Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

al i'tisham cover

Alhamdulillah, cahaya  hidayah mulai menyebar dimuka bumi seiring dengan bangkitnya dakwah ahlusunnah waljamaah. Berbondong-bondong umat mendapatkan hidayah, kedok dantipu daya  musuh-musuh Islam mulai terbuka. Sehingga jelaslah  mana haq dan mana yang batil. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita dan ummat diseluruh alam, serta menjadikannya  asbab hidayah.

Pada Risalah ini akan dibahas mengenai fatwa-fatwa ahlusunnah dalam kitab Al-I’tisham (kitab yang membahas mengenai Bid’ah dan seluk beluknya) karya Imam Asy-syatibi, karena pernyataan-pernyataan dalam kitab ini sering dipalsukan oleh musuh-musuh Islam yang mengaku-ngaku sebagai salafy (Wahhaby). Bagi mereka yang ingin membaca kitab al-I’tisham ini hendaklah membacanya dengan teliti dan hingga tuntas, jangan setengah-setangah. Kitab tarjamah ini, Insya Allah  dapat di Download :

http://www.scribd.com/doc/13441519/Al-iTisham-Imam-Syatibi

Beberapa hal yang akan dibentangkan berasal dari tarjamah kitab al-I’tisham ,diantaranya adalah  :

  • Tassawuf Bukan Bid’ah (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 )
  • Mimpi Bertemu Allah atau nabi yang dapat dijadikan acuan untuk beramal (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, halaman 308-310).
  • Kewajiban Bertaqlid kepada imam Mujtahid dan haramnya Ber-ijtihad bagi orang yang bukan Mujtahid (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, Halaman  879- 880)
  • Aqidah Imam Ahlusunnah : Allah ada tanpa tempat dan arah! (dalam kitabnya berjudul Al-Ifadaat Wa Al-Insyadaat pada bilangan 11-Ifadah : Al-Isyarah Lil Baiid Bi Ismi Al-Isyarah Al-Maudhu’ Lil Qorib mukasurat 93-94)

Imam Asy-syatibi (Penulis Kitab Al-I’tisham) Membungkam Wahhaby

  1. Tassawuf Bukan Bid’ah (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 )

al i'tisham 237 delik tasawwuf

“3. Delik-delik Tasawuf………………………………………………..237

3. Delik-delikTasawuf
Tasawuf bukan termasuk perkara bid’ah dan bukan pula permasalahan yang dapat dipecahkan dengan dalil secara mutlak, karena perkara ini terbagi-bagi…..dst.” (Kitab Tarjamah Al-I’tisham, Delik delik tasawwuf, halaman 237 ).

Mengenai ajnuran bertasawwuf tanpa meninggalkan syari’at/fiqh juga disebutkan Dalam  Imam Syafii :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح

فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Dar el-mareefah, pp. 42]

Download Diwan Asyafii- Dar el-mareefah Beirut 9 (Lihat di page 42) :

http://www.scribd.com/doc/13455395/Diwan-esSafii-Diwan-Imam-Syafei-Beirut

2. Mimpi Bertemu Allah atau nabi yang dapat dijadikan acuan untuk beramal (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, halaman 308-310).

al i'tisham 309 new ok

“H. Menilai Berdasarkan Maqam (Derajat Kemanusiaan)

Yang paling hebat hujjahnya adalah kaum yang mengambil amal perbuatan hanya bersandar kepada maqam-maqam. Standar mereka untuk menerima atau menolak adalah hal tersebut. Mereka berkata, “Aku melihat si fulan adalah orang shalih.” la lalu berkata kepada kami, “Tinggalkanlah ini… kerjakanlah ini.” Yang seperti ini banyak kecocokan dengan orang-orang yang memakai bentuk tasawuf. Mungkin sebagian mereka berkata, “Aku melihat Nabi SAW dalam tidurku (mimpi), lalu beliau bersabda kepadaku begini…dan memerintahkanku untuk mengerjakan ini…” la mengerjakan dan meninggalkan segala sesuatu karena mimpi itu, tanpa mempedulikan batasan-batasan yang ada dalam syariat, dan itu adalah perbuatan yang salah, karena mimpi dari selain para nabi tidak dapat dijadikan hukum yang sejajar dengan syariat dalam segala kondisi, kecuali bersesuaian dengan hukum-hukum syariat yang ada pada kita. Jika syariat membolehkannya maka ia akan mengerjakannya sesuai dengan tuntutan, dan jika tidak demikian maka tinggalkanlah dan berpalinglah darinya, karena mimpi itu hanya untuk memberi kabar gembira atau peringatan.

Sedangkan memanfaatkan hukum, jelas tidak diperbolehkan, sebagaimana dikisahkan dari Al Kattani, ia berkata, “Aku bermimpi melihat Nabi, dan di dalam mimpi itu aku berkata, ‘Doakanlah aku kepada Allah agar tidak mematikan hatiku. Beliau menjawab, ‘Katakanlah setiap hari sebanyak empat puluh kali kalimat, “Ya hayyu ya qayyum laailaaha ilia anta.” Ini perkataan baik dan tidak ada masalah kebenarannya, karena menurut syariat dzikir memang dapat menghidupkan hati. Faidah mimpi adalah memberitahukan kebaikan, dan ini dari sisi kabar gembira. Dengan demikian, masalah yang tersisa hanya pembicaraan tentang empat puluh kali; apabila tidak ada dalam bentuk kelaziman, maka itu benar.

Diriwayatkan dari Abu Yazid Al Bustami, ia berkata, “Aku ‘melihat’ Tuhanku di dalam mimpi, maka aku berkata, ‘Bagaimana jalan menuju-Mu?’ Allah berfirman, Tinggalkan dirimu dan kemarilah!’”

Perkataan seperti itu ada di dalam syariat, mengerjakan sesuai substansinya adalah benar, karena ia seperti pemberitahuan pada dalil, karena meninggalkan jiwa artinya meninggalkan hawa nafeu secara mutlak dan berdiri pada kaki persembahan. Ada beberapa ayat yang menunjukkan makna ini, antara lain “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).n (Qs. An-Naazi’aat [79]: 40-41)

Seandainya di dalam mimpinya ia melihat orang berkata, “Sesungguhnya si fulan mencuri, maka potonglah tangannya,” atau, “Si fulan orang pandai, maka tanyalah atau kerjakan perintah atau, “Fulan berzina, maka dirikanlah hadd padanyadan sebagainya, maka tidak dibolehkan untuk mengerjakan hal tersebut, sampai ada saksi pada waktu terjaga, dan jika tidak maka ia telah mengerjakannya. tanpa syariat, karena tidak ada wahyu setelah Nabi. Tidak dikatakan, “Mimpi itu bagian dari kenabian,” maka tidak seharusnya hal itu diremehkan, dan orang yang mengabarkan di dalam mimpi bisa jadi Nabi, beliau bersabda,

“Orang yang melihatku dalam tidurnya, berarti ia sungguh telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.

Jika demikian, maka pengabarannya dalam mimpi sama seperti pengabaran beliau pada waktu terjaga.

Oleh karena itu, kami mengatakan: Jika mimpi itu bagian dari kenabian, maka itu bukan untuk menyempumakan wahyu kepada kita, tapi hanya bagian dari bagian-bagiannya, dan bagian tidak menempati posisi keseluruhannya dalam segala sisi, tetapi hanya menempati posisinya pada sebagian sisinya, yaitu memberikan sisi kabar gembira dan peringatan, dan itu saja cukup.

Di samping itu, mimpi yang merupakan satu bagian dari bagian kenabian di antara syaratnya adalah kecocokannya untuk orang shalih, dan tercapainya syarat yang perlu ditinjau, sebab hal itu terkadang memenuhi syarat dan terkadang tidak.

Mimpi terbagi menjadi mimpi yang bersumber dari syetan, kepada pembicaraan jiwa, dan terkadang hanya untuk mengacaukan. Lalu, kapan menentukan yang shalih dan kapan harus meninggalkan yang tidak shalih?

Jika mimpi menuntut adanya pembaharuan wahyu dengan hukum setelah Nabi SAW, maka yang demikian itu terlarang secara ijma’. ” (Tarjamah kitab al-I’tisham halaman 308 -310).

3. Kewajiban Bertaqlid kepada imam Mujtahid dan haramnya Ber-ijtihad bagi orang yang bukan Mujtahid (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, page 879- 880)

al i'tisham 879

“Dari hal yang disebutkan tadi, dapat dideskripsikan menjadi dua poin:

1. Hendaknya mengikuti mujtahid, yaitu mereka yang menjadikan syariat sebagai pijakan utama.

2. Hendaknya mengikuti sebagian ulama. Seperti halnya ulama modern yang bertaqlid kepada ulama masa lalu, dengan menukil kitab-kitab mereka dan fikih-fikih madzab mereka. Benar atau tidaknya, dikembalikan pada keabsahan dalil naqli. Dari siapa mereka menukil pendapat dan kesesuaian dengan yang dinukil.

Pembagian kedua ini rentan dengan pertentangan, maka jangan memaksa mereka untuk berijtihad dengan meng-istimbat sebuah hukum, sebab tidak ada kemampuan ke arah sana.

Ijtihad yang dikemukakan mereka tidaklah sah. Jika memaksakan untuk tetap berijtihad, maka poerbuatannya itu salah dan berdosa, walaupun ijtihadnya benar atau tidak sama sekali, karena ia bukan ahlinya. Hal itu dapat mencemarkan posisi mujtahid, sebab ia mengambil keputusan atas perkara yang tidak ia ketahui. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk mengikuti jalan ijtihadnya. Semua sepakat bahwa proses ijtihad tersebut tidak mu’tabar, perbedaannya secara umum dianggap tiada, dan perbedaannya dengan ulama adalah dosa. Jadi, bagaimana mungkin bisa sah —ketetapan— mengikuti yang bukan mujtahid dalam hal ijtihad?

Ingat! Suatu kaum yang keluar dari tuntunan sahabat dan tabi’in —karena bertentangan dengan dalil dan pedoman para ulama— akan benar-benar tersesat. Mereka juga mengikuti hawa nafsu perasaannya, tanpa dilandasi ilmu, maka mereka akan tersesat pula dari kebenaran.” (Kitab Tarjamah  Al-I’tisham, page 879- 880).

4. Aqidah Imam Ahlusunnah : Allah ada tanpa tempat dan arah!

Ketahuilah bahawa Syeikh As-Syatiby ( Abu ishak Ibrahim Bin Musa As-Syatiby wafat 790) yang antara karangannya kitab Al-I’tisom dan Al-Ifaadaat Wa Al-Insyaadaat merupakan seorang ulama yang berpegang dengan akidah islam dalam manhaj Ahli Sunnah Waljamaah mengikut method Al-Asya’iroh dan Al-Maturidiyah. Ini amat jelas seperti yang dinyatakan oleh beliau sendiri dalam kitab Al-I’tisom yang ‘dikambinghitamkan’ oleh Wahhabi dalam penjelasan Bid’ah. Sememangnya perangai Wahhabi sebegini, mereka mempergunakan kenyataan ulama yang mereka sendiri kafirkannya pula. Subhanallah.

Antara kejelasan akidah Syeikh As-Syatiby ini adalah seperti yang dijelaskan dalam kitabnya berjudul Al-Ifadaat Wa Al-Insyadaat pada bilangan 11-Ifadah : Al-Isyarah Lil Baiid Bi Ismi Al-Isyarah Al-Maudhu’ Lil Qorib mukasurat 93-94 nasnya:

إفادة

سألني الشيخ الاستاذ الكبير الشهير أبو سعيد فرج بن قاسم بن لُب التغلبي أدام الله أيامه عن قول ابن مالك في “تسهيل الفوائد” في باب اسم الإشارة :”وقد يغني ذو البعد عن ذي القرب لعظمة المشير أو المشار إليه”، فقال: إن المؤلف مثَّل عظمة المشير في الشرح بقوله تعالى:{وما تلك بيمينك يا موسى} [سورة طه/17] ولم يبين ما وجه ذلك، فما وجهه؟ ففكرت فلم أجد جوابًا. فقال: وجهه أن الإشارة بذي القرب ههنا قد يُتوهم فيها القرب بالمكان، والله تعالى يتقدس عن ذلك، فلما أشار بذي البعد أعطى بمعناه أن المشير مباين للأمكنة، وبعيد عن أن يُوصف بالقرب المكاني، فأتى البعدُ في الإشارة منبهًا على بُعدِ نسبة المكان عن الذات العلي وأنه يبعد أن يحلَّ في مكان أو يدانيه

(Rujuk: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?s=&threadid=13646 )

Saya terjemahkan sebahagian nukilan As-Syatiby dalam perguruannya bersama As-Syeikh Al-Ustaz Al-Kabir Abu Saiid dan As-Syatiby menghukum serta menganggap ianya adalah antara faedah-faedah ilmu yang agong ( إفادة )

1- هاهنا قد يتوهم فيها القرب بالمكان، والله تعالى يتقدس عن ذلك

Terjemahannya: “Disini mungkin tersangka satu sangkaan yang tidak benar(waham) kedekatan Allah dengan bertempat sedangkan Allah ta’aala mahasuci dari sedemikian (bertempat)”.

Saya menyatakan:

Ini merupakan diantara persetujuan As-Syatiby berkaitan akidah yang benar ‘Allah Tidak Dilingkungi Oleh Tempat’ selain beliau beraliran Asya’irah dalam akidah (seperti juga termaktub dalam kitabnya Al-i’tisom yang tidak berpegang zohir ayat mutasyabihaat).

Malangnya pula Wahhabi mengkafirkan atau kekadang itu hanya menghukum sesat sahaja terhadap golongan Al-Asyairoh. maka apakah mereka katakan pada As-Syatiby ini?! kafir??! sesat?!!atau salah akidah??!

2: في الإشارة منبهاً على بعد نسبة المكان عن الذات العلية، وأنه يبعد أن يحل في مكان أو يدانيه

Terjemahannya: “Padanya isyarah menunjukkan tidak menyandarkan tempat bagi Allah zat yang maha agong, dan sesungguhnya mahasuci Allah dari diliputi oleh tempat atau bersentuhan dengan tempat”.

Saya menyatakan: Ini merupakan satu perkara yang dianggap faedah besar disisi Syeikh As-Syatiby sehingga beliau meletakkan dalam Ifadahnya.

Saya nasihatkan kepada Wahhabi, kuncu-kuncu yahudi dan sesiapa sahaja yang mempergunakan penerangan As-Syatiby agar mengambil juga keterangan akidah oleh beliau seperti di atas dan jangan mengkafirkan akidah benar tersebut atau menyesatkannya.

Sesungguhnya Allah Maha suci dari bertempat dan tidak bersifat duduk.

Wallahu ‘alam.

https://salafytobat.wordpress.com

http://abu-syafiq.blogspot.com