PENJELASAN TENTANG ILMU YANG FARDLU KIFAYAH
Ketahuilah bahwa fardlu tidak berbeda dengan yang tidak fardlu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari’ah dan bukan ilmu syari’ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syari’ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syari’ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.
Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dike- sampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manu¬sia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain- lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri dari pada orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.
Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk fardlu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardlu kifa¬yah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat Bahkan juga pem- bekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tu- kang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibo¬lehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.
Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardlu. Maka menda- lami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya.
Adapun ilmu syari’ah dan itulah yang dimaksud menjelaskan- nya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari’ah. Pada hal ada¬lah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.
Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat : Kitabullah ‘Azza wa Jalla, Sunnah Rasul saw., ljma’ ummat dan peninggalan-peninggal- an shahabat (atsar).
Dan ljma’ itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga. Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan ke¬pada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur-an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petun- juk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-pening- galan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat ter- tentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).
Yang kedua : Cabang (furu’). yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi saw. :
Artinya :”Hakim (kadli) itu tidak mengadiliperkara ketika dia sedang marah(1) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit .
Ilmu furu’ itu terbagi tiga : pertama menyangkut dengan ke- pentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia.
Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab ‘.’Ihya’Ulumiddin”. Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan ‘adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Yang ketiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua- nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari’ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari’ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. “Karena Rasulullah saw. sendiripun tidak tahu tulis baca(ummi)”. (2)
Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka me¬nulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
Yang keempat : penyempurnaan, iaitu ilmu Al-Qur-an. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qiraah (cara membaca), dan bunyi hurufhya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diper-
1.Dirawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Abi Bikrah.
2.Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,
oleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci). Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara meng- gunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaita suatu ilmu yang bernama “Ushulul-fiqh”. Dan ilmu ini melengkapi juga Sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu (1).
(1) Hadits mursal, yaitu : perawi-perawinya tidak jelas bersambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah Jelas (peny).
Inilah ilmu-ilmu syari’ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua¬nya termasuk fardlu kifayah.
Jikalau anda tanyakan !!!: mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia?
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan da¬ri tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian ke-sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.
Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, ma¬ka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan pe- nguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.
Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan
dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
Demi sebenarnya, hai tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan pengu¬asa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan peme- rintahan, ialah dengan fiqih.
Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hai dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hai ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.
Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demi¬kian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :
(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au ma’muurun au mu- takallifun).
Artinya :
“Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma’mur atau yang memikul beban itu (mutakallif)”. (1)
Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma’mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlu¬kan.
1. Dirawikan Ibnu Majah dari ‘Amr bin Syu*alb, isnadnya hasan (baik).
Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Qur-an dan jalan ke akhirat.
Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah : “Orang yang bekerja dengan ria”. Maka orang yang mau me¬mikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.
Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu’amalah, dari penjelasan halal dan haram.
Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut ti¬daklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat.
Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang ba- tal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan pada¬nya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam ling- kungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. mele¬takkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabda- nya :
(Hallaa syaqaqta ‘an qalbih).
Artinya :
“Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?”. (1)
(1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.
Sabda ini ditujukan oleh Nabi saw. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hai ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu meman- jang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyela- matkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum la- gi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia. Dari itu, Nabi saw. bersabda :
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad ‘ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Artinya :
“Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “Laa ilaaha illallaah”. Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku”. Nabi saw. menetapkan aki- batnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta”. (1)
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nurhati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.
Mengenai shalat, maka ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung pen- jualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.
Shalat semacam itu tidaklah bermanfa’at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa’atnya.
Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu’ dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuat¬an akhirat dan dengan itu bermanfa’atlah amal dhahir, maka tidak¬lah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, rraka adalah di luar bidangnya.
Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan mem- bayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hai itu kepada Imam Abu Hanifah ra.
Imam Abu Hanifah ra. menjawab : “Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan”.
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara’) dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara’ itu mempunyai empat tingkat:
Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara’), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang ter¬sebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari per¬buatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua : ialah wara’ orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.
Bersabda Nabi saw. :
(Da’-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).
Artinya :”Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragu- kan”. (1)
Dan Nabi saw. bersabda :
(Al-itsmu hazzaazul quluub). Artinya :
“Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)”. (2)
Tingkat ketiga’: ialah wara’ orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi diku watiri terbawa kepada yang haram.
Bersabda Nabi saw. :
(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada’a maa laa ba’sa bihi makhaafatan mimmaa bihi ba’sun)
Artinya :
“Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggal¬kan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya”. (3)
Contohnya seumpama : menjaga diri (wara’) dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada per-buatan terlarang.
Tingkat keempat : ialah wara’ orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta’ala. Karena takut
1.Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali .
2.Dirawikan Al-Baihaoi da^lbiiu Mai’ud. Dan dirawikan AI-‘Adani, hadiu mauquf.
3.Dirawikan At-TiririMzi, IBnu Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari ‘Athly- yalf as-Sa’di.
terpakai meskipun sesa’at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak mem¬bawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara’) saksi, hakim dan yang merusakkan ‘adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara’) dengan yang demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw. kepada Wabishah :
(Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :”Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!”. (1)
(1) Dirawikan Ahmad dari Wabishah.
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan ‘adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat- sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsa¬fah ke dalam tata- bahasa dan pantun.
Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata :
“Sesung¬guhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat”. Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li’an (mengutuk isteri), hukum as-salam (beijual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang. Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala itu, adalah gila.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta’at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan ijma’ ummat Islam?
Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bah- kan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu syari’ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari’ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.
Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbu¬atan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.
Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat- sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubung- kan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemu¬liaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan keakhirat.
Jika anda menyatakan : “Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meski pun tidak sampai terperinci benar!”.
Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,
ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah.
Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma’rifah yaitu ilmu mengenai Allah Ta’ala) : “Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya”.
Berkata yang lain : “Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid’ah atau takabur”.
Ada lagi yang mengatakan : “Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng- ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini”. Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :
“Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya “.
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah. Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma’rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenai arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbedaan antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta’ala :
(Iqra’ kitaabaka kafaa binafsikal yauma ‘alaika hasiiban). Artinya:
“Bacalah kitabmu! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri”. (S. Al-Isra’, ayat 14).
dan maksud firman Allah Ta’ala :
(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yaTa- muim).
Artinya:
“Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui”. (S. AI-Ankabut, ayat 64).
dan arti berjumpa dengan Allah Ta’ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia,
arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya,
arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi.
arti berlebih-kurangnya pang¬kat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaian langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokok- nya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanya itu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan ter lintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.
Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenal Allah Ta’ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenal Allah Ta’ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenal Allah Ta’ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta’ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.
Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.
Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor de¬ngan kotoran dunia.
Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran- kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta’ala, daripada mengenai sifat-sifat dan af’alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.
Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam dengan ilmu dan mengajarinya.
Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta’ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.
Inilah ilmu tersembunyi yang dimaksudkan oleh Nabi saw. dengan sabdanya :
(Iaha minal ‘ilmi kahaiatil maknuuni laa ya’lamuhu illaa ahlul ma’rifati billaahi ta’aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yajhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta’aalaa. Falaa tahqiruu ‘aaliman aataa¬hullaahu ta’aalaa ‘ilman minhu, fa-innallaaha ‘azza wa jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).
Artinya :”Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal(ma’rifat) akan Allah Ta’ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta’ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala ilmu tsb. Karena Allah Ta’ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahinya ilmu tadi”. (1).
Yang kedua : ilmu mu’amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat Allah Ta’ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagi¬an dari ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, riak marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurang- an orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gun- dah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman dha¬hir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta’ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta’at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan me¬reka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan.
Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terla-
(1) Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla’if.
-rang. Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta’at dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.
Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardlu ‘aiti menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu ‘ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar- kan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, ma¬ka ia akan tertegun, sedangkan karena fardlu ‘ainnya, bila diabai- kan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li’an,dhihar,berlomba kuda dan memanah, nisca¬ya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, nisca¬ya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajari- nya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : “Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah”. Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu ‘ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang Adilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi me¬ngenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.
Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepa¬da ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri
penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengeijakan fardlu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golong- an. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan ke-dokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.
Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta’ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya ‘dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan menertawa- kan setan.
Ahli wara’ dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi’i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab,seraya bertanya: “Bagaimana membuat itu dan itu?”
Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi’i : “Seperti engkau berta¬nya pada Badui ini?”. Maka menjawab Imam Syafi’i : “Sesungguh¬nya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan”.
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu’in selalu pergi menjumpai Ma’ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : “Bagaimana?”. Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan : “Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?”.
Maka Nabi saw. menjawab :
(Salush shaalihiina waj-‘aluuhu syuuraa bainahum).
Artinya :
“Tanyakunlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka”. (1)Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.
Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : “Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu hari : “Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?”. Lalu aku jawab : “Dengan Al-Muhasibi”. Maka ia berkata : “Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! ‘. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : “Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dija dikan-Nya engkau, seorang sufi yang ahli hadits”. Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.
http://tokbatinsenoi.forumotion.net/t108p105-ihya-ulumuddin
Filed under: Ihya Ulumuddin Kitab Paling Ditakuti Wahabi (I), Ringkasan ihya 'ulumuddin Alghazali - Bimbingan Mukmin, Uncategorized | Leave a comment »
You must be logged in to post a comment.