Kaidah Tauhid ” sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly ” Menjawab pertanyaan anti tauhid :

Buku Dijual… Murah!!! Dan sangat bermanfaat InsyaAllah!!!! Dari a sampe z membongkar aqidah sesat Wahabi…

  • Judul : Tafsir Istawa Studi Komprehensif Tafsir Istawa Allah ada tanpa tempat
  • Penulis : Kholil Abou Fateh
  • Ukuran buku : 20 cm x 14 cm
  • Tebal halaman : 186 halaman,- (Selain Muqadimah)
  • Harga : Rp. 20.000,- (Selain ongkos kirim)
  • Alamat : Bagi yang berminat bisa didapat secara on line, silahkan hubungi Kholil Abou Fateh

    di email:

    aboufaateh@yahoo.com

    di sana dibicarakan “kesepakatan harga/transfer pembayaran/dan pengiriman buku”. Atau dapat pula anda datang langsung ke tempat Kholil Abou fateh, untuk alamat jelasnya silahkan kirim email.

Latar Belakang

Al-Hamdu Lillâh Rabb al-‘Âlamîn.

Wa ash-Shalât Wa As-Salâm ’Alâ Rasûlulillâh.

Ada beberapa poin ringkas yang hendak penulis ungkapkan dalam mukadimah buku ini, sebagai berikut:

  • Bahwa kecenderungan timbulnya aqidah tasybîh (Penyerupaan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya) belakangan ini semakin merebak di berbagai level masyarakat kita. Sebab utamanya adalah karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu pokok agama, terutama masalah aqidah. Bencananya sangat besar, dan yang paling parah adalah adanya sebagian orang-orang Islam, baik yang dengan sadar atau tanpa sadar telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan aqidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H) , dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî , meriwayatkan bahwa sahabat Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”.

Ada seorang mahasiswa bercerita kepada penulis bahwa suatu ketika salah seorang dosen Ilmu Kalam mengajukan “pertanyaan” di hadapan para mahasiswanya, ia berkata: “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, kuasakah Allah untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah sendiri?”, atau “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya?”, atau berkata: “Jika benar Allah maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja?”. Ungkapan-ungkapan buruk semacam ini seringkali dilontarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama pada jurusan filsafat. Ironisnya, baik dosen maupun mahasiswanya tidak memiliki jawaban yang benar bagi pertanyaan sesat tersebut. Akhirnya, baik yang bertanya maupun yang ditanya sama-sama “bingung”, dan mereka semua tidak memiliki jalan keluar dari “bingung” tersebut. Hasbunallâh.

Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah penulis bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi.

Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian; Pertama; Wâjib ‘Aqly; yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya; akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dengan sifat-sifat-Nya. Kedua; Mustahîl ‘Aqly; yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah. Ketiga; Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly; yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah.

Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan: “Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah.

Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur-ân al-Karîm.

Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlusuunah Wal Jama’ah, 2002, Pustaka Tarbiyah, Jakarta

Abadi, al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Cet. Mu’assasah ar-Risalah, Bairut.

Abidin, Ibn, Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.

Amidi, al, Saifuddin, Abkâr al-Afkâr,

Ashbahani, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Awliyâ’ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’,

Dar al-Fikr, Bairut

Ashbahani, al, ar-Raghib al-Ashbahani, Mu’jam Mufradât Gharîb Alfâzh al-Qur-ân, tahqîq Nadim

Mar’asyli, Bairut, Dar al-Fikr,

Asqalani, al, Ahmad Ibn Ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-Bâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, tahqîq Muhammad

Fu’ad Abd al-Baqi, Cairo: Dar al-Hadits, 1998 M

_________, ad-Durar al-Kâminah Fî al-Ayân al-Mi-ah ats-Tsâminah, Haidarabad, Majlis Da-irah

al-Ma’arif al-Utsmaniyyah, cet. 2, 1972.

_________, al-Ishâbah Fî Tamyîz ash-Shahâbah, tahqîq Ali Muhammad Bujawi, Bairut, Dar al-Jail, cet.

1, 1992 M

_________, Tahdzîb at-Tahdzîb, Bairut, Dar al-Fikr, 1984 M.

_________, Lisân al-Mîzân, Bairut, Mu’assasah al-Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.

Asakir, Ibn; Abu al-Qasim Ali ibn al-Hasan ibn Hibatillah (w 571 H) Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba

Ilâ Imam Abî al-Hasan al-Asy’ari, Dar al-Fikr, Damaskus.

Asy’ari, al, Ali ibn Isma’il al-Asy’ari asy-Syafi’i (w 324 H), Risâlah Istihsân al-Khaudl Fî ‘Ilm al-Kalâm, Dar

al-Masyari’, cet. 1, 1415 H-1995 M, Bairut

Asy’ari, Hasyim, KH, ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah, Tebuireng, Jombang.

Azdi, al, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq as-Sijistani (w 275 H), Sunan Abî Dâwûd, tahqîq

Shidqi Muhammad Jamil, Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H-1994 M

Azhari, Isma’il al-Azhari, Mir-ât an-Najdiyyah, India

Baghdadi, al, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir (W 429 H), al-Farq Bayn al-Firaq, Bairut: Dar

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. Tth.

_________, Kitâb Ushûl ad-Dîn, cet. 3, 1401-1981, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, Turki.

Balabban, Ibn; Muhammad ibn Badruddin ibn Balabban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H), al-Ihsân Bi

Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut

Baghdadi, al, Abu Bakar Ahmad ibn Ali, al-Khathib, Târîkh Baghdâd, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.

th.

_________, al-Faqîh Wa al-Mutafaqqih, Cet. Dar al-Kutug al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Bayjuri, al, Tuhfah al-Murîd Syarh Jawhar at-Tawhîd, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Indonesia

Bayhaqi, al, Abu Bakar ibn al-Husain ibn ‘Ali (w 458 H), al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tahqîq Abdullah ibn

‘Amir, 1423-2002, Dar al-Hadits, Cairo.

_________, Syu’ab al-Îmân, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, as-Sunan al-Kubrâ, Dar al-Ma’rifah, Bairut. t. th.

Bantani, al, Umar ibn Nawawi al-Jawi, Kâsyifah as-Sajâ Syarh Safînah an-Najâ, Maktabah Dar Ihya’

al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia, th.

_________, Salâlim al-Fudalâ Syarh Manzhûmah Kifâyah al-Atqiyâ’ Ilâ Thariq al-Awliyâ’, Syarikat

al-Ma’arif Bandung, t. th.

Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakar ibn as-Sayyid Ibn Syatha al-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ Wa Minhâj

al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’. Syarikat Ma’arif, Bandung, t. th.

_________, Hâsyiyah I’ânah ath-Thâlibîn ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ayn Li

Muhimmah ad-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dar al-Fikr, Bairut.

Bayyadli, al, Kamaluddin Ahmad al-Hanafi, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam, tahqîq Yusuf Abd

al-Razzaq, cet. 1, 1368-1949, Syarikah Maktabah Musthafa al-Halabi Wa Auladuh, Cairo.

Bukhari, al, Muhammad ibn Isma’il, Shahîh al-Bukhâri, Bairut, Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987 M

Dahlan, Ahmad Zaini Dahlan, al-Futûhât al-Islâmiyyah, Cairo, Mesir, th. 1354 H

_________, ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, Cet. Musthafa al-Babi al-Halabi,

Cairo, Mesir

Dawud, Abu; as-Sijistani, Sunan Abî Dâwûd, Dar al-Janan, Bairut.

Dawud, Abu; ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayâlisiy, Cet. Dar al-Ma’rifah, Bairut

Dzahabi, adz-, Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman, Abu Abdillah, Siyar A’lâm al-Nubalâ’,

tahqîq Syua’ib al-Arna’uth dan Muhammad Nu’im al-Arqusysyi, Bairut, Mu’assasah ar-Risalah, 1413 H.

_________, Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd al-Rijâl, tahqîq Muhammad Mu’awwid dan Adil Ahmad Abd al-Maujud,

Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1995 M

_________, an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, Bairut: Dar al-Masyari’, 1419 H-1998 M.

Dimyathi, ad, Abu Bakar as-Sayyid Bakri ibn as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah

al-Atqiyâ’ Wa Minhâj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’, Bungkul Indah, Surabaya, t. th.

Fayyumi, al, al-Mishbâh al-Munîr, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Ghazali, al, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ath-Thusi (w 505 H), Kitâb al-Arba’în

Fî Ushûl ad-Dîn, cet. 1408-1988, Dar al-Jail, Bairut

_________, al-Maqshad al-Asnâ Syarh Asmâ’ Allâh al-Husnâ, t. th, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cairo

_________, Minhâj al-Âbidîn, t. th. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia

_________, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Dar al-Fikr, Bairut.

Ghumari, al, as-Sayyid Ahmad ibn Muhammad ash-Shiddiq al-Hasani al-Maghribi, Abu al-Faidl, al-Mughîr

‘Alâ al-Ahâdîts al-Mawdlû’ah Fî al-Jâmi’ ash-Shaghîr, cet. 1, t. th. Dar al-‘Ahd al-Jadid

Hanbal, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut

Haytami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, t. th. Dar al-Fikr

_________, al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm, cet. Dar al-Fikr, Bairut

Hakim, al, al-Mustadrak ‘Alâ al-Shahîhayn, Bairut, Dar al-Ma’rifah, t. th.

Habasyi, al, Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu Abdirrahman, al-Maqâlât as-Sunniyah Fî Kasyf

Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dar al-Masyari’, cet. IV, 1419 H-1998 M.

_________, asy-Syarh al-Qawîm Fî Hall Alfâzh ash-Shirât al-Mustaqîm, cet. 3, 1421-2000, Dar

al-Masyari’, Bairut.

_________, ad-Dalîl al-Qawîm ‘Alâ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Thubi’ ‘Ala Nafaqat Ahl al-Khair, cet. 2,

1397 H. Bairut

_________, ad-Durrah al-Bahiyyah Fî Hall Alfâzh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 2, 1419-1999, Dar

al-Masyari’, Bairut.

_________, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur-ân, cet. 4, 1423-2002, Dar al-Masyari’,

Bairut.

_________, Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Fî Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 3, 1417-1997,

Dar al-Masyari’, Bairut

_________, al-Mathâlib al-Wafiyyah Bi Syarh al-’Aqîdah an-Nasafiyyah, cet. 2, 1418-1998, Dar

al-Masyari’, Bairut

_________, at-Tahdzîr asy-Syar’iyy al-Wâjib, cet. 1, 1422-2001, Dar al-Masyari’, Bairut.

Haddad, al, Abdullah ibn Alawi ibn Muhammad, Risâlah al-Mu’âwanah Wa al-Muzhâharah Wa

al-Ma’âzarah, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia.

Haramain, al, Imam, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik al-Juwaini, al-‘Aqîdah an-Nizhâmiyyah, ta’lîq Muhammad

Zahid al-Kautsari, Mathba’ah al-Anwar, 1367 H-1948 M.

Hayyan, Abu Hayyan al-Andalusi, an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth, Dar al-Jinan, Bairut.

Hibban, Ibn, ats-Tsiqât, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, Bairut

Hushni, al, Taqiyyuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi ( w 829 H), Kifâyah al-Akhyâr

Fî Hall Ghâyah al-Ikhtishâr, Dar al-Fikr, Bairut. t. th.

_________, Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasab Dzâlik Ilâ Imam al-Jalîl Ahmad,

al-Maktabah al-Azhariyyah Li at-Turats, t. th.

Imad, al, Ibn; Abu al-Falah ibn Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât adz-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab,

tahqîq Lajnah Ihya al-Turats al-‘Arabi, Bairut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t. th.

Iraqi, al, Zaynuddin Abd ar-Rahim ibn al-Husain, Tharh at-Tatsrîb Fî Syarh at-Taqrîb, cet. Dar Ihya’

at-Turats al-‘Arabi, Bairut.

Iyadl, Abu al-Fadl Iyyadl ibn Musa ibn ‘Iyadl al-Yahshubi, asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, tahqîq Kamal Basyuni Zaghlul al-Mishri, Isyrâf Maktab al-Buhuts Wa al-Dirasat, cet. 1421-2000, Dar al-Fikr,

Bairut.

Isfirayini, al, Abu al-Mudzaffar (w 471 H), at-Tabshîr Fî ad-Dîn Fî Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah Min al-Firaq

al-Hâlikîn, ta’liq Muhammad Zahid al-Kautsari, Mathba’ah al-Anwar, cet. 1, th.1359 H, Cairo.

Jailani-al, Abd al-Qadir ibn Musa ibn Abdullah, Abu Shalih al-Jailani, al-Gunyah, Dar al-Fikr, Bairut

Jama’ah, Ibn, Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’adullah ibn Jama’ah dikenal dengan Badruddin ibn Jama’ah

(w 727 H), Idlâh ad-Dalîl Fi Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl, tahqîq Wahbi Sulaiman Ghawaji, Dar

al-Salam, 1410 H-1990 M, Cairo

Jawzi, al, Ibn; Abu al-Faraj Abd ar-Rahman ibn al-Jawzi (w 597 H), Talbîs Iblîs, tahqîq Aiman Shalih

Sya’ban, Cairo: Dar al-Hadits, 1424 H-2003 M

_________, Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-Tanzîh, tahqîq Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari,

Muraja’ah DR. Ahmad Hijazi as-Saqa, Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1412-1991

_________, Zad al-Masîr Fî ‘Ilm at-Tafsîr, Cet. Zuhair asy-Syawisy, Bairut.

Jawziyyah, al; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilâd al-Afrâh, Ramadi Li an-Nasyr, Bairut.

Kalabadzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari, Abu Bakar (w 380 H), at-Ta’arruf Li Madzhab

Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmud Amin an-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbabi al-Musawi, Cairo

Katsir, Ibn; Isma’il ibn Umar, Abu al-Fida, al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, Bairut, Maktabah al-Ma’arif, t. th.

Kautsari, al, Muhammad Zahid ibn al-Hasan al-Kautsari, Takmilah ar-Radd ‘Alâ Nûniyyah Ibn al-Qayyim,

Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.

_________, Maqâlât al-Kawtsari, Dar al-Ahnaf , cet. 1, 1414 H-1993 M, Riyadl.

Khalifah, Haji, Musthafa Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmi

al-Kutub Wa al-Funûn, Dar al-Fikr, Bairut.

Khallikan, Ibn; Wafayât al-A’yân, Dar al-Tsaqafah, Bairut

Laknawi, al, Abu al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayy al-Laknawi al-Hindi, ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî

al-Jarh Wa at-Ta’dîl, tahqîq Abd al-Fattah Abu Ghuddah, cet. Dar al-Basya-r al-Islamiyyah, Bairut.

Majah, Ibn, Sunan, cet. al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Malik, ibn Anas, al-Muwath-tha-, cet. Dar asy-Sya’b, Cairo.

Manzhur, Ibn, al-Ifriqi, Lisân al-‘Arab, cet. Dar Shadir, Bairut.

Maqarri-al, Ahmad al-Maghrirbi al-Maliki al-Asy’ari, Idla-âh al-Dujunnah Fi I’tiqâd Ahl al-Sunnah, Dar

al-Fikr, Bairut.

Maturidi, al, Abu Manshur, Kitâb al-Tawhîd, Dar al-Masyriq, Bairut

Malibari, al, Zainuddin Ibn Ali, Nadzm Hidâyah al-Adzkiyâ’, Syirkah Bukul Indah, Surabaya, t. th.

Makki, al, Tajuddin Muhammad Ibn Hibatillah al-Hamawi, Muntakhab Hadâ-iq al-Fushûl Wa Jawâhir

al-Ushûl Fî ‘Ilm al-Kalâm ‘Alâ Ushul Abî al-Hasan al-Asy’ari, cet, 1, 1416-1996, Dar al-Masyari’, Bairut

Mayyarah, Ahmad Mayyarah, ad-Durr at-Tsamîn Wa al-Mawrid al-Mu’în Syarh al-Mursyid al-Mu’în ‘Alâ

adl-Dlarûriyy Min ‘Ilm ad-Dîn, cet. Dar al-Fikr, Bairut.

Mizzi, al, Tahdzîb al-Kamâl Fî Asmâ’ ar-Rijâl, Mu’assasah ar-Risalah, Bairut.

Mutawalli, al, al-Ghunyah Fî Ushûl ad-Din, Mu’assasah al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, Bairut.

Muslim, Muslim ibn al-Hajjaj, Shahîh Muslim, Cat. Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, Bairut.

Nabhani, al, Yusuf Isma’il, Jâmi’ Karâmât al-Awliyâ’, Dar al-Fikr, Bairut

Naisaburi, al, Muslim ibn al-Hajjaj, al-Qusyairi (w 261 H), Shahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad Abd

al-Baqi, Bairut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1404

Nawawi, al, Yahya ibn Syaraf, Muhyiddin, Abu Zakariya, al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim Ibn al-Hajjâj,

Cairo, al-Maktab ats-Tsaqafi, 2001 H.

_________, Rawdlah at-Thâlibîn, cet. Dar al-Fikr, Bairut.

Najdi, an, Muhammad ibn Humaid an-Najdi, as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah, Cet.

Maktabah Imam Ahmad.

Qari, al, Ali Mulla al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut

Qadli, al, Samir, Mursyid al-Hâ-ir Fî Hall Alfâzh Risâlah Ibn ‘Asâkir, cet. I, 1414 H-1994 M, Dar

al-Masyari’, Bairut

Qath-than, Ibn, Abu al-Hasan Ali ibn al-Qath-than (w 628 H), an-Nazhar Fî Ahkâm an-Nazhar Bi Hâssah

al-Bashar, tahqîq Muhammad Abu al-Ajfan, Cet. Maktabah at-Taubah, Riyadl

Qusyairi, al, Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan an-Naisaburi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq

Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali Abd al-Hamid Balthahji, Dar al-Khair.

Qurthubi, al, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Fikr, Bairut

Rifa’i, ar, Abu al-Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabîr ibn al-Sulthan Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad,

cet. 1, 1425-2004, Dar al-Masyari’, Bairut.

Razi, ar, Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtîh al-Ghayb, Dar al-Fikr, Bairut

Sarraj, as, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Abd al-Baqi Surur, Maktabah

ats-Tsaqafah al-Diniyyah, Cairo Mesir

Syafi’i, asy, Muhammad ibn Idris ibn Syafi’ (w 204 H), al-Kawkab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar,

al-Maktabah al-Tijariyyah Mushthafa Ahmad al-Baz, Mekah, t. th.

Sya’rani, as, Abd al-Wahhab, ath-Thabaqat al-Qubra, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amam Bab al-Ahdlar,

Cairo Mesir.

_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ-id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Kibrît al-Ahmar Fî Bayân ‘Ulum asy-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqat Min al-Futûhât al-Makkiyyah, Bairut, Dar al-Fikr, t. th.

_________, Lathâ-if al-Minan Wa al-Akhlâq, Alam al-Fikr, Cairo

Subki, as, Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, as-Sayf ash-Shaqîl Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Zafîl,

Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.

_________, ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, dari manuskrif Muhammad Zahid

al-Kautsari, cet. Al-Qudsi, Damaskus, Siria, th. 1347

_________, al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dari manuskrif Muhammad Zahid al-Kautsari, cet.

Al-Qudsi, Damaskus, Siria, th. 1347

Subki, as, Tajuddin Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ,

tahqîq Abd al-Fattah dan Mahmud Muhammad ath-Thanahi, Bairut, Dar Ihya al-Kutub

al-‘Arabiyyah.

Subki, as, Mahmud, Ithâf al-Kâ-inât Bi Bayân Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât,

Mathba’ah al-Istiqamah, Mesir

Suhrawardi, as, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut

Syakkur, asy, Abd, Senori, KH, al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Bayân ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamâ’ah

Syahrastani, asy, Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, al-Milal Wa an-Nihal, ta’lîq Shidqi Jamil

al-‘Athar, cet. 2, 1422-2002, Dar al-Fikr, Bairut.

Sulami, as, Abu Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqât ash-Shûfiyyah, tahqîq

Musthafa Abd al-Qadir Atha, Mansyurat Ali Baidlun, cet. 2, 1424-2003, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Suyuthi, as, Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dar al-Jail,

Bairut.

_________, ad-Durr al-Mantsûr Fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, Dar al-Fikr, Bairut.

Tabban, Arabi (Abi Hamid ibn Marzuq), Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, Mathba’ah

al-‘Ilm, Damaskus, Siria, th. 1968 M-1388 H

Taimiyah, Ibn; Ahmad ibn Taimiyah, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Muwâfaqah Sharîh al-Ma’qûl Li Shahîh al-Manqûl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Syarh Hadîts an-Nuzûl, Cet. Zuhair asy-Syawisy, Bairut.

_________, Majmû Fatâwâ, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadl.

_________, Naqd Marâtib al-Ijmâ’ Li Ibn Hazm, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Bayân Talbîs al-Jahmiyyah, Mekah.

Thabari, ath, Târîkh al-Umam Wa al-Mulûk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta-wîl Ây al-Qur-ân, Dar al-Fikr, Bairut

Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jawhar ats-Tsamîn

Fî Ba’dl Man Isytahar Dzikruh Bayn al-Muslimîn, Bairut, Dar al-Masyari’, 1423 H, 2002 M.

_________, at-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl at-Tashawwuf, Bairut, Dar al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M

Thabarani, ath, Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub, Abu Sulaiman (w 360 H), al-Mu’jam ash-Shagîr, tahqîq

Yusuf Kamal al-Hut, Bairut, Muassasah al-Kutuh al-Tsaqafiyyah, 1406 H-1986 M.

_________, al-Mu’jam al-Awsath, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.

_________, al-Mu’jam al-Kabîr, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.

Tirmidzi, at, Muhammad ibn Isa ibn Surah as-Sulami, Abu Isa, Sunan at-Tirmidzi, Bairut, Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, t. th.

Zabidi, az, Muhammad Murtadla al-Husaini, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ Ulûm al-Dîn,

Bairut, Dar at-Turats al-‘Arabi

_________, Tâj al-‘Arûs Syarh al-Qâmûs, Cet. al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Zurqani, az, Abu Abdillah Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), Syarh az-Zurqâni ‘Alâ

al-Muwatha’, Dar al-Ma’rifah, Bairut.

http://www.facebook.com/home.php?ref=home#!/note.php?note_id=393631848329&id=1789501505&ref=mf

Ayat dan Hadits – Hadis keutamaan Hari Raya ‘Idul fitri / ‘Idul Adha

Ayat dan Hadits – Hadis keutamaan Hari Raya ‘Idul fitri / ‘Idul Adha

[taqabbal]

1. Al Quran menerusi ayat 185 surah al-Baqarah yang bermaksud:

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (hari terakhir Ramadan 30 hari) dan kamu mengagungkan Allah (bertakbir raya) atas petunjuk-Nya yang dianugerahkan kepada kamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.”

2. Imam Tabrani r.a. yang bermaksud:
“Barang siapa menghayati malam Hari Raya Aidil Fitri dan malam Hari Raya Aidil Adha dengan amal ibadah sedang dia mengharapkan keredaan Allah semata-mata hatinya tidak akan mati seperti hati orang-orang kafir.”

3. Daripada Umamah r.a. bahawasanya Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda barang siapa mengerjakan amal ibadah pada malam Hari Raya Aidilfitri dengan mengharapkan keredaan Allah semata-mata hatinya tidak akan mati pada hari kiamat sebagai matinya hati orang-orang yang kafir ingkar pada hari kiamat.

4. Imam Tabrani r.a. yang bermaksud:
“Barang siapa menghayati malam Hari Raya Aidil Fitri dan malam Hari Raya Aidil Adha dengan amal ibadah sedang dia mengharapkan keredaan Allah semata-mata hatinya tidak akan mati seperti hati orang-orang kafir.

5. Di dalam hadis yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda daripada Anas r.a. maksudnya:
Hiasilah kedua-dua Hari Raya kamu iaitu Hari Raya Puasa dan juga Hari Raya Korban dengan Takbir, Tahmid dan Taqdis.

6. “Artinya : Dari Abi Hurairah , sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan Fithri itu ialah pada hari KAMU BERBUKA. Dan Adha itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”.

SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan sanadnya di kitab saya “Riyadlul Jannah” No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi.

7. Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :

“Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu berpuasa, dan Fithri kamu ialah pada hari kamu berbuka”.

8. Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :

“Artinya : Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan Adha pada hari kamu menyembelih hewan”.

9. Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:

“Artinya : Dan Fithri kamu itu ialah pada hari kamu berbuka, sedangkan Adha ialah pada hari kamu menyembelih hewan”.

Pengertian ‘Idul Fitri ..

….

Kalimah ‘Id (Bukan Aid) ialah kalimah bahasa Arab yang bermaksud perayaan atau hari ulang tahun. Fitri pula bermakna berbuka atau makan minum. Maksudnya, pada Hari Raya (tanggal 1 Syawal) umat Iislam dikehendaki berbuka dan haram berpuasa.
Fitri juga bermaksud tabiat semual jadi. Maksudnya orang-orang Islam setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan disertai dengan ibadah-ibadah lainnya seperti solat Tarawih pada malam-malam Ramdhan, bertadarus al-Quran, Quyamullai, Zikrullah dan berdoa, bersedekah dan sebagainya. Amalan-amalan ini telah meleburkan dan membersihkan segala dosa sehingga keadaan diri mereka seolah-olah kembali seperti bayi yang baru dilahirkan.
Dengan penjelasan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahawa ‘Idil Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam yang telah berjaya menundukkan nafsu ammarah sepanjang bulan Ramadhan. Apabila muncul anak bukan Syawal, diri mereka telah bersih daripada dosa dan mereka septutnya benar-benar menjadi orang yang takwa. Inilah matlamat ibadah puasa sebagaimana firman Allah s.w.t. menerusi ayat 183 yang bermaksud:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sebagai diwajibkan atas umat-umat terdahulu sebelum kamu dengan puasa itu semoga kamu bertakwa.”
Pengisian Program ‘Idil Fitri
‘Idil Fitri hendaklah disambut dengan acara-acara yang dianjurkan oleh al-Quran dan al-Sunnah, iaitu ada tiga perkara seperti berikut:
1) Membanyakkan Ucapan Takbir
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud : “Dan sempurnakanlah puasa kamu mengikut bilangan dari dalam bulan Ramadhan (29 hari atau30 hari) dan bertakbirlah (membesarkan Allah s.w.t.) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, semoga kamu bersyukur.” (Surah al-Baqarah:185)
Sabda Rasullullah s.a.w. pula yang bermaksud : “Hiasilah Hari Raya kamu dengan takbir dan rahmud .”

2) Pembahagian Takbir
� Takbir Mursal : Sunnat dilafazkan sama ada oleh orang yang bermukim mahupun musafir, dimasjid atau dijalan dengan cara duduk atau berdiri, dipasar-pasar, dirumah-rumah kediaman dan sebagainya. Waktu bermula daripada terbenamnya matahari akhit Ramadhan dan berterusan sepanjang malam Hari Raya hingga solat ‘Id didirikan pada esok harinya. Demikian juga bagi Takbir ‘Id al-Adhan (Hari Raya Qurban) sunnat dilafazkan sepanjang malam hingga esok harinya ketika solat ‘Id al-Adhha didirikan.
� Takbir Muqaiyad : Iaitu takbir yang terikat dengan waktu-waktu solat. Jelasnya ia sunnat dilafazkan pada setiap kali selesai sembahyang. Waktunya bermula selepas Subuh hari Arafah (hari ke-9 Zulhijjah) dan berakhir selepas solat ‘Asar pada 13 Zulhijjah.
3) Menunaikan Zakat Fitrah
� Walaupun dibolehkan pembayarannya sejak awal Ramadhan, yang afdal ialah pada pagi Hari Raya selepas solat Subuh sebelum solat ‘Id didirikan. Inilah menurut hukum asal yang dilakukan pada zaman hayat Rasullullah s.a.w. dan para sahabat serta tabi’in yang lalu.
MASA DAHULU
Zakat Fitrah pada peringkat awal yang lalu dalam bentuk makanan asasi dan terus disampaikan kepada fakir miskin. Jadi, dalam saat-saat mereka hendak menyambut ‘Idil Fitri, hari mulia yang penuh dengan barakah, alangkah gembiranya mereka mendapat habuan makanan itu.
Ibnu Abbas r.a. berkata yang bermaksud : ” Rasulullah s.a.w. memfardhukan Zakat Tifrah sebagai membersihkan kecacatan ibadah puasa kerana perbuatan yang sia-sia dan mencarut, disamping itu menjadi habuan untuk orang-orang miskin.”
Pada riwayat yang lain pula, Rasullullah s.a.w. berdabda yang bermaksud : “Sesiapa yang menunaikannya sebelum solat ‘Id, maka zakatnya itu diterima, tetapi yang membayarnya selepas solat ‘Id, ia menjadi sedekah biasa.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majjah dan disahkan oleh al-Hakim)
MASA KINI
Kini dinegara kita, Zakat Fitrah diberikan dalam bentuk wang ringgit sebagai ganti beras. Fakir miskin telah menerima habuan sebelum Hari Raya dengan cara diberikan pendahuluan oleh pihak Majlis Agama Islam Negeri-negeri. Oleh itu, elok Zakat Fitrah dibayar lebih awal atau pada malam Hari Raya, untuk mengelakkan kesibukan tugas amil memungutnya. Sempena ‘Idul Fitri selain diwajibkan berfitrah, kita umat Islam yang berkemampuan juga disunnatkan memberi sedekah-sedekah yang lain dengan mengutamakan kaum kerabat kita yang susah, kemudian barulah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim.
4) Menghadiri Upacara Solat ‘Id
Sekelian Muslimin dan Muslimat, tua dan muda, termasuk wanita-wanita yang haid disunnatkan mengahdiri upacara perhimpunan tahunan tersebut bagi masyarakat Islam setempat. Kehaduiran mereka sebagai menghayati syi’ar keagungan Islam dan perpaduan ummah, disamping itu mereka berpeluang bertakbir (membesarkan Allah s.w.t.) beramai-ramai, mendengar khutbah ‘Id yang penting, berzikir dan mengaminkan doa yang dibacakan oleh imam. Bagi yang tidak uzur berpeluang mendirikan solat ‘Id (Hari Raya)
Daripada Ummu ‘Atuyah r.a. ujurnya : Kami disuruh membawa gadis-gadis kecil dan wanita yang haid pada Hari Raya (‘Idil Fitri dan ‘Idil Adhha), agar mereka menyaksikan kebajikan dan doa kaum Muslimin tetapi wanita-wanita yang sedang haid itu terpisah dari tempat solat.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Perlu diingatkan, bahawa Hari Raya Puasa kita disunnatkan menjamah makanan atau juadah terlebih dahulu, kemudian pergi ketempat solat, tetapi untuk Hari Raya Haji sunat tidak makan terlebih dahulu, sebaliknya kita bersegera keupacara perhimpunan solat. Solat ‘Idil Adhha disegerakan lalu menyembelih binatang qurban, kemudian kita pulang dengan membawa daging qurban, lalu dimasak dan baru makan.
Pada pagi-pagi Hari Raya, kita juga disunnatkan mandi dan memakai pakaian yang serba baru atau yang bersih dan indah. Kemudian ketika pergi kemusollah (tempat solat), pergi melalui satu jalan dan pulang melalui jalan yang lain, dengan tujuan dapat bertemu lebih ramai sahabat handai dan saudara sesama Islam. Kita sama-sama mengucapkan Salam ‘Idil Fitri sambil berbalas-balas senyuman, sama-sama menyatakan rasa syukur ke Hadrat Ilahi atas petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga kita berjaya menundukkan nafsu sepanjang bulan Ramadhan.
Pada zaman hayat Rasulullah s.a.w. dahulu, solat ‘Id diadakan ditanah lapang kerana masjid-masjid pada zaman itu kecil-kecil belaka. Kini solat ‘Id diadakan dimasjid atau disurau. Adalah amat elok jika dapat dibuatkan khemah atau ruang khas diluar masjid atau surau untuk memberi peluang para wanita yang uzur (haid) duduk ditempat itu supaya mereka dapat sama-sama menikmati syi’ar ‘Idil Fitri atau ‘Idil Addha.
5) Amalan-amalan Menjelang Hari Raya Puasa
Umat-umat Islam digalakkan melakukan I’tikaf beramai-ramai dimasjid pada malam-malam sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan (malam ke-21 hingga malam ke-29 atau ke-30) kerana berharap bertemu malam LAILATIL QADAR atau malam kemuliaan yang mempunyai nilai lebih baik daripada 1000 bulan. Amalan ini dilakukan pada zaman hayat Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabat serta abad-abad berikutnya, bahkan hingga kini masih dilakukan begitu bersemarak disesetengah negara Islam khususnya di Masjidil Haram (Makkah), tetapi malangnya dinegara kita kebanyakkan umat Islam menyambut ‘Idil Fitri lebih tertumpu dalam bentuk fizikal atau lahiriah, yang mana sesetengahnya tidak sesuai dengan roh pengajaran Islam. Sejak awal Ramadhan lagi, mereka lebih tertumpu kepusat membeli-belah, melengkapkan persiapan membeli pakaian, hiasan rumah dan lain-lain lagi. Apabila Hari Raya sudah hampir, kebanyakkan suri rumah lebih tertumpu menyediakan kuih-muih yang pelbagai jenis.
Setiap individu Muslim dan Muslimah wajib menilai segala aktiviti yang telah berjalan selama ini, yang sesetengahnya telah menjadi ‘budaya’ termasuk bentuk acara menyambut ‘Idil Fitri. Ciri-ciri yang diambil dari budaya luar Islam atau warisan budaya asing, yang tidak sesuai dengan aqidah dan syari’ah Islam hendaklah ditinggalkan. Kita boleh menyediakan makanan, juadah dan kuih0muih untuk Hari Raya tetapi hendaklah dalam bentuk sederhana. Demikian juga dengan perhiasan rumah, pakaian untuk diri dan anak-anak mestilah sesuai dengan ekonomi keluarga. Acara ziarah- menziarahi prang tua, sandara-mara, kaum kerabat, orang-orang yang berjasa kepada kita seperti para guru dan sabahat handai ini sebenarnya tidak terbatas sempena Hari Raya sahaja, tetapi perlu dilakukan pada hari dan bulan lain yang sesuai dari semasa ke semasa, sebagaimana sabda Rasullullah s.a.w.yang bermaksud : ” Ziarahilah saudara mara kamu dari masa ke masa kerana ia boleh menambahkan kasih sayang.” Lebih-lebih lagi menziarahi ibu bapa kita, hendaklah dilakukan labih kerap dan janganlah menunggu Hari Raya sahaja. Amalan meminta maaf juga perlulah dilakukan dengan segera apabila kita terasa telah melakukan kesilapan serta kesalahan pada orang lain.
copy & phase

Peran “Lawrence Of Arabia” di Balik Berdirinya Kerajaan Saudi & Pergerakan manhaj sesat wahhabi

Peran “Lawrence Of Arabia” di Balik Berdirinya Kerajaan Saudi

Menurut logika yang sehat, seharusnyalah Kerajaan Saudi Arabia menjadi pemimpin bagi Dunia Islam dalam segala hal yang menyangkut keIslaman. Pemimpin dalam menyebarkan dakwah Islam, sekaligus pemimpin Dunia Islam dalam menghadapi serangan kaum kuffar yang terus-menerus melakukan serangan terhadap agama Allah SWT ini dalam berbagai bentuk, baik dalam hal Al-Ghawz Al-Fikri (serangan pemikiran dan kebudayaan) maupun serangan Qital.

Seharusnyalah Saudi Arabia menjadi pelindung bagi Muslim Palestina, Muslim Afghanistan, Muslim Irak, Muslim Pattani, Muslim Rohingya, Muslim Bosnia, Muslim Azebaijan, dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Tapi yang terjadi dalam realitas sesungguhnya, mungkin masih jadi pertanyaan banyak pihak. Karena harapan itu masih jauh dari kenyataan.

Craig Unger, mantan deputi director New York Observer di dalam karyanya yang sangat berani berjudul “Dinasti Bush Dinasti Saud” (2004) memaparkan kelakuan beberapa oknum di dalam tubuh kerajaan negeri itu, bahkan di antaranya termasuk para pangeran dari keluarga kerajaan.

“Pangeran Bandar yang dikenal sebagai ‘Saudi Gatsby’ dengan ciri khas janggut dan jas rapih, adalah anggoa kerajaan Dinasti Saudi yang bergaya hidup Barat, berada di kalangan jetset, dan belajar di Barat. Bandar selalu mengadakan jamuan makan mewah di rumahnya yang megah di seluruh dunia. Kapan pun ia bisa pergi dengan aman dari Arab Saudi dan dengan entengnya melabrak batas-batas aturan seorang Muslim. Ia biasa minum Brandy dan menghisap cerutu Cohiba, ” tulis Unger.

Bandar, tambah Unger, merupakan contoh perilaku dan gaya hidup sejumlah syaikh yang berada di lingkungan kerajaan Arab Saudi. “Dalam hal gaya hidup Baratnya, ia bisa mengalahkan orang Barat paling fundamentalis sekali pun. ”

Bandar adalah putera dari Pangeran Sultan, Menteri Pertahanan Saudi. Dia juga kemenakan dari Raja Fahd dan orang kedua yang berhak mewarisi mahkota kerajaan, sekaligus cucu dari (alm) King Abdul Aziz, pendiri Kerajaan Saudi modern.

Bukan hanya Pangeran Bandar yang begitu, beberapa kebijakan dan sikap kerajaan terakdang juga agak membingungkan. Siapa pun tak kan bisa menyangkal bahwa Kerajaan Saudi amat dekat-jika tidak bisa dikatakan sekutu terdekat-Amerika Serikat. Di mulut, para syaikh-syaikh itu biasa mencaci maki Zionis-Israel dan Amerika, tetapi mata dunia melihat banyak di antara mereka yang berkawan akrab dan bersekutu dengannya.

Barangkali kenyataan inilah yang bisa menjawab mengapa Kerajaan Saudi menyerahkan penjagaan keamanan bagi negerinya-termasuk Makkah dan Madinah-kepada tentara Zionis Amerika.

Bahkan dikabarkan bahwa Saudi pula yang mengontak Vinnel Corporation di tahun 1970-an untuk melatih tentaranya, Saudi Arabian National Guard (SANG) dan mengadakan logistik tempur bagi tentaranya. Vinnel merupakan salah satu Privat Military Company (PMC) terbesar di Amerika Serikat yang bisa disamakan dengan perusahaan penyedia tentara bayaran.

Ketika umat Islam dunia melihat pasukan Amerika Serikat yang hendak mendirikan pangkalan militer utama AS dalam menghadapi invasi Irak atas Kuwait beberapa tahun lalu, maka hal itu tidak lepas dari kebijakan orang-orang yang berada dalam kerajaan tersebut.

Langkah-langkah mengejutkan yang diambil pihak Kerajaan Saudi tersebut sesungguhnya tidak mengejutkan bagi yang tahu latar belakang berdirinya Kerajaan Saudi Arabia itu sendiri. Tidak perlu susah-sudah mencari tahu tentang hal ini dan tidak perlu membaca buku-buku yang tebal atau bertanya kepada profesor yang sangat pakar.

Pergilah ke tempat penyewaan VCD atau DVD, cari sebuah film yang dirilis tahun 1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia’ dan tontonlah. Di dalam film yang banyak mendapatkan penghargaan internasional tersebut, dikisahkan tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris bernama lengkap Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby (jenderal ini ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam Salahuddin Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, “Hai Saladin, hari ini telah kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan kemenangan kami!”).

Film ini memang agak kontroversial, ada yang membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produser mengaku bahwa film ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur dengan jujur tentang siapa yang berada di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.

Konon kala itu Jazirah Arab merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan umat Islam dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh. Lalu dengan bantuan Lawrence dan jaringannya, suatu suku atau klan melakukan pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas, dari wilayah kekhalifahan Islam itu.

Bahkan di film itu digambarkan bahwa klanSaud dengan bantuan Lawrence mendirikan kerajaan sendiri yang terpisah dari khilfah Turki Utsmani. Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya “Lawrence of Arabia was a Zionist” seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme.

Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan Turki Utsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zonisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi penghancuran Kekhalifahan Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan mendukung pembrontakan Klan Saud terhadap Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.

Entah apa yang terjadi, namunhingga detik ini, Kerajaan Saudi Arabia, walau Makkah al-Mukaramah dan Madinah ada di dalam wilayahnya, tetap menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat. Mereka tetap menjadi sahabat yang manis bagi Amerika.

Selain film ‘Lawrence of Arabia’, ada beberapa buku yang bisa menggambarkan hal ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Antara lain:

Wa’du Kissinger (Belitan Amerika di Tanah Suci, Membongkar Strategi AS Menguasai Timur Tengah, karya DR. Safar Al-Hawali-mantan Dekan Fakultas Akidah Universitas Ummul Quro Makkah, yang dipecat dan ditahan setelah menulis buku ini, yang edisi Indonesianya diterbitkan Jazera, 2005)

Dinasti Bush Dinasti Saud, Hubungan Rahasia Antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Craig Unger, 2004, edisi Indonesianya diterbitkan oleh Diwan, 2006)

Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (George Lenczowski, 1992)

History oh the Arabs (Philip K. Hitti, 2006)

Sebab itu, banyak kalangan yang berasumsi bawah berdirinya Kerajaan Saudi Arabia adalah akibat “pemberontakan” terhadap Kekhalifahan Islam Turki Utsmani dan diback-up oleh Lawrence, seorang agen Zionis dan bawahan Jenderal Allenby yang sangat Islamofobia. Mungkin realitas ini juga yang sering dijadikan alasan, mengapa Arab Saudi sampai sekarang kurang perannya sebagai pelindung utama bagi kekuatan Dunia Islam, wallahu a’lam. (Rz)

sumber: http://www.eramuslim.com/

Fatwa Mufti Selangor & Jabatan Mufti Selangor Perihal Akidah WAHABI

Fatwa Mufti Selangor & Jabatan Mufti Selangor Perihal Akidah WAHABI


Nombor Rujukan Jabatan Mufti Selangor: ( 90 ) dlm.mufti.sel 500-1.Jld.3 Bertarikh 13 Ogos 2010 / 03 Ramadhan 1431. Jawapan Fatwa Adalah Seperti Berikut:

i- Kepercayaan Allah berjisim dan bersifat duduk bersila atau Allah bertempat adalah kepercayaan atau i’tiqad kaum MUSYABBIHAH (MUJASSIMAH). Dinamakan kaum musyabbih (menyerupakan) kerana mereka menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Mereka mengatakan bahawa Allah bertangan, berkaki, bertubuh seperti manusia. Di antara i’tiqad sesat mereka yang bertentangan dengan i’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah ialah seperti berikut:

a. Allah bermuka dan bertangan.
b. Allah duduk bersila di atas arasy.
c. Allah berada di langit.
d. Allah bertubuh serupa nur.

I’tiqad seperti di atas adalah bertentangan dengan i’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah lagi sesat dan menyesatkan kerana Allah tidak boleh sekali-kali diserupakan dengan makhluk (al-Syura ayat 11). I’tiqad ini membawa kepada syirik yang mengeluarkan seseorang daripada Islam.

ii- Amalan bertawassul sama ada dengan nabi atau orang soleh adalah diharuskan kerana pada hakikatnya mereka yang bertawassul itu beri’tiqad segala usaha ikhtiar dan doa yang dilakukan oleh manusia hanya Allah sahaja yang memperkenankannya. (al-Maidah 35)

Sekian, Wassalam.

“BERKHIDMAT KERANA ALLAH UNTUK NEGARA”

Saya yang benar,

(MAT JAIS BIN KAMOS)
Pegawai Hal Ehwal islam (Istinbat)
b/p: Mufti Negeri Selangor

Imam Ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) & Ibnu Katsir : Membungkam kelompok sesat anti takwil wahabi

Imam Ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H); Kitab Tafisrnya Telah Menohok Ajaran Sesat Wahabi Yang Anti Takwil!!! Waspadai Wahabi!!!

Melakukan Takwil terhadap Nash2 Mutasyaabihaat itu terlarang jika dilakukan oleh orang2 yg tidak mempunyai kapasitas untuk itu. Adapun untuk para ahlinya, –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Thabari; lihat scan di atas– , seperti yang dilakukan oleh para ulama Salaf Saleh, seperti; Imam Ibnu ‘Abbas, Imam Mujahid, Imam Qatadah, Imam Syu’bah, Imam Sufyan al-Tsawri, maka hal itu sudah pasti dapat dibenarkan.

Sahabat Abdullah ibn Abbas mentakwil firman Allah “Bi Aydin”; kata Aydin” adalah jamak dari “yad”, beliau mengatakan “yad” artinya “al-Quwwah” (kekuasaan)….!!!

Si Wahabi berkata: “Ulama Salaf tidak melakukan takwil?”, kata siapa??????? Jangan dipercaya omongan Wahabi, menyesatkan….!!! Omong doang digedein!!!! isi BOHONG BESAAAAAAR!!!!!!

Heh!!! Wahabi… ente mau ngomong apa lagi!!!!!!!!!!!!

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….

https://salafytobat.wordpress.com

Kitab Ithaf Imam Azabidi : kesesatan aqidah tajsim Ibnu taimiyah

Di Antara Bukti Ibn Taimiyah Sesat [[[[[[ Menohok Ajaran Sesat Wahabi ]]]]]]

هذا ما ذكره الحافظ مرتضى الزبيدي في شرح الإحياء ج2/106 طبع دار الفكر ما نصه: قال التقي السبكي “وكتاب العرش من أقبح كتبه (أي لابن تيمية) ولما وقف عليه الشيخ أبو حيان ما زال يلعنه حتى مات بعد أن كان يعظمه” اهـ بحروفه.

Terjemah:

Berikut ini adalah dari tulisan al-Imam al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Fi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddid di atas, cet. Dar al-Fikr Bairut, j. 2, hlm. 106:

“Imam Taqiyyuddin as-Subki (Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki -w 756 H-, seorang ulama yang telah mencapai derajat Mujtahid mutlak) berkata: “Buku berjudul AL-‘ARSY adalah di antara karyanya (Ibn Taimiyah) yang paling buruk [[Ibn Taimiyah al-Mujassim ini mengatakan Allah duduk di atas arsy]], ketika Syaikh Abu Hayyan al-Andaulusi mendapatkan buku ini maka ia senantiasa melaknat Ibn Taimiyah hingga beliau meninggal dunia; setelah sebelumnya beliau mengagungkan Ibn Taimiyah”.

Imam Ibn Abidin (Ulama besar madzab Hanafi ): Kaum Wahabi adalah khawarij SESAT…!!!!

Salah Seorang Ulama Terkemuka Dalam Madzhab Hanafi; Imam Ibn Abidin, MENGATAKAN bahwa Kaum Wahabi SESAT…!!!!

Ini Bukti Scan dari karya Ibn Abidin al-Hanafi dari karyanya berjudul Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar. Masih kurang apa lagi….!!!?????

Terjemah:

{{{{{ Penjelasan Tentang Pangikut Muhammad ibn Abdil Wahhab/alias Wahabi sebagai kaum Khawarij di zaman kita}}}}}

“……. seperti yang terjadi di zaman kita tentang kelompok Wahabiyyah pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang berasal dari Najd; mereka menguasai dua tanah haram (Mekah dan Madinah), mereka “ngaku-ngaku” bermadzhab Hanbali, bahkan mereka berkeyakinan bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam; dan siapapun yang meyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. maka dengan alasan ini; mereka membolehkan membunuh kaum Ahlussunnah dan para ulamanya……”.

http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=150450398305211

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i- Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi)

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i, Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi)

Kitab Karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami berjudul Hasyiyah al-Idlah Ala Manasik al-Hajj Wa al-‘Umrah (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi)

Bab VI: Menjelaskan tentang ziarah ke makam tuan kita dan baginda kita Rasulullah (Shallallahu Alyhi Wa Sallam) dan segala permasalahan yang terkait dengannya

Terjemah:

“… Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibn Taimiyah terhadapkesunahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yangtelah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan olehImam al-‘Izz ibn Jama’ah, juga sebagaimana telah panjang lebar dijelaskantentang kesesatannya oleh Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya tersendiriuntuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam). PenghinaanIbn Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karenaterhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan, –Allah maha suci darisegala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. KepadaAllah; Ibn Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lainsebagainya dari keburukan-keburuan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telahdikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan diadengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu merekayang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yangsuci ini–“.

http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=150951658255085

Kitab Siyar A’lam an-Nubala’ Imam Adzahabi – membungkam kelompok anti tawassul (wahabi)

Menohok Kaum Wahabi Yang Anti Tawassul, Dari Tulisan Adz-Dzahabi. Sodorkan Tulisan adz-Dzahabi Ini Kepada Mereka!!!!

Brikut ini kutipan dalam menjelaskan kebolehan mendatangi makam orang-orang saleh, bertawassul dengan mereka di dalam doa kepada Allah dari tulisan oleh adz-Dzahabi; salah satu rujukan utama kaum Wahabi. Setelah ini apakah orang-orang Wahabi tersebut akan mengikuti adz-Dzahabi dalam masalah tawassul atau justru akan menyalahinya dan mengatakan bahwa dia telah menjadi musyrik sebagaimana mereka menuduh seluruh umat Islam yang bertawassul telah menjadi musyrik???? [[[[ SODORKAN KENYATAAN INI KEPADA MEREKA…!!! ]]]]

Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata:

“Yang dimaksud (Imam Ibrahim al-Harbi) ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid……”.

Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 12, cet. 14, tentang biografi Imam al-Bukhari (penulis kitab Shahih); beliau adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim al-Bukhari, dalam menceritakan tentang wafatnya. simak tulisan adz-Dzahabi berikut ini:

“Abu ‘Ali al-Gassani berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami Abu al-Fath Nasr ibn al-Hasan as-Sakti as-Samarqandi; suatu ketika dalam beberapa tahun kami penduduk Samarqand mendapati musim kemarau, banyak orang ketika itu telah melakukan shalat Istisqa’, namun hujan tidak juga turun. Kemudian datang seseorang yang dikenal sebagai orang saleh menghadap penguasa Samarqand, ia berkata: “Saya punya pendapat maukah engkau mendengarkannya? Penguasa tersebut berkata: “Baik, apa pendapatmu?”. Orang saleh berkata: “Menurutku engkau harus keluar bersama segenap manusia menuju makam Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, makam beliau berada di Kharatnak, engkau berdoa meminta hujan di sana, dengan begitu semoga Allah menurunkan hujan bagi kita”. Sang penguasa berkata: “Aku akan kerjakan saranmu itu”. Maka keluarlah penguasa Samarqand tersebut dengan orang banyak menuju makam Imam al-Bukhari, banyak sekali orang yang menangis di sana, mereka semua meminta tolong kepada Imam al-Bukhari. Kemudian Allah menurunkan hujan yang sangat deras, hingga orang-orang saat itu menetap di Kharatnak sekitar tujuh hari, tidak ada seorangpun dari mereka yang dapat pulang ke Samarqand karena banyak dan derasnya hujan. Jarak antara Samarqand dan Kharatnak sekitar tiga mil”.

http://www.facebook.com/home.php?#!/notes.php?id=351534640896

Aqidah tajsim sesat aliran Karramiyyah – Sekarang Namanya Wahhabiyyah

Dulu Namanya Karramiyyah, Sekarang Namanya Wahhabiyyah; Aqidahnya Sama2 Sesat; Mengatakan Allah Bertempat Di atas Arsy.

Abû ‘Abdillâh (Muhammad Ibn Karrâm, w 255 H) telah menuliskan (dalam bukunya) bahwa Allah bertempat di atas ‘Arsy, dan bahwa Dzat-Nya berada di arah atas. Dia menyebut Allah sebagai benda (Jauhar). Dalam kitabnya berjudul “Azab al-Qabr” dia mengatakan bahwa Allah Maha Esa pada Dzat dan pada benda-Nya. Menurutnya Allah menempel dengan ‘Arsy dari sisi atas. Dia juga membolehkan bagi Allah untuk berpindah-pindah, berubah-ubah, dan turun. Di antara mereka (pengikut Ibn Karrâm) ada yang mengatakan bahwa Allah berada di atas sebagian ‘Arsy. Sebagian mereka lainnya mengatakan bahwa Allah (bertempat) memenuhi ‘Arsy. Kemudiian kalangan mereka yang datang belakangan mengatakan bahwa Allah bertempat di arah atas dengan tanpa menempel dengan ‘Àrsy.

Catat:

Di zaman sekarang keyakinan semacam ini adalah keyakinan Wahabi….!!!!

Karramiyyah = Wahhabiyyah, hanya label/nama saja yang berbeda, aqidah mereka sama-sama tasybih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya…!!!

Ditaruh di mana akal sehat mereka??? Mereka yakin arsy itu makhluk Allah; lalu mereka mengatakan Allah bertempat di atas arsy!!!

Itu artinya menurut “logika jongkok” mereka Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya!!!

Itu artinya menurut mereka Allah berubah dari semula yang ada tanpa arsy menjadi berada di atas arsy!!!!

Itu artinya mernurut mereka Allah itu baharu; berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain!!!!!

Di mana akal sehat mereka????

Lebih aneh lagi dalam saat yang sama juga mereka mengatakan Allah berada di langit!!!! Na’udzu Billah…..

http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=150455431638041&id=351534640896

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….

https://salafytobat.wordpress.com