yang mengatakan menambah rakaat Tarawih lebih dari 8 rakaat adalah bid’ah (dhalalah)
66 – iaitu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tidak pernah melakukan atau menyuruh orang orang ramai bersembahyang Tarawih dengan dipimpin oleh seorang imam sepanjang bulan Ramadhan.
67 – iaitu tidak mengikut 20 rakaat seperti yang disuruh oleh Sayyiduna Umar.
68 – iaitu golongan yang membid’ahkan (dhalalah)orang yang sembahyang Tarawih 20 rakaat atau 36 rakaat
69 – Di sini ada dua maksud; pertama: kerana Nabi صلى الله عليه وآله وسلم selepas sembahyang Tarawih beberapa malam di masjid, Nabi صلى الله عليه وآله وسلم terus melaksanakannya hanya di rumah dan kedua: orang sedemikian seharusnya tidak membuat masyarakat Islam yang sudah beramal dengan panduan para ulama’ sejak dahulu lagi menjadi bingung kerana pendapat mereka (golongan ini) yang ganjil.
70 – Al-Bayan lima Yasyghal al-Azhan, ms. 266.
71 – Hukum-Hukum Islam Menurut Empat Mazhab, Kiyai Hj. Ab. Hamid Sulaiman, Selangor: Kunjungan Kreatif Sdn. Bhd., Cetakan Pertama, 1995, ms. 76. Lihat juga Al-Kalim ath-Thoyyib: Fatawa ‘Ashriyyah (Fatwa-fatwa Kontemporari), Syaikh Ali Jum’ah, terjemahan H. Hasanuddin Dolah, H. Ribut Hasanuddin Batubara dan H. Muhammad Zuhirsyam, Selangor: Berlian Publications Sdn. Bhd., Cetakan Pertama, 2008,1/51 dan Risalah Tentang Beberapa Soal Khilafiyah, ms. 201-224.
72 – Lihat seperti yang dinukilkan oleh Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni di dalam kitabnya Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih di atas.
73 – Lihat pendapat dari Syaikh Ali Jum’ah ini di dalam Al-Bayan lima Yasyghal al-Azhan, ms. 266.
74 – Lihat Rasa’il Hammah wa Mabahith Qayyimah, ms. 172-178.
75 – Al-Hady an-Nabawi ash-Shahih fi Solah at-Tarawih, Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, Jeddah, 1404H/1983M.
76 – Tahqiq Ahkam Ba’dh Ummahat as-Selawat an-Nafilah, Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim, ta’liq dan takhrij Mahy ad-Din Husain Yusuf al-Asnawi, Mishr: Dar Ihya’ at-Turath ash-Shufi, Cetakan Kelima, 2002M, ms. 50-58.
77 – Lihat Al-Bayan lima Yasyghal al-Azhan, ms. 265-270.
78 – ms. 201-218.

Artikel ini disiarkan dengan izinan dari penulisnya Ustaz Muhadir bin Haji Joll kepada al-Faqir Abu Zahrah. Dan bagi sesiapa yang inginkan artikel ini di dalam bentuk msword, sila emailkan al-Faqir.

Sekian,
al-Faqir Abu Zahrah
Taman Seri Gombak
6 Ramadhan 1430H / 27 Ogos 2009M

Bersambung ke bagian 2.

3 Musuh Islam Paling Berbahaya (Wahhaby – Syiah – Islam Liberal)

3 SEKAWAN BAHAYA

Pemikiran Wahhabiyah tidak sesuai diamal kerana dikhuatiri boleh pecah belah ummah
 
FELO Kehormat Institut Pemikiran dan Tamadun Islam Antarabangsa (Istac), Dr Muhammad Uthman El-Muhammady mendedahkan sejak kebelakangan ini aliran selain Ahli Sunnah Wal Jamaah seperti fahaman (Wahhabiy), Syiah dan Islam liberal mula menyerang negara menyebabkan sebahagian masyarakat terpengaruh.
 
 
Beliau yang menjadi ahli panel pada Wacana Ilmu bertajuk Ahli Sunnah Wal Jamaah anjuran akhbar Berita Harian dan Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (Yadim), baru-baru ini melahirkan kebimbangan (bahawa) masyarakat dan negara akan berdepan pelbagai masalah jika perkara (ini) tidak didedahkan. “Ramai yang mempertikaikan kita menggunakan kitab lama, kononnya tidak moden. (Mereka sebenarnya ingin memodenkan) masyarakat kepada aliran (pemikiran) Islam liberal. Kita bimbang jika masyarakat tidak didedahkan dengan fahaman yang betul mengenai Ahli Sunnah Wal Jamaah (pegangan Majlis Agama Negeri dan Fatwa Kebangsaan) nescaya kita akan berdepan pelbagai masalah termasuk boleh (memberi ancaman) kepada keselamatan negara,” katanya.
 
Ketika ditanya, Sejauh mana fahaman Syiah, aliran Wahhabiy dan Islam liberal mempengaruhi pemikiran umat Islam, Pengarah Bahagian Penyelidikan, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Razali Shahabudin berkata, sukar menafikan wujud segelintir umat Islam negara ini dipengaruhi unsur bertentangan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah dan amalan mazhab Syafi’ie. Beliau berkata, setakat ini JAKIM dengan kerjasama Jabatan Agama Islam Negeri (JAIN) serta pihak keselamatan melalui peruntukan undang-undang dan dasar kerajaan berjaya membendung penularan fahaman berkenaan. “Pelbagai tindakan pencegahan dilakukan JAKIM dan JAKIM bagi mengelakkan fahaman itu menjadi serius sama ada melalui fatwa dikeluarkan, majlis penerangan di pelbagai peringkat masyarakat dan tindakan undang-undang terhadap penganut fahaman berkenaan,” katanya.
Beliau berkata, fahaman Syiah dan Islam liberal bahaya terhadap umat Islam kerana alasan yang berbeza. Syiah diharamkan di negara ini melalui keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan pada 1996 berdasarkan percanggahan dengan akidah, syariah dan akhlak Ahli Sunnah Wal-Jamaah. Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan yang bersidang pada 3 Mei 1996 membuat keputusan menetapkan umat Islam di Malaysia hendaklah hanya mengikut ajaran Islam berasaskan pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah dari segi akidah, syariah dan akhlak. Memperakukan ajaran Islam yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah bercanggah dengan hukum syarak dan undang-undang Islam dan dengan demikian penyebaran apa-apa ajaran yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah dilarang. Antara penyelewengan yang dikenal pasti dalam ajaran Syiah ialah imam adalah maksum, khalifah diwasiatkan secara nas, menolak ijmak ulama, menolak qiyas dan mengamalkan nikah mutaah (dan banyak lagi penyelewengan).
Sementara fahaman Wahhabiyah pula tidak sesuai diamalkan di negara ini kerana dikhuatiri boleh membawa kepada perpecahan umat Islam. Itu adalah hasil daripada perbincangan beberapa kali pada Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan. Semua keputusan adalah menyekat penularan fahaman Wahhabiyyah atas alasan isu khilafiyyah fiqhiyyah yang dibangkitkan boleh menggugat perpaduan umat Islam di Malaysia. Bagaimanapun keputusan itu tidak memutuskan Wahhabiyyah sebagai ajaran sesat. Razali berkata, mengenai Islam liberal pula setakat ini tidak wujud mana-mana individu atau organisasi di Malaysia yang menubuhkan apa-apa kumpulan atas nama Islam liberal seperti berlaku di Indonesia.
 
 
 
Bagaimanapun katanya, wujud fenomena liberal dalam kalangan organisasi dan individu tertentu yang sentiasa dipantau serta dikaji oleh pihak berkuasa agama. Malah, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia kali ke-74 pada 25- 27 Julai 2006 membincangkan “Aliran Pemikiran Islam Liberal” dan memutuskan aliran itu adalah ajaran sesat dan menyeleweng daripada syariat Islam. “Antara kesesatan pemikiran itu ialah berpegang kepada konsep pluralisme agama, meragui ketulenan al-Quran, menggesa tafsiran baru konsep ibadat, mempertikaikan kredibiliti Nabi SAW dan mempertikaikan hukum-hakam yang muktamad,” katanya. Beliau berkata, ajaran sesat dan sebarang ajaran baru menyalahi tradisi Ahli Sunnah Wal Jamaah di negara ini yang berpegang kepada akidah Asya’irah-Maturidiyyah dan fiqh Syafi’ie, sudah tentu akan menimbulkan rasa kurang senang umat Islam.
 
Katanya, penyebaran ajaran sesat akan menggugat akidah serta syariah Islam sementara aliran seperti Wahhabiyyah boleh menimbulkan kekeliruan dan berakhir dengan krisis perpaduan jika tidak dibendung dan ditangani. Berdasarkan rencana Fahaman Wahabi Berasaskan Pemikiran Ibnu Taimiyyah di laman web Jakim bertarikh 19 Disember 2006, pada prinsipnya fahaman Wahabi membuat terjemahan serta tafsiran al-Quran dan hadis sebulat-bulatnya mengikut fahaman pemimpin mereka. Penerapan fahaman Wahabi di kalangan umat Islam di negara ini sejak berkurun lama berakar umbi dengan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah menimbulkan salah faham di kalangan umat Islam. Orang awam yang kurang mahir selok belok mazhab lebih baik bertaklid dengan pegangan mazhab sedia ada. Hakikatnya fahaman Wahhabiy tidak membawa pemikiran baru mengenai akidah. Mereka hanya mengamalkan apa yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah dalam bentuk yang lebih keras berbanding apa yang diamalkan Ibnu Taimiyyah sendiri. Perkembangan fahaman Wahabi dan penerapan mazhab lain dalam masyarakat Islam di negara ini tidak dapat dielakkan kerana kesan globalisasi ilmu di dunia hari ini.

Nota : Di edit dari wartawan : Hasliza Hassanhasliza@bharian.com.my
http://www.bharian.com.my/Tuesday/Agama/20090825013128/Article/index_html
25/08/09. Tulisan dlm kurungan adalah editan dari Tuan Blog.
 
Kesimpulan :
 
1) Fahaman Wahhabiy, Syiah dan Islam Liberal adalah bertentangan dengan Fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah di Malaysia. Kewujudan aliran ini bukan sekadar mengganggu-gugat keharmonian fahaman dan amalan, tetapi tindakan mereka yang ekstrem mampu mengancam keselamatan negara. Oleh itu, ianya perlu dibendung sehingga ke akar umbi.
 
 
2) Bersama kita semarakkan program Pemantapan Akidah di semua peringkat dalam mendedahkan penyelewengan yang terdapat pada fahaman ini supaya masyarakat jelas dgn fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah yang sebenar.
 
 
3) Tiba masanya undang-undang sivil dan syariah diperkasakan bagi tujuan mengawal kesucian akidah dan pematuhan kepada peraturan syarak dari dicemari oleh golongan ekstrem dan golongan yang tidak bertanggungjawab. Awas, TIGA SEKAWAN! Wahhabiy, Syiah dan Liberal, kami akan menggempur kamu! BERTAUBATLAH SEBELUM TERLAMBAT.

Institusi Fatwa Mesir untuk pemain bola sepak Mesir

Jawapan Bagi Soalan Ibnu Ali


Bila saya sebutkan mutu penulisan ilmiyah dan berita di dalam akhbar Malaysia tidak memuaskan, ada yang terasa hati. Mengapa perlu terasa? Saya cuma menyampaikan pandangan bukannya memaksa untuk orang ramai mengikut pandangan saya.Justify Full
Lebih menguatkan andaian saya ialah bilamana isu Darul Ifta’ Misriyyah(Institusi Fatwa Mesir) mengeluarkan kenyataan bahawa dibenarkan untuk pemain bola sepak kebangsaan Mesir berbuka puasa untuk perlawanan Kejohanan Remaja Dunia bawah 20 tahun.

Kalau penduduk di Malaysia hanya semata-mata membaca apa yang ada di dalam akhbar Malaysia maka sudah tentu akan berlaku syak wasangka terhadap para ulama kita yang terdapat di dalam Institusi Fatwa terkemuka tersebut.

Bila saya mengatakan mutu penulisannya teruk, jangan berasa hati lagi ye? Satu tohmahan yang sangat tidak berasas. Lain yang disebutkan oleh Darul Ifta’, lain pula yang dimaklumkan kepada dunia.

Setelah pulang daripada solat Tarawih dan kelas bersama Syeikhuna Murabbi Dr Yusri Rusydi hafizahullah, saya singgah sebentar membeli akhbar al-Khamis yang bertarikh 27 Ogos 2009.Tertarik dengan berita hadapan berkenaan “ Mengapa Habib Ali al-Jifri hafizahullah tidak pernah masuk ke Mesir sepanjang 7 tahun kebelakangan ini?”.Saya tergerak hati untuk membeli akhbar ini buat mengetahui berita selanjutnya tentang Sang Habib yang sangat dicintai ini. Alhamdulillah baru-baru ini sempat saya bertemu dengan Habib Ali al-Jifri hafizahullah secara bersemuka.Dua kali pertemuan dengannya benar-benar melahirkan kecintaan kepada ahli keluarga Baginda sallallahu alaihi wasallam.Terus terang saya katakan, melihat raut wajahnya sahaja boleh menyebabkan seseorang akan rasa cinta kepadanya.

Saya terfikir “ Ini baru cucunya, kalau Baginda sallallahu alaihi wasallam sendiri bagaimanalah agaknya? Mungkin saya akan terus pengsan jika melihat wajah Baginda sallallahu alaihi wasallam dek kerana cantik dan bercahayanya wajah Baginda sallallahu alaihi wasallam

Saya balik ke rumah dan meneliti satu persatu apa yang diceritakan di dalam akhbar al-Khamis tersebut.Tiba-tiba pandangan saya terpaku pada tulisan al-Alim al-Allamah Syaikhuna Dr Ali Jum’ah hafizahullah, Mufti Besar Kerajaan Mesir berkenaan fatwa pemain bola dibenarkan berbuka puasa. Ramai juga yang bertanyakan kepada saya persoalan ini, tetapi saya tangguhkan dahulu jawapannya sehinggalah saya bertanya sendiri dengan para ulama di sini. Alhamdulillah, saya telah temukan jawapannya pada hari ini.

Kata Syeikh al-Allamah Dr Ali Jum’ah hafizahullah menjawab kekeliruan orang ramai tentang perkara ini :

Seorang pemain bola sepak, terikat dengan kontrak yang dimeterai antaranya dengan kelab atau pasukan tersebut maka ianya dikira seorang yang dibayar gaji diatas pekerjaannya tersebut. Jika pemain yang telah mengikat kontrak ini hanya memperoleh sumber rezekinya daripada pekerjaannya sebagai pemain bola sepak, maka jika terdapat perlawanan yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan maka dibenarkan untuknya berbuka puasa untuk perlawanan tersebut jika mutu permainannya akan terjejas disebabkan berpuasa. Ini merupakan rukhsah kepada pemain tersebut kerana dia dianggap sebagai seorang pekerja yang dibayar gaji dan perkerjaannya akan terjejas jika pemain tersebut tidak bertenaga. Ini seperti yang disebutkan oleh ulama Hanafiyah di dalam kitab-kitab mereka, seseorang yang dibayar gaji di dalam tempoh tertentu (kontrak) maka dibenarkan untuknya berbuka puasa pada bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk berpuasa ketika melaksanakan kerjanya.(Maka pekerjaan kontrak sebegini termasuklah kepada pekerjaan sebagai pemain bola sepak).

Menurut al-Imam Ibn Abidin rahimahullah di dalam kitabnya “ Raddul Mukhtar a’la Durri al-Mukhtar” : ((Di dalam permasalahan kerja kontrak, jika pekerja tersebut masih terdapat pendapatan yang mencukupi untuk dirinya dan keluarganya ( selain pekerjaan yang memerlukan untuknya berbuka puasa pada bulan Ramadhan) maka diharamkan kepada pekerja tersebut untuk berbuka puasa pada Bulan Ramadhan.Tetapi jika dia tidak mempunyai pekerjaan yang lain selain pekerjaan tersebut untuk menampung perbelanjaan keluarganya, jika dengan disebabkan berpuasa tersebut menjejaskan mutu kerjanya maka dibenarkan untuknya berbuka.) dipetik secara ringkas.

Ini hanyalah untuk perlawanan yang terpaksa dibuat pada waktu siang yang menyebabkan seseorang pemain tersebut mungkin tidak akan bertenaga. Manakala untuk latihan, perlulah kepada jurulatih untuk membuat latihan pada waktu malam kerana ianya tidak akan menjejaskan ibadah puasa itu sendiri.Jika pihak pengurusan sebenarnya mampu untuk melaksanakan latihan pada waktu malam tetapi tidak dilaksanakan maka berdosa hukumnya.”

Sudah jelas lagi bersuluh, apa yang diterangkan oleh akhbar Malaysia amat bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Syeikh al-Allamah Dr Ali Jum’ah hafizahullah. Seolah-olah Darul Ifta membenarkan seorang pemain tersebut berbuka puasa pada waktu latihan sekalipun.Ini jelas satu pengkhianatan terhadap institusi agama berprestij ini.

Perlu diingat, para ulama kita yang berada di Darul Ifta adalah para ulama yang benar-benar jitu di dalam ilmunya. Kami yang berada di Mesir lebih mengenali mereka dari segi akhlak dan peribadi mereka berbanding orang yang menyampaikan berita secara tidak benar sebegini.

Kebanyakkan ulama di dalam Darul Ifta’ adalah guru-guru kami di Masjid al-Azhar al-Syarif. Kami sering bertemu mereka dan mengikuti kelas pengajian bersama mereka.Apa yang kami tahu, mereka adalah golongan yang benar-benar menjaga lidah daripada memperkatakan sesuatu hukum mengikut hawa nafsu. Setiap hukum yang dikeluarkan pasti ada sandarannya. Maka janganlah disebabkan terlalu mempercayai akhbar di Malaysia menyebabkan kita tertipu dan menjadi kurang beradab dengan para ulama yang bertaqwa ini.

Berhati-hati sebelum keluarkan pernyataan. Ingat tu!!

Mohd Nazrul Abd Nasir,
Al-Azhar University,
Kaherah Mesir

{ Dipetik daripada blog Dari Anjung Al Atrak

}