Kisah Kehidupan sahabat : Tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim,
Abdullah ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata:
“Barangsiapa yang ingin meniru, hendaklah ia meniru perjalanan orang yang sudah mati, yaitu perjalanan para sahabat Nabi Muhammad SAW, karena mereka itu adalah sebaik-baik ummat ini, dan sebersih-bersihnya hati, sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan, dan seringan-ringannya penanggungan. Mereka itu adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi para sahabat NabiNya SAW dan bekerja untuk menyebarkan agamaNya. Karena itu, hendaklah kamu mencontohi kelakuan mereka dan ikut perjalanan mereka. Mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berdiri di atas jalan lurus, demi Allah yang memiliki Ka’bah!”
(Hilyatul-Auliya’ 1:305)

Tentang Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Dari Abu Hurairah ra., Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” (H.R. Muslim)

Dari Ibnu Mas’ud ra., berkata Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (H.R. Muslim)

Abu Sa’id Al-Khudry ra., berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kamu sekalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan kekuasaannya, kalau tidak mampu maka dengan tegurannya, dan kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim)

Dari Ibnu Mas’ud ra., bahwasanya Rasulullah ASW. bersabda: “Tidak seorang nabi pun yang diutus Allah kepada suatu ummat sebelumku kecuali ia mempunyai penolong-penolong setia dan kawan-kawan yang senantiasa mengikuti sunnahnya dan mentaati perintahnya, kemudian sesudah periode mereka timbullah penyelewengan dimana mereka mengucapkan apa yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang memerangi mereka dengan kekuasaannya maka ia adalah orang yang beriman, barang siapa yang memerangi mereka dengan ucapannya, maka ia adalah orang yang beriman dan barang siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia adalah seorang yang beriman juga; selain dari itu tidaklah ada padanya rasa iman walau hanya sebiji sawi.” (H.R. Muslim)

Abu Bakr Ash-Shiddiq ra., berkata: ” Wahai sekalian manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini : ‘Yaa ayyuhal ladziina aamnuu ‘alaikum anfusakum laa yadhurrukum man dhalla idzahtadaitum.’ (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu masing-masing, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu jika kamu telah mendapat petunjuk). Dan sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Bahwasanya manusia itu bila mengetahui orang berbuat zhalim kemudian mereka tidak mengambil tindakan, maka Allah akan meratakan siksaan kepada mereka semua.” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Dari hudzaifah ra., Rasulullah SAW bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, kamu harus sungguh-sungguh menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran, kalau tidak Allah akan menurunkan siksaan kepadamu, kemudian kamu berdoa kepadaNya, maka tidak akan dikabulkan doamu itu.” (H.R. Tirmidzi)

Ibnu Mas’ud berkata: ” Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Semoga Allah memberi cahaya berkilau-kilau kepada seseorang yang mendengar sesuatu dariku kemudian ia menyampaikan sebegaimana yang ia dengar, karena banyak orang yang disampaikan kepadanya (sesuatu itu) lebih menerima daripada orang yang mendengarnya sendiri.” (H.R. Tirmidzi)

Abu Zaid Usamah bin Haritsah ra., berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Pada hari kiamat kelak ada seseorang yang digiring lantas dilemparkan ke dalam neraka, seluruh isi perutnya keluar lalu berputar-putar seperti berputar-putarnya keledai di kincir, kemudian seluruh penghuni neraka berkumpul mengerumuninya, lantas menegur: “Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu, apakah kemu tidak beramar ma’ruf dan nahi munkar?” Ia menjawab: “Ya saya menganjurkan kebaikan tetapi saya sendiri tidak menjalankannya, dan saya melarang kemunkaran tetapi saya sendiri malah mengerjakannya.” (H.R. Bukhari & Muslim).

Dari Abu Sa’id Al-Khudry ra., Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah olehmu sekalian duduk di jalan-jalan.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami (di jalan) itu dimana kami berbincang-bincang di sana.” Rasulullah menjawab: “Apabila kamu sekalian enggan untuk tidak duduk di sana maka penuhilah hak jalan itu.” Para shahabat bertanya: “Apakah hak jalan itu ya Rasullah.” Beliau menjawab: “Yaitu memejamkan mata, membuang kotoran, menjawab salam serta menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kisah Lengkap Perjalanan Dakwah Rasulullah ke Thaif dan Islamnya seorang kristen

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim,
Abdullah ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata:
“Barangsiapa yang ingin meniru, hendaklah ia meniru perjalanan orang yang sudah mati, yaitu perjalanan para sahabat Nabi Muhammad SAW, karena mereka itu adalah sebaik-baik ummat ini, dan sebersih-bersihnya hati, sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan, dan seringan-ringannya penanggungan. Mereka itu adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi para sahabat NabiNya SAW dan bekerja untuk menyebarkan agamaNya. Karena itu, hendaklah kamu mencontohi kelakuan mereka dan ikut perjalanan mereka. Mereka itulah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang berdiri di atas jalan lurus, demi Allah yang memiliki Ka’bah!”
(Hilyatul-Auliya’ 1:305)

https://i0.wp.com/www.iqbaltravel.co.uk/pictures/map_Arabia.jpg

Taif satu Bandar yang terletak kurang lebih 60 KM dari Mekah. Ia merupakan satu kawasan bukit. Dari atas bukit Taif, kita boleh melihat Bandar Mekah.

Hawa di sini dingin. Bukit ini menjadi saksi peritnya Nabi berdakwah di bumi ini. Malaikat pernah meminta izin untuk mengambil salah satu bukit ini untuk dihempapkan kepada penduduk Taif.

Tempat Nabi berhenti bermunajat di dirikan sebuah masjid. Ia diberi nama Masjid Kuu’, bermaksud masjid siku. Ia mengambil sempena dengan keadaan Nabi berteleku dengan sikunya dalam keadaan luka-luka.Masjid ini sudah tidak digunakan lagi.  Ia dipagar oleh Kerajaan Arab Saudi dan  cuba mengatakan bahawa tempat ini bukan tempatnya Nabi berteleku, tetapi penduduk Taif mengatakan bahawa inilah tempatnya lantaran tempat inilah merupakan kawasan yang tidak jauh dari Bustan as-Thaqif tempat Nabi bertemu dengan pembesar kaum.

Ini adalah Masjid Abdullah Ibn Abbas. Makamnya tidak jauh dari masjid ini. Sahabat Abdullah bin al-Abbas r.a, utusan dakwah Nabi bagi penduduk Taif. Beliau terus duduk di sini membimbing penduduk Taif hinggalah kewafatannya.

Perjalanan ke dakwah rasulullah ke Thaif

Bukhari meriwayatkan dari Urwah, bahwa Aisyah ra. isteri Nabi SAW bertanya kepada Nabi SAW katanya: ‘Adakah hari lain yang engkau rasakan lebih berat dari hari di perang Uhud?’ tanya Aisyah ra. ‘Ya, memang banyak perkara berat yang aku tanggung dari kaummu itu, dan yang paling berat ialah apa yang aku temui di hari Aqabah dulu itu. Aku meminta perlindungan diriku kepada putera Abdi Yalel bin Abdi Kilai, tetapi malangnya dia tidak merestui permohonanku! ‘Aku pun pergi dari situ, sedang hatiku sangat sedih, dan mukaku muram sekali, aku terus berjalan dan berjalan, dan aku tidak sadar melainkan sesudah aku sampai di Qarnis-Tsa’alib. Aku pun mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku terlihat sekumpulan awan yang telah meneduhkanku, aku lihat lagi, maka aku lihat Malaikat jibril alaihis-salam berada di situ, dia menyeruku: ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu tadi, dan apa yang dijawabnya pula. Sekarang Allah telah mengutus kepadamu bersamaku Malaikat yang bertugas menjaga bukit-bukit ini, maka perintahkanlah dia apa yang engkau hendak dan jika engkau ingin dia menghimpitkan kedua-dua bukit Abu Qubais dan Ahmar ini ke atas mereka, niscaya dia akan melakukannya!‘ Dan bersamaan itu pula Malaikat penjaga bukit-bukit itu menyeru namaku, lalu memberi salam kepadaku, katanya: ‘Hai Muhammad!’ Malaikat itu lalu mengatakan kepadaku apa yang dikatakan oleh Malaikat Jibril AS tadi. ‘Berilah aku perintahmu, jika engkau hendak aku menghimpitkan kedua bukit ini pun niscaya aku akan lakukan!’ ‘Jangan… jangan! Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun… !’, demikian jawab Nabi SAW.

Musa bin Uqbah menyebut di dalam kitab ‘Al-Maghazi’ dari Ibnu Syihab katanya, bahwa Rasulullah SAW apabila pamannya, Abu Thalib, meninggal dia keluar menuju ke Tha’if dengan harapan agar penduduknya akan melindunginya di sana. Maka beliau menemui tiga pemuka Tsaqif, dan mereka itu bersaudara, yaitu: Abdi Yalel, Khubaib dan Mas’ud dari Bani Amru. Beliau menawarkan mereka untuk melindunginya serta mengadukan halnya dan apa yang dibuat oleh kaumnya terhadap dirinya sesudah kematian Abu Thalib itu, namun bukan saja mereka menolakbeliau, tetapi mereka menghalaunya dan memperlakukan apa yang tidak sewajarnya.
(Fathul Bari 6:198 – dari sumber Ibnu Ishak, Shahjh Bukhari 1:458, dan berita ini dikeluarkan juga oleh Muslim dan Nasa’i).

Abu Nu’aim memberitakan dengan lebih lengkapl dari Urwah bin Az-Zubair ra. katanya: Apabila Abu Thalib meninggal, maka semakin bertambahlah penyiksaan kaum Quraisy ke atas Nabi SAW Maka beliau berangkat ke Tha’if untuk menemui suku kaum Tsaqif dengan harapan penuh, bahwa mereka akan dapat melindunginya dan mempertahankannya. Beliau menemui tiga orang dari pemuka suku kaum Tsaqif, dan mereka itu pula adalah bersaudara, yaitu: Abdi Yalel, Kbubaib dan Mas’ud, semua mereka putera-putera dari Amru, lalu beliau menawarkan dirinya untuk diberikan perlindungan, di samping beliau mengadukan perbuatan jahat kaum Quraisy terhadap dirinya, dan apa yang ditimpakan ke atas pengikut-pengikutnya. Maka berkata salah seorang dari mereka: Aku hendak mencuri kelambu Ka’bah, jika memang benar Allah mengutusmu sesuatu seperti yang engkau katakan tadi?! Yang lain pula berkata: Demi Allah, aku tidak dapat berkatakata kepadamu, walau satu kalimah sesudah pertemuan ini, sebab jika engkau benar seorang Utusan Allah, niscaya engkau menjadi orang yang tinggi kedudukannya dan besar pangkatnya, tentu tidak boleh aku berbicara lagi kepadamu?! Dan yang terakhir pula berkata: Apakah Allah sampai begitu lemah untuk mengutus orang selain engkau? Semua kata-kata pemuka Tsaqif kepada RasuluUah SAW itu tersebar dengan cepat sekali kepada suku kaumnya, lalu mereka pun berkumpul mengejek-ngejek beliau dengan kata-kata itu.

Kemudian ketika beliau hendak pergi meninggalkan Tha’if itu, mereka berbaris di tengah jalannya dua barisan, mereka mengambil batu, lalu melempar beliau, setiap beliau melangkahkan kakinya batu-batu itu mengenai semua tubuh beliau sehingga luka-luka berdarah, dan sambil mereka melempar, mereka mengejek dan mencaci. Setelah bebas dari perbuatan suku kaum Tsaqif itu, beliau terlihat sebuah perkebunan anggur yang subur di situ. Beliau berhenti di salah satu pepohonannya untuk beristirahat dan membersihkan darah yang mengalir dari kaki dan tubuhnya yang lain, sedang hatinya sungguh pilu dan menyesal atas perlakuan kaum Tha’if itu.

Tidak lama kemudian terlihatlah Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah yang baru sampai di situ. Beliau enggan datang menemui mereka, disebabkan permusuhan mereka terhadap Allah dan RasulNya dan penentangan mereka terhadap agama yang diutus Allah kepadanya. Tetapi Utbah dan Syaibah telah menyuruh hamba mereka yang bemama Addas untuk datang kepada beliau membawa sedikit anggur untuknya, dan Addas ini adalah seorang yang beragama kristen dari negeri Niniva (kota lama dari Iraq). Apabila Addas datang membawa sedikit anggur untuk beliau, maka beliau pun memakannya, dan sebelum itu membaca ‘Bismillah!’ Mendengar itu Addas keheranan, kerana tidak pernah mendengar orang membaca seperti itu sebelumnya.

‘Siapa namamu?’ tanya Nabi SAW ‘Addas!’ ‘Dari mana engkau?’ tanya beliau lagi. ‘Dari negeri Niniva!’ jawab Addas. ‘Oh, dari kota Nabi yang saleh, Yunus bin Matta!’ Mendengar jawaban Nabi itu, Addas menjadi lebih heran dari mana orang ini tahu tentang Nabi Yunus bin Matta? Dia tidak sabar lagi hendak tahu, sementara tuannya Utbah dan Syaibah melihat saja kelakuan hambanya yang terlihat begitu mesra dengan Nabi SAW itu. ‘Dari mana engkau tahu tentang Yunus bin Matta?!’ Addas keheranan. ‘Dia seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama kepada kaumnya,’ jawab beliau. Beliau lalu menceritakan apa yang diketahuinya tentang Nabi Yunus AS itu, dan sudah menjadi tabiat beliau, beliau tidak pernah memperkecilkan siapa pun yang diutus Allah untuk membawa perutusannya. Mendengar semua keterangan dari Rasulullah SAW Addas semakin kuat mempercayai bahwa orang yang berkata-kata dengannya ini adalah seorang Nabi yang diutus Allah. Lalu dia pun menundukkan kepalanya kepada beliau sambil mencium kedua tapak kaki beliau yang penuh dengan darah itu.

Melihat kelakuan Addas yang terakhir ini, Utbah dan Syaibah semakin heran apa yang dibuat sang hamba itu. Apabila kembali Addas kepada mereka, mereka lalu bertanya: ‘Addas! Mari ke mari!’ panggil mereka. Addas datang kepada tuannya menunggu jika ada perintah yang akan disuruhnya. ‘Apa yang engkau lakukan kepada orang itu tadi?’ ‘Tidak ada apa-apa!’ jawab Addas. ‘Kami lihat engkau menundukkan kepalamu kepadanya, lalu engkau menciurn kedua belah kakinya, padahal kami belum pemah melihatmu berbuat seperti itu kepada orang lain?!’ Addas mendiamkan diri saja, tidak menjawab. ‘Kenapa diam? Coba beritahu kami, kami ingin tahu?’ pinta Utbah dan Syaibah. ‘Orang itu adalah orang yang baik, dia menceritakan kepadaku tentang seorang Utusan Allah atau Nabi yang diutus kepada kaum kami, ‘jawab Addas. ‘Siapa namanya Nabi itu?’ ‘Yunus bin Matta’ jawab Addas lagi. ‘Lalu?’ ‘Dia katakan, dia juga Nabi yang diutus!’Addas berkata jujur. ‘Dia Nabi?!’ Utbah dan Syaibah tertawa terbahak-bahak, sedang Addas mendiamkan diri melihatkan sikap orang yang mengingkari kebenaran Allah. ‘Eh, engkau bukankah kristen?’ ‘Benar,’jawab Addas. ‘Tetaplah saja dalam kristenmu itu! Jangan tertipu oleh perkataan orang itu!’ Utbah dan Syaibah mengingatkan Addas. ‘Dia itu seorang penipu, tahu tidak?!’ Addas terus mendiamkan dirinya . Sesudah itu, Rasuluilah SAW kembali ke Makkah dengan hati yang kecewa sekali.
(Dala’ilun-Nubuwah, hal. 103)

sumber : kitab hayatushabat

http://sahabatnabi.0catch.com/thaif.htm

foto dari : http://www.ustazamin.com/2009_01_01_archive.html

Bahkan Khalifah Ali Pun Mengusir Abdullah Bin Saba (Rabbi Yahudi Pendiri Syiah)

Bahkan Ali Pun Mengusir Abdullah Bin Saba

Apa yang Anda ketahui tentang pendiri Syiah: Abdullah bin Saba? Seorang Yahudi dari Yaman, Arabia, abad ketujuh, yang menetap di Madinah dan memeluk Islam—yang pada beberapa bagian sejarah, keislamannya sangat dipertanyakan.

Setelah mengkritik buruknya administrasi Kalifah Ustman, ia dibuang dari ibukota. Kemudian ia pergi ke Mesir, di mana ia mendirikan sebuah sekte anti-Usman, untuk mempromosikan kepentingan Ali. Mengetahui ia memperoleh pengaruh yang besar di situ, mengingat Ali adalah keponakan Rasulullah. Padahal, bahkan Ali sendiri pun mengusirnya ke Madain.

Setelah Ali wafat, Abdullah bin Saba terus-menerus menghembuskan isyu kepada orang-orang bahwa Ali tidak mati, tapi masih hidup, dan tidak pernah terbunuh. Ia menghembuskan kabar bahwa sebagian dari sifat Ketuhanan ada dalam diri Ali, dan bahwa setelah waktu tertentu ia akan kembali untuk memerintah bumi dengan adil.

Untuk mengacaukan Islam, Yahudi menyusun rencana untuk menambah dan menghapus hal-hal dari keyakinan Islam yang murni, Abdullah bin Saba memainkan peran penting dalam konspirasi ini, dan selama berabad-abad kita telah menyaksikan manifestasi dari distorsi bid’ah dalam ajaran Syiah.

Sejarah juga mencatat bahwa Syiah menghina agama Islam, dan menyatakan bahwa mereka adalah musuh nomor satu Muslim. Mereka sepenuhnya bekerja sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam menghancurkan Iraq dan Afghanistan. Dalam semua sejarah Islam, Syiah selalu saja menikam Islam dari belakang.

Lantas, bagaimana dengan wacana Iran yang anti-Israel dan Amerika? Hal itu sudah sejak lama diyakini sebagai sebuah retrorika belaka. Orang-orang Syiah selalu mengagungkan Ali—melampui terhadap Rasulullah Muhammad saw. Padahal Ali yang disebut sebagai singa Islam, yang berjuang untuk membela kehormatan Islam dan umat Islam, tidak pernah bekerja sama dengan musuh-musuh Islam, apalagi menumpahkan darah dan menjarah kekayaan Muslim. (sa/alqimmah/jewishencyclopedia)

WAHHABI SUATU MISTERI? WAHHABI SUATU LANJUTAN MAZHAB HANBALI? WAHHABI TIDAK SESUAI DI BUMI AHLUSUNNAH?

WAHHABI SUATU MISTERI? WAHHABI SUATU LANJUTAN MAZHAB HANBALI? WAHHABI TIDAK SESUAI DI BUMI AHULUSNNAH?

(1) WAHHABI ITU MAZHAB HANBALI?

Ada pihak menyangka bahawa puak Wahhabi itu adalah lanjutan daripada mazhab Hanbali. Soalnya, kenapa ada di kalangan ulama besar dalam mazhab Hanbali sendiri turut menyanggah puak Wahhabi dan tokoh-tokoh rujukan mereka? Jawabnya, kerana tokoh-tokoh tersebut menganut fahaman kufur tajsim dan tashbih dan kerana mereka menyalahi beberapa perkara ijmak. Oleh itu, sebelum kemunculan Ibn Taymiyyah (w. 728 H) dan pergerakan Wahhabi lagi mereka secara umumnya telah digelar sebagai mujassimah mushabbihah.

Antara tokoh mujassimah mushabbihah yang bermazhab fiqh Hanbali atau yang mendakwa bermazhab fiqh Hanbali ialah Abu ^Abdillah ibn Hamid, Abu Ya^la, Ibn al-Zaghuni, Ibn Taymiyyah al-Harrani, Ibnul-Qayyim al-Jawziyyah, pentaqlid Ibn Taymiyyah Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab al-Najdi pengasas ajaran Wahhabi dan pengikutnya yang digelar al-Wahhabiyyah atau al-Qarniyyah.

Sebahagian Senarai Ulama Mazhab Hanbali Yang Menyanggah Mujassimah Mushabbihah

1. Al-Imam al-Hafiz al-Mufassir Abul-Farj ^Abdr-Rahman ibn al-Jawzi al-Hanbali (w. 597 H) menyanggah mujassimah mushabbihah seperti Abu ^Abdillah ibn Hamid, Abu Ya^la dan Ibn al-Zaghuni yang menyelinap dalam institusi mazhab Hanbali melalui kitab beliau:
· Daf^ Shubahit-Tashbih bi-Akuffit-Tanzih fir-Radd ^alal-Mujassimah wal-Mushabbihah
· Al-Bazul-Ashhab al-Munqid ^ala Mukhalifil-Madhhab.
2. Al-Qadi Ahmad ibn ^Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Penglibatan beliau dalam menyanggah Ibn Taymiyyah dapat dilihat dalam kitab ^Uyunut-Tawarikh oleh al-Mu’arrikh Ibn Shakir al-Kutbi (w. 764 H) dan Najmul-Muhtadi wa Rajamul-Mu^tadi oleh al-Mu’arrikh al-Faqih al-Mutakallim al-Fakhr Ibnul-Mu^allim al-Qurashi (w. 725 H).
3. Qadi Qudah al-Madinah al-Munawwarah Abu ^AbdiLlah Muhammad ibn Musallam ibn Malik al-Salihi al-Hanbali (w. 726 H)
4. Al-Hafiz ^Abdur-Rahman ibn Ahmad yang dikenali dengan nama Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menyanggah pendapat Ibn Taymiyyah menyalahi ijmak berkenaan talak tiga sekaligus melalui kitab beliau:
· Bayan Mushkilil-Ahadith al-Waridah fi annat-Talaqath-Thalath Wahidah
5. Al-Shaykh Sulayman ibn ^Abdil-Wahhab al-Hanbali saudara Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab al-Najdi pengasas al-Wahhabiyyah menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Sawa^iq al-Ilahiyyah fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
· Faslul-Khitab fir-Radd ^ala Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab
6. Al-Shaykh Abul-^Awn Shamsud-Din Muhammad ibn Ahmad ibn Salim yang dikenali sebagai Ibn Safarini al-Nabulusi al-Hanbali (w. 1188 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Ajwibatun-Najdiyyah ^an al-As’ilatin-Najdiyyah
7. Al-Shaykh ^Abdullah ibn Awdah yang digelar sebagai Sufan al-Qadumi al-Hanbali (w. 1331 H) seorang alim bermazhab Hanbali di Hijaz dan Syam. Beliau menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Rihlatul-Hijaziyyah war-Riyad al-Unsiyyah fil-Hawadith wal-Masa’il
· Al-Radd ^alal-Wahhabiyyah
8. Al-Mufti Mustafa ibn al-Shaykh Ahmad ibn Hasan al-Shati al-Dimashqi al-Hanbali yang pernah menjawat sebagai Qadi di Dawma (w. 1348 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Risalatun fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
· Al-Nuqulush-Shar^iyyah fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
9. Al-Mufti Ahmad ibn Hasan al-Shati al-Dimashqi al-Hanbali menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Radd ^alal-Wahhabiyyah
10. Al-Shaykh Muhammad ibn ^Abdir-Rahman al-Hanbali menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Tahakkumul-Muqallidin bi-man Idd^a Tajdidad-Din
11. Al-Shaykh Ibn ^Abdir-Razzaq al-Hanbali menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam masalah ziarah kubur Nabi Muhammad melalui kitab beliau:
· Al-Jawabat fiz-Ziyarah
12. Al-Shaykh ^Abdul-Muhsin al-Ashqiri al-Hanbali Mufti di al-Zubayr, Basrah menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam masalah ziarah dan tawasul dengan para nabi dan solihin melalui kitab beliau:
· Al-Radd ^alal-Wahhabiyyah
13. Al-Shaykh ^Afifud-Din ibn ^Abdillah ibn Dawud al-Hanbali menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· al-Sawa^iq war-Ru^ud

(2) WAHHABI ITU BENAR TETAPI TIDAK SESUAI DI MALAYSIA?

Ada pihak yang mendakwa bahawa ajaran dan fahaman Wahhabi tidak sesuai di Malaysia meskipun ajaran Wahhabi itu benar. Soalnya, adakah benar ajaran Wahhabi itu hanya tidak sesuai di Malaysia? Adakah betul ajaran Wahhabi itu suatu ajaran yang benar? Jawabnya, ajaran Wahhabi itu bukan hanya tidak sesuai di Malaysia sahaja, bahkan tidak sesuai di mana-mana tempat pun di dunia ini!! Ajaran Wahhabi juga bukan suatu ajaran yang benar kerana seluruh tokoh besar ulama empat mazhab menolak aqidah kufur tajsim yang merupakan salah satu ajaran dan fahaman sesat Wahhabi.

Setelah sebahagian ulama mazhab Hanbali disenaraikan di atas, berikut pula adalah sebahagian senarai ulama mazhab Shafi^i (ramai di dunia Arab seperti Mesir, Hijaz, Syam, Somalia, Habsyah dan Yaman juga di Asia Tenggara dan lain-lain), Maliki (ramai di dunia Arab seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Nigeria dan Maghribi dan lain-lain) dan Hanafi (ramai di dunia Arab seperti Hijaz, Syam, Mesir dan Iraq juga ramai di Turki, Afghanistan, Pakistan, India dan China dan lain-lain) yang menolak aqidah tajsim dan tashbih serta beberapa perkara sesat yang lain yang dibawa oleh puak mujassimah mushabbihah sebelum zaman al-Mujassim Ibn Taymiyyah sehingga zaman kewujudan al-Mujassimah al-Wahhabiyyah.

Sebahagian Senarai Ulama Mazhab Shafi^i Yang Menyanggah Mujassimah Mushabbihah

1. Sultanul-^Ulama’ ^Izzud-Din ^Abdul-^Aziz ibn ^Abdis-Salam al-Sulami (w. 660 H) menyanggah puak mujassimah yang berselindung di sebalik slogan aqidah Salaf dan aqidah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab beliau:
· Al-Milhah fi I^tiqad Ahlil-Haqq
· Al-Radd ^alal-Mubtadi^ah wal-Hashwiyyah
2. Al-Qadi al-Mufassir Badrud-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama^ah al-Shafi^i (w. 733 H)
3. Al-Shaykh al-Faqih Nurud-Din ^Ali ibn Ya^qub al-Bakri al-Shafi^i (w. 724 H)
4. Al-Shaykh Kamalud-Din Muhammad ibn Abil-Hasan ^Ali al-Siraj al-Rifa^i al-Qurashi al-Shafi^i menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Tuffahul-Arwah wa Fattahul-Arbah
5. Al-Shaykh al-Faqih Shamsud-Din Muhammad ibn ^Adlan al-Shafi^i (w. 749 H). Beliau pernah berkata: “Sesungguhnya Ibn Taymiyyah berkata: “Sesungguhnya Allah di atas Arasy dengan sifat atas yang hakiki dan sesungguhnya Allah berkata-kata dengan suatu huruf dan suatu suara”.”.
6. Al-Imam al-Hafiz al-Mujtahid Taqiyyud-Din al-Subki al-Shafi^i (w. 756 H) menyanggah al-Mujassim Ibn Taymiyyah al-Harrani dalam pelbagai masalah melalui kitab-kitab beliau:
· Al-I^tibar bi-Baqa’il-Jannah wan-Nar
· Al-Durratul-Madiyyah fir-Radd ^ala Ibn Taymiyyah
· Shifa’us-Saqam fi Ziyarah Khayril-Anam
· Al-Nazarul-Muhaqqaq fil-Halaf bit-Talaqil-Mu^allaq
· Naqdul-Ijtima^ wal-Iftiraq fi masa’ilil-Ayman wat-Talaq
· Al-Tahqiq fi Mas’alatit-Ta^liq
· Raf^ush-Shiqaq ^an Mas’alatit-Talaq
7. Al-Qadi Safiyud-Din al-Hindi al-Shafi^i (w. 715 H)
8. Al-Muhaddith al-Mufassir al-Usuli al-Faqih Muhammad ibn ^Umar ibn Makki yang dikenali sebagai Ibn al-Murahhil al-Shafi^i (w. 716 H)
9. Al-Faqih al-Muhaddith ^Ali ibn Muhammad al-Baji al-Shafi^i (w. 714 H) pernah berdebat dengan Ibn Taymiyyah di empat belas tempat dan beliau mengalahkannya.
10. Al-Mu’arrikh al-Faqih al-Mutakallim al-Fakhr Ibnul-Mu^allim al-Qurashi al-Shafi^i (w. 725 H) menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitabnya:
· Najmul-Muhtadi wa Rajmul-Mu^tadi
11. Al-Qadi al-Shaykh Kamalud-Din ibn al-Zamlakani al-Shafi^i (w. 727 H) berdebat dengan Ibn Taymiyyah dengan dua risalah iaitu pertama dalam masalah talak tiga sekaligus dan kedua dalam masalah ziarah.
12. Al-Shaykh Shihabud-Din Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenali sebagai Ibn Jahbal al-Shafi^i (w. 733 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam tulisan beliau:
· Risalatun fi Nafyil-Jihah
13. Al-Faqih al-Muhaddith Jalalud-Din Muhammad al-Qazwini al-Shafi^i (w. 739 H)
14. Al-Hafiz al-Dhahabi al-Shafi^i (w. 748 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam dua tulisan beliau:
· Bayan Zaghlil-^Ilm wat-Talab
· Al-Nasihat al-Dhahabiyyah
15. Al-Hafiz al-Faqih al-Usuli Abu Sa^id Khalil Salahud-Din al-^Ala’i al-Shafi^i (w. 761 H) mencela Ibn Taymiyyah dalam kitab Dhakh’irul-Qasr fi Tarajum Nubala’il-^Asr oleh Ibn Tulun di halaman 32 – 33. Al-Hafiz al-^Ala’I juga menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Ahadith Ziayarah Qabrin-Nabi
16. Al-Faqih al-Shaykh Tajud-Din al-Subki al-Shafi^i (w. 771 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Tabaqatush-Shafi^iyyatil-Kubra
17. Al-Hafiz Ibn Hajar al-^Asqalani al-Shafi^i (w. 852 H) mendedahkan pandangan ulama terhadap kesesatan Ibn Taymiyyah dan beliau sendiri menyanggah penyelewengan Ibn Taymiyyan melalui kitab-kitab beliau:
· Al-Durarul-Kaminah fi A^yanil-Mi’atith-Thaminah
· Lisanul-Mizan
· Fathul-Bari Sharh Sahih al-Bukhari
· Al-Isharah bi-Turuq Hadithiz-Ziyarah
· Al-Ajwibatul-Mardiyyah fir-Radd ^alal-As’ilatil-Makkiyyah
18. Al-Faqih al-Mu’arrikh Ibn Qadi Shuhbah al-Shafi^i (w. 851 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Tarikh Ibn Qadi Shuhbah
19. Al-Faqih al-Shaykh Taqiyyud-Din Abu Bakr al-Hisni al-Shafi^i (w. 826 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan mendedahkan kesepakatan ulama empat mazhab sezaman di atas kekufuran Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Daf^ Shubah Man Shabbaha wa Tamarrad wa Nasaba Dhalika ilal-Imam Ahmad
20. Al-Hafiz al-Sakhawi al-Shafi^i (w. 902 H) menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Al-I^lan bit-Tawbikh li-man Dhammat-Tarikh
21. Al-Shaykh Ibn Hajar al-Haytami al-Shafi^i (w. 974 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Fatawal-Hadithiyyah
· Al-Jawharul-Munazzam fi Ziyaratil-Qabril-Mu^azzam
22. Al-Shaykh ^Abdur-Ra’uf al-Munawi al-Shafi^i (w. 1031 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Sharhush-Shama’il lit-Tirmidhi
23. Al-Muhaddith Muhammad ibn ^Ali ibn ^Illan al-Siddiqi al-Makki al-Shafi^i (w. 1057 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Mubarridul-Mubki fi Raddis-Sarimil-Munki
24. Al-Shaykh ^Abdullah ibn ^Abdul-Latif al-Shafi^i pernah menjadi guru kepada pengasas Wahhabiyyah Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab. Beliau telah menyanggah Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab melalui kitab beliau:
· Tajrid Sayfil-Jihad li-Muda^il-Ijtihad
25. Al-Shaykh Muhammad ibn Sulayman al-Kurdi al-Shafi^i pernah menjadi guru kepada pengasas Wahhabiyyah Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab. Beliau menyanggah Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab dalam kitab beliau:
· Al-Radd ^ala Muhammad ibn ^Abdil-Wahhab
26. Al-Mufti al-Sayyid Ahmad ibn Zayni Dahlan al-Shafi^i (w. 1304 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam melalui kitab beliau:
· Al-Durarus-Sunniyyah fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
· Fitnatul-Wahhabiyyah
27. Al-^Allamah Barakat al-Ahmadi al-Makki al-Shafi^i menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Raddun ^ala Ibn ^Abdil-Wahhab
28. Al-Shaykh Muhammad Salih al-Zamzami al-Shafi^i imam di Maqam Ibrahim di Mekah
· Al-Radd ^alal-Wahhabiyyah
29. Al-^Allamah al-Sayyid Yusuf al-Batah al-Ahdal al-Zabidi al-Makki al-Shafi^i (w. 1246 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Risalatun fi Jawazil-Istighathah wat-Tawassul
30. Al-Shaykh Zaynul-^Abidin ibn Muhammad al-Fatani mendedahkan dan menolak kesesatan puak mujassimah di zaman beliau dalam kitab beliau:
· Irshadul-^Ibad ila Sabilir-Rashad
31. Al-Shaykh Ahmad Khatib ibn ^Abdul-Latif al-Minankabawi imam mazhab Shafi^i di Masjidil-Haram menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Khattul-Mardiyyah fi Radd Shubhah Man Qal bi-Bid^atit-Talaffiz bin-Niyyah
32. Al-Shaykh Hasanud-Din ibn Muhammad Ma^sum ibn Abi Bakr al-Dali al-Jawi al-Shafi^i menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Qutufatus-Sunniyyah li-Man^ Ba^d ma fil-Fawa’idil-^Aliyyah
33. Al-Musnid al-Habib al-Sayyid Abul-Ashbal Salim ibn Husayn ibn Jindan al-Indunisi al-Shafi^i (w. 1389 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Khulasatul-Kafiyah fil-Asanidil-^Aliyah
34. Al-Faqih al-Habib al-Sayyid ^Alawi ibn Tahir al-Haddad al-Hadrami al-Shafi^i Mufti Negeri Johor mendedahkan kesesatan puak al-Wahhabiyyah yang digelar Kaum Muda dalam kitab beliau:
· Fatwa Mufti Kerajaan Negeri Johor
35. Al-^Allamah al-Habib al-Sayyid ^Alawi ibn Ahmad al-Haddad al-Shafi^i (w. 1222 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Sayful-Batir li-^Unuqil-Munkir ^alal-Akabir
· Misbahul-Anam wa Jila’uz-Zalam fi Radd Shubahil-Bid^iyyil-Najdiyyillati Adalla bi-hal-^Awam
36. Al-Shaykh Salamah al-^Azami al-Quda^i al-Misri al-Shafi^i menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Furqanul-Qur’an bayn Sifatil-Khaliq wa Sifatil-Akwan. Dalam kitab ini beliau menyanggah aqidah tajsim Ibn Taymiyyah dan al-Wahhabiyyah.
· Al-Barahinus-Sati^ah fi Radd Ba^dil-Bida^ish-Sha’i^ah
· Maqalat fi Jaridatil-Muslim (al-Misriyyah)
· Risalatun fi Ta’yid Madhhabis-Sufiyyah war-Radd ^alal-Mu^taridin ^alayhim
37. Al-Shaykh Ahmad ibn ^Ali al-Basri al-Qabbani al-Shafi^i menyanggah puak al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Faslul-Khitab fi Radd Dalalat Ibn ^Abdil-Wahhab
38. Al-Shaykh ^Uthman ibn al-^Umari al-^Aqili al-Shafi^I menyanggah puak al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Risalatun fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
39. Al-Shaykh al-Kiyahi Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri al-Indunisi al-Shafi^i menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Sirajut-Talibin ^ala Minhajil-^Abidin ila Jannah Rabbil-^Alamin
40. Al-Shaykh al-Kiyahi Sirajud-Din ^Abbas al-Indunisi al-Shafi^i (w. 1401 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· I^tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah
· Arba^inil-Masa’il-Diniyyah: Empat Puluh Masalah Agama
41. Al-Shaykh al-Kiyahi ^Ali Ma^sum al-Jukjawi al-Shafi^i (w. 1410 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Hujjah Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah
42. Al-Shaykh al-Kiyahi Ahmad ^Abdul-Halim al-Qindili al-Indunisi al-Shafi^i menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· ^Aqa’id Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah
43. Al-Shaykh al-Kiyahi Ahmad Makki ^Abdullah Mahfuz al-Indunisi al-Shafi^i menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Hisnus-Sunnah wal-Jama^ah fi Ma^rifah Firaq Ahlil-Bida^
44. Al-Shaykh al-Kiyahi Muhammad Shafi^I Hadhami ibn Muhammad Salih Ra’idi al-Indunisi Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia, Jakarta (1990 – 2000 R) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Tawdihul-Adillah
45. Al-Hafiz al-Muhaddith al-Zahid al-Shaykh ^Abdullah ibn Muhammad al-Harari al-Abdari al-Shaybi al-Rifa^i al-Shafi^i (w. 1429 H) mufti di Harar, Habsyah menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah dalam kitab-kitab beliau seperti:
· Al-Maqalatus-Sunniyyah fi Kashf Dalalat Ahmad ibn Taymiyyah
· Sarihul-Bayan fir-Radd ^ala Man Khalafal-Qur’an
· Al-Tahdhirush-Shar^iyyil-Wajib

. Bughyatut-Talib

Sebahagian Senarai Ulama Mazhab Maliki Yang Menyanggah Mujassimah Mushabbihah

1. Al-Qadi Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki
2. Al-Faqih al-Mutakallim al-Sufi al-Shaykh Tajud-Din Ahmad ibn ^Ata’iLlah al-Iskandari al-Shadhili (w. 709 H)
3. Qadi Qudah al-Malikiyyah ^Ali ibn Makhluf (w. 718 H). Beliau pernah berkata: “Ibn Taymiyyah berkata dengan aqidah tajsim dan di sisi kami barangsiapa yang berpegang dengan iktikad ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
4. Al-Faqih al-Rahhalah Ibn Battutah (w. 779 H) mendedahkan kesesatan Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Rihlah Ibn Battutah
5. Al-Hafiz Waliyyud-Din Abu Zur^ah Ahmad ibn ^Abdur-Rahim al-^Iraqi al-Maliki (w. 826 H) menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Ajwibatul-Mardiyyah fir-Radd ^alal-As’ilatil-Makkiyyah
6. Al-Shaykh ^Umar ibn Abil-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w. 734 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· Al-Tuhfatul-Mukhtarah fir-Radd ^ala Munkiriz-Ziyarah
7. Al-Shaykh ^Isa al-Zawawi al-Maliki (w. 743 H) menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Risalatun fi Mas’alatit-Talaq
8. Shaykh Ifriqiya Abu ^Abdullah ibn ^Arafah al-Tunisi al-Maliki (w. 803 H)
9. Al-Shaykh Ahmad Zaruq al-Fasi al-Maliki (w. 899 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· Sharh Hizbil-Bahr
10. Al-Shaykh Muhammad al-Razqani al-Maliki (w. 1122 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Sharhul-Mawahibil-Laduniyyah
11. Al-Shaykh Idris ibn Ahmad al-Wazani al-Fasi al-Maliki (dilahirkan pada 1272 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Nashrut-Tayyib ^ala Sharhish-Shaykh al-Tayyib
12. Mufti al-Madinah al-Munawwarah al-Shaykh al-Muhaddith Muhammad al-Khadir al-Shanqiti al-Maliki (w. 1353 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Luzumut-Talaqith-Thalath Daf^ahu bi-ma la Yastati^ul-^Alim Daf^ahu
· Qam^ Ahliz-Zaygh wal-Ilhad ^anit-Ta^n fi Taqlid A’immatil-Ijtihad
13. ^Alim Makkah Muhammad al-^Arabi al-Tabban al-Maliki (w. 1390 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Bara’atul-Ash^ariyyin min ^Aqa’idil-Mukhalifin
14. Al-Hafiz al-Mujtahid al-Shaykh al-Sayyid Ahmad ibn al-Siddiq al-Ghumari al-Maghribi al-Maliki (w. 1380 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah dalam kitab-kitab beliau seperti:
· Hidayatus-Sughara’
· Al-Qawlul-Jali
· Ihya’ul-Maqbur min Adillah Istihbab Bina’il-Masajid wal-Qubab ^alal-Qubur
15. Al-Muhaddith al-Shaykh al-Sayyid ^Abdullah ibn al-Siddiq al-Ghumari al-Maghribi al-Maliki (w. 1413 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah melalui kitab-kitab beliau seperti:
· Itqanus-Sin^ah fi Tahqiq Ma^nal-Bid^ah
· Al-Subhus-Safir fi Tahqiq Salatil-Musafir
· Al-Rasa’ilul-Ghumariyyah
16. Al-Shaykh al-Mashraqi al-Jaza’iri al-Maliki menyanggah al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Izharul-^Uquq min-man Mana^at-Tawassul bin-Nabi wal-Waliyyis-Saduq
17. Shaykhul-Islam di Tunisia al-Shaykh Isma^il al-Tamimi al-Maliki (w. 1248 H) menyanggah al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Radd ^ala Ibn ^Abdil-Wahhab
18. Al-Shaykh Ahmad al-Sawi al-Maliki menolak puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Hashiyatus-Sawi ^ala Tafsiril-Jalalayn
19. Al-Shaykh Ibrahim ibn ^Abdil-Qadir al-Tarabulusi al-Riyahi al-Tunisi al-Maliki (w. 1266 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Radd ^alal-Wahhabiyyah
20. Al-Shaykh Muhammad al-Sa^di al-Maliki menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Risalatul-Mardiyyah fir-Radd ^ala Man Munkiriz-Ziyaratil-Muhammadiyyah
21. Al-Shaykh Yusuf ibn Ahmad al-Dijwi al-Azhari al-Maliki (w. 1365 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab-kitab beliau:
· Risalatun fi Tasarrufil-Awliya’
· Al-Maqalat
22. Al-Shaykh ^Ali ibn Muhammad al-Mayli al-Jamali al-Tunisi al-Maghribi al-Maliki menyanggah aqidah tajsim puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Suyuful-Mashraqiyyah li-Qat^ A^naqil-Qa’ilin bil-Jihah wal-Jismiyyah
23. Al-Shaykh ^Abdul-^Aziz al-Qurashi al-^Alji al-Ahsa’i al-Maliki menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui tulisan beliau:
· Qasidatun fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah

Senarai Ulama Mazhab Hanafi Yang Menyanggah Mujassimah Mushabbihah

1. Al-Qadi Muhammad ibn al-Hariri al-Ansari al-Hanafi
2. Qadil-Qudah di Mesir al-Shaykh Ahmad ibn Ibrahim al-Saruji al-Hanafi (w. 710 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· I^tiradat ^ala Ibn Taymiyyah fi ^Ilmil-Kalam
3. Al-Shaykh Ahmad ibn ^Uthman al-Turkamani al-Juzjani al-Hanafi (w. 744 H) menyanggah Ibn Taymiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Abhathul-Jaliyyah fir-Radd ^ala Ibn Taymiyyah
4. Al-^Allamah al-Shaykh ^Ala’ud-Din al-Bukhari al-Hanafi (w. 841 H) mengkafirkan Ibn Taymiyyah dan mengkafirkan sesiapa yang menamakannya sebagai Shaykhul-Islam dalam keadaan mengetahui kekufurannya. Ini telah disebut oleh al-Hafiz al-Sakhawi dalam kitab beliau al-Daw’ul-Lami^.
5. Al-Shaykh Muhammad ibn Ahmad Hamidid-Din al-Farghani al-Dimashqi al-Hanafi (w. 867 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· Al-Radd ^ala Ibn Taymiyyah fil-I^tiqad
6. Al-Qadi al-Bayadi al-Hanafi (w. 1098 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam kitab beliau:
· Isharatul-Maram min ^Ibaratil-Imam
7. Al-Shaykh al-Mulla ^Ali al-Qari al-Hanafi (w. 1014 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· Sharhushi-Shifa lil-Qadi ^Iyad
8. Al-Shaykh Ahmad al-Khafaji al-Misri al-Hanafi (w. 1069 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dengan kitab beliau:
· Sharhushi-Shifa lil-Qadi ^Iyad
9. Al-Shaykh ^Abdul-Ghani al-Nabulusi al-Dimashqi al-Hanafi (w. 1143 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dalam banyak kitab beliau.
10. Al-Shaykh Muhammad Bakhit al-Muti^i al-Hanafi pernah menjadi mufti di Mesir (w. 1354 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Tathirul-Fu’ad min Danasil-I^tiqad
11. Al-^Allamh al-Shaykh Muhammad Zahid al-Kawthari al-Hanafi (w. 1371 H) menyanggah Ibn Taymiyyah dan puak al-Wahhabiyyah melalui kitab-kitab beliau seperti:
· Kitab Maqalatil-Kawthari
· Al-Ta^aqqubul-Hathith li-ma Yanfi-hi Ibn Taymiyyah minal-Hadith
· Al-Buhuthul-Wafiyyah fi Mufradat Ibn Taymiyyah
· Al-Ishfaq ^ala Ahkamit-Talaq
· Tahdhirul-Khalaf min Makhazi Ad^iya’is-Salaf
· Muhiqqul-Taqawwul fi Mas’alatit-Tawassul
12. Al-Shaykh Nu^man ibn Mahmud Khayrid-Din yang dikenali sebagai Ibn al-Alusi al-Baghdadi al-Hanafi (w. 1317 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Ajwibatun-Nu^maniyyah ^anil-As’ilah al-Hindiyyah fil-^Aqa’id
13. Al-Faqih al-Shaykh ^Ata al-Kasam al-Dimashqi al-Hanafi menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Aqwalul-Mardiyyah fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
14. Al-Muhaddith al-Shaykh Tahir Sunbul al-Hanafi menyanggah puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Al-Intisar lil-Awliya’il-Abrar
15. Al-Shaykh Muhammad al-Nafilati al-Hanafi mufti di al-Quds al-Sharif (masih hidup pada tahun 1315 H) menyanggah al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Al-Tahriratur-Ra’iqah
16. Al-Shaykh HamduLlah al-Dajiwi al-Hindi al-Hanafi menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-Basa’ir li-Munkiri al-Tawassul bi-Ahlil-Maqabir
17. Al-Shaykh ^Abdullah ibn Ibrahim al-Miraghni al-Hanafi yang mendiami Ta’if menyanggah al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Tahridul-Aghniya’ ^alal-Istighathah bil-Anbiya’ wal-Awliya’
18. Al-Shaykh Dawud ibn Sulayman al-Baghdadi al-Naqshabandi al-Hanafi (w. 1299 H) menyanggah puak al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Sulhul-Ikhwan fir-Radd ^ala Man Qal ^alal-Muslimin bish-Shirk wal-Kufran
· Al-Mihnatul-Wahbiyyah fir-Radd ^alal-Wahhabiyyah
19. Al-Shaykh Muhammad Amin yang lebih dikenali sebagai Ibn ^Abidin al-Dimashqi al-Hanafi menolak puak al-Wahhabiyyah dalam kitab beliau:
· Raddul-Muhtar ^alad-Durril-Mukhtar
20. Al-Shaykh ^Abdur-Rahman al-Hindi al-Dilhi al-Hanafi menyanggah al-Wahhabiyyah dengan kitab beliau:
· Rawdul-Majal fir-Radd ^ala Ahlid-Dalal
21. Al-Shaykh Ahmad ibn ^Abdil-Ahad al-Faruqi al-Naqshabandi al-Hanafi menyanggah al-Wahhabiyyah melalui kitab beliau:
· Al-^Aqa’idut-Tis^

(3) WAHHABI SUATU PERKARA KHILAFIYYAH?

Perkara khilafiyyah ialah perkara yang menjadi perselisihan pendapat di antara ulama mujtahidin seperti perselisihan di antara empat imam mazhab yang utama. Khilafiyyah seperti ini suatu yang dibenarkan kerana berlaku dalam lingkungan perkara furu^iyyah (cabangan) dan ­ijtihad ulama mujtahidin. Manakala tiada seorang tokoh pun di kalangan Wahhabiyyah yang bertaraf mujtahid. Oleh itu, jika ada yang mendakwa bahawa Wahhabi ialah puak yang tidak bermazhab Shafi^i seperti tidak membaca qunut solat Subuh dan menghukum amalan tersebut sebagai bidaah, maka takrifan ini tidak tepat. Kenapa? Kerana seluruh tokoh besar selain mazhab Shafi^i iaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali yang tidak mengamalkan qunut itu pun turut menolak puak Wahhabi seperti senarai di atas. Ini menunjukkan bahawa perselisihan Wahhabi bukan setakat dengan mazhab Shafi^i sahaja. Malah, mereka berselisih pendapat dengan empat mazhab yang muktabar. Bahkan, sebenarnya puak Wahhabi menyalahi ijmak ulama Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah dalam perkara aqidah dan syariat. Maknanya, persoalan Wahhabi tidak wajar dianggap perkara khilafiyyah, bahkan, sewajarnya Wahhabi ini dianggap telah mencarik ijmak.

Antara perkara aqidah yang telah diijmakkan dan puak Wahhabi menyalahinya ialah aqidah bahawa Allah ada tanpa bertempat. Puak Wahhabi beranggapan bahawa kewujudan Allah mesti bertempat kerana bagi mereka sesuatu yang tidak bertempat ada suatu yang tiada. Maha suci Allah… Ini suatu kesesatan dan kekufuran yang nyata!!!

(4) WAHHABI SUATU MISTERI?

Tulisan ini tidak mampu menyenaraikan semua tokoh yang menyanggah puak mujassimah kerana sangat ramai ulama Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah terutama daripada kalangan empat mazhab Hanafi, Maliki, Shafi^i dan tokoh-tokoh utama mazhab Hanbali yang menyanggah puak mujassimah mushabbihah sedari kemunculan bidaah aqidah tajsim sehingga kini yang digelar al-Wahhabiyyah.

Aqidah tajsim dan tashbih yang dibawa oleh al-Wahhabiyyah dengan dicanangkan bahawa mereka membawa aqidah al-salaf al-salih telah pun dibuat oleh beberapa tokoh mujassimah sebelum ini. Mereka menyelinap masuk ke dalam empat institusi mazhab fiqh muktabar. Institusi mazhab fiqh yang paling ramai dimasuki puak mujassimah ini ialah institusi mazhab Hanbali sedangkan al-Imam Ahmad ibn Hanbal berlepas diri dari kesesatan mereka.

Selain label aqidah salaf, pada zaman sekarang puak mujassimah ini selalu berselindung di sebalik slogan yang baik yang lain seperti menolak bid^ah, kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah, Darul-Sunnah, ijtihad, tajdid, Mazhab Shafi^i tulin dan lain-lain lagi.

Selayaknya untuk ditegaskan di sini ialah aqidah tajsim dan tashbih suatu aqidah kufur yang sangat berbahaya kepada umat Islam. Oleh kerana seluruh tokoh utama mazhab sepanjang zaman menolak aqidah sesat dan kufur ini, maka anda jangan terpengaruh dengan dakwaan dan sangkaan bahawa Wahhabi suatu ajaran yang benar cuma tidak sesuai di Malaysia serta mendakwa polemik Wahhabi ini hanya melibatkan masalah khilaf mazhab sahaja.

Akhirnya, jauhilah sesiapa yang berkata: “Wahhabi suatu istilah misteri”, atau “Saya tidak tahu apa itu Wahhabi”, atau “Jika pandangan saya sedikit berbeza dengan JAIS atau mazhab Shafi^i itu dianggap Wahhabi, maka ramailah orang Wahhabi!”, atau “Wahhabi suatu label yang direka oleh penjajah untuk memecahbelahkan umat Islam” sedangkan dia beraqidah tajsim (seperti mereka yang berpegang dengan zahir nas-nas mutashabihat bahawa Allah ada anggota tangan, kaki dan muka dan bahawa Allah duduk di atas Arasy atau bertempat di atas Arasy dan langit). Sebenarnya kata-kata seumpama itu adalah suatu pembohongan yang bertujuan untuk memisterikan kewujudan al-Wahhabiyyah di pandangan orang ramai, sedangkan sedari awal kemunculan al-Wahhabiyyah sehingga kini ramai ulama empat mazhab di seluruh benua dan kepulauan umat Islam telah pun mendedahkan sejarah kesesatan mereka.

WaLlahu a^lam wa ahkam.

AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT: Wahhabiyyah Musyabbihah Menyelewengkan Firman Allah QS Thaha:5 Utk Menetapkan Keyakinan Rusak Mereka.. Anda Jangan Terkecoh!!!

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 yang kita maksud adalah:

الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)

Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh kita pahami makna zhahirnya adalah firman Allah dalam QS. Thaha: 5 ini. Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya mengatakan bahwa makna “istawa” dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk. Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa al-Imam Malik suatu ketika ditanya tentang makna istawa, lalu beliau berkata: “al-Istiwa’ Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak benar. Riwayat yang benar dari al-Imam Malik tentang ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dari jalur sanad Abdullah ibn Wahb dan Yahya ibn Yahya, sebagai berikut:

”Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ahmad ibn Muhammad ibn Isma’il ibn Mahran, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku ayahku (Muhammad ibn Isma’il), berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Rabi’ ibn Akhi Risydin ibn Sa’ad, berkata: Aku telah mendengar Abdullah ibn Wahb berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-’arsy istawa, bagaimanakah istawa-Nya?”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Saat itu al-Imam Malik mengeluarkan keringat dingin sambil menunduk karena marah atas pertanyaan tersebut, lalu ia mengangkat kepala sambil berkata: ”ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, sebagaima Dia mensifati diri-Nya demikian, tidak boleh dikatakan baginya bagaimana, karena pertanyaan bagaimana bagi-Nya dihilangkan (Artinya mustahil, karena “bagaimana” hanya untuk mempertanyakan sifat benda), engkau adalah seorang yang berpemahaman buruk dan seorang ahli bid’ah, keluarkanlah orang ini!”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Maka saat itu juga orang tersebut dikeluarkan -dari majelis Al-Imam Malik-” (Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Selain jalur sanad di atas, dalam jalur sanad lainnya al-Hafizh al-Bayhaqi menuliskan sebagai berikut:

“Telah mengkabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harits al-Faqih al-Ashfahani, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah ibn Ja’far ibn Hayyan yang dikenal denga Abu al-Syaikh, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Ja’far ibn Zairak al-Bizzi, berkata: Aku mendengar Muhammad ibn ‘Amr ibn al-Nadlr al-Naisaburi, berkata: Aku mendengar Yahya ibn Yahya berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy istawa…, bagaimanakah istawa Allah?”. Ia (Yahya ibn Yahya) berkata: Saat itu Al-Imam Malik menunduk dan berkeringat karena marah mendapat pertanyaan tersebut, kemudian ia berkata: ”al-Istiwa’ ghair Majhul (artinya jelas penyebutan “istawa” dalam al-Qur’an), Wa al-Kayf Ghair Ma’qul (artinya; istawa tidak boleh dimaknai dengan sifat-sifat benda), beriman dengan adanya “istawa” adalah kewajiban, mempertanyakan bagaimana istawa (Kayf istawa?) adalah bid’ah, dan saya melihatmu sebagai seorang ahli bid’ah”. Kemudian al-Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan -dari majelisnya-”(Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Riwayat yang yang menyebutkan bahwa al-Imam Malik berkata: “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak memiliki sanad yang benar. Riwayat ini seringkali dipakai oleh kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, karena sejalan dengan hawa nafsu mereka dalam menetapkan keserupaan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam keyakinan kaum Musyabbihah bahwa Allah memiliki Kayf (sifat benda) dalam istawa-Nya, hanya saja -menurut mereka- Kayf tersebut tidak dapat kita ketahui. Mereka telah menetapkan Kayf (sifat benda) bagi Allah, mereka tidak mensucikan Allah dari Kayf. Seringkali mereka mengatakan; ”Allah bersemayam di atas arsy, tapi tidak seperti bersemayam kita”. Ini adalah kata-kata yang menyesatkan, karena di dalamnya sama dengan menetapkan sifat benda (kayf) bagi Allah.

Sementara itu, para ulama Khalaf berbeda dengan para ulama Salaf, mereka melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa makna istawa dalam ayat tersebut berarti menguasai dan menundukkan (al-Qahr wa al-Ghalabah wa al-Istila’). Menafsirkan makna istawa dengan menundukkan (al-Istila’) tidak berarti menuntut keharusan adanya pertarungan dan mengalahkan terlebih dahulu (Sabq al-Mughalabah). Karena yang dimaksud dengan makna al-Istila’ di sini adalah al-Qahr; yang berarti menguasai tanpa harus mengalahkannya terlebih dahulu. Karena sifat al-Qahr ini adalah sifat yang terpuji bagi Allah, dan Allah sendiri memuji diri-Nya dengan sebutan nama al-Qahhar dan al-Qahir; yang berarti menguasai seluruh makhluk-Nya. Tentang ini Allah berfirman:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)

Artinya; “Dia Allah yang menguasai para hamba-Nya”.

Makna istawa dalam pengertian ”menguasai” (al-Istila’ wa al-Qahr) juga telah dinyatakan oleh seorang ahli fiqih terkemuka, ahli hadits, dan ahli bahasa, yaitu al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, beliau berkata:

“Seorang yang mentakwil semacam ini (takwil Istawa dengan Istawla) sama sekali tidak melakukan kesalahan yang dilarang, dan juga orang tersebut tidak mensifati Allah dengan sifat yang tidak boleh bagi-Nya (Artinya takwil tersebut sesuatu yang dibenarkan)” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 107).

Takwil Istawa dalam makna Istwla ini, juga telah diberlakukan oleh al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, beliau berkata:

“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kemudian al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan pula:

“Ada beberapa orang merasa bahwa diri mereka sebagai orang yang paham dalam masalah ini, seandainya aku tidak megkhawatirkan akan rusaknya pemahaman orang-orang awam dan pemikiran mereka maka aku akan penuhi kitab ini dengan penjelasan panjang lebar sebagai bantahan terhadap orang-orang tersebut. Mereka itu mengatakan: ”Kita harus mengambil makna zhahih teks-teks mutasyabihat dan memberlakukannya sebagaimana apa adanya yang mengindikasikan bahwa Allah memiliki keserupaan atau bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan”. Mereka biasanya berpegang kepada ayat QS. Ali ‘Imran: 7 bahwa yang mengetahui takwil itu hanya Allah saja, sementara kita tidak boleh mentakwil. Orang-orang semacam ini, demi Allah, lebih berbahaya dari pada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang penyembah berhala. Karena kesesatan dan kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan para penyembah berhala jelas terlihat dengan kasat mata dan dapat dihindari oleh setiap orang Islam. Namun kesesatan dan kekufuran orang-orang tersebut di atas dapat tersamar bagi orang-orang Islam yang berpemahaman lemah hingga mereka ikut menjadi sesat seperti orang-orang tersebut. Mereka akan menjelaskan dan menanamkan keyakinan terhadap orang-orang yang akan disesatkannya bahwa Allah memiliki anggota badan, memiliki sifat-sifat tubuh, seperti naik, turun, bersandar, terlentang, bersemayam dan bertempat, pulang pergi dari satu arah ke arah yang lain. Orang yang ikut dengan mereka akan berkesimpulan bahwa Allah tidak ubahnya seperti benda-benda. Orang ini kemudian akan menjadi sesat tanpa ia sadari” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kesimpulan;

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 tersebut di atas tidak boleh dipahami bahwa Allah bertempat, duduk, atau bersemayam di atas arsy. Karena arsy adalah makhluk Allah, dan Allah mustahil membutuhkan kepada makhluk-Nya. Sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy, demikian pula setelah menciptakan arsy Dia ada tanpa arsy. Tetapi makna “Istawa” dalam ayat tersebut adalah “Yang Maha Menguasai”. Ingat; ketetapan akidah Rasulullah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam dari generasi ke generasi; yaitu kaum Ahlussunnah adalah; “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….

https://salafytobat.wordpress.com

Evolution of the wahhabiyyah from Ibn Taymiyya

watch and share!

since some have commented on the hadith ibn taymiyya quoted .
visit the 2 links provided below to know more on the hadith :

http://hadithproofsfortawassul.blogsp…

http://hadithproofsfortawassul.blogsp…

Regarding sayf :
QUESTION: I was wondering what you could tell me about Sayf b. Umar. He is a primary source for Imam al-Tabari’s material in his Tarikh. What is his reliability and all of the other necessary info.

Reply of Dr. GF Haddad:

Sayf ibn `Umar Al-Asadi al-Tamimi al-Dabbi al-Kufi (d. ca. 178) met the Tabi`in and was a “chronicler” (akhbari) as opposed to a muhaddith historian and the author of al-Ridda, Futuh al-Buldaan, al-Fitnatu wal Jamal and other historical works.

In hadith he was declared weak by Yahya ibn Ma`in, Ya`qub ibn Sufyan, al-Nasa’i, and Abu Dawud. Abu Hatim said he was “discarded, of the same type as al-Waqidi.” Al-Daraqutni said he was discarded. Ibn Hibban even said he was accused of hidden heresy (zandaqa) and forgery, charges which Ibn Hajar rejected as outlandish in al-Taqrib where he merely grades him as da`if, while Dr. Nur al-Din `Itr in his notes on al-Dhahabi’s Mughni says: “There is no proof of any zandaqa in him, rather, the narrations from him indicate the contrary.”

Al-Tirmidhi narrates from him the hadith: “When you see those who insult my Companions, say: The curse of Allah be on the evil you do!” which al-Tirmidhi then grades “disclaimed” and he describes Sayf as unknown. Al-Dhahabi in al-Mughni fil-Du`afa’ said he was “discarded by agreement” and, in Tarikh al-Islam, said “he narrated from Jabir al-Ju`fi, Hisham ibn `Urwa, Isma`il ibn Abi Khalid, `Ubayd Allah ibn `Umar, and many unknowns and chroniclers.”

Yet, he is considered not only reliable but “eminently reliable” in history, as shown by Ibn Hajar’s grading in the Taqrib: “Da`if fil-hadith, `umdatun fil-tarikh,” notwithstanding the acrimonious dissent of Shu`ayb al-Arna’ut and Bashshar `Awwad Ma`ruf in their Tahrir al-Taqrib. Indeed, he a primary source for al-Tabari in his Tarikh, Ibn Hajar in his Isaba, and Ibn Kathir in his Bidaya while Ibn `Abd al-Barr cites him in al-Isti`ab as does al-Sakhawi in Fath al-Mughith. Even al-Dhahabi cites him often in his Tarikh al-Islam.

Follow up Questions:

[1] I was wondering, sidi, if you could explain the reasoning behind why and how a specific narrator who is discarded or weak in hadith can be considered “eminently reliable” when it comes to history? What were the reasons behind Sayf’s weakness in narrating hadith as opposed to historical events?

[2] is the identification of the “unknown man” as hadhrat bilal ra by sayf ibn umar al-tamimi in the malik al-dar narration considered a historical report?

Reply of Dr. GF Haddad:

Those who questioned the `adl of al-Waqidi and Sayf were dismissed.The issue here is dabit vs. non-dabit. You know well we can have honest people who do not have a clue what dabt requires. Imam Malik mentioned that he met 70 extremely honest shuyukh in Madina but he did not narrate from a single one of them because they were nescient in hadith transmission. Now, take someone who does have a clue but given the abundance of things he transmits he makes so many mistakes that he becomes similarly discardable. Now make him so erudite, so researched, so full of gems that it is simply impossible to discard him altogether. This is the case with al-Waqidi and Sayf. These scholars would go to the actual sites of battles and look for descendents and interview them one by one for stories. Hence the large number of “unknowns” in their chains. Yet, when it comes to purely historical details such as whether a certain Sahabi was a Badri or not, they might even best al-Bukhari and Muslim.

And yes, the identification of the Sahabi in Malik al-Dar’s report as Bilal ibn al-Harith al-Muzani [NOT Bilal ibn Rabah al-Habashi, in case that is whom the respondent meant by “Hadrat Bilal”] is definitely a historical clue. Allah Most High be well-pleased with them all.

Hadith 3: Response to al-Albani’s Objections

Shaykh al-Albani [RH]:

“Firstly: We do not accept that this story is authentic since the reliablity and precision of Maalik ad-Daar is not known, and these are two principle conditions necessary for the authenticity of any narration, as is affirmed in the science of hadeeth. Ibn Abee Haatim mentions him in al-Jarh wa-Ta’deel (4/1/213) and does not mention anyone who narrates from him except Abu Saalih. So this indicates that he is unknown, and this is further emphasized by the fact that Ibn Abee Haatim himself, who is well known for his memorization and wide knowledge, did not quote anyone who declared him reliable, so he remains unknown. Then this does not contradict the saying of al-Haafidh (Ibn Hajar): ‘…with an authentic chain of narration, from the narration of Abu Saalih as-Samaan…’ since we say: It is not declaration that all of the chain of narration is authentic (saheeh), rather only that it is so up to Abu Saalih. If that were not the case then he would have begun: ‘From Maalik ad-Daar … and its chain of narration is authentic.’ But he said it in the way that he did to draw attention to the fact that there was something requiring investigation in it. The scholars say this for various reasons. From these reasons is that they may not have been able to find a biography for some narrator(s) and therefore they would not permit themselves to pass a ruling of authenticity without certainity and cause others to think it authentic and to use it as a proof. So what they would rather do in such a case is to quote the part requiring further examination, which is what al-Haafidh (rahimahullah) did here. It is also as if he indicates the fact that Abu Saalih as-Samaan is alone in reporting from Maalik ad-Daar, or that he is unknown, and Allah knows best. So this is a very fine point of knowledge which will be realized only by those having experience in this field. What we have said is also aided by the fact that al-Haafidh al-Mundhiree reports another story from the narration of Maalik ad-Daar, from ‘Umar in at-Targheeb (2/41-42) and says after it: ‘at-Tabaraanee reports it in al-Kabeer. Its narrators up to Maalik ad-Daar are famous and reliable, but as for Maalik ad-Daar then I do not know him.’ The same is said by al-Haythamee in Majma’ az-Zawaa’id (3/125).”

THE RESPONSE:

Excerpted from Dr. Tahir ul-Qadri’s book: Islamic Concept of Intermediation [slight editing by me]

Mālik ad-Dār has related:

The people were gripped by famine during the tenure of ‘Umar (bin al-Khattāb). Then a Companion walked up to the Prophet’s grave and said, “O Messenger of Allah, please ask for rain from Allah for your Community who is in dire straits.” Then the Companion saw the Prophet in a dream. The Prophet said to him, “Go over to ‘Umar, give him my regards and tell him that the rain will come to you. And tell ‘Umar that he should be on his toes, he should be on his toes, (he should remain alert).” Then the Companion went over to see ‘Umar and passed on to him the tidings. On hearing this, ‘Umar broke into a spurt of crying. He said, “O Allah, I exert myself to the full until I am completely exhausted.”[26]

Ibn Kathīr has confirmed the soundness of its transmission in al-Bidāyah wan-nihāyah (5:167). Ibn Abū Khaythamah narrated it with the same chain of transmission as quoted by Ibn Hajar ‘Asqalānī in al-Isābah fī tamyīz-is-sahābah (3:484), while the latter writes in Fath-ul-bārī (2:495-6): “Ibn Abū Shaybah transmitted it with a sound chain of transmission and Sayf bin ‘Umar Tamīmī has recorded it in al-Futūh-ul-kabīr that the dreamer was a Companion known as Bilāl bin Hārith Muzanī.” Qastallānī has remarked in al-Mawāhib-ul-laduniyyah (4:276) that Ibn Abū Shaybah has narrated it with a sound chain of transmission while Zurqānī has supported Qastallānī in his Commentary (11:150-1).

It is quite surprising that some people have tried to dub even this soundly transmitted tradition as weak and, therefore, lacking the sinews to face a rigorously probing analysis, though this is far from the truth. They have marshalled in their favour the following objections:

First objection:

One of its narrators is A‘mash who is a Mudallis.

Reply:

Though A‘mash is a Mudallis, his tradition is popular for two reasons whether its soundness is proved or not:1. A‘mash is regarded as a second-grade Mudallis, and this is a class of Mudallis from whom our religious leaders recorded traditions in their authentic books. Therefore, it is proved that this tradition narrated by A‘mash is accepted.2. If we accept this tradition only on the basis of its transmission by A‘mash, as is the practice in the case of third-grade or even lower-grade Mudallis, even then the tradition by A‘mash is likely to retain its popularity as he has copied it from Abū Sālih Dhakawān Sammān. Imam Dhahabī comments: “When A‘mash begins a tradition with the word ‘an (from) there is a possibility of imposture and deception. But if he relates it from his elders like Ibrāhīm, Ibn Abū Wā’il, Abū Sālih Sammān, etc., then it is presumed to possess sound linkage (ittisāl).[27] In addition, Imam Dhahabī has also described him as trustworthy (thiqah). [comment: please see also the clarification from sidi Abul Hasan on the issue of al-A’mash posted below]

Second objection:

Albānī in his book at-Tawassul, ahkāmuhū wa anwa‘uhū observes, “I do not acknowledge it authentic because the credibility and memory of Mālik ad-Dār is not known and these are the two basic criteria for any authentic narrator of traditions. Ibn Abū Hātim Rāzī in Kitāb-ul-jarh wat-ta‘dīl [4/1/213(8:213)], while discussing Mālik ad-Dār, has not mentioned any narrator except Abū Sālih who has accepted any tradition from him, which shows that he is unknown. It is also supported by the fact that Ibn Abū Hātim Rāzī, who himself is a leading figure of Islam and a memorizer of traditions, has not mentioned anyone of them who has pronounced him trustworthy (thiqah). Similarly Mundhirī has remarked that he does not know him while Haythamī in his Majma‘-uz-zawā’id, has supported his observation…”

Reply:

This objection is refuted by the biographical details which Ibn Sa‘d (d.230ah) has furnished while discussing him among the second-grade Medinan Successors:

Malik al-Dar: `Umar ibn al-Khattab’s freedman. He narrated from Abu Bakr and `Umar. He was known. [28]

In addition, this objection is also cancelled by Khalīlī’s (d.445 ah) comment on Māik ad-Dār:

Malik al-Dar: muttafaq `alayh athna `alayhi al-tabi`un — He is agreed upon (as trustworthy), the Successors have approved highly of him [29]

Besides, the biographical sketch provided by Ibn Hajar ‘Asqalānī also serves to neutralize this objection:

“Malik ibn `Iyad: `Umar’s freedman. He is the one named Malik al-Dar. He has seen the Prophet and has heard narrations from Abu Bakr al-Siddiq. He has narrated from Abu Bakr and `Umar, Mu`adh, and Abu `Ubayda. From him narrated Abu Salih al-Saman and his (Malik’s) two sons `Awn and `Abd Allah…Bukhari in his Tarikh narrated through Abu Salih Dhakwan from Malik al-Dar that `Umar said during the period of drought: “O my Lord, I spare no effort except in what escapes my power!” Ibn Abi Khaythama also narrated it in those words but in a longer hadith:The people suffered a drought during the time of `Umar, whereupon a man came to the grave of the Prophet and said: “O Messenger of Allah, ask Allah for rain for your Community.” The Prophet appeared to him in a dream and told him: “Go, see `Umar and tell him: You will be watered, and: You must put your nose to the grindstone (`alayk al-kaffayn)!” (The man went and told `Umar.) Then `Umar wept and exclaimed: “O my Lord, I spare no effort except in what escapes my power!”We have also narrated in the Fawa’id of Dawud ibn `Amr and al-Dabbi compiled by al-Baghawi in the narration of `Abd al-Rahman ibn Sa`id ibn Yarbu` al-Makhzumi from Malik al-Dar: he said: “`Umar ibn al-Khattab summoned me one day. He had with him a purse of gold containing four hundred dinars. He said: “Take this to Abu `Ubayda,” and he mentioned the rest of the story.Ibn Sa`d mentioned him (Malik al-Dar) in the first layer of the Successors among the people of Madina and said: “He narrated from Abu Bakr and `Umar, and he was known.” Abu `Ubayda said of him: “`Umar put him in charge of the dependents in his household. When `Uthman succeeded him, he put him in charge of financial allotments and he was then named Malik of the House.”Isma`il al-Qadi related from `Ali ibn al-Madini: “Malik al-Dar was `Umar’s treasurer.”” [30]

Ibn Hibbān has attested to the trustworthiness and credibility of Mālik ad-Dār in Kitāb-uth-thiqāt (5:384).[31]

Now if Mundhirī and Haythamī insist that they do not know Mālik ad-Dār, it means that they have not asserted anything about his credibility or lack of credibility. However there are traditionists of great repute like Imam Bukhārī, Ibn Sa‘d, ‘Alī bin Madīnī, Ibn Hibbān and Ibn Hajar ‘Asqalānī who know him. Ibn Hajar ‘Asqalānī has even mentioned him in Tahdhīb-ut-tahdhīb (7:226; 8:217).

It is shocking to learn that Albānī gives weight to the opinion of those who do not know Mālik ad-Dār and prefers them to those who know him. Albānī has discarded the traditions of Mālik bin ‘Iyād who is popularly known by the title “ad-Dār” while the great Companions appointed him as their minister because they relied on his trustworthiness. He was even given the portfolio of finance minister, an office that requires honesty, integrity and a huge sense of responsibility. On the contrary, Albānī gives credence to the traditions of those who enjoyed a much lower status than Mālik ad-Dār. The following examples support my contention:

1. He has pronounced Yahyā bin ‘Uryān Harawī as hasan (fair) in Silsīlat-ul-ahādīth-is-sahīhah (1:49). His argument is based on the statement made by Khatīb Baghdādī in Tārīkh Baghdad (14:161) in which he declares Yahyā bin ‘Uryān Harawī as a traditionist of Baghdad.

This statement is quite transparent. Khatīb Baghdādī has argued neither in favour of nor against Yahyā bin ‘Uryān Harawī. His stance is neutral, as he has not tried to establish the stature of his narrations. He has not labelled them as authentic or inauthentic. In spite of his posture of neutrality, it is quite surprising that Albānī has called him fair (hasan).

2. Abū Sa‘īd Ghifārī has also been pronounced a fair narrator in Silsilat-ul-ahādīth-is-sahīhah (2:298). After stating that he is no longer unknown because two narrators have acknowledged traditions from him, he writes, “So he is a Successor. A group of those who have committed the traditions to memory have verified the authenticity of his traditions. Therefore, ‘Irāqī has declared the traditions attributed to him as authentic (isnāduhū jayyid), and there is no harm in it. This gave me a sense of satisfaction and I felt deeply contented.”

The question is why has he tried to discriminate between Abū Sa‘īd Ghifārī and Mālik ad-Dār?

3. Sālih bin Khawwāt has also been pronounced credible in Silsilat-ul-ahādīth-is-sahīhah (2:436) because a group of people has relied on his traditions, and Ibn Hibbān has mentioned him in Kitāb-uth-thiqāt.

While, according to our research, Ibn Hajar ‘Asqalānī has described him as an acceptable narrator in Taqrīb-ut-tahdhīb (1:359) and has also stated that he belonged to the eighth category of Successors. If an eighth-grade narrator is being described as credible, what justification is there to pronounce a first-grade Successor as un-credible? The discrimination seems to be rooted more in prejudice than reason.

Therefore, the silence of Ibn Abū Hātim Rāzī is hardly an argument against the unknown stature of Mālik ad-Dār because his silence is based on lack of evidence about the narrator. Thus the absence of evidence and reasoning does not reflect the unknowingness of the narrator, which his silence neither explains nor indicates towards any definite interpretation. On the contrary, it opposes any attempt to establish the unknowingness of the narrator. There are a number of narrators about whom Ibn Abū Hātim Rāzī has remained silent though other scholars have argued about them and the books on tradition and related issues are riddled with similar examples.

Third objection:

There is a suspicion of discontinuance between Abū Sālih Dhakawān Sammān and Mālik ad-Dār.

Reply:

This suspicion is a fallacy, as it has no basis in reality. In its rejection, it is sufficient to say that Abū Sālih like Mālik ad-Dār was a native of Medina and he has reported traditions from the Companions. Therefore, he is not an impostor and a fraud. It may also be noted that only contemporaneity is an adequate guarantee for the connection of transmission as Imam Muslim has mentioned the consensus in the Preamble (muqaddimah) of his as-Sahīh.

Fourth objection:

There is no justification for the soundness of this tradition because it entirely depends upon a person whose name has not been spelled out. Only in the tradition narrated by Sayf bin ‘Umar Tamīmī, he has been named Bilāl and Sayf has declared him as a weak narrator.

Reply:

This objection is also groundless, because justification does not depend on Bilāl but on ‘Umar bin al-Khattāb’s act. He did not prevent Bilāl from performing his act; on the contrary, he acknowledged it. He rather himself cried and said: ‘my Creator, I do not shirk responsibility but I may be made more humble.’ Therefore the person visiting the grave, whether he is a Companion or a Successor, does not affect the soundness of the tradition.

The gist of the discussion is that the tradition related by Mālik ad-Dār is sound, as I have stated in the earlier part of my exposition. Muhammad bin ‘Alawī al-Mālikī writes: “All those people who have made reference to this tradition or narrated it or reproduced it in their books have never labelled it disbelief or infidelity. They have not questioned the substance of the tradition and it has been mentioned by a scholarly person of high level like Ibn Hajar ‘Asqalānī who has confirmed it as a soundly transmitted tradition. Therefore his confirmation needs no apology in view of his highly distinguished stature among the hadith-scholars.” [32]

This tradition establishes the following principles:

1. Visiting graves with the intention of mediation and seeking help.

2. It is valid to visit the grave of a pious dead person during the period of one’s trials and tribulations to seek help from him because if this act were invalid, ‘Umar would surely have forbidden that person to do so.

3. The Prophet’s appearance in the dream of the person who visited his grave and to give him good tidings, argues in favour of the fact that it is quite valid to seek help from non-Allah and the dead because if it were invalid, it would have been impossible for the Prophet not to have forbidden that person to do so.

4. Validation of the mode of address “O Messenger of Allah (yā rasūl Allah)” even after his death.

5. Call for help and the act of intermediation dates back to the early ages.

6. The holy personality of the Prophet is a fountain of guidance even after his death.

7. The head of the state is responsible for administrative matters. The Holy Prophet , in spite of being the chief of prophets, did not break the state channel and, as a visible demonstration of his sense of discipline, he commanded the man visiting his grave to see the head of the state.

8. The man visiting the grave implored his help through the instrumentality of the Ummah. This shows the Prophet’s immeasurable love for the Community of his followers.

9. Justification for making the Ummah as a source for seeking his help.

10. Justification for making non-prophet a means of help in the presence of the Prophet صلى الله عليه وآله وسلم

11. Anyone who strengthens his link with the Holy Prophet is rewarded by his sight and is showered with his blessings.

12. The Holy Prophet , even after his death, is aware of the weakness of his Ummah or anyone of its rulers and he issues different commands for removing these flaws.

13. To seek guidance from Allah’s favourites.

14. The acknowledgement of the Prophet’s commands by the Companions after his death as just and truthful.

15. Imposition of commands received in dreams on others.

16. When intermediation was discussed in the presence of ‘Umar bin al-Khattāb, he did not forbid it; rather he cried and responded to it acknowledging it as valid.

17. ‘Umar bin al-Khattāb’s love for the Holy Prophet that he incessantly cried as someone mentioned the Holy Prophet

[NOTES:[26]. Related by Ibn Abū Shaybah in al-Musannaf (12:31-2#12051); Bayhaqī, Dalā’il-un-nubuwwah (7:47); Ibn ‘Abd-ul-Barr, al-Istī‘āb fī ma‘rifat-il-ashāb (2:464); Subkī, Shifā’-us-siqām fī ziyārat khayr-il-anām (p.130); ‘Alā’-ud-Dīn ‘Alī, Kanz-ul-‘ummāl (8:431#23535); and Abū Ya‘lā Khalīl bin ‘Abdullāh Khalīlī Qazwīnī in Kitāb-ul-irshād fī ma‘rifat ‘ulamā’-il-hadith (1:313-4), as quoted by Mahmūd Sa‘īd Mamdūh in Raf‘-ul-minārah (p.262).[27]. Dhahabī, Mīzān-ul-i‘tidāl (2:224).[28]. Ibn Sā‘d, at-Tabaqāt-ul-kubrā (5:12).[29]. Abū Yā‘lā Khalīl bin ‘Abdullāh Khalīlī Qazwīnī, Kitāb-ul-irshād fī ma‘rifat ‘ulamā’-il-hadith, as quoted by ‘Abdullāh bin Muhammad bin Siddīq al-Ghumārī in Irghām-ul-mubtadī al-ghabī bi-jawāz-it-tawassul bi an-nabī (p.9).[30]. Ibn Hajar ‘Asqalānī, al-Isābah fī tamyīz-is-sahābah (3:484-5).[31]. Mahmūd Sa‘īd Mamdūh, Raf‘-ul-minārah (p.266). Ibn Hajar ‘Asqalānī also mentioned in his Tahdhīb-ut-tahdhīb (7:226; 8:217).[32]. Muhammad bin ‘Alawī al-Mālikī, Mafāhīm yajib an tusahhah (p.151). ]

———————————————————-

Some further points to add, inshaAllah:

It has already been mentioned above that Ibn Hajar considered Malik al-Dar RA to be a sahabah when he stated:

“Malik ibn `Iyad: `Umar’s freedman. He is the one named Malik al-Dar. He has seen the Prophet and has heard narrations from Abu Bakr al-Siddiq. He has narrated from Abu Bakr and `Umar, Mu`adh, and Abu `Ubayda. From him narrated Abu Salih al-Saman and his (Malik’s) two sons `Awn and `Abd Allah…

Sidi Abul Hasan has also brought to light that the Hafiz of Hadith and famed Historian: Shamsud-Din al-Dhahabi (d. 748 AH) has listed Malik ibn Iyad as a Sahaba in his Tajrid Asma al-Sahaba, which was printed in Hyderabad, India, in the year 1315 AH – i.e. more than 100 years ago.

In addition, Malik al-Dar has been listed as being a Sahabi by Imam Ibn Hajar’s student: Imam Taqiud-Din Ibn Fahd al-Makki (d. 871 AH) in his Mukhtasar Asma al-Sahaba. This has been found from the Al-Azhar manuscript.

[ Larger scans can be reviewed HERE ]
Malik ibn Iyad in Tajrid Asma al-Sahaba of al-Hafiz Shamsud-Din al-Dhahabi (d. 748 AH)

Title page:


Actual scanned page with Malik al-Dar being listed as a Sahabi:


Malik ibn Iyad in Mukhtasar Asma al-Sahaba of Imam Taqiud-Din Ibn Fahd al-Makki (d. 871 AH)

Sidi Abul Hasan goes on to mention:

The fact that these 3 well known scholars: al-Dhahabi, Ibn Hajar and Ibn Fahd listed Malik al-Dar in specific works mentioning those they considered to be noble Sahaba is a proof against those contemporaries who deem Malik al-Dar to be unknown! Such Imams must have surely possessed some definitive evidence to list Malik al-Dar as a Sahabi.


It may also be mentioned that since Ibn Kathir (the contemporary of al-Dhahabi) declared the Malik al-Dar narration to be authentic, then he too must have considered Malik to be at least Thiqa (trustworthy), if not a Sahabi.

Sidi Abul Hasan also mentioned HERE (slight editing by me) regarding the following statement of al-Albani :

“Thirdly: Even if the story were authentic there would still be no proof in it for them since the man (i.e. who came to the grave) in the story is himself not named, and therefore unknown. The fact that he is named as Bilaal ibn al-Haarith in the narration of Sayf is worthless since Sayf is Sayf ibn ‘Umar at-Tameemee, and the scholars of hadeeth are agreed that he is weak. Indeed Ibn Hibbaan says about him: ‘He reports fabricated things from reliable narrators, and they say that he used to fabricate hadeeth.'”

…..the narration has a Sahih Isnad as: Ibn Hajar and before him: Ibn Kathir explicitly declared in 2 different books.

Thirdly, the narration with Isnads back to Malik al-Dar are found in Bayhaqi’s Dala’il al-Nubuwwa and collected before him by Ibn Abi Khaythama and Ibn Abi Shayba as we know. It was also collected with its Isnad by Abu Ya’la al-Khalili in his Irshad. Not one of these Imams of Hadith questioned the text or isnad for its authenticity or it being a route to shirk as the Wahhabi’s think!

Without Isnad, it was mentioned in shorter forms by: Ibn Abdal Barr in his al-Isti’ab and al-Bukhari in his Ta’rikh al-Kabir (under Malik al-Dar) – these two Imams didn’t attack his narration in any form.

Fourthly, Sayf ibn Umar – no doubt he was problematic – BUT, Imam ibn Hajar al-Asqalani in his Taqreeb al-Tahdhib (no. 2724) said that he was “Da’eef fil Hadith Umda fil Ta’rikh…” Meaning: “Weak in Hadith, a PILLAR in HISTORY..”
Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Hence: Since the narration from Malik al-Dar is not a Hadith but an Athar (report) from a Tabi’i – this would be regarded as a Historical report from the time of Umar (ra) – This is why Ibn Hajar accepted it, and I have just been looking a little bit deeper into this and have noted that Sayf’s narration – naming explicitly the fact that the Sahabi who went to the blessed Qabr – Bilal ibn Harith al-Muzani, was also mentioned by these famous Historians and well regarded Muhaddithin:

Ibn Kathir in his al-Bidaya
Ibn al-Athir al-Jazari in his al-Kamil fi al Ta’rikh
Abu Ja’far al-Tabari in his Ta’rikh(see under the year 18 AH)

Hence, since Sayf is reporting this as a Historical report – the likes of Imam ibn Hajar accepted his narration that it was Bilal al-Muzani (ra) – so this is just another ploy by the Wahhabiyya to reject his historical report. If it was a Hadith – then Sayf’s narration would be rejected!

[comment: please read also the related answer to the Fourth Objection posted above]

faqir: regarding Sayf ibn Umar al-Tamimi Sh. GF Haddad also mentioned the following:

QUESTION: I was wondering what you could tell me about Sayf b. Umar. He is a primary source for Imam al-Tabari’s material in his Tarikh. What is his reliability and all of the other necessary info.

Reply of Dr. GF Haddad:

Sayf ibn `Umar Al-Asadi al-Tamimi al-Dabbi al-Kufi (d. ca. 178) met the Tabi`in and was a “chronicler” (akhbari) as opposed to a muhaddith historian and the author of al-Ridda, Futuh al-Buldaan, al-Fitnatu wal Jamal and other historical works.

In hadith he was declared weak by Yahya ibn Ma`in, Ya`qub ibn Sufyan, al-Nasa’i, and Abu Dawud. Abu Hatim said he was “discarded, of the same type as al-Waqidi.” Al-Daraqutni said he was discarded. Ibn Hibban even said he was accused of hidden heresy (zandaqa) and forgery, charges which Ibn Hajar rejected as outlandish in al-Taqrib where he merely grades him as da`if, while Dr. Nur al-Din `Itr in his notes on al-Dhahabi’s Mughni says: “There is no proof of any zandaqa in him, rather, the narrations from him indicate the contrary.”

Al-Tirmidhi narrates from him the hadith: “When you see those who insult my Companions, say: The curse of Allah be on the evil you do!” which al-Tirmidhi then grades “disclaimed” and he describes Sayf as unknown. Al-Dhahabi in al-Mughni fil-Du`afa’ said he was “discarded by agreement” and, in Tarikh al-Islam, said “he narrated from Jabir al-Ju`fi, Hisham ibn `Urwa, Isma`il ibn Abi Khalid, `Ubayd Allah ibn `Umar, and many unknowns and chroniclers.”

Yet, he is considered not only reliable but “eminently reliable” in history, as shown by Ibn Hajar’s grading in the Taqrib: “Da`if fil-hadith, `umdatun fil-tarikh,” notwithstanding the acrimonious dissent of Shu`ayb al-Arna’ut and Bashshar `Awwad Ma`ruf in their Tahrir al-Taqrib. Indeed, he a primary source for al-Tabari in his Tarikh, Ibn Hajar in his Isaba, and Ibn Kathir in his Bidaya while Ibn `Abd al-Barr cites him in al-Isti`ab as does al-Sakhawi in Fath al-Mughith. Even al-Dhahabi cites him often in his Tarikh al-Islam.

Follow up Questions:

[1] I was wondering, sidi, if you could explain the reasoning behind why and how a specific narrator who is discarded or weak in hadith can be considered “eminently reliable” when it comes to history? What were the reasons behind Sayf’s weakness in narrating hadith as opposed to historical events?

[2] is the identification of the “unknown man” as hadhrat bilal ra by sayf ibn umar al-tamimi in the malik al-dar narration considered a historical report?

Reply of Dr. GF Haddad:

Those who questioned the `adl of al-Waqidi and Sayf were dismissed.The issue here is dabit vs. non-dabit. You know well we can have honest people who do not have a clue what dabt requires. Imam Malik mentioned that he met 70 extremely honest shuyukh in Madina but he did not narrate from a single one of them because they were nescient in hadith transmission. Now, take someone who does have a clue but given the abundance of things he transmits he makes so many mistakes that he becomes similarly discardable. Now make him so erudite, so researched, so full of gems that it is simply impossible to discard him altogether. This is the case with al-Waqidi and Sayf. These scholars would go to the actual sites of battles and look for descendents and interview them one by one for stories. Hence the large number of “unknowns” in their chains. Yet, when it comes to purely historical details such as whether a certain Sahabi was a Badri or not, they might even best al-Bukhari and Muslim.

And yes, the identification of the Sahabi in Malik al-Dar’s report as Bilal ibn al-Harith al-Muzani [NOT Bilal ibn Rabah al-Habashi, in case that is whom the respondent meant by “Hadrat Bilal”] is definitely a historical clue. Allah Most High be well-pleased with them all.

[end of Dr. GF Haddad’s words]

Sidi Abul Hasan also mentioned:

These people have also come off with claims that the narartor in the Isnad: al-A’mash may have made Tadlees – that is not clarifying how he received his report from: Abu Salih, since A’mash sometimes made Tadlees. He used the term: An (from) – which is not a very clear way to show how the narration was received by him.

The answer to this is the fact that A’mash using “An” – from Abu Salih is not considered as tadlees – because Imam al-Bukhari in his Sahih accepted this type of route, as did: Ibn Hajar and Ibn Kathir.

Some others have claimed that Abu Salih al-Samman may not have heard from Malik al-Dar – another mistake on their part- for al-Khalili and Ibn Sa’d clarified that he did!

Much of what I said has been answered by Shaykh Mamduh – for al-Albani and his colleagues like: Abu Bakr al-Jaza’iri and Hammad al-Ansari – showed fanaticism and weakness in the Science of Hadith – when they took on the correct grading of the likes of Ibn Kathir and Ibn Hajar. Also, al-Albani deliberately misinterpreted Ibn Hajar’s words – when claiming that Ibn Hajar authenticated it only up to Abu Salih al-Samman!…..

For further details on this narration please consult

Shaykh Mahmud Mamduh’s reply to al-Albani on his weakening a narration on Tawassul

Narration of Malik al-Dar

HADITH NUMBER 3:

NARRATION OF MALIK AL-DAR

Imam al-Bayhaqi relates with a sound (sahih) chain:

It is related from Malik al-Dar, `Umar’s treasurer, that the people suffered a drought during the successorship of `Umar, whereupon a man came to the grave of the Prophet and said:

“O Messenger of Allah, ask for rain for your Community, for verily they have but perished,” after which the Prophet appeared to him in a dream and told him: “Go to `Umar and give him my greeting, then tell him that they will be watered. Tell him: You must be clever, you must be clever!”

The man went and told `Umar. The latter said: “O my Lord, I spare no effort except in what escapes my power!””

Ibn Kathir cites it thus from Bayhaqi in al-Bidaya wa al-nihaya and says: isnaduhu sahih;[25] Ibn Abi Shayba cites it in his Musannaf with a sound (sahih) chain as confirmed by Ibn Hajar who says: rawa Ibn Abi Shayba bi isnadin sahih and cites the hadith in Fath al-bari.[26] He identifies Malik al-Dar as `Umar’s treasurer (khazin `umar) and says that the man who visited and saw the Prophet in his dream is identified as the Companion Bilal ibn al-Harith, and he counts this hadith among the reasons for Bukhari’s naming of the chapter “The people’s request to their leader for rain if they suffer drought.” He also mentions it in al-Isaba, where he says that Ibn Abi Khaythama cited it.[27]”



What follows is the original Arabic wording of this hadith of tawassul in Umar ibn al Khattab’s time as cited by various major scholars of Hadith:

[kindly provided by Sidi Abul Hasan]

From the Musannaf (12/31-32) of ibn Abi Shayba (d. 235 AH)

مُصَنَّفُ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ >> كِتَابُ الْفَضَائِلِ >> مَا ذُكِرَ فِي فَضْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ >>
يَا رَبِّ لَا آلُو إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ *

31380 حدثنا أبو معاوية ، عن الأعمش ، عن أبي صالح ، عن مالك الدار ، قال : وكان خازن عمر على الطعام ، قال : أصاب الناس قحط في زمن عمر ، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا ، فأتى الرجل في المنام فقيل له : ” ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مستقيمون وقل له : عليك الكيس ، عليك الكيس ” ، فأتى عمر فأخبره فبكى عمر ثم قال : يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه *

From Imam al-Bayhaqi’s Dala’il al-Nubuwwa (7/47)

دَلَائِلُ النُّبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ >> جُمَّاعُ أَبْوَابِ غَزْوَةِ تَبُوكَ >> جُمَّاعُ أَبْوَابِ مَنْ رَأَى فِي مَنَامِهِ شَيْئًا مِنْ آثَارِ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ >> بَابُ مَا جَاءَ فِي رُؤْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي >>
مَا آلُو إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ *

2974 أخبرنا أبو نصر بن قتادة ، وأبو بكر الفارسي قالا : أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو بكر بن علي الذهلي ، أخبرنا يحيى ، أخبرنا أبو معاوية ، عن الأعمش ، عن أبي صالح ، عن مالك قال : أصاب الناس قحط في زمان عمر بن الخطاب ؛ فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله , استسق الله لأمتك فإنهم قد هلكوا ؛ فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام ؛ فقال ائت عمر فأقرئه السلام ، وأخبره أنكم مسقون . وقل له : عليك الكيس الكيس . فأتى الرجل عمر ، فأخبره ، فبكى عمر ثم قال : يا رب ما آلو إلا ما عجزت عنه *

From al-Irshad fi Ma’rifa Ulama al-Hadith of Hafiz al-Khalili (1/313-314)

الْإِرْشَادُ فِي مَعْرِفَةِ عُلَمَاءِ الْحَدِيثِ لِلْخَلِيلِيِّ >>
مَالِكُ الدَّارِ

مالك الدار مولى عمر بن الخطاب الرعاء عنه : تابعي , قديم , متفق عليه , أثنى عليه التابعون , وليس بكثير الرواية , روى عن أبي بكر الصديق , وعمر , وقد انتسب ولده إلى جبلان ناحية . حدثني محمد بن أحمد بن عبدوس المزكي أبو بكر النيسابوري , حدثنا عبد الله بن محمد بن الحسن الشرقي , حدثنا محمد بن عبد الوهاب قال : قلت لعلي بن عثام العامري الكوفي : لم سمي مالك الدار ؟ فقال : الداري المتطيب . حدثنا محمد بن الحسن بن الفتح , حدثنا عبد الله بن محمد البغوي , حدثنا أبو خيثمة , حدثنا محمد بن خازم الضرير , حدثنا الأعمش , عن أبي صالح , عن مالك الدار ، قال : أصاب الناس قحط في زمان عمر بن الخطاب , فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا نبي الله , استسق الله لأمتك فرأى النبي صلى الله عليه وسلم في المنام فقال : ” ائت عمر , فأقرئه السلام , وقل له : إنكم مسقون , فعليك بالكيس الكيس ” . قال : فبكى عمر , وقال : يا رب , ما آلو إلا ما عجزت عنه يقال : إن أبا صالح سمع مالك الدار هذا الحديث , والباقون أرسلوه

Imam Ibn Kathir in al Bidaya wal Nihaya (7/106)

وقال الحافظ أبو بكر البيهقي: أخبرنا أبو نصر بن قتادة، وأبو بكر الفارسي قالا: حدثنا أبو عمر بن مطر، حدثنا إبراهيم بن علي الذهلي، حدثنا يحيى بن يحيى، حدثنا أبو معاوية، عن الأعمش، عن أبي صالح، عن مالك قال: أصاب الناس قحط في زمن عمر بن الخطاب، فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم.
فقال: يا رسول الله استسق الله لأمتك فإنهم قد هلكوا.
فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم في المنام فقال: إيت عمر، فأقرئه مني السلام، وأخبرهم أنه مسقون، وقل له عليك بالكيس الكيس.
فأتى الرجل فأخبر عمر، فقال: يا رب ما آلوا إلا ما عجزت عنه.وهذا إسناد صحيح.

Shaykh al-Islam al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani in al-Isaba fi Tamyiz al-Sahaba (3/484) :

الإصابة – لابن حجر

8362[ص:274] مالك بن عياض مولى عمر هو الذي يقال له مالك الدار له إدراك وسمع من أبي بكر الصديق وروى عن الشيخين ومعاذ وأبي عبيدة روى عنه أبو صالح السمان وابناه عون وعبدالله ابنا مالك وأخرج البخاري في التاريخ من طريق أبي صالح ذكوان عن مالك الدار أن عمر قال في قحوط المطر يا رب لا آلو إلا ما عجزت عنه وأخرجه بن أبي خيثمة من هذا الوجه مطولا قال أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله استسق الله لأمتك فأتاه النبي صلى الله عليه وسلم في المنام فقال له ائت عمر فقل له إنكم مستسقون فعليك الكفين قال فبكى عمر وقال يا رب ما آلوا إلا ما عجزت عنه وروينا في فوائد داود بن عمرو الضبي جمع البغوي من طريق عبدالرحمن بن سعيد بن يربوع المخزومي عن مالك الدار قال دعاني عمر بن الخطاب يوما فإذا عنده صرة من ذهب فيها أربعمائة دينار فقال اذهب بهذه إلى أبي عبيدة فذكر قصته وذكر بن سعد في الطبقة الأولى من التابعين في أهل المدينة قال روى عن أبي بكر وعمر وكان معروفا وقال أبو عبيدة ولاه عمر كيلة عيال عمر فلما قدم عثمان ولاه القسم فسمى مالك الدار وقال إسماعيل القاضي عن علي بن المديني كان مالك الدار خازنا لعمر.

Hafiz ibn Hajar in Fath al Bari (2/495)

وروى ابن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري – وكان خازن عمر – قال ” أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا، فأتى الرجل في المنام فقيل له: ائت عمر ” الحديث.
وقد روى سيف في الفتوح أن الذي رأى المنام المذكور هو بلال بن الحارث المزني أحد الصحابة، وظهر بهذا كله مناسبة الترجمة لأصل هذه القصة أيضا والله الموفق.

Imam ibn Abdal Barr in al-Isti’ab (2/464) under the biography of Umar ibn al Khattab (ra) said:

وروى أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار قال‏:‏ أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقال‏:‏ يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا‏.‏

—————————————————

Sidi Abul Hasan goes on to comment:

“Note: All of these Imams narrated it and not one of them weakened it let alone said it leads to Shirk as some of the innovators of this age claimed!

In fact Imam ibn Hajar and Imam ibn Kathir explicitly declared its Isnad to be Sahih. Ibn Kathir in his recently published: Jami al-Masanid (1/223) – Musnad Umar – declared it as: “Isnaduhu Jayyid Qawi: ITS CHAIN OF TRANSMISSION IS GOOD AND STRONG!”

Let the pseudo-Salafiyya take note – that this is the ruling of ibn Kathir in 2 places, and he was associated with Ibn Taymiyya.”

Imam Abu Bakr Al-Bayhaqi As-shafi’i As-sh’ari

Imam Al-Haramayn Al-Juwayni (rahmatullah ‘alayh) said of Imam Al-Bayhaqi:

ما من فقيه شافعي إلا وللشافعي عليه منة إلا أبا بكر البيهقي، فإن المنة له على الشافعي لتصانيفه في نصرة مذهبه وأقاويله

“There is no Shafi`i [faqih] except he owes a huge debt to Ash-Shafi`i, except Abu Bakr al-Bayhaqi, to who al-Shafi`i owes a huge debt  for his works which imposed al-Shafi`i’s school and his sayings.”  1

Commenting upon this, Adh-Dhahabi said,

أصاب أبو المعالي.هكذا هو، لو شاء البيهقي أن يعمل لنفسه مذهبا يجتهد فيه لكان قادرا على ذلك لسعة علومة، ومعرفته بالاختلاف

“Abul Ma’ali is right!2 It is as he has stated, and if Al-Bayhaqi had wanted to establish a Madhhab for himself, he would have been able to do so, due to the vastness of his knowledge of the sciences, and his knowledge of the juridical differences!”

Imam Al-Bayhaqi (384-458 A.H.)

He is Ahmad ibn Al-Husayn ibn ‘Ali ibn Abdullah ibn Musa, Abu Bakr Al-Bayhaqi An-Naysaburi Al-Khusrawjirdi, the Shafi’i in fiqh and Asha’ri in ‘Aqidah. He is called بيهقي Bayhaqi, with the “ascription” of ي (the letter ya which says ee), as he comes from a city that used to be called “Bayhaq”, Beyhaği in persian, which is probably the renamed city Sabzevar within the Razevi Khorasan Province in modern day northeastern Iran.

Ibn Khallikan introduced him saying, “The Shafi’i Jurist, a well known and great Master (Hafith) of Hadith, [there was] no one like him in his era…” The two Masters of Hadith, As-Sakhawi and Ibn As-Salah said of his Sunan Al-Kubra, “There is no work of hadith comparable to it!” It was said of him, “He is the seal of the Shafi’i Mujtahids, one of the mountains of Islamic Knowledge!”

His Studies

He took the sciences of Islam from over 100 scholars. His oldest Shaykh was the Imam and Hadith scholar of Khurasan As-Sayyid Abul Hasan Muhammad ibn al Husayn ibn Dawud Al-’Alawi Al Hasani An-Naysaburi Al-Hasib (d. 401) who was also Al-Hakim’s Shaykh.

He took fiqh from Imam Abul-Fath Nasir ibn Al Husayn ibn Muhammad Al-Qurashi al-’Umari Al-Marwazi. He took Kalam from two Ash’ari Imams,  أبو بكر بن فورك Ibn Furak (d. 406)3and Abu Mansur Abdul-Qahir Al-Baghdadi, the philologist, the Shafi’i  jurist, and heresiologist. His most famous Shaykh was the Hafith of Hadith,  أبو عبد الله الحافظ الحاكم Al-Hakim An-Naysaburi (d. 405 A.H) the author of Al-Mustadarak as well as other works of hadith. He was considered the foremost of all his students. He also took hadith from أبو علي الروذباري  Hafith Abu Ali Al Husayn ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Rudhbari At-Tusi (d. 403),  أبو طاهر محمد بن محمد بن محمش الزيادي Abu Tahir Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmish Az-Ziyadi Ash-Shafi’i An-Naysaburi (d. 410), the Sufi Master, Ash’ari Imam, hadith master, and author of Tabaqat As-Sufiyyah  أبو عبد الرحمن السلمي Abu Abdur-Rahman Muhammad As-Sulami (d. 411), Hafith Muhammad Al-Qattan (d. 415), the Shaykh of Muhammad Al-Lalaka’i, as well as many other mountains of knowledge.

A Claim Against Imam Al-Bayhaqi Responded to

It is also an interesting point of note that Imam Al-Bayhaqi, as claimed by Adh-Dhahabi, thet he did not have transmitted to him the Sunan of Imam At-Tirmidhi, Sunan Ibn Majah or the Sunan of Imam An-Nasa’i. To this, Adh-Dhahabi added, “His sphere of hadith is not large, but Allah blessed him in his narrations for the excellence of his method in them and his sagacity and expertise in the subject-matters and narrators.”4 Shaykh Gibril Haddad states in his work “The Four Imams” commenting upon this accusation,

“This is incorrect as Al-Bayhaqi’s Sunan Al-Kubra shows extensive knowledge of the first two. His sphere in hadith is so impressivley large – about 300 sources – that one scholar exclaimed, ‘This assessment is very strange indeed, and stranger yet the fact it came from such an accomplished authority as Al-Dhahabi (وهذه المقالة غريبة جداً، والأغرب منها صدورها عن الحافظ المحقق الإِمام الذهبي)’ ”5

Dr. Najm Khalaf who is referred to above by Shaykh Gibril Haddad as “one scholar” also attributes this view to Ibn As-Subki and As-Safadi in Al-Wafi. Dr. Najm responds to this claim by showing how Imam Al-Bayhaqi actually referred to these works within his Sunan Al-Kubra. Examples of him knowing the Sunan of Imam An-Nasa’i include but are not limited to:

قال البيهقي: لفظ حديث ابن ناجية. وفي رواية النسائي

Imam Al-Bayhaqi said, “This is the wording of Ibn Najiyah, and in the report of An-Nasa’i…” [Sunan Al-Kubra 7:183]

وقال:وبلغني عن أبي عبد الرحمن النسائي أنه قال: هذا حديث

And he said, “And it was conveyed to me from Abu Abdur-Rahman An-Nasa’i that he said: ‘this hadith…” [Sunan Al-Kubra]

وقال: وأخرجه أبو عبد الرحمن النسائي في (كتاب السنن) من حديث سفيان بن عيينة

And he said, “And it is reported by Abu Abdur-Rahman An-Nasa’i in his book “Sunan” from the hadith of Sufyan ibn ‘Uyaynah…” [Sunan Al-Kubra]

The most convincing proof that he actually heard the entire book of the Sunan An-Nasa’i through his masters is that he actually narrates a hadith from Imam An-Nasa’i in his Sunan with the following chain:

أخـبرنا أبو عبد الله الحافظ، أخبرني أبو علي الحسين بن علي الحافظ، أنبأنا أبو عبد الرحمن أحمد بن شعيب الفقيه بمصر

“Abu Abdullah Al-Hafith Narrated to us [that he said], Abu ‘Ali Al-Husayn ibn ‘Ali Al-Hafith narrated to me, Abu Abdur Rahman Ahmad ibn Shu’ayb – the Jurist of Egypt… [then he narrated the rest of the hadith]”

As for the Jam’i (or known as the Sunan) of Imam At-Tirmidhi the following examples are given of his knowing them:

قال البيهقي:  رواه أبو عيسى الترمذي في كتابه

“Imam Al-Bayhaqi said: ‘And it is reported by Abu ‘Isa At-Tirmidhi in his book…’ ” [Sunan Al-Kubra 4/38]

وقال: رواه أبو عيسى الترمذي عن… وقال في الحديث: ثم توضأ ونضح فرجه بالماء

“And he said: ‘It is reported by Abu ‘Isa At-Tirmidhi from … and he said regarding the hadith …” [Sunan Al-Bayhaqi 10/161]

وقال: “وقال أبو عيسى الترمذي – فيما بلغني عنه -: هذا حديث حسن غريب، وهذا أصح من حديث إسرائيل عن عبد الأعلى”

“And he said: ‘And Abu ‘Isa At-Tirmidhi – in what was conveyed to me from him – this hadith is hasan gharib, and it is the most authentic narrative from Isra’il from Abdul-’Ala’…” [Sunan Al-Bayhaqi 10/100]

As for Sunan Ibn Majah, then it does not seem that he quoted from it within his Sunan Al-Kubra. Such does not mean that he did not receive it, but that he simply did not quote from it. These quotes decisively show that Imam Al-Bayhaqi had received by Sunan An-Nasa’i and Sunan At-Tirmidhi, and knew them well, clearly contradicting what was claimed about him by Safadi, Ibn As-Subki, and Adh-Dhahabi!

Download:

موارد الإمام البيهقي في كتابه ( السنن الكبرى ) مع دراسة نقدية لمنهجه فيها

Mawarid Al-Bayhaqi fi Kitabihi Sunan Al-Kubra written by Dr. Najm Abdur-Rahmad Khalaf in pdf format.

His Asceticism and Piety

According to the students of Imam Al-Bayhaqi, he fasted perpetually (sawm ad-dahr) for thirty years before he passed away. This act was the practice of several companions as Imam An-Nawawi stated in his Sharh Sahih Muslim,

“Ibn ‘Umar fasted permanently, i.e. except the days of ‘Id and tashriq. This perpetual fast is his way and the way of his father ‘Umar ibn Al-Khattab, ‘A’ishah, Abu Talha and others of the salaf as well as Imam Ash-Shafi’i and other scholars. Their position is that perpetual fasting is not makruh.”6

He was known amongst him companions as a man of piety, and one to cling to the Sunnah within his life, in other words he put into practice his knowledge.

His ‘Aqidah

As stated above, Imam Al-Bayhaqi was the student of Abu Bakr ibn Furak who was an Imam of the Asha’ris and one who helped solidify the school of creed, as well as the Asha’ri Abu Mansur Al-Baghdadi who was renown for his knowledge. This places Imam Al-Bayhaqi amonst the third generations of Asha’ris. As one can see by the works Imam Al-Bayhaqi wrote, such as Al-Asma’ was-Sifat and his “Risalat Al-Ashariyya”, Imam Al-Bayhaqi was an ardent Asha’ri who defended the school and supported it against its enemies.

Some of His Works7

• Al-Arba’ūn As-Sughrā (The minor collection of fourty hadīth)

• Al-Asmā’ was-Sifāt (The Divine Names and Attributes) Ibn As-Subkī said, “I do not know anything comparable to it!”  Shaykh Gibril Haddad has translated excerpts from this masterpiece in a small book titled, “Allah ’s Names and Attributes, Excerpts”, which can be purchased on Amazon and elsewhere.

• Bayān Khaṭa’ man Akhṭa’a ‘alā Ash-Shāfi’ī (Exposition of the Error of those who attributed error to Ash-Shāfi’ī) , which complements the Sunsn and the Ma’rifah in the presentation of the textual evidence of the Shāfi’ī school.

• Ad-Da’awāt Al-Kabīr (The Major Book of Supplications)

• Dalā’il An-Nubuwwa (The Marks of Prophethood), the foremost large book exclusively devoted to the person of the Prophet Muhammad .

• Faḍā’il Al-Awqāt (Times of Particular Merit [for worship])

• Hayāt Al-Anbiyā’ fī Qubūrihim (The life of the Prophets in their Graves). This brief masterpiece gathers many of the hadiths that pertain to the life of the Prophets in their graves and received several editions of varying quality to date. Shaykh Muhammad ‘Alawī Al-Mālikī (rahimahullah) used it among his principle sources for the section on Nubuwwāt in his Manhaj Al-Salaf fi Fahm Al-Nusūs.

• Al-‘Itiqād ‘alā Madhhab As-Salaf Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

• Al-Khilāfiyyāt (The Divergences [between Ash-Shafi’ī and Abu Hanīfah]). Ibn Al-Subkī said about it, “No one preceded him in writing a book of this kind, nor followed him in writing its like. It is an independent method in hadīth science which is appreciated only by experts in both fiqh and hadīth. It is precious for the text it contains!”

• Al-Mabsūṭ (The expanded [reference book]). It is on Shāfi’ī law.

• Al-Madkhal ilā As-Sunan Al-Kubrā (Introductory to the Major Book of the Sunnas)

• Manāqib Al-Imam Ahmad (The Immense Merits of Imam Ahmad)

• Manāqib Ash-Shāfi’ī (The Immense Merits of Imam Ash-Shāfi’ī). Imām An-Nawawī said that this was the most reliable work on Imām Ash-Shāfi’ī8. Ibn As-Subkī said, “Of Al-‘Itiqād, Dalā’il Al Nubuwwa, Shu’ab Al-īmān, Manāqib Ash-Shāfi’ī and Al-Da’wāt Al-Kabīr, I swear that none of them has any peer!”

• Ma’rifat As-Sunan Wal-Āthār: (The Knowledge of Sunnas and Reports). Ibn As-Subkī says no Shafi’ī jurist can do without it! It is a work listing proofs for the school by fiqh sub-headings. It is also called “As-Sunan Al-Wusṭā”. You can download the entire work here. (Note the file is approx. 90 megabytes, only in arabic)

• Al-Qirā’a warā’ Al-Imām (Reciting [Fātihah] behind the Imām), also published as “Al-Qirā’a Khalf Al-Imām”. One can download this work here. It is a small treatise in defense of the Shafi’i view that it is obligatory to recite Fatihah behind the Imam in Salah to one’s self.

• Ar-Risālah Al-Asha’riyyah (The Asha’rī letter). It was a defense of the madhhab of Abul-Hasan Al-Asha’rī in creed to the governor of Naysābūr.

• Shu’ab Al-Īmān (The Branches of Belief), fourteen volumes commenting on the hadīth “Faith has Seventy Odd Branches!” The abridged version by Imam Al-Qazwini was translated by Shaykh Abdul Hakīm Murād into English with the title “The Seventy-Seven Branches of Faith”.

• As-Sunan Al-Kubrā (The Major Book of the Prophet’s Sunna). Ibn As-Subkī said, “No such book was ever compiled in the science of hadīth with respect to classification, arrangement, and elegance.” It is approximately 10 volumes (depending on the publisher) of pure hadīthic and fiqh based knowledge. Imam Al-Bayhaqi shows his mastery of the sciences in this work by quoting nearly 200 works, either by narrating through the Imams of those works by his own chain up to the authors, or quoting from the works themselves. Download here.

Some notes about Sunan Al-Kubrā:

إذا قال البيهقي: أبو عبد الله الحافظ, فهو الحاكم النيسابوري أبو عبد الله.

If Imām Al-Bayhaqī says, “Abū Abdullah, Al-Hāfiẓ, then he means Al-Hākim An-Naysabūrī.

وإذا قال: أبو بكر بن إسحاق, فهو محمد بن إسحاق بن خزيمة الإمام.

If Imām Al-Bayhaqī says, “Abū Bakr ibn Is-ḥāq, then he is Muhammad ibn Is-ḥāq ibn Khuzaymah, the Imām.

وإذا قال: أبو أحمد, فهو ابن عدي عبد الله بن عدي الجرجاني.

If Imām Al-Bayhaqī says, “Abu Aḥmad, then it is Ibn ‘Adīy, Abdullah ibn ‘Adīy Al-Jurjānī.

وإذا قال: علي, أو علي بن عمر, فهو الإمام الدارقطني.

If Imām Al-Bayhaqī says, “ ‘Alī, or ‘Alī ibn Umar, then he means Imām Ad-Dāraquṭnī.”

• Tārīkh Ḥukamā Al-Islām (The History of the Rulers of Islām)

• Az-Zuhd Al-Kabīr (The Major book of Asceticism)

Note there are more works written by him than what has been mentioned here.

Shaykh G.F. Haddād says in his conclusion to Imām Al-Bayhaqī’s biography,

“Al-Bayhāqī is the last of those who comprehensively compiled the textual evidence of the Shāfi’ī school including the hadīth, the positions of the Imām, and those of his immediate companions.”

Imam Al-Bayhaqi was an ardent defender of the Shafi’i school. One can see within his works, particularly the Khilafiyyat, his Sunan Al-Kubra, and his Ma’rifat As-Sunan Wal-Aathar, his immense knowledge of hadith and fiqh. He mastered comparative fiqh, and spent his life in dedication to preservation of the Shafi’i school. As the Imams of our school have stated, all Shafi’is are immensely indebted to Imam Al-Bayhaqi (rahmatullah ‘alayh), including Imam Ash-Shafi’i (radiya Allahu ‘anhu) himself!

The Imam died in Naysabur at the age of 74, May Allah have mercy upon him and grant him Jannah Amin!

وهذه المقالة غريبة جداً، والأغرب منها صدورها عن الحافظ المحقق الإِمام الذهبي

  1. Quoted in Tabaqat Ash-Shafiyyah Al-Kubra and Siyar ‘Alam An-Nubala of Adh-Dhahabi []
  2. i.e. Imam Al-Juwayni []
  3. for a wonderful biography of Ibn Furak see: http://www.livingislam.org/n/shf_e.html []
  4. Ibn As-Subki, Tabaqat Ash-Shafi’i Al-Kubra []
  5. Dr. Najm Abdur-Rahman Khalaf, Mawarid Al-Imam Al-Bayhaqi fi Kitabihi Al-Sunan Al-Kubra pg. 52 []
  6. An-Nawawi himself perpetually fasted! []
  7. We have taken the following Selection from Sidi G.F. Haddad’s “The Four Imams and their Schools” though have added some minor commentary []
  8. Tahdhib Al-Asma’ wal-lughat []

http://www.shafiifiqh.com/?p=471

وهذه المقالة غريبة جداً، والأغرب منها صدورها عن الحافظ المحقق الإِمام الذهبي

Menses continues for 18 days then has purity for 15 what to do

Menses continues for 18 days then has purity for 15 what to do


Menses continues for 18 days then has purity for 15 what to do

Asalamu alaikum

What does a woman do if her menses continues for 18 days then has a purity interval of more than 15 days? Does she consider her habit to be 15 days and day 16, 17, and 18 are considered istihada OR does she have to distinguish the colours of blood from day 1 through 18?

My confusion is whether the rule of distinguishing blood only applies to someone who sees blood continuously with no 15 day interval of purity or does this apply to someone like the above case. I pray you have a chance to answer this question because it happens to many women.

Thank you

Answer:

الحمد لله رب العالمين ، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، وبالله التوفيق

When a woman is muʿtādah (she experienced haid) and she experiences menstrual bleeding that continues for 18 days without any intermittent period of non-bleeding and ceases for more than 15 days;

أو معتادة بأن سبق لها حيض وطهر فترد إليهما قدرا ووقتا وتثبت بمرة في الأصح المنهاج: 1: 136

If there is no variation in the strength of blood, she should differentiate between menstruation and the bleeding by referring to the last normal haid cycle. For example, her last haid is 5 days followed by 25 days of purity, therefore, she should consider the first 5 days of bleeding to be haid and the next 25 days to be purity.

ويحكم للمعتادة المميزة بالتمييز لا العادة في الأصح المنهاج: 1: 136

If there is variation in the strength of blood, she should classify her bleeding as either menstruation or purity based on its strength. For example, a woman who sees 10 days of red blood followed by 8 days of yellow discharge will consider the days of strong bleeding (i.e., red blood) to be menstruation and the 8 days of weak bleeding (i.e. yellow discharge) to be purity.

And Allah (SWT) Most High knows best.

Answered by:

Abdullah Muḥammad al-Marbūqī al-Shāfiʿī

Checked by:

Al-Ustaz Najib bin Anuar al-Shāfiʿī

Bukti Antek antek teroris wahabi alqaida (NII- MMI- JAT etc) Kafirkan polisi Indonesia

Polisi Jaga Ketat Pemakaman Yuli Harsono

image

Kebumen, CyberNews. Pemakaman jenazah Yuli Harsono (33), tersangka teroris yang ditembak mati oleh Densus 88 diantar oleh ratusan warga yang sebagian berasal dari luar Kabupaten Kebumen, Selasa (29/6) pukul 10.00 WIB. Pekikan takbir mengiringi perjalanan pengantar jenazah dari rumah duka ke tempat pemakaman umum (TPU) Rowobulus, Dusun Sodor, Desa Kewayuhan, Kecamatan Pejagoan, yang terletek sekitar 1,5 km dari rumah duka.

Pemakaman tersebut mendapatkan pengamanan ketat oleh anggota kepolisian. Selain itu juga mendapatkan perhatian dari warga di sepanjang jalan yang dilewati. Selain pekikan takbir yang bersahut-sahutan dan pekikan mati syahid, para pelayat juga mengeluarkan kata-kata yang menyinggung institusi kepolisian, seperti kata-kata “polisi kafir”.

Sebelumnya, jenazah anggota TNI AD yang diberhentikan karena terlibat kasus kepemilikian amunisi tanpa ijin dan terlibat melatih Laskar Mujahidin itu tiba di rumah duka di RT 17 RW 05 Dusun Duwet, Desa Kewayuhan, Kebumen, pukul 08.30 WIB. Jenazah dibawa dari RS Polri Jakarta dibawa dengan menggunakan mobil ambulans dengan Nopol B 1024 TIX.

Sayangnya, saat prosesi perawatan jenazah di rumah duka, akses wartawan terlalu dibatasi. Para wartawan diatur sedemikian rupa dan tidak diperbolehkan mengambil gambar dari dekat. Baru setelah jenazah akan diberangkatkan, para wartawan baru bisa mendekat untuk mengambil gambar.

( Supriyanto /CN27 )

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/06/29/58269/Polisi-Jaga-Ketat-Pemakaman-Yuli-Harsono

Penggerebekan Teroris di Klaten
Disambut Takbir, Yuli Harsono Dimakamkan di Kebumen

Parwito – detikNews


Jenazah Yuli Harsono dimakamkan

Kebumen – Setelah tiba di tanah kelahiranya, di Dusun Duwet, Desa Kewayuhan, Kecamatan Jagoan, Kebumen, Jawa Tengah, Selasa(29/06/2010), jenazah Yuli Harsono tersangka teroris yang tertembak dalam penggerebekan Densus 88 di Klaten langsung disambut pekikan takbir oleh ratusan teman-temanya.

Jenazah tiba dari RS Polri Jakarta di Kebumen diangkut dengan menggunakan mobil ambulans dengan Nopol B 1024 TIX dikawal oleh ayah Yuli, Salimun Ashari dan adik ipar Yuli Ali Suhada’ bersama Muhammad Kurniawan dan Endro Sudarsono, pengacara dari Islamic Studi and Action Center (ISAC).

Begitu tiba di rumah duka, ratusan warga masyarakat desa sekitar dan ratusan warga yang hadir dari luar kota sejak pagi dini hari langsung membentangkan kain bertuliskan ‘Kuburan Para Mujahidin (Pahlawan Islam)’, ‘Selamat Datang Pahlawan Islam’, ‘As Syahid, Jihad Still Continue’.

Namun, saat prosesi perawatan jenazah di rumah duka, akses wartawan langsung dibatasi sedemikian rupa sehingga puluhan wartawan diatur untuk tidak diperbolehkan mengambil gambar dari dekat.

“Maaf Mas, ini permintaan keluarga. Wartawan dilarang mendekat,” tegas pengacara keluarga Yuli Harsono, Kurniawan kepada puluhan wartawan di depan rumah duka.

Usai pemberangkatan, beberapa wartawan diperbolehkan mendekat untuk mengambil gambar pemberangkatan jenasahnya menuju ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dusun Sodor, Desa Kewayuhan, Kecamatan Pejagoan, Kebumen yang merupakan dusun sebelah dari rumah duka.

Sepanjang perjalanan 1,5 kilometer ke TPU desa sebelah ratusan petugas kepolisian setempat melakukan penjagaan cukup ketat.

Pekikan takbir  dan mati sahid mengiringi perjalanan pengantar jenazah dari rumah duka ke TPU para pelayat juga mengeluarkan kata-kata yang menyinggung institusi kepolisian.

“Polisi kafir”! tegas ratusan rekan-rekan Yuli Harsono yang rata-rata berpenampilan berjenggot dan memakai celana sebatas lutut atas itu.


Polisi & Keluarga Lega

Sementara itu, keluarga almarhum Briptu Iwan Nugroho salah satu polisi yang tewas dan diduga ditembak oleh Yuli Harsono mengaku bersyukur dengan terungkapnya identitas pembunuh Iwan.

Pernyataan itu disampaikan oleh Aiptu Wagiman, ayah almarhum Briptu Iwan yang dimintai konfirmasi wartawan di Mapolsek Ngombol, Desa Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah.

Wagiman menyatakan sangat berterima kasih dengan semua pihak yang telah berupaya keras untuk menemukan pembunuh anaknya. “Saya lega pembunuh anak saya sudah diketemukan,”tegas Aiptu Wagiman.

“Saya masih tanda tanya besar apa motif di balik penembakan dan pembunuhan anak saya itu?” tegas Wagiman.

Sedangkan Kapolres Purworejo AKBP Agus Krisdiyanto saat dikonfirmasi detikcom melalui handphonenya mengaku bisa bernafas lega setelah kasus pembunuhan dua anak buahnya di Pos Polisi Kentengrejo beberapa waktu lalu sudah menemukan titik terang.

“Kami tentunya lega karena kasus yang menyita perhatian masyarakat luas itu akhirnya terungkap,”tegas Agus Krisdiyanto

Seperti diberitakan detikcom dengan judul 2 Anggota “Polres Purworejo Tewas Tertembak”, Sabtu 10 April 2010, Briptu Iwan Eko Nugroho bersama Brika Wagino ditembak di Pos Polisi Kentengrejo, Kecamatan Purwodadi, Purworejo.

Sebelumnya pada Senin 15 Maret 2010, juga meberitakan  bahwa Briptu Yona Ditemukan Tewas di Mapolsek Prembun, Kebumen, Jawa Tengah dengan luka tembak.

(nwk/nwk)

http://us.detiknews.com/read/2010/06/29/191011/1389615/10/disambut-takbir-yuli-harsono-dimakamkan-di-kebumen

Akar terorisme : Kesalahan fahaman Teroris WAHABY terhadap sURAT al – maidah ayat 44

Salah satu akar terorisme; karena salahpaham terhadap kandungan QS. al-Ma’idah: 44. Waspada, jangan sampai anda terjebak…!!!

Bom teroris  wahaby menyerang acara maulid Nabi  di Srilanka, Muslim Sunni madzab hanafi yang jadi korban!!

Firman Allah yang dimaksud adalah:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)……

[Al amidah ayat 44] “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, yang mengandungi petunjuk dan cahaya yang menerangi; dengan Kitab itu nabi-nabi yang menyerah diri (kepada Allah) menetapkan hukum bagi orang-orang Yahudi, dan (dengannya juga) ulama mereka dan pendita-penditanya (menjalankan hukum Allah), sebab mereka diamanahkan memelihara dan menjalankan hukum-hukum dari Kitab Allah (Taurat) itu, dan mereka pula adalah menjadi penjaga dan pengawasnya (dari sebarang perubahan). Oleh itu janganlah kamu takut kepada manusia tetapi hendaklah kamu takut kepadaKu (dengan menjaga diri dari melakukan maksiat dan patuh akan perintahKu); dan janganlah kamu menjual (membelakangkan) ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit (kerana mendapat rasuah, pangkat dan lain-lain keuntungan dunia); dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.”

[Al maidah ayat 45] : Dan kami telah tetapkan atas mereka di dalam kitab Taurat itu, bahawa jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dibalas dengan mata, dan hidung dibalas dengan hidung, dan telinga dibalas dengan telinga, dan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka hendaklah dibalas (seimbang). Tetapi sesiapa yang melepaskan hak membalasnya, maka menjadilah ia penebus dosa baginya; dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
[Al Maidah ayat 46]: Dan Kami utuskan Nabi Isa Ibni Maryam mengikuti jejak langkah mereka (Nabi-nabi Bani Israil), untuk membenarkan Kitab Taurat yang diturunkan sebelumnya; dan Kami telah berikan kepadanya Kitab Injil, yang mengandungi petunjuk hidayah dan cahaya yang menerangi, sambil mengesahkan benarnya apa yang telah ada di hadapannya dari Kitab Taurat, serta menjadi petunjuk dan nasihat pengajaran bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa.

——–

Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah “Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir”, pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:

“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].

Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.

Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;

1. Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].

Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”.

Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam.

Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].

Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.

Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)

(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.

“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??

Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18

Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.

Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!

Untuk Membungkam Wahabi Yang Anti Takwil (Bag. 1). Mohon Disebarluaskan….!!!!!

Untuk Membungkam Wahabi Yang Anti Takwil (Bag. 1). Mohon Disebarluaskan….!!!!!

Kitab ini “as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil” adalah karya al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin as-Subki (756 H); Ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang telah mencapai derajat Mujtahid Mutlak. Isinya dari a sampe z membantah aqidah sesat Ibn Qayyim (murid Ibn Taimiyah). Guru dan murid ini sama-sama berakidah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya); mengatakan Allah duduk di atas arsy. Na’udzu Billah!!! Ibn Zafil yang dimaksud dalam kitab di atas adalah Ibn Qayyim.

Terjemah 1:

al-Bayhaqi telah mengutip dalam kitab Manaqib Ahmad dari pemimpin ulama madzhab Hanbali –yang juga putra dari pimpinan ulama madzhab Hanbali–; yaitu Imam Abu al-Fadl at-Tamimi, bahwa beliau (Abu al-Fadl) berkata: “Imam Ahmad sangat mengingkari terhadap orang yang mengatakan bahwa Allah sebagai benda (jism). Dan ia (Imam Ahmad) mengatakan bahwa nama-nama Allah itu diambil dari tuntunan syari’at dan dengan dasar bahasa. Sementara para ahli bahasa mengatakan bahwa definisi “jism” (benda) hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki panjang, lebar, volume, susunan, bentuk, (artinya yang memiliki dimensi), padahal Allah Maha Suci dari pada itu semua. Dengan demikian Dia (Allah) tidak boleh dinamakan dengan “jism” (benda), karena Dia Maha Suci dari makna-makna kebendaan, dan penyebutan “jism” pada hak Allah tidak pernah ada di dalam syari’at; maka itu adalah sesuatu yang batil”.

Terjemah 2:

al-Bayhaqi dalam kitab Manaqib Ahmad berkata: “Telah mengkabarkan kepada kami al-Hakim, berkata: Mengkabarkan kepada kami Abu Amr ibn as-Sammak, berkata: Mengkabarkan kepada kami Hanbal ibn Ishak, berkata: Aku telah mendengar pamanku Abu Abdillah (Ahmad ibn Hanbal) berkata: ”Mereka (kaum Mu’tazilah) mengambil dalil dalam perdebatan denganku, –ketika itu di istana Amîr al-Mu’minîn–, mereka berkata bahwa di hari kiamat surat al-Baqarah akan datang, demikian pula surat Tabarak akan datang. Aku katakan kepada mereka bahwa yang akan datang itu adalah pahala dari bacaan surat-surat tersebut. Dalam makna firman Allah “Wa Ja’a Rabbuka” (QS. al-Fajr 23), bukan berarti Allah datang, tapi yang dimaksud adalah datangnya kekuasaan Allah. Karena sesungguhnya kandungan al-Qur’an itu adalah pelajaran-pelajaran dan nasehat-nasehat”. Dalam peristiwa ini terdapat penjelasan bahwa al-Imâm Ahmad tidak meyakini makna “al-Majî’” (dalam QS. al-Fajr di atas) dalam makna Allah datang dari suatu tempat. Demikian pula beliau tidak meyakini makna “an-Nuzûl” pada hak Allah yang (disebutkan dalam hadits) dalam pengertian turun pindah dari satu tempat ke tempat yang lain seperti pindah dan turunnya benda-benda. Tapi yang dimaksud dari itu semua adalah untuk mengungkapkan dari datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah, karena mereka (kaum Mu’tazilah) berpendapat bahwa al-Qur’an jika benar sebagai Kalam Allah dan merupakan salah satu dari sifat-sifat Dzat-Nya, maka tidak boleh makna al-Majî’ diartikan dengan datangnya Allah dari suatu tempat ke tampat lain. Oleh karena itu al-Imâm Ahmad menjawab pendapat kaum Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah datangnya pahala bacaan dari surat-surat al-Qur’an tersebut. Artinya pahala bacaan al-Qur’an itulah yang akan datang dan nampak pada saat kiamat itu”.

Tambahan:

Riwayat al-Bayhaqi di atas juga telah dikutip oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, j. 10, h. 327) dengan redaksi berikut:

“al-Bayhaqi dalam Kitab Manaqib Ahmad meriwayatkan dari al-Hakim dari Abu Amr as-Sammak dari Hanbal, bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal telah mentakwil firman Allah: “Wa ja’a Rabbuka” (QS. al-Fajr: 23) bahwa yang dimaksud ”Jâ’a” bukan berarti Allah datang dari suatu tempat, tapi yang dimaksud adalah datangnya pahala yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Tentang kualitas riwayat ini al-Bayhaqi berkata: “Kebenaran sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun”.

Dari penjelasan di atas terdapat bukti kuat bahwa al-Imâm Ahmad memaknai ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, juga hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, tidak dalam pengertian zhahirnya. Karena pengertian zhahir teks-teks tersebut seakan Allah ada dengan memiliki tempat dan kemudian berpindah-pindah, juga seakan Allah bergerak, diam, dan turun dari atas ke bawah, padahal jelas ini semua mustahil atas Allah. Hal ini berbeda dengan pendapat Ibn Taimiyah dan para pengikutnya (kaum Wahhabiyyah), mereka menetapkan adanya tempat bagi Allah, juga mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tubuh, hanya saja untuk mengelabui orang-orang awam mereka mengungkapkan kata-kata yang seakan bahwa Allah Maha Suci dari itu semua, kadang mereka biasa berkata “Bilâ Kayf…(Sifat-sifat Allah tersebut jangan ditanyakan bagaimana?)”, kadang pula mereka berkata “’Alâ Mâ Yalîqu Billâh… (Bahwa sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang sesuai bagi keagungan Allah).

Kita katakan kepada mereka: ”Andaikan al-Imâm Ahmad berkeyakinan bahwa Allah bergerak, diam, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, maka beliau akan memaknai ayat-ayat tersebut dalam makna zhahirnya, juga beliau akan akan memahami makna al-Majî’ dalam makna datang dari suatu tempat atau datang dari arah atas ke arah bawah seperti datangnya para Malaikat. Namun sama sekali al-Imâm Ahmad tidak mengatakan demikian”.

Penting Untuk Membungkam Wahabi:

Kita katakan: “Wahai Wahabi, kalian anti takwil, kalian mengatakan: “al-Mu’awwil Mu’aththil” (orang yang melakukan takwil maka ia telah mengingkari al-Qur’an), lalu apa yang hendak kalian katakan terhadap Imam Ahmad yang telah melakukan takwil sebagaimana dalam riwayat di atas, –yang bahkan diriwayatkan oleh Ibn Katsir; salah seorang rujukan utama kalian??!! Mau lari ke mana kalian!!!!! Apakah kalian hendak mengatakan Imam Ahmad sesat?????? Sungguh yang sesat itu adalah kalian sendiri… Kalian yang telah mengotori Madzhab Hanbali…..!!!

-ustadz abu fateh-

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….

https://salafytobat.wordpress.com