Pengkhianatan wahaby terhadap salafushalih dan Tasawwuf

salafushalih selalu memperdalam ilmu-ilmu agama tapi juga mereka menjaga zikir kepada Allah (mengamalkan tasawuf)….. Tapi wahaby mencoba memisahkan umat antara usaha taklimwata’allum (menuntut dan mengajar ilmu) dengan usaha dzikir (tasawwuf). Inilah bukti penghianatan wahaby terhadap salafushalih :

1. Bait Diwan Imam Syafe’i yang dihilangkan oleh wahabi

BAIT YANG HILANG DARI DIWAN IMAM SYAFI’I !

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح

فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.

Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik? [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

COBA DOWNLOAD DARI : http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=17&book=16

MAKA KALIMAT DI ATAS SUDAH HILANG ! BANDINGKAN DENGAN TERBITAN BEIRUT DAN DAMASKUS :

SCAN KITAB Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34

SCAN KITAB Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48

Belum lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama' salaf. Sebagai
contoh, kitab Al Adzkar  karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda, Riyadh,
1409 H, yang ditahqiq oleh Abdul Qadir Asy Syami. Pada halaman 295,
pasal tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya menjadi pasal
tentang ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di awal dan akhir
pasal itu juga dihapus. Tak cukup itu, mereka juga dengan sengaja
menghilangkan kisah tentang Al Utbiy yang diceritakan Imam Nawawi
dalam kitab tersebut.
Untuk diketahui, Al Utbiy (guru Imam Syafi'i) pernah menyaksikan
seorang arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi SAW.
Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, dalam mimpinya Nabi
menyuruh memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni
Allah berkat ziarah dan tawassulnya. Imam Nawawi juga menceritakan
kisah ini dalam kitab Majmu' dan Mughni.
Pemalsuan juga mereka lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas Tafsir
Jalalain dengan membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan
pandangannya. Hal itu mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibn
Abidin dalam madzhab Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang
menceritakan para wali, abdal dan orang-orang sholeh.

Parahnya, kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak
luput dari aksi mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh
Ibnu Taimiyah, mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk
dan tasawwuf.
IBNU TAYMIYYAH (661-728 H./1263-1328 M)
Majmaca Fatawa Ibn Taymiyya, Dar ar-Rahmat, Cairo, Vol, 11, page 497, Kitab Tasawwuf: “Kamu harus tahu bahwa syaikh-syaikh terbimbing harus diambil sebagai petunjuk dan contoh dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tariqat para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia ke Kehadiran Allah dan ketaatan kepada Nabi.”
Juga dalam hal 499: “Para syaikh dimana kita perlu mengambil sebagai pembimbing adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita dalam Haji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.
Di antara para syaikh yang dia sebut adalah: Ibrahim ibn Adham, Macruf al-Karkhi, Hasan al- Basri, Rabia al-Adawiyya, Junaid ibn Muhammad, Shaikh Abdul Qadir Jilani, Shaikh Ahmad ar-Rafa’i, and Shaikh Bayazid al- Bistami. Ibn Taymiyya mengutip Bayazid al-Bistami pada 510, Volume 10: “…Syaikh besar, Bayazid al-Bistami, dan kisah yang terkenal ketika dia menyaksikan Tuhan dalam kasyf dan dia berkata kepada Dia:” Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?”. Dan Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah kepada-Ku”. Ibn Taymiah melanjutakan kutipan Bayazid al-Bistami, ” Saya keluar dari diriku seperti seekor ular keluar dari kulitnya”.
Implisit dari kutipan ini adalah sebuah indikasi tentang perlunya zuhd (pengingkaran-diri atau pengingkaran terhadap kehidupan dunia), seperti jalan yang diikuti Bayazid al-Bistami.
Kita melihat dari kutipan di atas bahwa Ibn Taymiah menerima banyak Syaikh dengan mengutipnya dan meminta orang untuk mengikuti bimbingannya untuk menunjukkan cara menaati Allah dan Rasul saas.
Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah tasauf Berikut adalah pendapat Ibn Tamiah tentang definisi Tasauf dari strained, Whether you are gold or gold-plated copper.” Sanai.
Following is what Ibn Taymiyya said about the definition of Tasawwuf, from Volume 11, At- Tasawwuf, of Majmu’a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra, Dar ar-Rahmah, Cairo:
“Alhamdulillah, penggunaan kata tasauf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan).”
“Tasauf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasauf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan Kebenaran. Manusia terbaik sesudah Nabi adalah Shidiqin, sebagaimana disebutkan Allah: “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)” Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah.. Sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”
Imam IBN QAYYIM (d. 751 H./1350 M)
Imam Ibn Qayyim menyatakan bahwa, “Kita menyasikan kebesaran orang-orang tasauf dalam pandangan salaf bagaimana yang telah disebut oleh by Sufyan ath-Thawri (d. 161 H./777 CE). Salah satu imam terbesar abad kedua dan salah satu mujtahid terkemuka, dia berkata: “Jika tidak karena Abu Hisham as-Sufi (d. 115 H./733 CE) saya tidak pernah mengenal bentuk munafik yang kecil (riya’) dalam diri (Manazil as-Sa’ireen)

Lanjut Ibn Qayyim:”Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh”


3. Menuduh semua tharekat dan sufi ber akidah hulul

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

23 . قَالَ أَهلُ السنة والْجماعة : “إِنَّ اللهَ لاَ يحلُّ في شىءٍ ولاَ
ينحلُّ منه شىءٌ ولاَ يحلُّ فيه شىءٌ لَيس كَمثْله شىءٌ”.
Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Sesungguhnya Allah
tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan
tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan
sesuatupun dari makhluk-Nya”.4
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinyadalam
kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata: “Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia
telah kafir”.

24 . قَالَ الإِمام الْجنيد البغدادي سيد الطَّائفَة الصوفية في عصرِه
لَو كُنت حاكما لَقَطَعت رأْس كُلِّ من يقُولُ ” :t
لاَ موجود إِلاَّ اللهُ”.

Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi
pada masanya berkata: “Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya
aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada)
kecuali Allah”. (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya’rani dalam
kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).

لَفْظَتان ثُلْمتان بِالدينِ القَولُ ” :t  25 . قَالَ الإِمام أَحمد الرفَاعي
بِالْوحدة والشطْح الْمجاوِز حد التحدث بِالنعمة”.

Al Imam Ar-Rifa’i -semoga Allah meridlainya- berkata: “Ada dua
perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam
hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam
mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang

disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka”.

26 . وقَالَ أَيضا: “إِياك والْقَولَ بِالْوحدة الَّتي خاض بِها بعض
الْمتصوفَة، وإِياك والشطْح فَإِنَّ الْحجاب بِالذُّنوبِ أَولَى من
الْحجابِ بِالْكُفْرِ إِنَّ اللهَ لاَ يغفر أَنْ يشرك بِه ويغفر ما دونَ
ذلك لمن يشاءُ”.

Beliau juga mengatakan: “Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud
yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah
sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan
dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran

إِنَّ اللهَ لاَ ي  غف  ر أَنْ ي  شرك بِه و ي غف  ر ما دونَ ذلك لمن يش

اءُ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam
keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan
muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia
tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan
menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki”.

Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa’i tersebut dinukil oleh al
Imam ar-Rafi’i asy-Syafi’i dalam kitabnya Sawad al ‘Aynayn fi Manaqib
Abi al ‘Alamain.

27 . وقَالَ أَحد خلَفَائه ممن كَانَ في القَرن الثَّالثَ عشر للْهِجرة وهو
الشيخ الْعالم أَبو الْهدى ال  صيادي رحمه اللهُ ما نصه: “وحيثُ
إِنَّ الْقَولَ بِالْوحدة الْمطْلَقَة والْحلُولِ يؤدي إِلَى الْكُفْرِ والْعياذُ

58
بِاللهِ تعالَى والشطَحات وال  دعاوى الْعرِيضةَ تؤدي إِلَى الْفتنة
وتزلق بِقَدمِ ال  رجلِ إِلَى النارِ فَاجتنابها واجِب”.

Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa’i (dalam Thariqah
ar-Rifa’iyyah) pada abad XIII H, Syekh al ‘Alim Abu al Huda ash-
Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar-
Rifa’iyyah berkata: “Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah
menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan
fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib
dijauhi”.

28 . وقَالَ أَيضا : “من قَالَ أَناَ اللهُ أَو لاَ موجود إِلاَّ اللهُ أَو هو الْكُلُّ
إِنْ كَانَ في عقْله حكم بِرِدته”.

Syekh al ‘Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah
merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
“Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud
(ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam
keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)”.

29 . قَالَ الإِمام محيِي الدينِ بن عربِي : “ما قَالَ بِالاتحاد إِلاَّ أَهلُ
الإِلْحاد ومن قَالَ بِالْحلُولِ فَدينه معلُولٌ”.

Al Imam Syekh Muhyiddin ibn ‘Arabi mengatakan: “Tidak akan
meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa
yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma’lul)”.

Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab
Syekh Muhyiddin ibn ‘Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan
Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan
kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-
Sya’rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari
para ulama.
Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain.6

https://salafytobat.wordpress.com/

4. Memfitnah semua tasawwuf hanya mengejar ilmu laduni dan melarang manusia belajar ilmu

Memfitnah imam ghazali (kitab ihya ‘ulumuddin) , padahal kitab ihya ulumuddin jilid I adalah Kitab ilmu yang terdiri dari tujuh bab. Beliau meneyuruh manusia belajar ilmu agama (aqidah, fqh dsb)….lihat kandungan kitab ihya ulumuddin Kitab ilmu – jilid I.

Kitab Ilmu dan padanya ada tujuh Bab

Bab I : meneragkan kelebihan ilmu, keutamaan belajar, keutamaan mengajar, tentang dalil aqli

Bab II : Mnegenai ilmu terpuji dan tercela, penjelasan tentang pentingnya ilmu fardhu kifayah.

Bab III : ilmu yang dianggap u mum terpuji

Bab IV : Mengenai sebabnya manusia menyukai ilmu khilafiah, bahaya berdebat

Bab V : kesopanan pelajar dan mengajar, penjelasan : Tugas-tugas penunjuk jalan kebenaran.

Bab VI : Tentang Bahaya Ilmu pengetahuan (ancaman bagi orang2 yang hanya belajar ilmu tapi tidak mengamalkan, tidak menyampaikan, ulama dunia dan ulama ahirat)

Bab VII : Tentang akal, kemuliaan akal, hakikat akal dan bagian-bagiannya, berkurang – berlebihnya manusia tentang akal (sumber tarjamah ihya ulumuddin jilid I, pustaka nasional pte ltd, singapore)

5. Mengatakan mendustakan akan adanya ilmu laduni padahal cara mendapatkan ilmu laduni telah Allah dan Nabi tujukan dalam alqur’an dan Hadits.

Kata laduni dipetik dari ayat Allah yang berbunyi:

“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)

ilmu laduni /ilmu mauhub merupakan salah satu ilmu yang harus dimilki oleh orang yang ingin menjadi ahli tafsir alqur’an. Disamping harus mengusai 14 cabang ilmu lainnya seperti ilmu lughah, nahwu, saraf, balaghah, isytiqoqo, ilmu alma’ani, badi’, bayan, fiqh, aqidah, asbabunuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, ilmu hadits, usul fiqah ( hukum-hukum furu’) dan ilmu mauhub ( fadhilah alqur’an, syaikh maulana zakariyya).

Ilmu ini adalah karunia khusus dari Allah swt.

“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”

Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”

Perkara ini telah dijelaskan oleh sayyidina ‘ali ra. saat beliau menjawab pertanyaan orang ramai, “apakah beliau telah mendapatkan ilmu khusus atau wasiat khusus dari Rasulullah saw. yang hanya diberikan kepada beliau dan tidak kepada orang lain?”

Hazrat ‘ali ra. menjawab :” Demi Tuhan yang telah menciptakan surga dan jiwa-jiwa, aku tidak pernah mendapat apa-apa selain daripada ilmu yang Allah berikan kepada seseorang untuk memahami alqur’an!”

ibnu abi dunya rah. berkata bahwa pengetahuan daripada Al-quran dan apa-apa yang didapati daripada alqu’an begitu luas daripada alqur’an. Seorang pentafsir harus mengetahui 15 cabang ilmu yg disebutkan diatas. Tafsiran orang yang tidak mahir dalam ilmu-ilmu ini adalah termasuk tafsiran bil-rakyi (tafsir menurut fikiran sendiri) yang hal ini DILARANG OLEH SYARA’. Para sahabat ra. mendapat ilmu bahasa arab secara tabii dan ilmu-ilmu lain mereka dapati langsung dari ilmu kenabian (nabi SAW).

Nabi SAW bersabda :” Barang siapa yang berfatwa dalam masalah agama, tanpa ada ilmu maka baginya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya ” (HR. Imam suyuti).

Jadi Ilmu laduni = ilmu dari Allah asbab hasil amal...karena Allah telah tunjukan cara mendapatkannya pada kita.

ilmu laduni dan cara/jalan untuk mendapatkannya didalam ALQU’AN DAN HADITS :

1. TAKUT KEPADA ALLAH

kitab alhikam, syaikh ibnu athoillah alasykandary (kepala madrasah alazhar-asyarif abad 7 hijriah) menyebutkan nukilan ayat dari alqur’anulkarim :

“wataqullaha wayu’alimukumullah” (Qs. Al baqarah ayat 282)

artinya : “Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kalian(Qs. Al baqarah ayat 282)

Sifat takut/tunduk/patuh hanya kepada Allah, sangatlah mulia. Bukan saja ilmu laduni yang Allah beri tapi Allah akan tundukan semua makhluq padanya bahkan para malaikatpun akan berkhidmad dan senantiasa membantunya (atas izin Allah), sebagai mana maksud dari haidts nabi SAW :

Nabi saw bersbda : “man khofa minallahi khofahu kulla syai waman khofa ghoirallah khofa min kulli syai”

artinya : “Barang siapa yang takutnya hanya kpd Allah maka Smua makhuq akan takut/tunduk padanya. Barangsiapa takut/tunduknya kpd selain Allah maka semua makhluq akan (menjadi asbab) ketakutan baginya

Lihatlah kisah-kisah salafushalih kita, bagaimana pasukan dakwah sahabat berjalan diatas air melintasi sungai tigris irak, pasukan dakwah sahabat yang berjalan melintasi laut merah, mu’adz bin jabal ra shalat 2 rekaat maka gunung batu yang besar terbelah dua-membuka jalan untuknya, para sahabat terkemuka boleh mendengarkan dzikir benda-benda mati (roti dan mangkuk) .

Abu dzar alghifary ra. atas perintah khalifah umar ra., beliau ditugaskan utk memasukan kembali lahar gunung berapi yang sudah keluar dari kawahnya. maka atas izin Allah, lahar panas tsb masuk kembali ke kawah gunung tsb (hayatushabat).

Abdullah atthoyar ra. boleh terbang seprti malaikat yang punya sayap, maka ketika ditanya oleh rasulullah, apa yang menjadi asbab Allah berikan karomah tersebut, maka beliau menjawab ” saya pun tidak tahu, tapi mungkin karena aku dari sebelum saya masuk islam sampai sekarng pun saya tidak pernah minum khamr, …dst”.

2. MENGAMALKAN ILMU YANG DIKETAHUI

sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa nabi muhammad saw bersabda :

“man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”

Artinya : Nabi SAW bersabda :” BARANGSIAPA YANG MENGAMALKAN ILMU YANG IA KETAHUI MAKA ALLAH AKAN MEMBERIKAN KEPADANYA ILMU YANG BELUM IA KETAHUI”

3. TIDAK MENCINTAI DUNIA

‘alammah suyuti rah. berkata :“kamu menganggap bahwa ilmu mauhub adalah diluar kemampuan manusia. Namun hakikatnya bukanlah demikian, bahkan cara untuk menghasilkan ilmu ini adalah dengan beberapa asbab. Melalui ini Allah swt. telah menjanjikan ilmu tersebut. Asbab-asbab itu adalah seperti : beramal dengan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia dan lain-lain….”

Sebagaimana dalam sebuah hadits, bahwa Nabi SAW bersabda yang artinya : “Barang siapa yang zuhud pada dunia (tidak cinta dunia), maka akan Allah berikan kepadanya ilmu tanpa Belajar” (Fadhilatushaqat).

4. Berdoa

Semua itu datang bagi Allah, maka Rasulullah mencontohkan kepada kita agar senantiasa berdoa agar diberikan ilmu dan hidayah dari Allah swt.

Untuk menumbuhkan rasa takut pada Allah dengan dzikir

Untuk menumbuhkan zuhud pada Allah dengan mujahadah

Sedangkan Doa akan diterima jika kita ikhlash…..

Untuk itu kita harus belajar dan dibimbing oleh guru-guru yang mursyid.

5. Berdakwah

Jika kita berdakwah (amr bil ma’ruf wa nahya ‘anil munkar) atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran maka Allah akan berikan kepada kita ‘ilm wa hilm (’ilmu dan kelembutan hati) langsung dari qudrat Allah swt.

Sebagaimana dalam hadits qudsi(kurang lebih maknanya) tatkala Allah menceritakan keutamaan umat akhir zaman kepada Nabi isa as., mereka memakai sarung pada perut-perut mereka, jika mereka berjalan di tanah rata mereka berdzikir “alhamdulillah”, ditanah yang menanjak mereka berdzikir “allhuakbar” ,jika berjalan ditanah yang menurun mereka berdzikir “subhanallah” dan mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (berdakwah) , sedangkan mereka bodoh (tidak punya banyak ilmu) dan kasar (tidak hilm)

maka Nabi isa as. bertanya : “Bagaimana mereka akan berdakwah padahal mereka tidak punya ‘ilm dan hilm(kelembutan hati)?

Maka Allah firmankan :”Aku sendiri yang akan memberikan kepada mereka ilm dan hilm” (Muntakhob ahadits)

ilmu laduniadalah karunia khusus/khas bagi hambanya, terlebih bagi mereka yang telah ma’rifat. Orang yang telah ma’rifat akan mendapatkan segala-galanya karena tidak ada keinginan dunia dalam hatinya.

Nabi SAW bersabda : “man wajadallah wajada kulla syai, man faqadallah faqada kulla syai”

artinya : Barang siapa kenal kepada Allah maka ia akan mendapatkan segala-galanya

Barang siapa yang kehilangan Allah (tidak kenal Allah) maka ia kehilangan segala-galanya.”

( Kumpulan Khutbah jum’at romo kyai).

Dalam kitab kimiyai saadat, bahwa ada tiga jenis manusia yang tiadak akan bisa memahami alqur’an :

– Pertama : Seorang yang tidak memahami bahasa arab

-Kedua : Orang yang berkekalan dengan dosa-dosa besar dan bid’ah. Ini karena dosa dan amalan bid’ah itu akan menghitamkan hatinya yg menyebabkan dia tidak mampu memahami alqur’an.

_ketiga : Orang yang yakin hanya terhadap makna-makna dhahir saja dalam hal-hal aqidah (mengambil makna dhohir dari ayat/hadits mutasyabihat, aqidahnya bermasalah: mu’tazillah, mujasimmah dsb). Perasaanya tidak dapat menerima apabila dia membaca ayat alqu’an yang bertentangan dengan keyakinannya itu. Orang yang demikian tidak akan bisa memahami alqur’an.

“Ya Allah Peliharalah kami daripada mereka!”

Rujukan :

Al hikam, ibnu athoillah alasykanadary

Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425. (Buletin sesat wahaby)

Fadhilah alqu’an penjelasan hadith ke 18, hal 25-27, Syaikh Maulana Zakariyya, era ilmu kuala lumpur.

Kumpulan Khutbah Jum’at romo kyai, ponpes alfatah -temboro, magetan jawa timur.

Muntakhob ahadits, syaikh sa’ad, Pustaka ramadhan , Bandung.

Lampiran Hadits-hadits Pendukung:

1. Hadits Bukhari -Muslim :

“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)

2. Hadits At Tirmidzi :

“Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi).

3. Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib Ra:

Hadits riwayat Ali bin Abi Thalib:

“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Report this post

Referensi
- Majmu' fatawa Ibn Taimiyah
- Qasidah Nuniyyah karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
- Iqtidha' Shirathil Mustaqim karya Ibn Taimiyah cet. Darul Fikr
- Ar-Ruh karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, cet I Darul Fikr 2003
- Ahkam Tamannil Maut karya Muhammad bin Abdul Wahhab, cet. Maktabah
Saudiyah Riyadh  Nasihat li ikhwanina ulama Najd karya Yusuf Hasyim
Ar-Rifa'i

Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th.
IV Rabi'ul Awwal 1429 H / April 2008 M

*****Kesaksian Ulama Fiqh dan salafushalih (Pentingnya Tasawwuf) ****

Imam ABU HANIFA (81-150 H./700-767 M)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam Hanifa berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq

Imam MALIK (94-179 H./716-795 M)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195

IMAM MALIK RA:

و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق

“ dia yang sedang Tasawwuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawwuf rusaklah dia . hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar . “

Imam SHAFI’I (150-205 H./767-820 M)
Imam Shafi’i: “Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
mereka mengajariku bagaimana berbicara
mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut
mereka membimbingku ke dalam jalan tasauf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, p. 341.]

IMAM SYAFI’I RA:

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح

فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.

Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik? [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

Imam AHMAD BIN HAMBALI (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad (r): “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, maka mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)
Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al- Albab, vol. 1, p. 120)

Imam AL MUHASIBI (d. 243 H./857 M)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasauf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya p. 27-32.

Imam AL QUSHAYRI (d. 465 H./1072 M)
Imam al-Qushayri tentang Tasauf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]

Imam GHAZALI (450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Imam NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri
mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
menghindari ketergantungan kepada orang lain
bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al- Musliman, p. 72, 73]

IBNU KHALDUN (733-808 H./1332-1406 M)
Ibn Khaldun: “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
TAJUDDIN AS SUBKI
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”
Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

JALALUDDIN AS SUYUTI
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-‘Aliyya, p. 57: “tasauf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”

IBNU ‘ABIDIN
Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

Shaikh Rashad Rida
Dia berkata,”tasauf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah”
“Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

ABU ‘ALA AL MAUDUDI
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul”
“Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendiri, dan dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

thAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH INDONESIA (THAREKAT TERTUA DI INDONESIA) :
http://www.naqsyabandi.org

https://salafytobat.wordpress.com

SEJARAH PEMBERIAN NAMA THARIQAH (TARIKAT)

A. PEMBERIAN NAMA THARIQAH (TARIKAT)
Silsilah Tarikat Naqsyabandiyah bersambung mulai dari Rasulullah kemudian turun kepada Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a., lalu diturunkan kepada Sayyidina Salman Al Farisi r.a., dan seterusnya sampai dengan ahli silsilah yang terakhir. Walaupun inti ajaran pokoknya adalah sama, yaitu dzikrullah, namun nama-nama tarikatnya berbeda antara satu periode ke periode selanjutnya. Nama-nama itu adalah sebagai berikut :
1). Pada masa periode Rasulullah SAW dinamakan dengan Thariqatus Sirriyah, karena halus dan tingginya peramalan ini.
2). Pada masa periode Abu Bakar Siddiq r.a. dinamakan dengan Thariqatul Ubudiyah, karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW sepenuhnya kepada Allah SWT dan untuk-Nya baik lahir maupun batin.
3). Pada masa periode Salman al Farisi r.a. sampai dengan periode Syekh Thaifur Abu Yazid Al Busthami q.s. dinamakan dengan Thariqatus Shiddiqiyah, karena kebenarannya dan kesempurnaan Saidina Abu Bakar Siddiq r.a., mengikuti jejak Rasulullah SAW lahir maupun batin.
4). Pada masa periode Abu Yazid Al Busthami sampai dengan periode Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. dinamakan dengan Thariqatuth Thaifuriyah, mengambil nama asli dari Syekh Tahifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan.
5). Pada masa periode syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. sampai dengan periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s dinamakan dengan Thariqatul Khawajakaniyah, mengambil nama khawajah Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s.
6). Pada masa periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s. sampai dengan periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s. dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah. mengambil nama dari Syekh Bahauddin Naqsyaband.
7). Pada masa periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah al Ahrar q.s sampai dengan periode Syekh Ahmad al Faruqi q.s. dinamakan dengan Thariqatul Naqsyabandiyah Al Ahrariyah. Mengambil nama dari Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s.
8). Pada masa periode Syekh Akhmad al Faruqi q.s. sampai dengan periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid Al Ustmani Al Kurdi q.s. dinamakan dengan periode Thariqatun Naqsyabandiyah Al Mujaddidiyah.
9). Pada masa periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid al Ustmani Al Kurdi q.s sampai dengan sekarang dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah Al Mujaddidiyah Al Khalidiyah.
Nama-nama itu diberikan oleh murid- murid setelah masa hidup Syekh Mursyidnya. Umpamanya nama Thariqatul Ubudiyah diberikan oleh Abu Bakar Siddiq r.a, karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW. Nama Thariqatus Siddiqiyah diberikan oleh Saidina Salman Al Farisi r.a, karena kebenarannya dan kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a. Demikianlah seterusnya.
B. TARIKAT NAQSYABANDIYAH
Tarikat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi q.s. (silsilah ke- 15). Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syek AS Samasi) wafat. Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi, Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Amir Kulal q.s. ( 772 H / 1371 M) adalah salah seorang khalifah Syekh Muhammad Baba As Samasi. Dari Syekh Amir Kulal inilah Naqsyabandi menerima statuta sebagai Ahli Silsilah, sebagai Syekh Mursyid tarikat yang dikembangkannya.
Meskipun Naqsyabandi belajar tasawuf dari Syekh Muhammad Baba As Samasi, dan tarikat yang diperolehnya dari Syekh Amir Kulal juga berasal dari Syekh As Samasi, namun Tarikat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan tarikat As Samasi. Zikir Syekh Muhammad Baba As Samasi diucapkan dengan suara keras bila dilaksanakan pada waktu zikir berjamaah, namun bila sendiri- sendiri tetap zikir qalbi, sedangkan zikir Tarikat Naqsyabandiyah adalah zikir kalbi, yaitu diucapkan tanpa suara, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah. Zikir Syekh Naqsyabandi sama dengan zikir Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. (silsilah ke- 9), salah seorang khalifah Syekh Abu Yacub Yusuf al Hamadani (silsilah ke- 8). Menurut salah satu riwayat, Syekh Abdul Khalik Fajduwani mengamalkan pendidikan Uwais Al Qarni yang melaksanakan zikir qalbi tanpa suara.
Sesungguhnya zikir Tarikat Naqsyabandiyah ini pada awalnya dikembangkan oleh Syekh Abu Yacub Yusuf Al Hamadani q.s. (silsilah ke-8), wafat 353 h / 1140 M. Al Hamadani adalah seorang sufi yang hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani q.s. (470 – 561 H / 1077 – 1166 M), seorang tokoh sufi dan wali besar. Syekh Al Hamadani mempunyai dua orang khalifah utama yaitu Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. (silsilah ke- 9) wafat 1220 M dan Syekh Ahmad Al Yasawi (w 562 H / 1169 M). Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. inilah yang meneruskan silsilah tarikat ini sampai dengan Syekh Bahauddin Naqsyabandi. Adapun Syekh Ahmad Al Yasawi kemudian mendirikan Tarikat Yasawiyah di Asia Tengah yang kemudian menyebar ke daerah Turki dan di daerah Anatolia Asia Kecil.
Abdul Khalik Fajduani q.s. menyebarluaskan ajaran tarikat ini ke daerah Transoksania di Asia Tengah. Abdul Khalik Fajduani yang tarikatnya bernama Tarikat Khwajagan menetapkan 8 (delapan) ajaran dasar tarikatnya, yang kemudian ditambah 3 (tiga) ajaran dasar lagi oleh Syekh Bahauddin Naqsyabandi.
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pokok Tarikat Naqsyabandiyah ini dapat ditemui dalam ajaran dasar, enam pokok pembinaan, enam rukun, enam pegangan dan enam kewajiban, yang akan dijelaskan rinciannya pada uraiannya selanjutnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Syekh Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand dan memberikan andil yang besar sekali dalam membina masyarakat menjadi makmur sehingga pemerintahan Sultan Khalil menjadi terkenal. Setelah Sultan Khalil wafat (1347 Masehi ) Naqsyabandi pergi ke Zerwatun (Khurasan) dan hidup sebagai sufi yang zuhud, sambil melakukan amal kebaikan untuk umat manusia dan binatang selama 7 tahun.
Pencatatan segala perbuatan dan amalnya dilakukan dengan baik oleh Saleh bin al- Mubarak, salah seorang muridnya yang setia. Himpunan catatan tersebut dimuat dalam sebuah karya berjudul “Maqamaat Sayyidina Syah Naqsyaband”.
Pusat perkembangan Tarikat Naqsyabandiyah ini pertama kali berada di daerah Asia Tengah. Ketika tarikat ini dipimpin oleh Syekh Ubaidullah Al Ahrar q.s. (silsilah ke-18) hampir seluruh wilayah Asia Tengah mengikuti Tarikat Naqsyabandiyah. Atas hasil usaha keras dari Syekh Al Ahrar, tarikat ini berkembang meluas sampai ke Turki dan India, sehingga pusat- pusat tarikat ini berdiri di kota maupun daerah, seperti di Samarkand, Merv, Chiva, Tashkent, Harrat, Bukhara, Cina, Turkestan, Khokand, Afghanistan, Iran, Baluchistan dan India.
Syekh Muhammad Baqi Billah q.s. (silsilah ke- 22) yang bermukim di Delhi India, sangat berjasa dalam mengembangkan dan membina tarikat ini. Sejumlah murid Syekh Baqi Billah seperti Syekh Murad bin Ali Bukhari mengembangkan tarikat ini ke wilayah Suria dan Anatolia pada abad ke-17. Muridnya yang lain yaitu Syekh Tajuddin bin Zakaria menyebarkan tarikat ini ke Makkatul Mukarramah, sedangkan Syekh Ahmad Abu Al Wafah bin Ujail ke daerah Yaman dan Syekh Ahmad bin Muhammad Dimyati ke daerah Mesir.
Sekitar tahun 1937, Tarikat Naqsyabandiyah pun berkembang di Saudi Arabia dan berpusat di Jabal Qubais Mekkah. Dari Jabal Qubais inilah mulai dari Saidi Syekh Sulaiman Zuhdi q.s. (silsilah ke- 32), dilanjutkan Saidi Syekh Ali ar Ridla q.s. (silsilah ke- 33), kemudian ketika sampai pada Saidi Syekh Muhammad Hasyim al Khalidi q.s (silsilah ke- 34) masuk ke Indonesia. Dari Saidi Syekh Muhammad Hasyim turun statuta Ahli Silsilah Syekh Mursyid kepada Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin al Khalidi q.s. (silsilah ke- 35).
Sesungguhnya seluruh Ahli Silsilah, Syekh- Syekh Mursyid itu menyebarluaskan Tarikat Naqsyabandiyah ini pada masa dan wilayahnya masing- masing. Khusus di Indonesia Tarikat Naqsyabandiyah ini berkembang dalam beberapa bentuk, yaitu Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah bersumber dari Syekh Ismail al Khalidi yang berasal dari Simabur Batu Sangkar Sumatera Barat. Tarikat ini akhirnya berkembang dan disebarluaskan ke daerah Riau, Kesultanan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kesultanan Johor.
Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayyid Muhammad Saleh as Zawawi yang kemudian menyebarluaskan tarikatnya ke daerah Pontianak, Madura dan Jawa Timur. Penyebaran Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah ini dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi, yaitu syekh Abdul Aziz Muhammad Nur, Sayyid Ja’far bin Muhammad, dan Sayyid Ja’far bin Abdurrahman Qadri untuk daerah Pontianak, Syekh Abdul Azim Manduri untuk daerah Madura dan Jawa Timur.
Adapun Tarikat Kadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan penggabungan Tarikat Qadiriyah dan Tarikat Naqsyabandiyah. Tarikat ini bersumber dari Syekh Akhmad Khatib Sambassi (w Mekkah 1875) yang berasal dari daerah Sambas, Kalimantan Barat. Beliau adalah ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram Mekkah, dan banyak mempunyai murid terkenal, antara lain, Syekh Nawawi al Bantani atau Nawawi Al Jawi yang terkenal dengan karya tulisnya yang cukup banyak.
Pengembangan Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini di Indonesia pada pertengahan Abad ke-19, disebarluaskan oleh murid- murid Ahmad Khatib Sambassi yang pulang ke Indonesia dari tanah suci Mekkah. Tarikat ini berkembang pesat terutama di pulau Jawa dan banyak juga tersebar di negara-negara Asean, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Di Pulau Jawa ada beberapa pondok pesantren yang berpengaruh dan banyak menganut Tarikat Kadiriyah wa Naqsyabandiyah ini, antara lain pesantren Pegantungan di Bogor, pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, pesantren Meranggen di Semarang, pesantren Rejoso di Jombang dan pesantren Tebu Ireng juga di Jombang. (Ensiklopedi Islam 4, 1994 : 4 – 12).