Tafsir ibnu katsir membungkam kaum dhohiriah (anti takwil) mujasimmah wahaby dan muktazillah (tuhannya dimana mana)

Aqidah islam : Allah ada tanpa tempat dan arah (Allah exist without place and direction)

quran surat al an'am ayat 3

 

 

 

Tafsir ibnu katsir membungkam kaum dhohiriah (anti takwil) mujasimmah wahaby dan muktazillah (tuhannya dimana mana)

Contoh pengggunaan Takwil dalam tafsir ayat mutasyabihat (al an’am ayat 3)

http://www.ibnukatsironline.com/…/tafsir-surat-al-anam-ayat…

——
Puak Mujassimah selalu mengatakan keberadaan Allah bertempat di langit menggunakan dalil Al-Quran :
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
Malah lebih teruk lagi mereka mengatakan Allah duduk diatas arasy sebagaimana seorang raja bersemayam diatas singgahsananya malah mengkafirkan sesiapa sahaja yang tidak mengatakan Allah duduk diatas arasy. Ini adalah Akidah batil lagi sesat malah Imam Syafie mengatakan kafir kepada mereka yang berkeyakinan Allah duduk diatas arasy.
Tetapi jika mereka berhujah begitu, terdapat banyak dalil yang menunjukkan Allah bukan di arasy dan bagaimanakah mereka mahu memahaminya, adakah mereka mahu mengatakan Allah sekejap di langit dan sekejap dibumi? Mari kita lihat ayat dibawah ini;
وَهُوَ اللهُ فِي السَمَواتِ وَ الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَ يَعْلَمُ مَا تَكْسِبُوْنَ.َ
Maksudnya: Dan Dialah Allah di langit mahupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahsiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengatahui apa yang kamu usahakan. (Surah al-An’am : 3)
Seandainya puak Mujassimah mengatakan wajib mengertikan nas-nas syara’ tentang sifat Allah secara zahir, sudah pastinya mereka akan merosakkan akidahnya sendiri, sebab zahir ayat ini mengandungi makna bahawa Allah itu berada di langit dan bumi, bukan hanya di langit saja sebagaimana akidah sesat mereka. Padahal tidak seorangpun dari umat Islam yang mengatakan bahawa Allah bertempat di langit dan di bumi. Maha Suci Allah dari bertempat di langit dan di bumi. Kerana itu, para ulama Islam, baik salaf (yang terdahulu) mahupun khalaf (yang mutakhir) tidak memahami ayat di atas secara zahirnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan para ulama tafsir sepakat menolak pemahaman kaum Jahmiyah yang mengatakan bahawa Allah Ta’ala berada pada setiap tempat dengan merujuk kepada ayat ini. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan setelah terjadi kesepakatan tersebut, para ulama tafsir berbeza pendapat dalam mentakwilnya, yang lebih sahih dari tafsir-tafsir itu adalah Yang diseru itu adalah Allah yang disembah, diesakan dan diakui ketuhanannya oleh makhluk-makhluk yang ada di langit dan di bumi.
(Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 215)

Bukti kaum mujasimmah (Ibnul Qayyim – al bani wahabi -tuwaijiri etc) berdusta atas nama imam al-Baihaqi

Kerap kali ditemukan bukti-bukti ulama wahabi melakukan penipuan dan kecurangan di dalam beristidal,berargumentasi dan berhujjah dalam kitab-kitabnya. Ada yang memelintir atau memanipulasi ucapan para ulama Ahlus sunnah untuk dipaksakan sesuai dengan keinginan nafsunya, ada yang mereduksi dan memotong ucapan para ulama, ada pula yang mendistorsinya bahkan berdusta atas nama Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat. Allah al-Musta’aan..

Saya tidak tahu apakah berdusta dan menipu itu diwajibkan dalam ajaran mereka atau memang mereka sengaja melakukan itu tanpa rasa takut kepada Allah sama sekali dalam dada mereka.

Berikut ini bukti kedustaan seorang ulama besar yang menjadi panutan dan rujukan kaum wahhabi-salafi, murid dari Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnul Qayyim yang telah dengan jelas melakukan kedustaan atas nama al-Hafidz al-Baihaqi :

Ibnul Qayyim mengatakan

“ Pendapat imam muslimin yang dijuluki Penerjemah lisan al-Quran yaitu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma: telah disebutkan oleh imam Baihaqi tentang firman Allah Ta’aala :

الرّحْمٰنُ  عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى

“ Ar-Rahman beristiwa di Arsy “ (QS. Thaha : 5)

Ibnu Abbasmenafsirkannya : “ Istaqarra / bersemayam “.[1]

 

Benarkah pengakuan Ibnul Qayyim tersebut ? Sekarang kita tengok langusng kitab al-Asmaa wa ash-Shifat imam al-Baihaqi, bagaimanakah komentar imam al-Baihaqi sendiri tentang riwayat sayyidina Abdullah bin Abbas tersebut ? kita simak scan redaksinya berikut :

“….Riwayat tersebut (yang mengatakan Abdullah bin Abbas menafsirkan istiwa dengan bersemayam) adalah mungkar …“.[2]

Imam al-Baihaqi memang menukil riwayat itu, tapi setelahnya beliau mengomentarinya bahwa riwayat itu mungkar dan tak layak dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. Namun kenapa oleh Ibnul Qayyim komentar beliau tersebut tidak diikut sertakan dalam nukilannya dikitabnya Ijtima’ al-Juyusy ?? seolah-olah imam Al-Baihaqi menerima riwayat tersebut, padahal beliau menolaknya. Dan nukilan Ibnul Qayyim ini banyak dinukil pula oleh ulama wahabi setelahnya.

Sikap curang seperti ini pun terwariskan oleh para ulama wahabi setelahnya, di antaranya syaikh at-Tuwaijari di dalam menukil kalam imam Ibnu Hajar tentang hadits Khalqi Adam, dalam kitabnya, at-Tuwaijari tidak jujur menampilkan ucapan al-Hafidz Ibnu Hajar secara lengkap sebagaimana dilakukan Ibnul Qayyim di atas, bahkan Albani pun mencela perbuatan at-Tuwaijari tersebut dan mengatakan ia telah memanipulasi ucapan Ibnu Hajar, dan Albani mengatakan bahwa bukan hanya di situ saja at-Tuwaijari melakukan penipuan dan kecurangannya bahkan di kitab-kitab lainnya pun tidak lepas dari penipuan, perhatikan ucapan Albani tersebut :

“ Dalam kesempatan ini aku katakan : Sungguh telah berbuat buruk syaikh at-Tuwaijari terhadap akidah dan sunnah yang sahih secara bersamaan dengan karya tulisnya yang ia namai “ Aqidah ahli iman fii khlaqi Adam ‘alaa shuratir Rahman “, karena akidah itu tidak boleh kecuali harus dengan hadits yang sahih..” kemudian Albani mengatakan setelahnya : “ Bagaimana at-Tuwaijari mensahihkan hadits itu, sedangan ia tahu bahwa Ibnu Luhai’ah adalah seorang rawi yang dhaif, dsamping itu at-Tuwaijari telah mendistorsi tautsiqnya (pada halaman 27) walaupun dengan merubah ucapan para ulama hafidz hadits dan memotong ucapa mereka. Dia (at-Tuwaijari) berkata : “ Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam kitab at-Taqrib : “ Dia adalah shaduq “, sedangkan di tidak menampilkan ucapan Ibnu Hajar secara lengkapnya berikut : “ Ia mengalami kesalahan setelah kitabnya terbakar, sedangkan riwayat Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahb lebih adil lainnya “, Hadits ini bukanlah dari riwayat salah satunya, apa yang pantas disebut bagi orang yang menukil ucapan secara sepotong-potong dan menyembunyikan sebagian yang lainnya ? perbuatan at-Tuwaijari semacam ini sangat banyak tidak cukup menjelaskannya di ta’liq ini “.[3]

Demikianlah para ulama wahabi melakukan kecurangan dan penipuannya mulai dari ulama terdahulunya yang menjadi panutan di kalangan wahabi hingga sampai ulama kontemporernya, demi menyebarkan doktrin menyimpangnya. Naudzu billahi min dzaalik…

Semoga kita selalu istiqamah menjalankan manhaj para ulama salaf dan memberantas bid’ah-bid’ah dholalah para pelaku bid’ah seperti wahabi, syi’ah dan lainnya..

Ibnu Abdillah Al-Katibiy

Kota Santri, 30-04-2013

[1]  Ijtima’ al-Juyusyal-Islamiyyah, Ibnul Qayyim : 2/249, edisi tahqiq Dr. ‘AwadAbdullah, cetakan pertama, tt; 1988 M.

[2]  Al-Asmaa wa ash-Shifat, imam al-Baihaqi : 383, maktabah al-Azhar li at-Turats

[3]  Sahih al-Adab al-Mufrad , Albani : 375

Bukti Fitnah Wahabi (syaikh muqbil wahabi ) kepada Imam ahlusunnah Imam Hanafi attabi’in – Muqbil katakan Imam hanafi berbahaya bagi umat islam

Seorang imam panutan kaum muslimin, seorang imam besar madzhab dari 4 madzhab, seorang ulama salaf yang sangat agung, tidak luput menjadi sorotan, hujatan dan cacian oleh wahabi-salafi si manhaj salaf palsu atas nama jarh wa ta’dil.

Imam Abu Hanifah adalah seorang jahmi, penyembah berhala, paling bahanya manusia bagi umat Islam (Di tulis oleh syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i)

Dalam salah satu karya Muqbil bin Hadi yang berjudul Nasyru ash-Shahifah fi dzikri ash-Shahih min aqwal aimmatil jarh wat ta’dil fi Abi Hanifah (artinya : Membeberkan lembaran tentang menyebutkan ucapan-ucapan sahih dari para imam jarh wa ta’dil terkait Abu Hanifah)

Sampul kitab :

Di kitab itu Muqbil bin Hadi menampilkan riwayat para imam yang mencaci imam Abu Hanifah, di antaranya :

Makna yang saya garis bawahi :

” Imam Abu Hanifah berkata : ” Seandainya seseorang menyembah sandal ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka aku berpendapat tidak apa-apa “,

” Apakah Abu Hanifah seorang jahmi ? Abu Yusuf menjawab : iya, dia seorang jahmi “.

Dalam pandangan syaikh Muqbil, imam Abu Hanifah telah membolehkan menyembah sandal untuk bertaqarrub kepada Allah, naudzu billahi min dzaalikal kidzb…

Dan dalam pandangannya, imam Abu Hanifah seorang jahmi.

Dalam halaman lainnya, syaikh Muqbil menukil :

” Tidak ada seorang anak yang dilahirkan di Kufah yang lebih berbahaya bagi umat selain Abu Hanifah “.

Di halaman lain, Muqbil menukil :

” Abu Hanifah diminta bertaubat berulang-ulang karena ucapan zindiqnya”.

===============

Hebat, Muqbil lebih memilih riwayat-riwayat palsu yang menjelaskan cacian para imam kepada imam Abu Hanifah ketimbang riwayat sahih dan jelas yang memuji kepribadian imam Abu Hanifah.

al-Hafidz Abu Nu’aim berkata :

حدثنا محمد بن إبراهيم بن علي ، قال: سمعت حمزة بن علي البصري يقول: سمعت الربيع يقول: سمعت الشافعي يقول:«الناس عيال على أبي حنيفة في الفقه». وقال حرملة بن يحيى: سمعت محمد بن إدريسالشافعي يقول: «من أراد أن يتبحر في الفقه، فهو عيال على أبي حنيفة». قال: و سمعته-يعني الشافعي- يقول: «كان أبو حنيفة ممن وفق له الفقه

” Telah menceritakan padaku, Muhamamd bin Ibrahim bin Ali (Abu Bakar al-Aththar, tsiqah), berkata : Aku mendengar Hamzah bin Ali al-Bashri berkata : ” Aku telah mendengar Rabi’ berkata : Aku telah mendengar imam Syafi’i berkata : ” Manusia butuh terhadap fiqih imam Abu Hanifah “. Harmalah bin Yahya berkata : ” Aku mendengar imam Syafi’i berkata : Barangsiapa yang ingin mendalami ilmu fiqih, maka ia butuh kepada imam Abu Hanifah “. Ia berkata : ” Aku mendengar imam Syafi’i berkata : ” Imam Abu Hanifah adalah orang yang termasuk diistimewakan dalam fiqih “.

Ad-Dzahabi berkata :

كلامأبي حنيفة في الفقه أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل

” Ucapan imam Abu Hanifah tentang fiqih lebih lembut dari gandum, tidak mencelanya kecuali orang bodoh “. (Siyar a’laam an-Nubala : 6/404)

Al-Hafidz Ibnu Katsir :

الإمامأبو حنيفة… فقيه العراق، وأحد أئمة الإسلام، والسادة الأعلام، وأحد أركانالعلماء، وأحد الأئمة الأربعة أصحاب المذاهب المتبوعة، وهو أقدمهم وفاة

” Imam ABu Hanifah, seorang ahli fiqih Iraq, salah satu imam Islam, pemimpin yang alim, salah satu rukun ulama, salahs atu imam madzhab yang dikuti, dan paling dahulu wafatnya ” (Al-Bidayah : 10/110)

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :

كانأبو حنيفة أفقه أهل الأرض في زمانه

” Imam ABu Hanifah, seorang yang paling mengerti ilmu fiqih di muka bumi ini pada zamannya “. (al-Faqih wal mutfaqqih : 2/73)

Muhammad bin Muzahim berkata :

ابن المبارك أيضاً: «لولاأن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس

” Ibnu Mubarak juga mengatakan :” Seandainya Allah tidak membantuku dengan perantara Abu Hanifah dan Sufyan, maka aku sama seperti manusia lainnya “.

Bukti Aqidah islam (Allah ada tanpa tempat dan arah): Imam al-Baqilani (403 H) scan kitab al inshof

Semua pribadi punya hak untuk berpendapat, seperti hal nya Salafi Wahabi, mereka pun boleh-boleh saja berpendapat yang bahkan sangat berbeda dan terasing dari pendapat mayoritas, mereka juga punya Ulama rujukan sendiri, mereka punya ahli Hadits sendiri walaupun belum sampai pada tingkat Muhaddits terdahulu dan bahkan sangat jauh di bawah nya, mereka juga punya Mujtahid sendiri walau pun sangat tidak mencukupi syarat-syarat Ijtihad, tidak mengapa karena itu hak mereka, namun ketika pemahaman merekamenyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan mereka masih mendakwahkan kesesatan mereka atas nama Islam, dan celaka nya lagi mereka menjarah atribut-atribut Salaf danbendera-bendera Tauhid untuk menaungi dan menyembunyikan sekaligus melegalisasi kesesatan dan kekeliruan mereka, maka kewajiban atas semua muslim untuk meluruskan pemahaman mereka dan mengajak mereka kembali ke jalan nya para Ulama selaku pewaris Nabi, dan jauh lebih mengerti tentang Al-Quran dan As-Sunnah.

Kesalah-pahaman mereka dalam menyikapi Manhaj Salaf atau memang sebuah kesengajaan, akibatnya mereka terjerumus dalam kesesatan-kesesatan yang mereka agung-agungkan, gegabah dalam menentukan sikap justru menjadi musibah dan bahaya besar dalam akidah mereka sendiri, Salaf yang mereka bela mati-matian ternyata bukan Salaf yang Ahlus Sunnah, tapi mereka meneruskan akidah Musyabbihah Salaf yakni orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dan akibat kesalahan besar ini, mereka mengkafirkan Manhaj Asy’ari dan Maturidi yang mereka nilai telah menyalahiManhaj Salaf, sementara mereka melupakan akidah mereka sendiri yang ternyata jauh telah menyimpang dari akidah Salaf, salah satu bukti bahwa akidah Salafi Wahabi adalah termasuk dalam kategori akidah Musyabbihah[menyerupakan Allah dengan makhluk] adalah sebagaimana dituliskan oleh Imam al-Baqilani dalam Kitab al-Inshaf – halaman 39-40, namun sebelumnya perlu diketahui bahwa Imam al-Baqilani yang bernama lengkap Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani, beliau wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad, beliau hidup jauh sebelum munculnya dakwah Salafi Wahabi, bahkan jauh sebelum Syaikh Ibnu Taymiyah, maka apa yang dituliskan oleh Imam al-Baqilani tidak ada unsur kebencian atau lain sebagainya.

Imam al-Baqilani menuliskan :

ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه ، فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفاتالـمحدثات ، وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود ، لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواًأَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4] ، ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian, maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itumaha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha suci dari bersifat dengan sifat yang baharu [sifatmakhluk], dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiridan tidak dengan duduk, karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QSasy-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4], dankarena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari pada demikian.[Lihat Kitab al-Inshaf – halaman 39-40].

Perhatikan scan kitab di bawah ini :

Keterangan :

ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian”

Maksudnya : Wajib diketahui oleh semua orang agar ia tidak salah sangka terhadap Allah dan sifat-sifat Nya, bahwa apapun yang menunjuki atau berujung pada baharu dan kekurangan, maka itu tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, karena Allah maha suci dari baharu dan kekurangan, baik pada zat atau sifat-Nya, Allah maha sempurna sifat dan zat-Nya sejak azali sebelum ada apapun, maka segala yang datang setelah nya tidak boleh dinisbahkan bagi-Nya, karena itu semua adalah menjadi kebaharuan bagi keazalian-Nya dan kekurangan bagi kesempurnaan-Nya.

فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفات الـمحدثات

“maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itu maha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha sucidari bersifat dengan sifat yang baharu [sifat makhluk]”

Maksudnya : karena itu, Allah tidak berada di salah satu arah pun, tidak boleh dikatakan Allah berada di atas ‘Arasy atau di atas langit, dan tidak boleh dikatakan di arah lain nya, apalagi mengatakan zat Allah berada di semua arah atau dimana-mana, dan tidak bersifat dengan sifat makhluk, sifat makhluk juga makhluk, semua sifat-sifat tersebut bila disifatkan kepada Allah ta’ala, maka akan menunjuki dan melazimi kepada baharu dan kekurangan bagi Allah. Sedangkan sifat-sifat Allah yang datang dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang secara terjemahan nya menunjuki kepada baharu dan kekurangan bagi Allah, maka wajib dita’wilkan kepada makna lain yang sesuai dengan keazalian dan kesempurnaan Allah ta’ala, baik dengan Ta’wil Ijmali sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Salaf atau denganTa’wil Tafshili sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Khalaf.

وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود

“dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiri dan tidakdengan duduk”

Maksudnya : Allah juga tidak boleh dikatakan bersifat dengan berubah dari sebelum adanya ‘Arasy misalnya, atauberpindah setelah ada langit misalnya, atau dengan sifat berdiri atau duduk, karena itu semua adalah sifat-sifat makhluk yang baru ada sejak diciptakan nya makhluk, adanya makhluk tidak berpengaruh apapun terhadap Allah, Allah ta’ala dan sifat-Nya ada sebelum adanya makhluk, dan Allah ta’ala tetap atas sifat kesempurnaan dan keazalian-Nya setelah adanya makhluk.

لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4]

“karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QS asy-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4]”

Maksudnya : semua yang telah disampaikan oleh Imam al-Baqilani bukan atas dasar analogi semata atau ilmu kalam yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi semua itu berdasarkan naqli firman Allah Surat asy-Syura  ayat 11 dan Surat al-Ikhlash ayat 4, dari dua ayat inilah Imam al-Baqilani menjelaskan bahwa Allah tidak bersifat dengan berubah, berpindah, berarah, duduk dan sebagainya, karena sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat makhluk.

ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“dan karena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari padademikian”

Maksudnya : Dalil aqli nya adalah karena sifat tersebut menunjukkan atas baharu, sedangkan Allah maha suci dari sifat yang baharu, menetapkan sifat baharu bagi Allah, maka Allah akan ikut baharu dari keazalian dan kesempurnaan-Nya, maha suci Allah dari segala sifat makhluk.

Dari penjelasan Imam al-Baqilani dapatlah dilihat dengan nyata kesesatan dan kesalah-pahaman Salafi Wahabi, sungguh pada sifat-sifat yang diyakini oleh Salafi Wahabi terdapat Tasybih Allah dengan makhluk-Nya, Salafi Wahabi telah nyata-nyata mensifatkan Allah dengan sifat makhluk atau menetapkan makhluk pada zat Allah, dan itulah Tasybih yang dilarang dalam Al-Quran di surat yang tersebut di atas.

Itulah dasar Tauhid yang hendaknya dipegang erat-erat oleh siapa pun yang ingin mempelajari Tauhid, agar tidak tidak mudah goyah ketika diterpa syubhat-syubhat Tauhid, dan agar tidak salah sangka dalam memahami sifat-sifat Allah yang tidak serupa dengan sesuatu pun, tanpa dasar Tauhid yang kokoh, maka siapa pun akan mudah tergoda dan terpana dengan aliran-aliran sesat yang memakai atribut-atribut Tauhid dan bendera dua kalimat syahadat.

Wallahul muwaffiq.

Tafsir yang bernama Abu Hayyan al Andalusi : kesesatan aqidah tajsim ibnu taymiyah

 
Disediakan oleh;
Abu Lehyah Al-Kelantany

 

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 

 

الحمدلله رب العالمين, مكون الأكوان, مدبر الأزمان, الموجود أزلا وأبدا بلاكيف ولاجهة ولامكان , والصلاة والسلام على محمد سيد الأنبياء والمرسلين, وعلى ءاله الطاهرين وصحابته الطيبين, اما بعد

 

 

Abu Hayyan al-Andalusy al-Nahwiyyu al-Mufassiru al-Muqri-u Menegaskan dalam kitab tafsirnya al-Nahr al-Mad satu ungkapan yang berbunyi :

 

 

“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”[4].

Read more: http://www.sarkub.com/2012/pernyataan-ibn-taimiyah-bahwa-allah-duduk/#ixzz25hB6faSg

 

Nukilan Abu Hayyan Al-Andalusi ini berkemungkinan tidak terdapat dalam sesetengah cetakan kerana sengaja dibuang oleh sesetengah pihak. Akan tetapi manuskip ( tulisan tangan beliau sendiri ada dengan penulis) tetap membuktikan bahawa nukilan Abu Hayyan Al-Andalusi tadi sabit. Antara sebab mereka membuangkan nukilan ini dalam cetakan mereka ialah sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Zahid al-Kautsary pada taa’liq bagi kitab Al-Shoif al-Shoqil : ” Dan telah dikhabarkan kepadaku oleh editor cetakan di tempat percetakan As-Sa’adah bahawa dia terkejut sangat, lalu dibuangnya nukilan tersebut ketika mencetakkannya supaya tidak disibukkan oleh musuh-musuh agama. Dan menjadi harapanku untuk memasukkannya kembali nukilan tadi disini supaya diambil faedah dan menjadi nasihat kepada umat Islam sejagat”.

 

 

Mari kita lihat pula di dalam kitab Ibn Taymiyah al-Harrany..jum..

 

 

 

Dalam kitab Majmuk Fatawa Jilid 4 m/s 374, Ibn Taymiyah Al-Harrany yang yang menjadi pujaan kepada Muhammad Abdul Wahhab, kuncu-kuncunya, dan Wahhabiyyah Mujassimah mengatakan :

إن محمدًا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه

Akidah yang kufur ini bermaksud:

“Sesungguhnya Muhammad Rasulullah, Tuhannya mendudukkannya diatas arasy bersamaNya”.

 

Lihatlah mereka yang mempunyai akal yang sihat penipuan Ibn Taymiyah ini.. Sekejap cakap Allah duduk atas Al-arasy, sekejap cakap Allah duduk atas Al-kursi . Yang mana satu???!! Padahal telah sabit hadits bahawa Al-Kursi dinisbahkan dengan Al-Arasy dari sudut saiznya seperti sebentuk cincin yang bulat di tanah yang amat luas dan lapang. Bagaimana orang yang mempunyai akal yang sihat boleh menerima pentashbihan dan penajsiman terhadap Allah taala ini?? …na’uzubillah min syarrihim.Lebih menjijikkan lagi akidah Ibn Taymiyah al-Harrany ini dan membawa kepada tajsim yang lebih jelas bila mana beliau meletakkan pergantungan akidahnya kepada pandangan mujassim yang telah wujud dizaman salaf iaitu Othman Al-Darimi, dalam kitab Bayan Talbis al-Jahmiyah jilid 1 m/s 068 :

” Seandainya sesungguhnya Dia (Allah) kehendaki, nescaya dia boleh menetap di atas belakang nyamuk,lalu terangkat dengan kekuasaanNya dan kelembutan RububiyahNya, maka bagaimana pula di atas Arasy yang besar, lebih besar dari langit dan bumi?”..

Penulis menjawab : Subhanaka haza buhtanun adhzim..Perlu juga berhati-hati bila membaca kitab “Mafahim Yajibu ‘an Tusohhah” kerana terdapat unsur-unsur mempertahankan Ibn Taymiyah Al-Harrany dan Muhammad Abdul Wahhab dan juga pengarang kitab tersebut menamakan mereka (Ibn Taymiyah dan Muhammad Abdul Wahhab) berdua sebagai Syeikhul Islam..wal’yazubillah..Golongan wahhabi juga banyak menggunakan kitab ini sebagai hujah untuk mengatakan kata-kata Ibn Taymiyah Dan Muhammad Abdul Wahhab sebagai tidak sabit. Padahal ini adalah dusta dan bohong kerana penstasybihan dan pentajsiman sememang wujud di dalam kitab-kitab mereka dan diiktifar oleh mereka sendiri. Seterusnya akidah tashbih dan tajsim ini diambil pula oleh anak-anak murid mereka seperti Ibn Qayyim al-Jauziyyah, cucunya Abdur Rahman Bin Hasan bin Muhammad Bin Abdul Wahhab, kemudian Bin Baz, soleh Utsaimin dan berlambak lagi. Perkara tersebut sebenarnya tidak diingkari oleh golongan Al-Wahhabiyah..

 

Siapakah Abu Hayyan al-Andalusy ?

Beliau ialah Pakar Lughah (bahasa) yang masyshur, Pakar Tafsir, yang terkenal dengan karyanya al-Bahrul Al-Muhith. Kitab Al-Nahr al-Mad merupakan ringkasan beliau ke atas kitab al-Bahrul Al-Muhith.

Jawapan kepada Syubuhah wahhabi ;

Jika dibawa kenyataan Abu Hayyan Al-Andalusi memuji Ibn Taymiyah Al-Harrany, ketahuilah itu adalah sebelum beliau mengetahui Ibn Taymiyah mencela dan menghentam Sibaweh, seorang ulamak Lughah yang amat masyhur. Bilamana Ibn Taymiyah mendakwa Sibaweh bercanggah dengan Kitabullah (al-Quran) dalam banyak permasalahan (konon-konon dialah “sibaweh” yang sebenar) sedangkan Abu Hayyan al-Andaslusi pula adalah antara orang yang amat menyukai Sibaweh. Selepas diketahui hal keadaan tersebut Abu Hayyan Al-Andalusi terus menglaknat Ibn Taymiyah Al-Harrany sehinggalah beliau meninggal dunia pada 754 H. Rujuk kitab Ad-Durarul Kaminah karya tulisan al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolany.

Disediakan oleh;
Abu Lehyah Al-Kelantany
0133005046

 

Bukti (scan kitab) Pemalsuan Kitab Minhajussunnah annabawiyah (Ibnu Taymiyah) yang menafikan arah bagi Allah

Lenyapnya Teks Ibnu Taymiyyah Yang Menafikan Arah Bagi Allah

TIDAK HANYA AL-ASY’ARI, TEKS IBN TAIMIYYAH PUN LENYAP

Semoga kesalahan ini hanya kesalahan dipercetakan, bukan unsur kesengajaan. Dan semoga bermanfaat bagi ikhwah Salafi maupun ikhwah sarungan/tradisional dapat mengambil manfaat. Dan selalu memunculkan sikap kritis dan teliti dalam membaca Karya Para Ulama. Di bagian akhir catatan ini dicantumkan munaqasyah dengan perkataan Imam Abu Khanifah, Imam Sufyan Ibn ‘Uyainah, Imam Hammad Ibn Zaid, al-Hafizh Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hafizh al-Khithabi, Imam Abu Muhammad al-Muzni (guru Imam al-Hakim), al-Hafizh al-Baihaqi dan al-Hafizh Ibn al-Jawzi.

Bermula dari bolak-balik buku karya Ibn Taimiyyah di kamar asrama; Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, guna mencari bahan tugas akhir kuliah. Kejanggalan teks tiba-tiba terasa, pertama antara pembahasan sebelumnya agak terasa rancu dan tidak selaras dengan pembahasan setelahnya, kedua antara kata sebelum dengan sesudah terjadi jarak yang agak mencolok. Minhaj al-Sunnah ini adalah milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.

Rasa penasaran itu membawa hasrat untuk memastikan hal ini. Sorenya langsung berangkat ke Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Akhirnya kitab yang sama ditemukan, namun dengan cetakan berbeda. Cetakan yang dimiliki perpustakaan Darussunnah adalah Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah (sama dengan cetakan al-Ibanah yang kehilangan teks) 2 jilid font kecil, sementara yang dimiliki UIN adalah cetakan Mu’assasah Qurthubi 8 jilid font besar.

Sedikit rumit melakukan pencarian lantaran daftar isi tampil beda antara dua cetakan. Alhamdulillah hal yang dicari ditemukan. POSITIF, dengan perbandingan dua kitab, ternyata teks itu betul-betul hilang. Dengan analisa awal barangkali teks itu tidak banyak, namun fakta berkata lain.

Teks yang hilang (Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat -arah-) dalam kitab Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah (dengan Hâmisy Bayân Muwâfaqah Sharîh al-Ma‘qûl li Shahîh al-Manqûl), cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz.1, hal.217, (teks yang benar-benar panjang untuk dilenyapkan mencapai 210 kata, 833 huruf), na‘ûdzu billah;

Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah. Milik Perpustakaan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.

Perhatikan Baris Ke Tiga Dari Atas (teks yang di dalam), dilingkari pensil. Di situlah posisi lenyapnya teks, antara kata عال عليهdan kata وإذا كان

Teksnya sebagai berikut;

ونفاة لفظ الجهة يذكرون من أدلتهم أن الجهات كلها مخلوقة وأنه كان قبل الجهة وأنه من قال إنه في جهة يلزمه القول بقدم شيء من العالم أو أنه كان مستغنيا عن الجهة ثم صار فيها وهذه الأقوال ونحوها إنما تدل على أنه ليس في شيء من المخلوقات سواء سمى جهة أو لم يسم وهذا حق، فإنه سبحانه منزه عن أن تحيط به المخلوقات أو أن يكون مفتقرا إلى شيء منها العرش أو غيره ومن ظن من الجهال أنه إذا نزل إلى سماء الدنيا كما جاء الحديث يكون العرش فوقه ويكون محصورا بين طبقتين من العالم فقوله مخالف لإجماع السلف مخالف للكتاب والسنة كما قد بسط في موضعه وكذلك توقف من توقف في نفى ذلك من أهل الحديث فإنما ذلك لضعف علمه بمعانى الكتاب والسنة وأقوال السلف، ومن نفى الجهة وأراد بالنفي كون المخلوقات محيطة به أو كونه مفتقرا إليها فهذا حق، لكن عامتهم لا يقتصرون على هذا بل ينفون أن يكون فوق العرش رب العالمين أو أن يكون محمد صلى الله عليه وسلم عرج به إلى الله أو أن يصعد إليه شيء وينزل منه شيء أو أن يكون مباينا للعالم بل تارة يجعلونه لا مباينا ولا محايثا فيصفونه بصفة المعدوم والممتنع وتارة يجعلونه حالا في كل موجود أو يجعلونه وجود كل موجود ونحو ذلك مما يقوله أهل التعطيل وأهل الحلول.

Teks ini terdapat dalam cetakan Mu’assasah Kordoba, cet.1, vol.1, hal.189.

Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Cetakan Mu’assasah Qurthubi

Teks yang diberi garis adalah teks yang lenyap

Teks yang diberi garis adalah teks yang hilang…

“Kalangan yang menafikan lafaz al-Jihah (arah penjuru) menyebutkan -berdasarkan dalil-dalil mereka- bahwa semua al-Jihât (arah penjuru) adalah makhluk, sementara Allah telah ada sebelum adanya al-Jihah. Dan orang yang mengatakan bahwa Allah berada pada Jihat, sama artinya bahwa bagian dari alam ini ada sesuatu yang Qadîm (karena Jihat adalah Makhluk/Hâdits), atau pada sisi lain dia mengatakan bahwa Allah sebelumnya tidak butuh Jihat yang kemudian Dia berjihat (hal ini sama dengan mengatakan Allah akan eksis bila ada Jihat, tentunya ini Bathil). Ungkapan-ungkapan ini dan lain sebagainya mengindikasikan bahwa Allah tidak berada pada sesuatupun (ليس في شيئ) daripada makhluk-Nya, baik dengan menyebutkan Jihat atau tidak, INI BENAR. Karena Allah subhanahu wa ta‘ala tidak diliputi oleh makhluk dan tidak membutuhkannya seumpama ‘Arasy atau selainnya (seperti langit, kursi). Jika ada kalangan tak terdidik mengira bahwa apabila Allah Nuzûl ke langit dunia -sebagaimana terdapat dalam hadis- lalu ‘Arasy berada di atas-Nya dan Dia berada di antara dua komponen alam (di antara langit dan ‘arasy, atau di antara bumi dan ‘arasy), maka dia telah menyelisihi konsensus kalangan salaf, al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagaimana telah tertera di tempat (pembahasannya). Begitu juga sebagian ahli hadis ada yang bersikap tawaqquf dalam menafikan Jihat, hanyasaja hal itu lantaran tidak begitu mengetahui makna-makna al-Qur’an, al-Sunnah, dan statemen-statemen kalangan salaf (Allâhu A‘lam apa yang dimaksudkan oleh Ibn Taimiyyah dengan statemen ini bahwa ahli hadis tidak mengetahui). Dan orang yang menafikan Jihat dan bermaksud menafikan Allah diliputi oleh makhluk atau menafikan bahwa Allah membutuhkannya, MAKA INI ADALAH BENAR. Namun ada kalangan yang menafikan Jihat, tidak mencukupkan sampai disini (seperti Mu‘atthilah Mu‘tazilah), bahkan (secara muthlak) mereka menafikan fawqiyyah Tuhan semesta alam atas ‘Arasy, menafikan mi‘rajnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada-Nya, atau naik atau turunnya sesuatu dari-Nya (seperti turunnya rahmat), atau di antara mereka ada yang menafikan keberadaan Allah Mubâyinan terhadap alam, bahkan terkadang mereka menjadikan Allah tidak Mubâyin/Muhâyits (Mufâriq -al-Mu‘jam al-Wasîth- atau Muqâbil *berhadapan), sehingga mereka mensifatinya dengan sifat ketiadaan dan kemustahilan. Dan terkadang ada yang menjadikan-Nya menempati segala yang mawjûd (seperti al-Murji’ah), atau mereka menjadikan Allah sebagai wujud dari segala wujud (seperti al-Muttahidah) dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan Ahl al-Ta‘thîl dan Ahl al-Hulûl”.

*Begitulah bagaimana Ibn Taimiyyah membenarkan penafian Jihat dari Allah, karena konsekuensi Jihat adalah keberadaan Allah diliputi oleh alam, karena jika Allah berjihat, sementara jihat adalah makhluk ciptaannya, maka ini adalah hulul, yaitu Allah berada pada jihat. Atau dengan ungkapan agak menipu logika seperti pada Azali Allah tidak berjihat, lalu setelah Dia menciptakan makhluk maka Dia berjihat. Benarlah apa yang diungkapkan Abu Ja‘far al-Thahawi;

لا تحويه الجهات الست

(Allah tidak diliputi enam penjuru; atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri).

Manakala Allah bersifat Baqâ’ (kekal), maka segala sifat-Nya pun turut kekal tanpa berubah Min Bidâyatin Lâ Awwala Lahâ ilâ Nihâyatin Lâ Âkhira Lahâ. Sementara ada kalangan yang menganggap hal ini tidak logis dan sama saja mengatakan Allah itu tiada, karena semua wujud pasti ada jihat. Ungkapan ini adalah penganalogian Allah dengan makhluk, karena yang terbayang dalam benak mereka adalah keberadaan diri mereka berada pada jihat, dan mereka juga ingin mengatakan Allah berjihat seperti wujud mereka, konsekuensi hal ini adalah keberadaan hadd (batas) bagi Allah, maka cukuplah perkataan Imam ‘Ali

من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود

(siapa yang beranggapan bahwa Allah berbatas dimensi, dia tidak mengenal Allah sang pencipta yang maha disembah)ز

juga ungkapan Abu Ja‘far al-Thahawi

وتعالى عن الحدود والغايات

(Allah maha suci dari batas dan batas akhir -dzat maupun sifat-).

*Ibn Taimiyyah menafikan konsekuensi nuzul yang berakibat keberadaan-Nya ada pada dua komponen alam yaitu ‘Arasy dan Langit ke 2,3,4,5,6 dan 7, karena langit dunia adalah langit pertama. Maka tidak sah jika nuzûl Allah aadalah Nuzûl berpindah dari atas ke bawah, akan tetapi Nuzûl sebagaimana layaknya bagi Dzat Allah ta‘âlâ. Jika turun cara makhluk adalah dari atas ke bawah, maka Nuzûl Allah tidak sebagaimana turunnya makhluk, karena turun dari atas ke bawah adalah ciri khas makhluk. Oleh karena itu Abu Ja‘far al-Thahawi berkata

من وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

(siapa yang menyifati Allah dengan sebuah makna atau ciri dari ciri-ciri makhluk, maka dia telah ingkar/fasiq).

Begitu juga al-Hâfizh al-Khithâbî (guru al-Hâfizh al-Hâkim) berkata bahwa Allah tidak disifati dengan bergerak, perpindah karena dua hal ini adalah ciri-ciri makhluk (Lihat al-Asma’ wa al-Shifat Baihaqi, cet.Darul Hadis, hal.446), al-Hafizh al-Baihaqi pun menegaskan bahwa turun dari atas ke bawah adalah ciri khas makhluk, karena bentuk ini adalah sebuah kayfiyyah, dan Allah maha suci dari segala kayfiyyah (al-Asma’ wa al-Shifat,hal.466). Abu Hanifah ketika ditanya tentang Nuzûl, maka beliau jawab ينزل بلا كيف (Allah nuzul tanpa Kayf, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Karena segala bentuk gerak adalah Kayf. Lebih dari itu Imam Hammad Ibn Zaid berkata نزوله إقباله (al-Iqbâl, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Imam Abu Muhammad al-Muzni, juga guru Imam Hakim berkata

المجيئ والنزول صفتان منفيتان عن الله تعالى من طريق الحركة والانتقال من حال إلى حال، بل هما صفتان من صفات الله تعالى بلا تشبيه، جل الله تعالى عما يقول المعطلة لصفاته والمشبهة بها علوا كبيرا

(datang dan turun adalah dua sifat yang ternafi dari Allah ta‘ala -jika dipahami- dengan bergerak dan berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain, akan tetapi keduanya adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah ta‘ala tanpa Antropomorphism, maha suci Allah dari anggapan Mu‘atthilah (yang menafikan nuzul) dan dari anggapan Musyabbihah (yang mengatakan nuzul dengan bergerak dan berpindah, lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.447). Inilah pendapat salaf yang telah dikuatkan oleh al-Baihaqi.

Munaqasyah;

Fawqiyyah

Al-Hafizh Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa Fawqiyyah Allah ta‘ala adalah Fawqiyyah yang bukan Fawqiyyah Hissiyyah (fawqiyyah fisik/inderawi), karena al-Fawq dan al-‘Uluw pada Dzat Allah adalah ‘Uluw al-Martabah (al-Hâfizh Ibn al-Jawzî, Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, hal.41). Fawqiiyah Hissiyyah adalah sebuah Hadd, Jihât, potensi Tahayyuz, Allah maha suci dari ciri khas makhluk.

Naiknya amalan shaleh

Al-Hafizh al-Baihaqi telah menuturkan, bahwa naiknya amal kebaikan adalah sebagai ibarat/istilah amalan itu diterima oleh Allah dengan baik. Sementara naiknya malaikat adalah ke tempat mereka di langit, kerena langit adalah tempat mereka. (lihat al-Asma’ wa al-Shifat, hal.425).

Mubâyin/Mujâwir

Al-Hafizh Ibn al-Jawzi menegaskan bahwa Mubâyin & Mujâwir (berhadapan antara Allah dan makhluk dengan Jihat dan Masâfah) mustahil bagi Zat Allah, karena dari sana Allah akan berbatas dan berjihat. (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.41).

———————

*Dapat disimpulkan, jika Allah tidak diliputi oleh Jihât, Masafah, Hadd, maka benarlah sikap Salafusshaleh; ketika muncul ayat Istiwâ’, mereka tidak memaknainnya dengan duduk, Julus atau Istiqrar, namun Istiwâ’ yang layak bagi keagungan Allah. Allah nuzul, tanpa menyerupai makhluk yang harus berpindah dari atas ke bawah, namun Allah nuzul sebagaimana yang tertera dalam nash. Dia tidak butuh bergerak. Maka jika ada nash2 mutasyabihat, hal yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah ungkapan Sufyan Ibn ‘Uyaynah; تفسيره تلاوته/قراءته (tafsirnya adalah bacaan itu sendiri),

tidak perlu dibuat ungkapan-ungkapan “dari atas ke bawah, duduk, bersemayam, dll”. Maka madzhab yang lebih benar adalah Madzhab Salaf, yaitu Tafwîdh, dan dengan tafwidh ini semua syubhat-syubhat Karramiyyah, Hisyamiyyah, Mujassimah, Musyabbihah, Hasyawiyyah akan terbantahkan. Namun jika ada sebagian kalangan yang mengingkari Tafwîdz, adakalanya mereka adalah Musyabbihah, adakalanya Mu‘atthilah.

Rasulullah bersabda; وأنت الظاهر فليس فوقك شيئ، وأنت الباطن فليس دونك شيئ

(Engkau maha Zhahir, maka tiada sesuatu pun di atas-Mu, Engkau maha Bathin, maka tiada sesuatu pun di bawah-Mu).

Al-Hafizh al-Baihaqi menjelaskan hadis ini; jika di atas maupun di bawah-Nya tiada sesuatu pun maka Allah tidaklah bertempat (al-Asma’ wa al-Shifat, hal.406). Seperti Istiwâ’, tidak boleh dipahami dengan Istiqrâr atau menempati ‘Arasy.

Wajar Syeikh al-Albani membantah Syeikh Abu Zahrah ketika mengatakan bahwa Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa Allah Istiwâ’ dengan makna Istiqrâr, kata beliau;

فأين رأيت ابن تيمية يقول بالاستقرار على العرش علما بأنه أمر زائد على العلو وهو مما لم يرد به الشرع ولذلك رأينا مؤلفنا الحافظ الذهبي قد أنكر على بعض القائلين بصفة العلو التعبير عنها بالاستقرار.

Perhatikan bagaimana Syeikh al-Albani tidak menyetujui Istiqrâr, lihat (Muhammad Nâshiruddîn al-Albani, Mukhtashar al-‘Uluw, Beirut: al-Maktab al-Islamî, cet.1, 1401H, hal.41).

“Tipuan logika musyabbihah; mengatakan Allah tiada berjihat sama saja mengatakan Allah tidak ada. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi menjawab; Jika sebuah wujud dapat disifati dengan al-ittishâl dan al-Infishâl, maka engkau benar. Namun jika sebuah wujud tidak disifati dengan keduanya, maka tidak mesti sesuatu wujud itu menjadi tidak ada (Lihat Daf‘u Syubhah al-Tasybîh bi Akuff al-Tanzîh bi man Yantahilu Madzhab al-Imâm Ahmad, hal.43). Dapat kita contohkan tentang Ittishal dan Infishalnya dua sifat yang memang tidak dimiliki oleh sebuah wujud, seperti sebuah BATU. Kita katakan bahwa batu tidak dapat melihat, di lain sisi batu ini juga tidak buta. Apakah hal ini kita katakan sebuah kontradiksi sehingga batu itu menjadi mustahil adanya? Jawabannya tidak, kerena persoalan melihat dan kebutaan bukan sifat batu. Begitu juga jika dikatakan Allah tidak di luar maupun di dalam alam, karena luar dan dalam bukan dimensi dan sifat Allah. Lalu apakah ini sebuah kontradiksi? Jawabannya iya jika hal ini dinisbatkan kepada makhluk. Karena makhluk tidak terlepas dari dua dimensi ini atau pun salah satunya, karena pada hakikatnya makhluk adalah alam”.

*Sebelum Allah menciptakan alam, tidak ada istilah luar dan dalam karena Rasulullah bersabda:

كان الله ولم شيئ قبله/غيره

(Allah ada sejak azali, tiada sesuatupun sebelum-Nya/selain-Nya)

‘Ali ibn Abi Thalib berkata:

كان الله ولا مكان

(Allah ada sejak azali tanpa tempat).

Setelah Allah menciptakan alam, Dia tetap sebagaimana ada-Nya, sebagaimana ‘Ali bin Abi Thalib berkata:

وهو الآن على ما عليه كان

(Dia sekarang ada sebagaimana adanya -pada azali-).

Mari kita pahami, dan kita bedakan istilah بالنسبة إلى الله dan بالنسبة إلى المخلوق.  Tidak adanya dimensi luar dan dalam sangat mustahil Bi al-Nisbah ilâ al-Makhlûk. Namun ketiadaan keduanya tidak mustahil Bi al-Nisbah ilâ Allah subhânahû wa ta‘âlâ, karena jika Allah tidak menghendaki adanya makhluk maka Allah akan tetap sebagaimana adanya, begitupun jika Allah menghendaki untuk melenyapkan alam, Dia akan tetap sebagaimana adanya tanpa Jihat, Ruang dan Waktu. Dimensi luar dan dalam mengikut kepada makhluk, maka jika makhluk atau alam dilenyapkan oleh Allah, dua dimensi ini pun akan lenyap. Untuk pendekaan memahami ini, dalam Fiqh ada sebuah kaedah kulliyyah yang tidak menyentuh hal-hal juz’iyyah, yaitu kaedah ke empat yang berbunyiالتابع تابع (sesuatu yang mengikut, pasti mengikuti-yang diikuti-, lihat al-Mawâhib al-Saniyyah), dalam hal ini dimensi luar maupun dalam adalah al-Tâbi‘u, sedangkan status keduanya adalah sebagai Tâbi‘un kepada alam. Dari sini dapat kita pahami perbedaan antara Khalik dengan Makhluk.

Ibnu ‘Abbas berkata, ليس في الدنيا مما في الجنة إلا الأسماء, dan nash lainلا يشبه شيءٌ مما في الجنة ما في الدنيا إلاألأسماء

(tiada sesuatu pun perserupaan antara apa yang ada di dunia dengan apa yang ada di surga melaikan hanya nama).

Manakala antara sesama makhluk hanya ada perserupaan nama saja, maka antara khalik dan makhluk lebih utama untuk itu. Begitulah Istiwâ’, Nuzûl, Wajah, Yad, ‘Ain. Jangan kita bersikap ghuluw dalam Itsbat, metode salaf adalah paling baik, yaitu menyerahkan maksudnya kepada Allah sembari mengimani, tanpa Takyîf. Maka janganlah hendaknya kita mengharapkan agar Ahwâl Allah serupa dengan kita, harus berjihat, berdimensi ruang dan waktu, Allah maha suci dari ini semua. Jangan kita mengkhianati Lisan yang berkata:

بلا كيف, بلا تكييف, وكيف عنه مرفوع

namun pemahaman kita tetap memberikan Kaifiyyah kepada Allah meski tidak kita sadari. Apalagi jika Lisan kita sering mengucapkan firman Allah ليس كمثله شيئ, namun pada prakteknya pemahaman kita tetap memberikan Tasybiih kepada Allah meski tidak kita sadari. Sudah cukup kiranya kefasihan al-Qur’an yang menampilkan penafian perserupaan dengan menggunakan dua adat Tasybîh dalam ayat itu, yaitu الكاف dan مثل, Semoga kita dapat diberi pemahaman oleh Allah subhanahu wa ta‘ala. Amin

مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك

Allahu A’lam

‘Ashfi Raihan

http://warkopmbahlalar.com/lenyapnya-teks-ibnu-taymiyyah-yang-menafikan-arah-bagi-allah/

Bukti scan kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar atsqalani) – Mustahil Sifat Arah Pada Allah

Ibnu Hajar – Mustahil Arah Pada Allah

By T. MUHAMMAD SYUHADA –

Setiap yang mengaku muslim, pasti mengakui dan yakin bahwa Allah maha tinggi, tidak ada seorang muslim pun yang mengingkari ketinggian-Nya, namum sebagian yang mengaku muslim salah dalam memahami maksud sifat maha tinggi Allah, mereka menyangka maha tinggi artinya Allah berada di arah atas paling tinggi, dan tanpa sadar telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mereka menyangka hakikat sifat Allah dengan hakikat sifat makhluk sama saja, cuma berbeda kaifiyat nya, seakan yang tidak boleh sama Allah dan makhluk-Nya hanya dalam kaifiyat nya saja, sementara aqidah Ahlus sunnah waljama’ah tidak hanya membedakan dalam kaifiyat nya tapi juga membedakan dalam hakikat sifat nya, dzat dan sifat Allah sangat berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-Nya, bukan bereda kaifiyat saja, oleh karena itu, Allah bersifat dengan maha tinggi, tapi bukan berarti Allah berada di arah atas, berada di arah atas adalah sesuatu yang tidak mungkin pada Allah (mustahil), karena dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah dan keserupaan sifat dengan makhluk.

Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :

ولا يلزم من كون جهتي العلو والسفل مُحالاً على الله أن لا يوصف بالعلو ، لأن وصفه بالعلو من جهة الـمعنى ، والـمستحيل كون ذلك من جهة الحس، ولذلك ورد في صفته العالي والعلي والـمتعالي ، ولـم يرد ضد ذلك وإن كان قد أحاط بكل شىءٍ علـماً

“Dan tidak melazimi dari keadaan dua arah (jihat) atas dan bawah itu mustahil pada Allah, bahwa Allah tidak disifatkan dengan sifat tinggi (uluw), karena sesungguhnya mensifati-Nya dengan sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, sedangkan yang mustahil adalah keadaan demikian dari segi hissi, dan karena demikian datang pada sifat-Nya Al-‘Aaliy dan Al-‘Aliy dan Al-Muta’aliy, dan tidak datang lawan sifat demikian, sekalipun adalah Allah itu meliputi ilmu dengan setiap sesuatu”.[ Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Jilid 6 Halaman 136].

Perhatikan scan kitab di bawah ini

ولا يلزم من كون جهتي العلو والسفل مُحالاً على الله أن لا يوصف بالعلو

“Dan tidak melazimi dari keadaan dua arah (jihat) atas dan bawah itu mustahil pada Allah, bahwa Allah tidak disifatkan dengan sifat tinggi (uluw)”

Maksudnya : arah (jihat) atas dan bawah adalah mustahil (tidak mungkin) bagi Allah, maka tidak ada kemungkinan Allah berada di bawah bahkan di atas, baik di atas langit atau di atas ‘Arasy, akan tetapi ketidak-mungkinan ini tidak berarti Allah tidak bersifat dengan sifat tinggi (uluw), artinya Allah bersifat dengan sifat tinggi, tapi ketinggian Allah bukan berada di arah atas, karena arah atas mustahil pada Allah sebagaimana mustahil arah bawah pada-Nya.

لأن وصفه بالعلو من جهة الـمعنى ، والـمستحيل كون ذلك من جهة الحس

“karena sesungguhnya mensifati-Nya dengan sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, sedangkan yang mustahil adalah keadaan demikian dari segi hissi”

Maksudnya : ketika arah atas itu mustahil pada Allah tapi tidak otomatis Allah tidak bersifat dengan maha tinggi, karena tidak ada pertentangan antara sifat maha tinggi dengan kemustahilan arah atas pada-Nya, karena sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, tinggi dalam artian keagungan dan keluhuran-Nya, sementara yang mustahil itu adalah keberadaan dzat-Nya di arah atas, Allah bersifat dengan tinggi maknawi bukan dengan tinggi hissi, tinggi yang hissi inilah yang mustahil pada Allah, oleh karena itu, sekalipun arah atas mustahil pada Allah tapi Allah bersifat dengan sifat tinggi dalam artian tinggi martabat, yakni maha agung lagi maha luhur.

ولذلك ورد في صفته العالي والعلي والـمتعالي ، ولـم يرد ضد ذلك وإن كان قد أحاط بكل شىءٍ علـماً

“dan karena demikian datang pada sifat-Nya Al-‘Aaliy dan Al-‘Aliy dan Al-Muta’aliy, dan tidak datang lawan sifat demikian, sekalipun adalah Allah itu meliputi ilmu dengan setiap sesuatu”

Maksudnya : karena tidak ada pertentangan antara mustahil arah atas dengan sifat tinggi Allah, maka diperdapatkan dalam Al-Quran dan Hadits sifat-sifat Allah seperti Al-‘Aaliy, Al-‘Aliy, Al-Muta’aliy dan sifat-sifat yang menunjuki kepada ketinggian dan keluhuran-Nya, dan tidak didapati lawan dari sifat tersebut, karena mustahil Allah bersifat dengan lawan sifat tersebut, sekalipun Allah mengetahui setiap sesuatu, baik dilangit atau dibumi, bahkan di dasar bumi sekalipun, tapi Allah tidak harus berada dilangit atau dibumi atau dimanapun.

Itulah cuplikan pernyataan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar secara jelas mengatakan bahwa arah atas adalah mustahil pada Allah. maha suci Allah dari arah dan tempat

Wallahu a’lam

Bukti Bin Baz & Wahhabi Kafirkan Ibnu Hajar & Imam Nawawi (1 & 2)

Ibnu Hajar BERAQIDAH SESAT- Bin Baz & Wahhabi (berbukti)

 

IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY DIHUKUM OLEH KESEMUA WAHHABI SEBAGAI BERAQIDAH SESAT

Bukan anda sahaja yang dikafirkan oleh Wahhabi. Imam yang agong dan hebat pengarang kitab Fathul Bari Syarh Sohih Bukhari yang terkenal ini juga tidak terlepas dihukum sebagai sesat aqidahnya.

Buktinya dalam kitab Wahhabi berjudul: ” At-Tanbih ‘Ala Al-Mukhalafaat Al-’Aqdiyah Fi Fathil Bary ” tajuk buku yang bermaksud Peringatan Ke Atas Penyelewengan Aqidah Dalam Kitab Fathul Bary (karangan Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany)” yang mana buku ini telah mendapat kata-kata aluan dan pujian oleh tokoh-tokoh Wahhabi setelah mereka menelitinya isi kandungannya.

Tajuk buku Wahhabi itu: At-Tanbih ‘Ala Al-Mukhalafaat Al-’Aqdiyah Fi Fathil Bary

Dikumpulkan oleh Wahhabi bernama: Ali Bin Abdul Aziz Bin Ali Asy-Syibil.

Buku itu telah diteliti dan diperakui benar dan betul belaka oleh tokoh-tokoh Wahhabi:

1- Abdul Aziz Bin Baz.
2- Soleh Al-Fauzan.
3- Abdullah Bin ‘Aqil.
4- Abdul Bin Muni’.
5- Abdullah Al-Ghonimaan.

* Kenyataan Bin Baz Mufti Wahhabi mengatakan: ” Kerja menghukum sesat aqidah Ibnu Hajar Al-Asqolany dari bukunya Fathul Bary adalah amalan yang TERBAIK “. Lihat Taqriz dalam kitab di atas.

Lihat bagaimana Bin Baz dan Wahhabi memuliakan amalan menghukum sesat terhadap aqidah ulama Islam.
APA WAHHABI KATA DALAM BUKU ITU?

Dalam kitab Wahhabi tadi mereka telah bersepakat menghukum Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany pengarang kitab Fathul Bary Syarah Sohih Al-Bukhari sebagai:-

1- Tidak beraqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

2- Pembasmi aqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

3- Menafikan sifat Allah (nufaat).

4- Suka ta’wil yang sesat.

5- Ikut Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah yang sesat.

6- Suka bawa bid’ah.

7- Mangharuskan tawassuk syirik.

8- Mengharuskan tabarruk syirik.

9- Sesat.

10- Kafir. (itulah hakikat Wahhabi ingin nyatakan tetapi mereka BERTAQIYYAH).

Demikianlah penghukuman Wahhabi terhadap Imam Ibnu Hajar Al-Aqolany dalam kitab mereka tadi. Ada lagi banyak kenyataan yang jelek dan keji Wahhabi luahkan kepada Imam Ibnu Hajar ini.

* P/S: Wahhabi suka bertaqiyyah iaitu bercakap bohong dan bersumpah bohong. Contoh. Jika anda tanya mereka berdepan perihal Imam Ibnu Hajar dihadapan khalayak ramai Wahhabi akan menjawab Beliau bagus…beliau ok. tapi Wahhabi MENGKAFIRKAN Imam Ibnu Hajar pada hakikatnya. JANGAN TERTIPU DENGAN TAQIYYAH WAHHABI. WAHHABI TURUT MENGHUKUM IMAM NAWAWI SEBAGAI SESAT KEKAL DALAM NERAKA. AWAS!

 

IMAM NAWAWI & IBNU HAJAR PUN KAFIR?!

Assalamualaikum.
Oleh: abu_syafiq 

Islam dan ulamanya tidak harus dikafirkan seperti yang dilakukan oleh Wahhabi..habis dikafirkan semua.
Mungkin sekiranya Nabi Muhammad masih hidup dimuka bumi ini pun baginda tidak akan terlepas dari dikafiran oleh golongan Wahhabiyah ini.
Tidak mustahil pada suatu hari nanti Allah pun Wahhabi kafirkan…wal iyazubillah.
Wahhabi bukan sahaja mengkafirkan Sultan Solahuddin Al-Ayyubi.
tetapi…. WAHHABI TURUT MENGKAFIRKAN IMAM NAWAWI DAN IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY!

Saudara seislam sekali….. Apa dah jadi dengan Wahhabi ni?!!!
aduiii..pesal Wahhabi benci sangat dgn ajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ulamanya?! tengok dibawah ini seorang lagi ulama Wahhabi yang menjadi rujukan utama oleh Wahhabi dan kitab2 nya diberi secara percuma ketika kita semua pergi menunaikan umrah dan haji…Wahhabi ini yg bernama Muhammad Soleh Uthaimien menyatakan bahawa :
“IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY ( PENGARANG FATHUL BARI SYARAH SOHIH BUKHARY) DAN JUGA IMAM NAWAWI ( PENGARANG SYARAH SOHIH MUSLIM) KATA WAHHABI : NAWAWI DAN IBNU HAJAR ADALAH PEMBUAT KESESATAN DAN NAWAWI SERTA IBNU HAJAR BERAQIDAH SESAT DAN MEREKA BERDUA ADALAH KAFIR”!!.
Inilah makna dakwaan Wahhabi.

BUKTI ; Lihat buktinyapada line yg telah dikuningkan:

Bukti scan kitab: Imam Bukhari Menta’wil Tertawa Dengan Rahmat

Benarkah Salafi Wahabi bermanhaj salaf ? atau cuma Manhaj Salaf Bid’ah yang baru ada sejak masa Ibnu Taymiyah ? ini satu bukti bahwa Salafi Wahabi tidak bermanhaj ulama Salaf, tapi hanya Manhaj Salaf versi baru, sementara hakikat Manhaj Salaf sangat berbeda dengan Manhaj Salaf versi mereka, sudah bukan rahasia lagi bahwa Wahabi sangat anti dengan Ta’wil, semua nash-nash tentang sifat Allah mereka artikan serampangan, tidak peduli adanya pertentangan atau tidak, mereka boleh saja menganggap merekalah yang bertauhid sesuai dengan tauhid para Salafus Sholeh, tapi apakah Ulama Salaf bertauhid seperti tauhid mereka ?

Imam Bukhari yang juga bermanhaj Salaf, tapi tidak sejalan dengan Manhaj Wahabi yakni Manhaj Salaf versi Wahabi, Imam Bukhari sama sekali tidak anti Ta’wil, pertanda bahwa Ta’wil sudah ada sejak Ulama Salaf, dan Ta’wil tidak otomatis telah bertentangan dengan Manhaj Salaf, sehingga harus mengecam Ta’wil secara mutlak.

Berikut bukti Ta’wil dari Imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqqi dalamkitab al-Asma’ was-Sifat Halaman 459, lihat scan kitab di bawah ini :

 

 

Imam Baihaqqi menuliskan :

قال البخاري معنى الضحك الرحمة

“Berkata Imam Bukhari : Makna Al-Dhahak adalah Rahmat”.

Maksudnya : الضحك yang seharusnya bermakna “tertawa” tapi ketika kalimat tersebut disandarkan kepada Allah maka makna nya tidak boleh bermakna dhohir karena dapat terbawa kepada menyerupakan Allah dengan makhluk, Allah tidak bersifat dengan tertawa, maka nya Imam Bukhari menta’wil dari makna tertawa kepada makna yang pantas bagi Allah yaitu Rahmat, maka dapatlah kita pahami bahwa pada kalimat yang mutasyabihat tidak boleh diartikan secara dhohiriyah, oleh karena itu timbullah dua Manhaj Tafwidh dan Ta’wil, seandainya makna dhohiriyah itu tidak bermasalah, maka sungguh tidak akan diperdapatkan metode Ta’wil dari para ulama, karena tidak punya hajat kepada demikian,  dan dapat pula kita pahami bahwa metode Tafwidh dari sebagian Ulama Salaf bukan maksudnya beriman dengan makna dhohiriyah lalu mentafwidh kaifiyat, akan tetapi ketika makna dhohir tidak boleh bagi Allah, maka sebagian ulama Salaf mentafwidh makna nya kepada Allah, bukan tafwidh kaifiyat, dan dengan tanpa Ta’wil, baik atas metode Tafwidh atau pun metode Ta’wil sepakat bahwa makna dhohiriyah tidak boleh dan tidak sah bagi Allah, maka Tafwidh dan Ta’wil tidak bertentangan, justru metode Tafwidh sangat bertentangan dengan metode Wahabi yang menetapkan makna dhohir, dan dapatlah dipastikan bahwaManhaj Salaf versi Salafi Wahabi sangat bertentangan dengan Manhaj Salaf Ahlus Sunnah Waljama’ah.

Wallahul muwaffiq.

Kitab Tafsir mu’tabar Sunni (Allah ada tanpa tempat dan arah) : Tafsir Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir – Tafsir Annasafi – Imam qurtubi

Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Tulisan ini kami persembahkan buat mereka yang tiap minggu Dauroh kajian Tafsir Ibnu Katsir, tapi pemahaman mereka justru berbeda dengan kajian-kajian mereka, parah nya penyakit Tasybih yang sudah mendarah daging dalam keras nya hati mereka, membuat mereka sulit menerima fakta kebenaran nya, dan membuat mereka tidak bisa menyadari bahaya besar yang sedang menjerat akidah mereka, hendak nya tulisan ini menjadi semangat baru bagi mereka agar kembali membuka kembali kajian mereka dan semoga tulisan ini menjadi pertimbangan dalam kajian ulangan nanti nya. Kesalahan mereka dalam memahami hakikat Manhaj Salaf telah menjadikan mereka sebagai fitnah agama ini, sebagai bukti mari lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang “Istawa”atau tentang bab Mutasyabihat umum nya, dan bagaimana hakikat Manhaj Salaf versi Ibnu Katsir akan kita pahami di sini. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54 sebagai berikut :

وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنمايُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل،وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولاتعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقدكفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت للهتعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالىالنقائص، فقد سلك سبيل الهدى.

Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :

“Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]

Perhatikan scan kitab di bawah :

Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :

فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بنسعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا

“maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”

Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.

وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله

“dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”

Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran, artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna, dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran, sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah, otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin” kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.

فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

“karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11]”

Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.

بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”

“bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”.

Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf, sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.

وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه

“Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”

Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada nya terdapat keserupaan.

فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيلالهدى.

“maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.

Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.

Wallahu a’lam

Istawa Dalam Tafsir An-Nasafi

Dalam Tafsir an-Nasafi terbukti bahwa Salafi Wahabi adalah pendusta agama yang berdusta atas nama Al-Quran dan as-Sunnah, dan memfitnah para ulama Salaf atas nama Manhaj Salaf, mereka dalam bab Mutasyabihat mentafwidh kaifyat dan mentafsirkan dengan makna dhohir, mereka sangat anti dengan Ta’wil dan mengkafirkan aqidah Ta’wil, mereka sangan anti dengan Ta’wil Istawa dengan Istaula, sementara dakwaan mereka sebalik dengan hakikat Manhaj Salaf sesungguhnya, sebagai bukti mari buka Tafsir an-Nasafi, dan lihat apa kata Imam an-Nasafi sebagai berikut :

{ استوى } استولى . عن الزجاج ، ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره . وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً ، والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان .

“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H), dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk, dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul, dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul, dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat, maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Perhatikan scan kitab berikut

{ استوى } استولى . عن الزجاج

“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H)”

Maksudnya : Imam an-Nasafi merujuk ke Tafsir Imam az-Zajjaj as-Salafi, dalam Tafsirnya az-Zajjaj menta’wil Istawa dengan Istaula, inilah bukti bahwa Ta’wil juga berasal dari Manhaj Salaf, karena sebagian ulama Salaf melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, Cuma kebanyakan ulama Salaf lebih memilih Tafwidh makna dan tidak mengkafirkan ulama yang bermanhaj Ta’wil, dua manhaj Ta’wil dan Tafwidh adalah metode agar tidak terjebak dengan Tasybih dalam makna dhohir nya, lain hal nya dengan Salafi Wahabi yang tidak melakukan Tafwidh seperti Tafwidh nya Salaf, dan juga mengkafirkan orang yang bermanhaj Ta’wil, dan mereka justru mentafsirkan nya dengan makna dhohir yang terdapat Tasybih dan Tajsim pada nya.

ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره

“dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk”

Maksudnya : kenapa disebutkan ‘Arasy bila Istawa bermakna Istaula, padahal Allah menguasai semua makhluk-Nya, bukan hanya ‘Arasy, maka jawabnya dengan penyebutan ‘Arasy maka termasuklah semua makhluk lain, karena ‘Arasy adalah makhluk yang paling besar.

وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك

“dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik”

Maksudnya : Sebagian ulama mentafsirkan Istawa dengan makna memiliki, karena punya hubungan antara makna Istiwa’ dan makna milik, karena tertegah memaknai nya dengan makna dhohir Istawa, maka kata Istawa adalah kinayah dari memiliki.

فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً

“maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya”

Maksudnya : ketika dikatakan bahwa “si fulan bersemayam /beristiwa’ atas singgasana, maka artinya si fulan memiliki singgasana tersebut walaupun ia tidak berada /bersemayam di atas nya, demikian juga seperti dikatakan “Tangan si fulan luas” maka artinya si fulan adalah seorang yang pemurah, sekalipun ia tidak punya tangan sama sekali, karena kata tangan adalah kiasan dari pemurah, sebagaimana Istawa adalah kiasan dari memiliki.

والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول

“Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul”

Maksudnya : Pendapat kuat dalam masalah makna ayat Mutasyabihat adalah sebagaimana Manhaj kebanyakan ulama Salaf yaitu pernyataan Sayyidina Ali –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Istawa tidak majhul artinya telah dimaklumi kata Istawa dari Al-Quran dan dimaklumi makna dhohirnya, tapi tidak dimaklumi makna maksud darinya. Dapatlah diketahui bahwa tentang masalah makna nash Mutasyabihat adalah masalah khilafiyah, ketika makna dhohirnya tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, maka boleh memaknainya dengan makna apa saja yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, sehingga lahirlah bermacam ta’wil dengan makna yang layak dengan Allah, sementara kebanyakan ulama Salaf lebih memilih tidak menentukan satu makna tertentu untuk kata tersebut, karena apapun makna yang dipakai, semua makna itu tidak akan mampu mewakili kata yang telah dipilih oleh Allah untuk diri-Nya.

والتكييف غير معقول

“menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul”

Maksudnya : berbicara tentang kaifiyat nya adalah tidak masuk akal (mustahil), bagaimana pun mengurai kaifiyat nya, namun yakinlah bahwa Allah tidak seperti demikian.

والإيمان به واجب

“dan beriman dengan nya wajib”

Maksudnya : Wajib beriman dengan kata Istawa karena jelas penyebutan nya dalam Al-Quran, bukan beriman dengan makna dhohir, sementara beriman dengan makna dhohir adalah tidak boleh karena terdapat Tasybih padanya, maka mengingkari makna dhohir tidak menjadi kafir karena nya, tapi kafir bila ingkar kata Istawa, maka termasuk dalam orang yang beriman di sini adalah orang yang bermanhaj Ta’wil.

والسؤال عنه بدعة

“dan bertanya tentang nya Bid’ah”

Maksudnya : Bertanya tentang Istawa Bid’ah dan bahkan membicarakan dan menguraikan ini adalah Bid’ah, tapi mudah-mudahan ini Bid’ah hasanah, karena para ulama telah menguraikan nya, selama tidak membicarakan kaifiyat nya.

لأنه تعالى كان ولا مكان

“karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat”

Maksudnya : Ini poin penting, apa hubungan nya dengan Istawa, seandainya makna dhohir Istawa yaitubersemayam itu layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, maka tidak ada hubungan Istawa dengan pernyataan Sayyidina Ali ini, tapi Sayyidina Ali mengatakan Allah telah ada dan tidak ada tempat, artinya sebelum ada ‘Arasy Allah tidak bersifat dengan bertempat/bersemayam, maka setelah menciptakan ‘Arasy juga demikian, maka makna dhohir yang dipahami bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas ‘Arasy setelah menciptakan ‘Arasy adalah tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, karena terdapat Tasybih di dalam nya, inilah hubungan antara pernyataan ini dengan Istawa.

فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان

“maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Maksudnya : Dzat Allah dan sifat-sifat Allah tidak berubah atau bertambah, sebagaimana Allah ada sebelum menciptakan apapun, begitu juga Allah setelah menciptakan makhluk-Nya dan selama nya, sementara Salafi Wahabi percaya dan sangat yakin bahwa Allah berubah dan bertambah sifat-Nya ketika menciptakan ‘Arasy dan langit. Na’uzubillah

Kesimpulan dari Tafsir an-Nasafi adalah :

·         Sepakat ulama Salaf tidak memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir, dengan dua metode Tafwidh makna dan Ta’wil makna.

·         Kebanyakan ulama Salaf memilih Tafwidh dan sebagian ulama Salaf memilih Ta’wil.

·         Ta’wil Istawa dengan Istaula adalah Ta’wil dari Manhaj sebagian Salaf.

·         Ulama Salaf tidak anti Ta’wil.

·         Manhaj Salaf bukan mentafwidh kaifiyat, tapi mentafwidh makna maksud kepada Allah.

Wallahu a’lam

Istawa Dalam Tafsir Imam al-Qurthubi

Mulia dengan Manhaj Salaf adalah selogan yang agung dan benar adanya, namun ketika fakta nya mereka yang mereka yang selalu mengagung-agungkan manhaj Salaf, pada kenyataan nya mereka sendiri sangat bertentangan dan jauh menyimpang dari Manhaj Salaf, mereka hanya membanggakan diri, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan dari mereka, tidak mungkin ada kemuliaan pada dua sisi yang saling bertentangan, itulah gambaran bagi para pengikut Manhaj Wahabi, Manhaj Salaf versi mereka adalah Manhaj mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan Manhaj Salaf nya para ulama Salaf, ini salah satu buktinya :

Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya sebagai berikut :

وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها

“Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.[Tafsir al-Qurthubi. Surat al-Baqarah ayat 29]

Perhatikan scan kitab di bawah ini

Imam al-Qurthubi sangat shorih dalam menafsirkan ayat tersebut, dan beliau juga sangat telilti dalam menjelaskanmetode dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dan kita tahu bagaimana aqidah Imam al-Qurthubi, mari kita pahami syarahan dari Imam al-Qurthubi di atas.

وهذه الآية من المشكلات

“Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit”

Maksudnya : Ayat tersebut termasuk dalam bagian ayat-ayat yang sulit, yaitu yang sering disebut dengan ayat-ayat Mutasyabihat, memahami ayat ini tidak segampang memahami ayat lain, menandakan ada “sesuatu” pada ayat tersebut, karena memahami ayat ini dengan metode yang sama dengan ayat lain, akan membuat seseorang terjebak dalam aqidah Tasybih, maka nya Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat tersebut termasuk dalam ayat yang sulit, dan tertolaklah anggapan sebagian orang yang menyangka semua ayat mudah dan ditafsirkan dengan cara yang sama.

والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه

“Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat”

Maksudnya : Setelah melakukan penelitian, Imam al-Qurthubi mendapati ada tiga macam pendapat atau metode dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat, tiga pendapat ini masih secara keseluruhan, mana yang benar dan mana yang sesat, insyaallah akan kita pahami nantinya.

قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها

“Sebagian mereka berkata : kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut”

Maksudnya : Pendapat pertama adalah mereka yang membaca dan beriman dengan kata yang datang dari Al-Quran dengan tidak mentafsifkan nya, mereka memperlakukan kata tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama artinya, metode mereka adalah tidak mentafsirkan baik denganmakna dhohir atau makna Ta’wil, baik dalam membaca atau mengungkapkan nya atau pun dalam mengimani nya, mereka bukan mengimani makna nya karena mereka tidak mentafsirkan nya, inilah yang disebut Tafwidh atau Ta’wil Ijmali, maka disini jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa Tafwidh adalah Tafwidh kaifiyat bukan Tafwidh makna maksud.

وذهب إليه كثير من الأئمة

“pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam”

Maksudnya : Metode di atas adalah metode mayoritas Ulama, yaitu metode Tafwidh makna maksud, dan beriman dengan mengungkapkan dengan kata yang datang dari Al-Quran tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama makna nya. Dan Imam al-Qurthubi tidak membedakan antara Ulama Salaf dan Ulama Khalaf, artinya metode tersebut bukan hanya metode Ulama Salaf, karena Ulama Khalaf pun ada yang berpegang dengan metode ini, dan Ulama Salaf pun ada yang tidak tetap atas metode ini pada sebagian ayat Mutasyabihat.

وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى

”dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa)”

Maksudnya : Imam al-Qurthubi memahami metode ini dari sebuah riwayat bahwa Imam Malik ditanyakan oleh seseorang tentang ayat (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), dari jawaban Imam Malik terhadap orang itu, Imam al-Qurthubi memahami bahwa Imam Malik dalam bab Mutasyabihat bermanhaj Tafwidh, yaitu tidak mentafsirkan  atau tidak menterjemahkan kapada satu makna tertentu, tapi menetapkan kata tersebut sebagaimana adanya, baik dalam bacaan atau ungkapan atau pun dalam mengimani nya. Lihatlah bagaimana perbedaan mendasar antara apa yang dipahami oleh Imam al-Qurthubi dan apa yang dipahami oleh kaum Salafi Wahabi, lebih celakanya lagi Salafi Wahabi menyandarkan pemahaman mereka yang sangat jauh melenceng itu kepada Imam Malik dan para ulama Salaf lain nya.

قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه

“Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”

Maksudnya : Imam Malik menjawab bahwa lafadz Istiwa’ tidak majhul, ada dua versi dalam memahami perkataan ini, pertama : Tidak majhul artinya lafadh Istawa ma’lum karena telah datang dalam Al-Quran, kedua : Tidak majhul artinya makna lughat Istawa ma’lum dari bahasa Arab, namun kedua versi tersebut tidak saling bertentangan karena sepakat bahwa Imam Malik tidak mentafsirkan nya kedalam makna lughat atau makna dhohir, sebagaimana Imam al-Qurthubi dan Imam Ahlus Sunnah lain nya, memahami dari pernyataan Imam Malik ini bahwa Imam Malik memberlakukan lafadh tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan satu makna maksud, jadi jelaslah bahwa maksud “tidak majhul” adalah bukan maklum makna maksud (makna murad). Selanjutnya Imam Malik berkata : dan kaifiyat nya tidak ma’qul, artinya kaifiyat nya mustahil pada Allah, bukan hanya sebatas tidak diketahui oleh manusia, artinya Allah taala tidak bersifat dengan kaifiyat, sementara Salafi Wahabi meyakini Allah bersifat dengan kaifiyat tapi tidak ada dalil, dan mereka mentafwidh kaifiyat nya, bukan meniadakan kaifiyat nya sebagaimana aqidah ahlus sunnah waljama’ah. Selanjutnya Imam Malik berkata : danberiman dengan nya wajib, artinya beriman dengan kata Istawa wajib hukum nya, dan kafirlah siapa pun yangmengingkari Istawa, tapi bukan beriman dengan “Bersemayam” atau dengan makna lughat Istawa lain nya, karena tidak pernah mentafsirkan kata Istawa, jadi di sini pun maksudnya adalah beriman dengan kata Istawa bukan dengan makna lughat Istawa. Selanjutnya Imam Malik berkata : dan bertanya tentang nya adalah Bid’ah, menunjukkan ini adalah pembahasan baru yang tidak ada dimasa Rasulullah, lalu Imam Malik meminta agar orang tersebut dikeluarkan karena beliau melihat ia tidak bermaksud baik.

وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة

“Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”

Maksudnya : Pendapat kedua adalah sebagian orang dalam bab Mutasyabihat memilih metode membaca lalumentafsirkan atau menterjemahkan ke dalam arti bahasa, inilah hakikat Manhaj Salafi Wahabi, tentunya sangat jelas perbedaan metode mereka dengan metode Imam malik di atas, walau pun mereka sandarkan metode mereka kepada metode Ulama Salaf, mereka tidak menyadari ada bahaya besar di balik metode mereka, dan mereka tidak akan pernah sadar telah berpaling dari aqidah Salaf, selama mereka menyangka bahwa metode mereka sama dengan metode Salaf.

وهذا قول المشبّهة

“pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”

Maksudnya : Metode menterjemahkan ayat-ayat Mutasyabihat ke dalam arti lughat adalah metode kaum Musyabbihah dulu, artinya dengan berpegang dengan metode ini maka dengan sendiri nya sudah termasuk dalam Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), karena dalam metode tersebut tersimpan Tasybih. Manhaj inilah yang didakwahkan oleh Salafi Wahabi atas nama Tauhid, tapi ternyata Tauhid yang mereka tegakkan hanyalah Tauhid Musyabbihah. Dan dari pernyataan ini dapatlah diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak setuju dengan metode ini, dan dari tiga macam metode yang ada hanya metode ini yang tidak berjalan atas Manhaj Ahlus Sunnah Waljama’ah.

وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها

“Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”

Maksudnya : Pendapat ketiga adalah sebagian orang yang memilih metode membaca lalu menta’wil  atau mentafsirkan nya dengan makna yang layak dengan kesempurnaan Allah, bukan dengan makna lughat, dan dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak mencela metode ini, dan menghargainya selayak nya sebuah khilafiyah, dan Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa metode ini bukan Manhaj Salaf atau bahkan bertentangan dengan Manhaj Salaf, karena sebagian Salaf juga melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, cuma mayoritas Ulama lebih memilih metode pertama di atas dari metode ini.

Hasbunallah wa ni’mal wakil, semoga Salafi Wahabi segera kembali ke Hakikat Manhaj Salaf di atas, bukan hanya di bibir saja tapi mati-matian membela Manhaj Musyabbihah Mujassimah, sementara Manhaj Salaf terlepas dari mereka. Wallahu a’lam.

Imam al jauzi (Scanned Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali

Imam al jauzi (Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali

1. Imam al jauzi jelaskan kenapa ada golongan mujasimmah dalam pengikut madzab hambali dan sebutkan biang keroknya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Judul :  Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih

Karya : al-Imam al-Hafidz Abul Faraj ‘Abdurrahman bin al-Jauzi al-Hanbali (w 597 H)

Kompilasi ebook kedalam format CHM oleh: http://www.ashhabur-royi.blogspot.com bekerjasama dengan http://www.pustakaaswaja.web.id

Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-Shiddiqi al-Bakri berkata (original Scanned kitab page 98 -101):

“Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah akidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qâdlî Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az-Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan dengan sebab itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “إن الله خلق ءادم على صورته”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah” (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara zahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan.

Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang beliau tuliskan didalam muqaddimah kitab Da’fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih (دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه) yakni salah satu karya monumental beliau dalam bidang aqidah. Kitab ini memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih ( menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan makhluk) yang sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka.

Dalam ebook ini juga terdapat pengantar dari penterjemah yang sangat penting untuk dibaca agar anda bisa membedakan antara Ibn Al-Jauzi dengan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Penjelasan mendalam tentang faham Ibn Taimiyah yang ditentang ulama-ulama terkemuka dari masa ke masa dari generasi ke generasi, Cara mudah membantah ajaran wahabi,  dan panduan membaca kitab terjemah Daf’u Syubah At-Tasybih ini.

Segera Download Ebooknya, Gratis!!!

Klik disini : http://www.mediafire.com/?ljb0wwpj1ph66h9 (format CHM) 

Ebook ini didedikasikan bagi para pejuang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk memberantas ajaran Wahabi dan faham-faham menyesatkan lainnya. Halal untuk diperbanyak dengan cara apapun dengan tanpa merubah sedikitpun kandungan yang dimaksud.

Selain E-book dengan format CHM, anda juga bisa mendownload E-book ini dalam format PDF ~dengan isi yang sama~ yang mana dengan format PDF bisa dibaca melalui HP (semua HP yang punya Sistem Operasi baik itu Symbian, Windows Mobile, maupun Android), silahkan download E-book PDFnya disini : http://www.mediafire.com/?kmuu3tgemfk9tf9

Kami sertakan juga link download kitab Daf’u Syubah At-Tasybih دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه berbahasa arab bagi anda yang ingin melihat teks arab kitab ini. Silahkan download disini: http://www.mediafire.com/?whb05pg0xd5284k ( Format PDF, Size 6,4 Mb)

Bermanfaat, Insya Allah!!

2. al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih wahabi (penyembah dajjal keriting) ((( Mewaspadai Ajaran Wahabi )))

by AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT

 

 

 

 

 Kitab ini berjudul “Talbis Iblis”, [ artinya Membongkar Tipu Daya Iblis ], karya al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H), salah seorang ulama terkemuka (–bahkan rujukan–) dalam madzhab Hanbali.

Terjemahan yang diberi tanda:

“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [–dengan pemahaman yang salah–] dari hadits nabi: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”.

Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (meterial). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.

Imam Ibn al Jawzi al Hanbali menegaskan bahwa KEYAKINAN ALLAH BERTEMPAT DI ATAS ARSY ADALAH KEYAKINAN MUSYABBIHAH. Lihat, beliau adalah ulama besar dalam madzhab Hanbali, hidup jauh sebelum datangnya Ibnu Taimiyah dengan faham-faham Tasybih-nya. Ratusan tahun sebelum datang Muhammad bin Abdil Wahhab dengan faham-faham Tajsim-nya…….

Catatan Penting:

Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali.

Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.

 3. Beda Antara Imam Abu ya’ala (Muhadits) dengan Abu ya’la (Mujasimmah)

Tulisan ini sangat penting dan sangat mendesak untuk menghindari tipu daya kaum Wahhabi.

Perhatikan, ada dua orang bernama Abu Ya’la, keduanya orang berbeda, yang pertama adalah ulama terkemuka ahli hadits di kalangan Ahlussunnah, sementara yang ke dua adalah seorang Musyabbih (seorang yang sesat; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) yang seringkali menjadi rujukan utama bagi orang Wahabi dalam menetapkan keyakinan sesat mereka.

Perhatikan;

Orang Pertama:

Nama: Abu Ya’la ahli hadits bernama; Ahmad bin Ali bin al Mutsanni bin Yahya bin Isa al Maushiliy, penulis kitab Musnad (Dikenal dengan kitab Musnad Abi Ya’la al Maushili), lahir tahun 210 H, wafat tahun 307 H (satu pendapat mengatakan wafat tahun 306 H).

Guru-guru: Di antaranya Imam-imam Ahli hadits terkemuka berikut ini; Ali bin al Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yahya bin Sa’id al Qaththan, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan lainnya.

Murid-murid: Di antaranya Imam-imam ahli hadits terkemuka berikut ini; an Nasa’i, Ibnu Adiy, Abu Hatim, Abu asy-Syaikh, Abu Bakr bin al Muqri’, ath-Thabarani, dan lainnya.

Orang Ke Dua:

Nama: Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al Baghdadi al Hanbali, dikenal dengan sebutan al Qadli Abu Ya’la al Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H.

Al Qadli Abu Ya’la ini dikenal sebagai orang yang menyebarkan faham tasybih, bahkan salah seorang yang paling bertanggungjawab atas kerusakan Madzhab Hanbali. Orang inilah yang telah “menyuntikan penyakit” akidah tasybih di dalam madzhab Hanbali, dia banyak menuliskan akidah tasybih lalu dengan BOHONG BESAR ia mengatakan bahwa itu semua adalah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (w 597 H) berkata:

Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah aqidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qadli Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan karena itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan, mereka mendapati teks hadits “Innallah Khalaqa Adam ‘Ala Shuratih”, lalu mereka menetapkan adanya “Shurah” (bentuk) bagi Allah. Lalu mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu -dan ini yang menyesakkan- mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”. (Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 7-8)

Kemudian dalam nasehatnya kepada para pengikut madzhab Hanbali; al Hafizh Ibn al Jawzi menuliskan:

Janganlah kalian memasukan ajaran-ajaran aneh ke dalam madzhab orang salaf yang saleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu bukan dari ajarannya. Kalian telah menutupi madzhab ini dengan bungkus yang buruk, hingga tidak disebut siapapun seorang yang bermadzhab Hanbali kecuali ia dianggap sebagai Mujassim (berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda). Selain itu kalian juga telah merusak madzhab ini dengan sikap fanatik terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Padahal kalian tahu sendiri bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, perintis madzhab ini membolehkan melaknat Yazid. Bahkan Syekh Abu Muhammad at Tamimi sampai berkata tentang salah seorang imam kalian (yaitu Abu Ya’la al-Mujassim): “Dia (Abu Ya’la) telah menodai madzhab ini dengan noda yang sangat buruk, yang noda tersebut tidak akan bisa dibersihkan hingga hari kiamat”. (Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 10)

Imam Abu Muhammad at Tamimiy berkata:

“Abu Ya’la telah mengotori orang-orang Madzhab Hanbali (al Hanabilah) dengan kotoran yang tidak bisa dibersihkan dengan air lautan sekalipun”. (diriwayatkan oleh Ibn al Atsir dalam al Kamil Fi at Tarikh).

Waspadalah…. waspadalah… !!!!!

Kitab berjudul “Ash Shawa’iq al Ilahiyyah Fi ar Radd ‘Ala al Wahhabiyyah”, karya Syekh Sulaiman bin Abdil Wahhab. Beliau adalah saudara kandung dari Muhammad bin Abdil Wahhab; perintis gerakan wahabi. Lihat, saudara kandungnya aja mengatakan bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab orang sesat!!!!! [WAHABI mati kutu