Fatwa Sesat mufti saudi wahabi = memperingati maulid Nabi bid’ah tapi peringati HUT (maulid) Negara saudi tidak bid’ah

 
Fatwa Syeh Abd.Aziz Al syeh di sebuah koran Arab Saudi Al Riyadh dan Koran Al okaz
Fatwa pada koran Al Riyadh
اقامة الموالد الشركية لا اساس لها من الدين
Pelaksanaan Maulid maulid termasuk kesyirikan yang tidak ada dasar dari agama
Fatwa di koran Al Okaz
ينبغى ان يكون اليوم الوطنى يوم شكر لله ==و لابد من السمع والطاعة لولاة الامر
Sepatutnya Hari Nasional ( HUT ) merupakan hari syukur kepada ALLOH,dan keharusan Mendengar dan ta’at kepada PENGUASA NEGARA
Peringatan hari hari nasional di saudi 
menari nari didepan patung burung
amir Saudi wahabi dnace with bush
-menari dengan musik ashobiyah (mengagungkan badwi najd saudi)
– menari dgn kafir harbi
– mengacungkan pedang kepada muslim

MERAYAKAN HARI BESAR Negara saudi Tidak bid’ah

 
Seorang ulama wahhabi salafy doctor Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ pengarang kitab HIWAR MA’AL MAALIKI (Diaolog bersama sayyid Muhammad Al-Maliki)mengeluarkan fatwa bahwa ‘Al-Ihtifal bi yaumil wathoni’ (Merayakan hari nasional) sangat penting bahkan suatu kemuliaan bagi seluruh manusia.

Dalam acara memperingati hari nasional yang beliau selenggarakan bersama para murid-muridnya di kota Madinah, hadir ratusan pemuda pemudi bercampur baur mnjadi satu dengan berbagai macam acara, salah satunya acara joget bersama (untuk videonya lihat link : http://www.al7ewar.net/forum/showthread.php?).Adakah wahhaby salafy yang mau mengklarifikasi ini kepada kami…???

————————————-

Maulid Dalam Al-Qur’an dan Hadits

Rabiul Awal adalah bulan bertabur pujian dan rasa syukur. Di bulan ini, seribu empat ratus tahun silam, terlahir makhluk terindah yang pernah diciptakan Allah SWT. Namanya Muhammad SAW. Kita patut memujinya, karena tiada ciptaan yang lebih sempurna dari Baginda Nabi SAW. Berkat beliau, seluruh semesta menjadi terang benderang. Kabut jahiliah tersingkap berganti cahaya yang memancarkan kedamaian dan ilmu pengetahuan. Karena itu kita wajib mensyukuri. Tiada nikmat yang lebih berhak untuk disyukuri dari nikmat wujudnya sang kekasih, Muhammad SAW.

Walau masih ada segelintir muslimin yang alergi dengan peringatan maulid Nabi SAW, antusiasme memperingati hari paling bersejarah itu tak pernah surut. Di seluruh belahan bumi, umat Islam tetap semangat menyambut hari kelahiran Nabi SAW dengan beragam kegiatan, seperti sedekah, berdzikir, shalawat, bertafakkur, atau dengan menghelat seminar-seminar ilmiah, bahkan Rasulullah telah mengawali mereka dan memberikan contoh dengan berpuasa setiap hari kelahiran beliau yaitu hari senin. Negara-negara muslim, kecuali Arab Saudi, menjadikan tarikh 12 Rabiul Awal sebagai hari libur nasional. Hari itu pun dijadikan sebagai momen pertukaran tahni’ah (ucapan selamat) bagi sebagian pemimpin negara-negara di Sumenanjung Arab.

Secara harfiah, maulid bermakna hari lahir. Belakangan istilah maulid digunakan untuk sirah Nabi SAW, karena, seperti telah dimafhumi, sejarah dimulai dengan kelahiran atau saat-saat jelang kelahiran. Sirah, atau sejarah hidup Rasulullah SAW itu sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh inspirasi dan bisa memantapkan iman. Allah SWT berfirman,

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)”

Maulid Nabi Isa

Dalam Al-Quran banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan Nabi Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga diangkat ke langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,

إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ

“(ingatlah), ketika malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),”

Dalam Surat Al Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi siapa sosok Isa a.s., Allah SWT berfirman,

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْ أَيَّدْتُكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ

“(ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”.

Ayat-ayat di atas mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai diangkat ke langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya. Mengacu terminologi maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah saja bila diistilahkan sebagai Maulid Nabi Isa a.s.

Maulid Nabi Yahya

Selain Nabi Isa a.s., Al-Quran juga mencatat “biografi” Nabi Zakaria dan maulid Nabi Yahya Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar, dimulai dengan sebuah doa Nabiyullah Zakariya yang penuh pengharapan.

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Ia Berkata “Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku (pengganti) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, sebagai seorang yang diridhai”.

Kemudian Allah menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat akan lahirnya sang “putra mahkota”, Nabi Yahya a.s.,

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengannya.

Selanjutnya, dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi Zakaria a.s. dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena, hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.

Maulid Siti Maryam

Tak hanya para nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum shalihin. Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.

إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ )35( فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ )36( فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ )37(

“(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”

37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami sertakan pada artikel ini karena keterbatasan ruang di website ini.

Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi SAW, yang memuat sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut) bagi Al-Quranul Karim yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin. Sebagai pemimpin para nabi, sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad dibukukan dan dibaca sesering mungkin. Pentingnya mengenang perjalanan hidup Baginda Nabi SAW sangat dirasakan umat Islam pada periode akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim ditawarkan oleh media-media secara gencar.

Hari Istimewa

Perlu diketahui, sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai momen istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) adalah salah satu tengara. Fakta lainnya:

Pertama, perkataan Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah menjadi pembantu Aminah r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang bintang turun dari langit dan mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia melihat kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan rumah terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).

Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).

Ketiga, riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan bahwa saat Ibunda Nabi SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul Bari juz 6/583).

Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan 14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.

Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada henti (Fathul Bari 6/583).

Kenapa peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik kelahiran Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya, dan Dia SWT mengagungkan momen itu sebagaimana Dia SWT menebar salam sejahtera di saat kelahiran nabi-nabi sebelumnya.

Hikmah maulid

Peringatan maulid nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya: mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam semesta.

Para sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu anhu, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW, sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu surat dalam Al-Quran.”

Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.

Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid, dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.

Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang, sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi, alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura’ sebagai tanda syukur atas selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari kelahirannya.

Nah, sudah saatnyalah mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila perlu, hendaknya bersedia bergabung untuk bersama-sama membaca sirah Rasul SAW. Atau, minimal – sebagai muslim– hendaknya merasakan gembira dengan datangnya bulan Rabiul Awal. Sudah sepantasnya di bulan ini kita sediakan waktu untuk mengkaji lebih dalam sejarah hidup Rasul SAW. Jangan lagi menggugat maulid! Tim CN & FS

Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan (Wahabi) : Penamaan As-Salafi Atau Al-Atsari Tidak Ada Asal-Usulnya (Bid’ah)

Fatwa Syaikh Al-Fauzan: Penamaan As-Salafi Atau Al-Atsari Tidak Ada Asal-Usulnya

Syaikh Shalih Alfauzan2Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan: Salaf adalah Hizbullah Yang Beruntung, Adapun Penamaan Dengan As-Salafi Atau Al-Atsari Tidak Ada Asal Usulnya

Seseorang bertanya, “Wahai Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan—semoga Allah senantiasa memberikan taufiknya kepada Anda, kami mendengar sebagian orang mengatakan, ‘Tidak boleh intisab “menyandarkan diri” pada salaf dan Salafiyyah dianggap sebagai salah satu hizb ‘golongan’ yang hidup pada masa tertentu.’ Apa pendapat Anda mengenai pernyataan ini?”

Sayikh Shalih AL-Fauzan menjawab, “Iya! Salaf adalah hizbullah ‘golongan Allah’. Salaf adalah golongan, akan tetapi ia adalah hizbullah. Allah berfirman:

“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”. (Al-Mujadillah [58]: 22)

Barangsiapa menyelisihi salaf, maka mereka adalah golongan-golongan sesat lagi meyimpang. Golongan itu sendiri bermacam-macam. Ada golongan Allah (hizbullah) dan ada golongan setan (hizbusy syaithan) sebagaimana tercantum di akhir surat Al-Mujadilah. Ada hizbullah dan ada hizbusy syaithan. Golongan pun beragam. Barangsiapa berada di atas manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah hizbullah. Sebaliknya, barangsiapa berada di atas manhaj sesat, maka dia adalah hizbusy syaithan. Engkau tinggal memilih; mau menjadi hizbullah atau menjadi hizbusy syaithan! Pilih sendiri!”

Kemudian Syaikh Hafizhuhullah ditanya, “Wahai Syaikh—semoga Allah senantiasa memberikan taufiknya kepada Anda, sebagian orang mengembel-embeli di belakang namanya dengan As-Salafi atau Al-Atsari. Apakah ini termasuk bentuk penyucian terhadap diri sendiri? Atau apakah memang sesuai dengan syariat?”

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhuhullah menjawab, “Yang wajib adalah seseorang mengikuti kebenaran. Yang wajib adalah seseorrang mengkaji dan mencari kebenaran serta mengamalkannya. Adapun dia menamai dirinya dengan As-Salafi atau Al-Atsari dan yang semisal, maka tidak ada alasan untuk dapat mengklaim dengan nama ini.

Allah Yang Maha Mengetahui berfirman:

“Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hujurat [49]: 16)

Menamakan diri dengan As-Salafi, Al-Atsari, dan yang semisal adalah tidak ada asal-usulnya. Kita melihat pada substansi nyata; bukan perkataan, penamaan diri, maupun pengakuan.

Terkadang, seseorang mengatakan kepada orang lain, ‘Ia salafi’, padahal orang tersebut bukan salafi (pengikut manhaj salaf). Atau juga mengatakan, ‘Ia atsari’, padahal orang yang ditunjuk bukan atsari (pengikut atsar salaf). Sebaliknya, seseorang adalah salafi (pengikut manhaj salaf) dan atsari (pengikut atsar salaf), namun tidak mengatakan, “Aku ini atsari, Aku ini salafi.’ Hendaknya kita melihat pada substansi nyata; bukan pada penamaan maupun klaim pengakuan.

Seorang muslim harus komitment dengan adab terhadap Allah swt. Tatkala orang-orang Arab Badui mengatakan, ‘Kami telah beriman!’ Allah mengingkari mereka. Allah berfirman:

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’.” (Al-Hujurat [49]: 14)

Allah mengingkari orang-orang Arab Badui yang menyifati diri mereka sebagai orang beriman. Padahal, mereka belum sampai pada tingkatan beriman. Mereka baru saja masuk Islam; itu pun masih diliputi keraguan.

Orang-orang Arab Badui itu datang dari pedusunan. Mereka menganggap diri mereka sudah lama menjadi orang beriman. Padahal tidak! Mereka baru saja masuk Islam. Apabila mereka melanjutkan keislaman mereka dan mau belajar, maka keimanan pun akan masuk ke dalam hati mereka sedikit demi sedikit. Allah berfirman:

“Padahal iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (Al-Hujurat [49]: 14)

Kata lamma “belum” menunjukkan sesuatu yang masih menjadi harapan. Maksudnya, iman baru akan masuk tapi engkau sudah menganggap beriman dari pertama kali sebagai bentuk penyucian terhadap diri sendiri. Maka, tidak perlu engkau mengatakan, ‘Aku salafi! Aku atsari! Aku begini dan begini!’ Hendaklah engkau mencari kebenaran dan mengamalkannya. Perbaiki niatmu! Allah-lah Yang Maha Mengetahui substansi nyatanya.”

Sumber : http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=89

Dari buku: Beda Salaf dengan Salafi / Kasyfu Al-Haqaiq Al-Khafiyyah ‘Inda Mudda’I As-Salafiyyah karya Mut’ab bin Suryan Al-‘Ashimi.

Keterangan : mempolerkan nama salafy untuk menyaingi Ahlusunnah waljamaah hanyalah seorang tukang jam yang jahil dan tidak bersanad (nasirudin albani ) dan pengikutnya

Kitab Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah : bolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan

Ibnu Taimiyah Membolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan

ustad_arifinTahlilan adalah sebuah tradisi ritual yang komponen bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat, dan lain-lain. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang telah wafat. Hal tersebut terkadang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Hal inilah yang membuat kita berseberangan dengan paradigma kaum salafi wahabi yang menyatakan bahwa amaliah semacam ini dikatakan bid’ah sesat dan pelakunya masuk neraka. Bahkan kami temui sebuah artikel dari wahabi yang mengatakan sesatnya dzikir berjama’ah ala Ust. Arifin Ilham. Tudingan yang semacam ini tentunya tidak tepat, karena tradisi tahlilan dan dzikir berjama’ah yang berkembang di nusantara ini memiliki landasan-landasan dalil dari al-Quran dan Sunnah.

 

Pengikut Wahabi sepertinya tidak tahu (atau mungkin lupa) mengenai fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah (Ulama yang menjadi rujukan utama kaum salafi wahabi) yang menganggap dzikir berjama’ah dan tahlilan termasuk amal ibadah yang paling utama dan sangat besar pahalanya!.

Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata :

وَسُئِلَ عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم‏:‏ هذا الذكر بدعة وجهركم فى الذكر بدعة، وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون، ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات، ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة، ويصلون على النبى صلى الله عليه وسلم، والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق، ويبطل الذكر فى وقت عمل السماع‏؟‏
فأجاب‏:‏
الاجتماع لذكر الله، واستماع كتابه، والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى الأوقات‏.‏ ففى الصحيح عن/ النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال‏:‏ ‏(‏إن للَّه ملائكة سياحين فى الأرض، فإذا مروا بقوم يذكرون الله، تنادوا هلموا إلى حاجتكم‏)‏ وذكر الحديث، وفيه ‏(‏وجدناهم يسبحونك ويحمدونك‏)‏‏.‏ لكن ينبغى أن يكون هذا أحياناً فى بعض الأوقات، والأمكنة، فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه فى الجماعات‏:‏ من الصلوات الخمس فى الجماعات، ومن الجمعات، والأعياد، ونحو ذلك‏.‏
وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة، أو القراءة، أو الذكر، أو الدعاء، طرفى النهار وزلفاً من الليل، وغير ذلك، فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثاً، فما سن عمله على وجه الاجتماع كالمكتوبات، فعل كذلك‏.‏ وما سن المداومة عليه على وجه الانفراد من الأوراد، عمل كذلك، كما كان الصحابة ـ رضى الله عنهم ـ يجتمعون أحياناً، يأمرون أحدهم يقرأ، والباقون يستمعون‏.‏ وكان عمر بن الخطاب يقول‏:‏ يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، وكان من الصحابة من يقول‏:‏ اجلسوا بنا نؤمن ساعة، وصلى النبى صلى الله عليه وسلم بأصحابه التطوع فى جماعة مرات، وخرج على الصحابة من أهل الصفة، وفيهم قارئ يقرأ، فجلس معهم يستمع‏.‏
/وما يحصل عند السماع والذكر المشروع من وجل القلب، ودمع العين، واقشعرار الجسوم، فهذا أفضل الأحوال التى نطق بها الكتاب والسنة‏.‏
وأما الاضطراب الشديد، والغشى والموت والصيحات، فهذا إن كان صاحبه مغلوبا عليه، لم يُلَم عليه، كما قد كان يكون فى التابعين ومن بعدهم‏.‏ فإن منشأه قوة الوارد على القلب مع ضعف القلب‏.‏ والقوة، والتمكن أفضل، كما هو حال النبى صلى الله عليه وسلم والصحابة، وأما السكون، قسوة وجفاء، فهذا مذموم لا خير فيه‏.‏
وأما ما ذكر من السماع، فالمشروع الذى تصلح به القلوب، ويكون وسيلتها إلى ربها بصلة ما بينه وبينها، هو سماع كتاب الله الذى هو سماع خيار هذه الأمة، لاسيما وقد قال صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏(‏ليس منا من لم يتغن بالقرآن‏)‏ وقال‏:‏ ‏(‏زَيِّنوا القرآن بأصواتكم‏)‏ وهو السماع الممدوح فى الكتاب والسنة‏.‏ لكن لما نسى بعض الأمة حظاً من هذا السماع الذى ذكروا به، ألقى بينهم العداوة والبغضاء، فأحدث قوم سماع القصائد والتصفيق والغناء مضاهاة لما ذمه الله من المكاء والتصدية، والمشابهة لما ابتدعه النصارى‏.‏ وقابلهم قوم قست قلوبهم عن ذكر الله، وما نزل من الحق، وقست قلوبهم فهى كالحجارة أو أشد قسوة مضاهاة لما عابه الله على اليهود‏.‏ والدين الوسط هو ما عليه خيار هذه الأمة قديماً وحديثاً‏.‏ والله أعلم‏.‏

Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia memprotes ahli dzikir (berjama’ah) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi “Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])

Khusus mengenai menghadiahkan pahala kepada mayit, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”.

Dengan demikian apakah kaum Salafi Wahabi berani mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah yang menganjurkan tahlilan dan dzikir berjama’ah termasuk ahli bid’ah dan masuk neraka? ^_^

www.sarkub.com

Ibadah yang dilarang untuk Wanita dalam masa Haid dan Dalil larangan memegang mushaf alquran bagi wanita haid/junub/nifas

Wanita Haid

Datang bulan Haid

Setiap wanita selalu mengalami masa rutinitas bulanan yang disebut haid. Karena datangnya setiap bulan, maka di Indonesia sering disebut dengan datang bulan. Haid disebut juga dengan mens atau M saja kependekan dari menstruasi. Atau udzur di kalangan santri. Bahasa halusnya sering dikatakan “sedang halangan”.

DAFTAR ISI


DEFINISI HAID

Haid adalah proses pengeluaran darah dan cairan melalui kelamin wanita (vagina) yang mengandung sel-sel mati dari lapisan selaput lendir (lapisan endometrium) rahim. Atau meluruhnya zat-zat nutrisi pada dinding rahim karena tidak terjadi pembuahan pada waktu ovulasi sebelumnya. Luruhnya zat-zat nutrisi yang menempel di dinding rahim itulah yang lazim kita sebut sebagai “darah haid”.

Dalam terminologi fiqh, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang baligh dan sehat yang selain darah nifas.

Dalam Q.S. Al-Baqarah 2:222 Allah berfirman:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا۟ النِّسَآءَ فِى الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّـهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ التَّوّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang mahiid. Katakanlah, “Ia adalah gangguan”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan mehukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri (Terjemahan vari Tafsir Al Mishbah Quraish Shihab).


CIRI KHAS DARAH HAID

Tanda darah haid yang membedakannya dari darah istihadlah dan nifas adalah sebagai berikut:

1. Sumbernya berasal dari bagian dalam rahim wanita.
2. Kental dan agak kehitaman.
3. Warna kehitaman dan kadang berubah menjadi kuning atau merah.
4. Tidak menggumpal atau membeku.
5. Berbau tidak sedap.
6. Siklus waktu teratur (ada pengecualian bagi peserta KB atau Keluarga Berencana).


LARANGAN BAGI WANITA HAID

Ada sejumlah larangan dalam Islam bagi wanita yang sedang dalam masa haid yaitu:

1. Shalat
2. Berwudu` atau Mandi Janabah
3. Puasa
4. Tawaf di Baitullah
5. Menyentuh mushaf (Quran)dan membawanya
6. Masuk ke Masjid
7. Bersetubuh/senggama/hubungan intim (jimak).
8. Melafazkan atau membaca ayat-ayat Al-Quran kecuali dalam hati atau doa/zikir yang lafadznya diambil dari ayat Al-Quran.

Larangan membaca Al-Quran (tanpa memegangnya) masih terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama termasuk Imam Syafi’i dan Maliki membolehkan membaca Al-Quran bagi wanita haid dengan catatan:

– Takut lupa atau memang pekerjaannya mengajarkan/menghapal al-Qur’an.
– Sedang berargumentasi sehingga harus menggunakan al-Qur’an sebagai dalil
– Membaca ayat-ayat pendek yang tujuannya untuk zikir


HAL YANG BOLEH DILAKUKAN WANITA HAID

1. Berdzikir (membaca tasbih, tahmid, istigfar dan tahlil).
2. Bercumbu (petting) antara suami-istri selain senggama (bersetubuh).
3. Bersujud ketika mendengar ayat sajadah karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling kuat.
4. Menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha untuk mendengarkan khutbah tapi tidak ikut shalat.
5. Tidur bersama suami.
3. Dan hal-hal lain selain yang diharamkan di atas.


LAMA MASA HAID

Paling sedikitnya masa keluarnya darah haid adalah sehari semalam dan paling lama 15 hari. Sedang masa haid yang normal adalah 6 atau 7 hari.

Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarhul Muhadzdzab II/103-104 menyatakan:

وأقل الحيض يوم وليلة وأكثره خمسة عشر يوما وغالبه ست أو سبع لقوله صلى الله عليه وسلم لحمنة بنت جحش : ” { وتحيضي في علم الله ستة أيام أو سبعة أيام كما تحيض النساء ويطهرن ميقات حيضهن وطهرهن


CARA BERSUCI SETELAH HAID

1. Wanita tersebut mengambil air dan sabunnya, kemudian berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya.

2. Menyiramkan air ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air dapat sampai pada tempat tumbuhnya rambut. Dalam hal ini tidak wajib baginya untuk menguraikan jalinan rambut kecuali apabila dengan menguraikan jalinan akan dapat membantu sampainya air ke tempat tumbuhnya rambut (kulit kepala).

3. Menyiramkan air ke badannya.

4. Mengambhl secarik kain atau kapas (atau semisalnya) lalu diberi minyak wangi kasturi atau semisalnya kemudian mengusap bekas darah pada kemaluan (farji/vagina) dengannya.


NIAT MANDI BERSUCI SETELAH HAID

Setelah darah haid berhenti, perempuan diharuskan bersuci yaitu dengan cara mandi keramas. Pada saat mandi keramas ini, diharuskan niat untuk menghilangkan hadats besar sbb:

نَوَيْتُ الغُسْلَ ِلرَفْعِ الحَدَثِ الأكْبَر فَرْضًا ِلله تَعَاليَ

Artinya: Saya niat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena Allah.

Niat ini cukup diucapkan dalam hati, tapi tidak apa-apa kalau diucapkan dengan bersuara.
Niat mandi hukumnya wajib. Jadi, tidak sah mandi junubnya kalau tanpa niat.


NIAT MANDI BERSUCI DARI HAID DAN JUNUB SEKALIGUS

Seorang perempuan yang setelah haidnya habis kemudian bersetubuh dengan suaminya, maka dia boleh mandi satu kali saja dengan dua niat yaitu niat mandi haid dan mandi junub, demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Niatnya sebagai berikut:

نويت غسل الحيض و غسل الجنابة فَرْضًا لله تعالي

Saya niat mandi haid dan mandi junub karena Allah.

Adapun kalau niat salah satunya, seperti berniat mandi haid atau mandi junub saja, maka ada perbedaan pendapat ulama: (a) hanya sah untuk yang diniatkan saja; (b) sah untuk keduanya.

Mufaffiqud-Din Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan:

فصل: إذا اجتمع شيئان يوجبان الغسل كالحيض والجنابة أو التقاء الختانين والإنزال ونواهما بطهارته أجزأه عنهما. قاله أكثر أهل العلم منهم عطاء وأبو الزناد وربيعة ومالك والشافعي وإسحاق وأصحاب الرأي ويروى عن الحسن والنخعي في الحائض الجنب يغتسل غسلين، وإن نوى أحدها أو نوت المرأة الحيض دون الجنابة فهل تجزئه عن الآخر ؟ على وجهين أحدهما تجزئه عن الآخر لأنه غسل صحيح نوى به الفرض فأجزأه كما لو نوى استباحة الصلاة، والثانية يجزئه عما نواه دون ما لم ينوه لقول النبي صلى الله عليه و سلم : وإنما لكل امرئ ما نوى

Artinya: Apabila terkumpul dua hal yang mewajibkan mandi besar seperti haid dan junub atau bersetubuh dan keluar mani (sperma) kemudian mandi dan niat bersuci untuk keduanya (sekaligus), maka hukumnya sah menurut mayoritas ulama seperti Atha’, Abuz-Zinad, Rabi’ah, Malik, Syafi’i, Ishaq dan ashabur-ra’y (ulama yang menekankan ijtihad).

Diriwayatkan dari Hasan dan Nakha’i dalam masalah wanita haid dan junub yang mandi dua kali apabila berniat salah satunya atau wanita haid niat bersuci dari haid bukan untuk junub apakah (niat itu) mencakup pada yang lain? Ada dua pendapat. Pertama, mencakup pada yang lain karena mandinya sah sebagaimana orang yang berniat untuk dibolehkan shalat. Kedua, sah untuk yang diniatkan saja tidak yang lain berdasarkan hadits, ‘Setiap perilaku seseorang itu tergantung niat.’


HUKUM SENGGAMA SETELAH BERHENTI HAID SEBELUM BERSUCI

Wanita haid yang sudah berhenti darah haidnya tetap tidak boleh (haram) bersenggama (jimak/bersetubuh) dengan suaminya kecuali setelah bersuci atau mandi. Adapun dasar hukumnya sebagai berikut:

1. Quran Surat Al-Baqarah 2:222

فاعتزلوا النساء في المحيض، ولا تقربوهن حتى يطهرن، فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله، إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين

Artinya: Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

2. Jumhur (mayoritas) ulama dari 3 madzhab utama yaitu Malikiy, Syafi’i dan Hanbali, sepakat bahwa hubungan intim (dukhul) antara wanita haid yang sudah berhenti darahnya dengan suaminya itu haram kecuali setelah mandi (ghusl) atau bersuci.

3. Yusuf Qardhawi menghukumi haram bersetubuhnya wanita haid sebelum bersuci walaupun darah sudah mampet (berhenti)

يقول يوسف القرضاوي:-
جمهور الفقهاء يرون: أنه لا يجوز للزوج أن يجامع زوجته إلا بعد أن تغتسل، أي تغسل رأسها وجسدها كله بالماء

Imam Jalaluddin as-Suyuthi membolehkan terjadinya senggama antara suami-istri apabila darah haid sudah berhenti (خلافا لما بحثه العلامة الجلال السيوط – أي من حل الوطء أيضا بالانقطاع) dalam I’aanah at-Thaalibiin I/85.

4. Madzhab Hanafi membolehkan terjadinya hubungan intim (jimak) apabila darah haid putus dan waktu haid sudah melewati 10 hari.

وقال الحنفية:إن انقطع الدم لأقل من عشرة أيام ـ وهي أكثر الحيض ـ لم يحل وطؤها حتى تغتسل، أو يمضي عليها وقت صلاة، وؤن انقطع لعشرة أيام جاز قبل الغسل، لقوله تعالى: (حتى يطهرن) ينقطع الحيض. حملوه على العشرة. وقراءة التشديد حملوها على ما دون العشرة، عملا بالقراءتين. هكذا قالوا. ولأن ما قبل العشرة لا يحكم بانقطاع الحيض، لاحتمال عود الدم، فيكون حيضا، فإذا اغتسلت أو مضى عليها وقت صلاة: دخلت في حكم الطاهرات. وما بعد العشر حكمنا بانقطاع الحيض، لأنها لو رأت الدم لا يكون حيضا فلهذا حل وطؤه

=====================
CATATAN DAN RUJUKAN

– الحيض هو خروج الدم المعروف من رحم الانثى البالغة السليمة من غير ولادة او افتضاض، ويعرف الحيض باسماء اخرى منها الطمث
– Hadits tentang tidaj boleh shalat dan puasa saat haid dari Aisyah: كنا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم نطهر فيأمرنا بقضاء الصوم ولا يأمرنا بقضاء الصلاة
– Larangan tawat di Ka’ab saat haid hadits Abu Daud dan Tirmidzi: النفساء والحائض ـ إذا اتيا الميقات ـ تغتسلان وتحرمان وتقضيان المناسك كلها غير الطواف بالبيت
– Larangan masuk masjid dan i’tikaf saat haid hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah: أمر الرسول الله صلى الله عليه وسلم الحائض أن تعتزل عن مصلى المسلمين
– Larangan menyentuh dan membaca Quran. Quran لا يمسه إلا المطهرون
dan hadits: لا يقرأون القرآن ولا يطأون مصحفا بأيديهم ، حتى يكونوا متوضئين– Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a

“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
– Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar.
“Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”
–  Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda : ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]
– Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah.
“Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haidh dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”
– Dalil tak boleh sentuh mushaf alquran baigi orang junub/haid/nifaz
Umar bin Khattab masuk Islam

Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40 (empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, iaitu Umar bin al-Khatab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khatab ke dalam Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “ Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:
Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” Wahai Umar, hendak kemana engkau?,” maka Umar menjawab, “ Aku hendak membunuh Muhammad.” Selanjutnya orang tadi bertanya:”Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad”.
Lalu orang tadi berkata,” Tidak engkau tahu bahawa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar berkata, “barangkali keduanya benar telah berpindah agama”,. Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khatab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya mengeluarkan darah.
Kemudian Umar berkata: “Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku ingin membacanya”, maka adiknya berkata.” Kamu itu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci).”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci) kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut iaitu surat Toha sampai ayat,” Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dirikanlah Solat untuk mengingatiku.” (Qs.Toha:14). Setelah itu Umar berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”.
Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap doa yang dipanjatkan Nabi pada malam khamis yang lalu menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdoa “Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, iaitu Umar bin al-Khatab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Lalu Umar berangkat menuju tempat nabi Muhammad saw, didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya”. Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar bin Khatab, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”.
Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Sayuti dalam “Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin”.

Kitab Daf’u syubah (Imam Ibnul Jauzi – Bab Hadits No. 3 ) : Hadits Hadits palsu yang dipakai kaum mujasimmah

al Imam al Hafizh Abdurrahman Ibnul Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih (Bab Hadits) [Hadits 3]

Hadits Ke Tiga:

 

Ummu Thufail; perempuan Ubay meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah berkata:

 

(قيل) أنّه رَأى ربّهُ عزّ وَجلّ فِي الْمَنام فِي أحْسَن صُوْرَة شَابًّا مُنَوَّرًا فِي خُضْرٍ، فِي رجْلِه نعْلانِ مِنْ ذَهَبٍ وَعَلَى وَجْههِ فرَاشٌ مِنْ ذهَب

 

[Ini hadits palsu, tidak boleh kita ambil, sangat menyesatkan, makna literalnya mengatakan: ”Sesungguhnya ia (Rasulullah) telah melihat Allah dalam mimpinya dalam bentuk yang paling indah; yaitu Dia sebagai anak muda yang bercahaya kehijauan, pada kaki-Nya dua sendal dari emas, dan pada wajah-Nya ada kupu-kupu dari emas”]

Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad. Imam Ibnu Adiy berkata: “Dia (Nu’aim bin Hammad) adalah seorang pemalsu hadits”. Imam Ahmad bin Hanbal seuatu ketika ditanya tentang Nu’aim, lalu beliau memalingkan muka (mengingkarinya), seraya berkata: “Hadits yang diriwayatkan olehnya adalah hadits munkar dan majhul [tidak dikenal dan tidak memiliki dasar]”.

 

Kemudian ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:

 

(قيل) رَأيْتُ رَبّيْ جَعْدًا أمْرَدَ عَلَيْهِ حُلّةٌ خَضْرَاء

 

[Hadits palsu, menyesatkan, makna literalnya mengatakan: “Aku (Rasulullah) telah melihat Tuhan-ku berambut keriting (kribo), tidak berjanggut (seperti anak muda), di atas-Nya adalah mahkota hijau”].

 

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Hammad bin Salamah. Dia memiliki saudara tiri zindik [kafir karena kesesatan-kesesatannya] bernama Ibnu Abil Awja’. Dia banyak memasukan riwayat palsu di dalam kitab-kitab Hammad bin Salamah yang sama sekali tidak memiliki dasar, karenanya riwayat-riwayat semacam ini tidak dapat dijadikan dalil sedikitpun.

 

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim menetapkan sifat-sifat bagi Allah “seenakperutnya”, ia mengatakan bahwa Allah adalah sebagai anak muda yang tidak berjanggut, rambut keriting menggumpal, wajah-Nya dikelilingi kupu-kupu emas, memakai dua sandal, dan mengenakan mahkota di kepala-Nya; lalu Abu Ya’la berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita bayangkan”. Padahal apa yang diriwayatkannya itu sama sekali tidak benar, kita semua telah tahu bahwa ketika dikatakan: “Anak muda, tidak berjanggut, …” dan seterusnya; maka semua itu tidak ada pemahaman lain kecuali dalam pemahaman bentuk dan benda. Sementara Abu Ya’la al-Mujassim berkata: “Itu semua tidak seperti yang kita pikirkan (bayangkan)”, ini sama saja dengan mengatakan: “Si fulan berdiri tapi tidak berdiri”, atau: “Si fulan duduk tapi tidak duduk”. [Kata-kata yang sama sekali tidak bisa diterima sehat akal).

 

Imam Ibnu Aqil al-Hanbali berkata: “Kita pastikan bahwa hadits seperti ini adalah hadits bohong (palsu). Walaupun yang meriwayatkannya orang-orang terpercaya (tsiqah) tetapi jika isi redaksinya adalah perkara mustahil semacam ini maka semua itu tidak dapat diterima. Perumpamaannya jika ada sekelompok orang terpercaya memberitahukan bahwa ada seekor kuda gemuk yang sangat besar masuk ke dalam lubang jarum; maka berita mereka tidak dapat dibenarkan karena itu perkara mustahil walaupun yang menyampaikannya orang-orang yang sangat terpercaya”.

Imam adzhabi (scanned kitab al kabair): Aqidah ahlusunnah Allah ada tanpa tempat

Kitab = Al Kabair

Penulis = ‘allamah Syamsuddin Az-Zahabi al HAMBALI

penerbit = Muasasah al kitab altsaqafiah

cetakan pertama 1410h.

Page = 140

Berkata Az-Zahabi:
‘ Dan diantara kekufuran ialah menyamakan (tasybih) Allah dengan makhlukNya, (Firman Allah Yang Bermaksud: Tiada Sesuatupun Yang MenyamaiNya) dan diantara kekufuran ialah menisbatkan tempat dan arah bagi Allah kerana Allah wujud sebelum terciptanya tempat dan arah, dan Dialah yang menciptakan tempat dan arah (seperti sabda Nabi SAW: Sesungguhnya Allah Itu Azali Dan Tiada Sesuatupun Sebelum KewujudanNya-Riwayat Bukhari) dan (Saidina Ali Karramallahu Wajhah Berkata: Sesungguhnya Allah Itu Azali Tiada Bertempat dan Dia Tetap Sepertimana AzaliNya Dia)

Dan,

Berkata Lagi Al-Hafiz:

‘ Dan Diantara Kufur yang terkeji ialah mengisbatkan anggota kepada Allah, nisbatkan Aurat, menisbatkan saudara perempuan, isteri, dan anak pada Allah, walaupun dia tidak beri’tiqad sebegitu, dan antara kekufuran ialah menyifatkan Allah dengan sifat2 yang pada logik aqal kepada Allah dan telah sepakat ulama akan perkara tersebut kecuali dengan sifat yang warid daripada nas Al-Quran dan Hadis.

Page 142: AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK

 


Terjemahan.:

Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”.

Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir. Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.

(by : Abu Widad Ad-Dusuni Al-Asy’ari& Abu syafiq)

Kitab adzahabi yang lain:

*Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi

Daurah masyayikh salafy timur tengah, Daurah kitab albany, Daurah daurah salafy/wahaby saudy

   ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.
Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani. Cetakan: Maktab Islami.
Mukasurat: 71.
Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :
“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. (Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).
KITAB-KITAB IMAM ADZAHABY SERING DIJADIKAN RUJUKAN-RUJUKAN PALSU OLEH WAHABY TAPI KALAU KITA LIHAT KITAB ASLINYA, AKAN LAIN JADINYA….LIHAT KITAB ASLI IMAM ADZAHABY YANG BELUM DITAKHRIJ OLEH ALBANY :

2. Adz Dzahabi Menohok Ajaran Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]

Lihat ini kitab berjudul:

Mu’jam asy Syuyukh

Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah

Ini terjemah yang ditandai:

“Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap makam nabi dan menciumnya; dan beliau melihat bahwa melakukan perkara itu bukan suatu masalah (artinya boleh)”.

“Jika dikatakan: Bukankah para sahabat tidak pernah melakukan itu? Jawab: Karena mereka melihat langsung Rasulullah dan bergaul dengannya, mereka mencium tangannya, bahkan antar mereka hampir “ribut” karena berebut sisa/tetesan air wudlunya, mereka membagi-bagikan rambut Rasulullah yang suci pada hari haji akbar, bahkan apa bila Rasulullah mengeluarkan ingus maka ingusnya tidak akan pernah jatuh kecuali di atas tangan seseorang (dari sahabatnya) lalu orang tersebut menggosok-gosokan tangannya tersebut ke wajahnya”.

“Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan oleh Tsabit al Bunani?, beliau selalu mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakannya pada wajahnya, beliau berkata: Inilah tangan yang telah menyentuh tangan Rasulullah. Perkara-perkara semacam ini tidak akan terjadi pada diri seorang muslim kecuali karena dasar cintanya kepada Rasulullah”.

Semoga kita dikupulkan bersama Rasulullah dan para sahabatnya kelak. Amin.

3. Siyar A’lam an-Nubala’

Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah, yang seringkali menjadi rujukan Wahabi

Ini terjemah yang ditandai:

“Abdullah bin Ahmad (anak Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata: Saya telah melihat ayahku (Imam Ahmad ibn Hanbal) mengambil sehelai rambut dari rambut-rambut Rasulullah, lalu ia meletakan rambut tersebut di mulutnya; ia menciuminya. Dan aku juga melihatnya meletakan rambut tersebut di matanya, dan ia juga mencelupkan rambut tersebut pada air lalu meminumnya untuk tujuan mencari kesembuhan dengannya.

Aku juga melihat ayahku mengambil wadah (bejana/piring) milik Rasulullah, beliau memasukannya ke dalam dalam air, lalu beliau minum dari air tersebut. Aku juga melihatnya meminum dari air zamzam untuk mencarikesembuhan dengannya, dan dengan air zamzam tersebut ia mengusap pada kedua tangan dan wajahnya.

Aku (adz Dzahabi) katakan: Mana orang yang keras kepala mengingkari Imam Ahmad?? Padahal telah jelas bahwa Abdullah (putra Imam Ahmad) telah bertanya kepada ayahnya sendiri (Imam Ahmad) tentang orang yang mengusap-usap mimbar Rasulullah dan ruang (makam) Rasulullah; lalu Imam Ahmad menjawab: “Aku tidak melihat itu suatu yang buruk (artinya boleh)”. Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari faham-faham sesat Khawarij dan para ahli bid’ah”.

Anda tahu? Sebenarnya yang ahli bid’ah itu adalah kaum Wahhabi, karena mereka memandang sesat terhadap sesuatu yang telah disepakati kebaikannya…. tabarruk ko dibilang bid’ah; tabarruk itu dari zaman Rasulullah masih hidup sudah ada.

4. Nasehat adz-Dzahabi Terhadap Ibn Taimiyah; Bukti Pengakuan Seorang Murid Bagi Kesesatan Sang Guru

an-Nasihah al-Dhahabia li ibn Taymiyya

Bukti Scan; Menohok Wahabi

Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.

Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:

“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:

“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!

Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)

Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!

Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!

Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.

5. Ibn al Jawzi Dalam Sifat as Shofwah Menganjurkan Ziarah Ke Makam Orang2 Saleh Dan Tawassul, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik

Shifat ash Shafwah

Karya al Imam al Hafizh Abu al Faraj Abdurrahman Ibn al Jauzi (w 597 H)  salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka bermadzhab Hanbali; hidup jauh sebelum Ibnu Taimiyah

berikut ini adalah terjemahan dari yang digaris bawahi:

Dia (Imam Ma’ruf al Karkhi) adalah obat yang mujarab, karenanya siapa yang memiliki kebutuhan maka datanglah ke makamnya dan berdoalah (meminta kepada Allah) di sana; maka keinginannya akan terkabulkan InsyaAllah.

Makam beliau (Imam Ma’ruf al Karkhi) sangat terkenal di Baghdad; yaitu tempat untuk mencari berkah. Adalah Imam Ibrahim al Harbi berkata: Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”.

Orang-orang Wahabi membawa ajaran baru dan aneh. Pengakuan mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR. Mereka bukan para pengikut madzhab Hanbali; baik dalam aqidah maupun fiqih. Madzhab mereka adalah madzhab WAHABI.

Lihat kutipan scan di atas, salah seorang ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah bermadzhab Hanbali membolehkan tabarruk (mencari berkah) dengan ziarah ke makam orang-orang saleh, sementara Wahabi berkata perbuatan tersebut adalah: “SYIRIK, KUFUR, BID’AH, TAHAYUL, KHURAFAT, SESAT” dan label penyesatan lainnya.

Setelah mereka melihat scan ini; kita sodorkan pertanyaan kepada mereka: “Yang sesat itu Ibnul Jauzi atau kalian”????????????????????????????????????????????????????????????

Pertanyaan ini harus mereka pertanggungjawabkan……….



6.  Imam 4 madzab kafirkan Aqidah Mujasimmah (Tuhan Bertempat/duduk)

. Hujjah Imam Abu Hanifah yg beliau tulis dalam kitab wasiat nya :



( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

Bukti (Scanned kitab) kejahatan wahabi memalsukan kitab Imam Ahlusunnah (Part 1) : 8 dari 40 kitab yang dipalsukan

Salafi Wahabi memalsu kitab Ulama mu'tabar

Buku : Salafi Wahabi – “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi”.

Menurut penelitianpenulis, ada 38 kitab yang telah terbukti mengalami pemalsuan. Padahal ini belum lagi yang lain yang jumlahnya banyak. Diantaranya:
1.Shahih bukhari
2.Shahih muslim
3.Shahih at-turmudzi
4.Musnad imam ahmad
5.Tarikh al-ya’qubi
6.Nahj al-balaghah
7.Syarh aqaid an-nasafi
8.Al-kasykul wal mukhallah
9.Iqtidhas shirat al-mustaqim
10.Ahwalul qubur, ibn rajab
11.Al-bahr al-muhith
13.As-shawaiqul muhriqah
14.Diwan al-mutanabbi
15.Akhbarul himaqi wal mughaffilin
16.Hayatul muhammad
17.Thabaqatul mu’tazilah
18.Al-ibanah, asy’ari
19.Majma’ al-bayan
20.Mukhtashar tarikh ad-dual
21.Al-aghani, abul faraj
22.Muqatil at-thalibin
23.At-thabaqat, ibn sa’ad
24.Syarh an-nahj, al-mu’tazili
25.Tathir al-jinan
26.Al-ma’arif, ibn qutaibah
27.Tarikh at-thabari
28.Hasiyah as-shawi ala tafsir jalalain
29.Aqidatus salaf ashabul hadits
30.Syarh al-aqidah at-thahawiyah
31.Al-adzkar, an-nawawi
32.Tafsir al-kasyaf, az-zamahsyari
33.Diwanul imam syafi’i
34.Al-fawaid al-muntakhabat
35.Tafsir ruhul ma’ani
36.Hasiyah ibnul abidin
37.Majmu’ fatawa, ibn taimiyah
38.Nihayah al-qaul al-mufid

39. Alwasiat imam Hanafi

40. Nadzom jurumiyah

dll

[lihat Mereka memalsukan kitab-kitab karya ulama klasik:82-83]

disini adalah bukti nyata pemalsuan kitab kitab ulama sunni oleh wahabi :

1. Pemalsuan Kitab alwasiat (imam Hanafi)

2. Pemalsuan Kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah (Ibnul Qayyim al-Jauziyah)

3. Pemalsuan Kitab  ‘Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits (Imam  Abu Utsman As-Shobuni)

4. Pemalsuan Kitab “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain”  (Imam ashawi asyafi’i)

5. Pemalsuan kitab “al adzkar” (Imam Nawawi)

6. Pemalsuan Kitab “Diwan Imam Syafii ” (Imam Syafii)

7. Pemalsuan Kitab “jami’ushaghir” (Imam Suyuti) oleh Syaikh Albani alkadzab

8. Pemalsuan  Kitab Nadhom Jurumiyah

Bukti Buktinnya: 

A. Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah (Imam Abu Hanifah) : Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa memerlukan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya

Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah Karya Imam Abu Hanifah

Tradisi buruk kaum Musyabbihah dalam merombak karya para ulama Ahlussunnah terus turun-temurun dan berlangsung hingga sekarang. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, yang notabene kaum Musyabbihah juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-ImâmAbu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam Kitab berjudul al Washiyyah yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah karya Imam agung, Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit al Kufiyy (w 150 H),  beliau menuliskan :

استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقرار عليه

(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).

Perhatikan manuskrip kitab al Washiyyah ini:

Namun dalam cetakan kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut dirubah menjadi:

استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقر عليه

 

Maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.

Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:

Padahal, sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.

Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan besar” yang ada pada diri mereka, karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan tersebut.

Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan(as-Safar) untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam, atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Wa Allah A’lam Bi ash Shawab,

Wal Hamdu Lillah Rabb al Alamin,

(Page AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT)

Lampiran :


I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)  Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Terjemah:

Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah

NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :


( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )


Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

 Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

B. Bukti Ibnu qayyim melegalkan tawasul dan Kejahatan Wahabi memalsukan kitab ibnul qayyim

Posted on April 23, 2012 by admin | Edit

Kitab karya Ulama Rujukan Sejati mereka pun tak lepas dari penganiayaan mereka.
Kitab “Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah” karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah.

Ibnul Qayyim dalam kitab ini menyebutkan aqidah Imam Hujjatul Islam Abi Ahmad bin Husain Asy-Syafi’iy yang dikenal dengan Ibn Hadaad. Dalam kitab cetakan Darul Kutub ilmiyah, Beirut – Libanon, Cetakan pertama, Tahun 1974, Halaman 105 dituliskan :
ونتوسل إلى الله تعالى باتباعهم
Artinya : Dan kita ber”wasilah” (bertawassul) kepada Allah Yang Maha Tinggi dengan (cara) mengikuti mereka (para shahabat Rasulullah)

NAMUN jika kita lihat pada teks dalam manuskrip ASLinya, yang tertulis adalah :

ونتوسل إلى ربنا تعالى بهم
Artinya : Dan kita ber”wasilah” (bertawassul) kepada Tuhan kita Yang Maha Tinggi dengan mereka (para shahabat Rasulullah).

Secuil pen-tahrif-an isi kitab ini otomatis akan menghasilkan pengertian yang berbeda.
“Berwasilah dengan (cara) mengikuti para sahabat” berbeda pengertiannya dengan “berwasilah dengan mereka”.

KETERANGAN GAMBAR :
1. Tulisan dalam lingkar hitam adalah scan isi kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah, cetakan Darul Kutub ilmiyah, Beirut – Libanon, Cetakan pertama, Tahun 1974, Halaman 105. kalimat dalam lingkar birunya adalah kalimat yang sudah ditahrif, yang tertulis : ونتوسل إلى الله تعالى باتباعهم

2. Tulisan dalam lingkar hijau adalah Zoom scan mahfuzhah/manuskrip dari kitab Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah ‘ala Ghazwi al-Mu’aththilah wa al-Jahmiyah. Kalimat dalam dua lingkar merah tertulis :

ونتوسل إلى ربنا تعالى بهم

C. Bukti Kejahatan Wahabi Mengubah Kitab Ash Shobuni dengan kedok Tharij/ Tahrif = Ziarah Kubur Nabi Menjadi Ziarah masjid nabi

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Nama Kitab : ‘Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits

Penulis : Abu Utsman As-Shobuni

Pemalsu : (diduga) Kelompok Wahhabi

Tujuan : Pembenaran faham Wahhabi sebagai faham Salafy

Pada bukti kali ini anda akan saya bawa kepada fakta bahwa mereka memang suka mentahrif kitab kitab ‘Ulama, jika kaum Yahudi terkenal sebagai kaum yang suka merubah rubah isi kitab sucinya para Rasul, maka mereka sangat hoby mentahrif kitab ‘ulama, dan kali ini yang menjadi korban tahrif itu adalah Kitab Ash Shobuni.

Tahrif Kitab Ash Shobuni ini disertai bukti yang kuat melalui scen kitab asli dan palsunya, betapa tahrif kitab ash shobuni ini dalam rangka mendukung fatwa farwa mufti yang ada di kerajaannya.

Berikut adalah Cover Edisi “pemalsuan” pertama  cetakan tahun 1397 H.:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Edisi pertama ini adalah cetakan ad-Dar as-Salafiyah Kuwait. berikut adalah isu kajian yang dipalsukan:

perhatikan, pada halaman ini komentator menjelaskan (sekaligus memperlihatkan) perubahan kata “ziyarat qabri“ pada kata “ziyarat masjidi”. Menurutnya, kata “ziyarat qabri“ adalah salah (walaupun naskah aslinya seperti itu).

Lalu beberapa tahun kemudian, tahun 1404 H. terbit edisi baru:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

ini adalah edisi cetakan  pada percetakan yang sama. dengan komentator Badar al-Badar (yang mungkin lebih amanah dari edisi sebelumnya), coba perhatikan pada isu yang sama:

pada halaman ini, terlihat bahwa kata “ziyarat qabri” tertulis sebagaimana aslinya. walaupun si komentator memberikan komentar sesuai dengan keyakinannya, bahwa kata “ziyarat qabri” itu salah.

Kemudian edisi berikutnya, terbit di Mesir:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

yang diterbitkan oleh percetakan  Dar at-Tauhid li an-Nasr wa at-Tawzi’, dengan komentator Abu Khalid Majdi Ibn Saad. pada isu yang sama, si komentator sama sekali merubah dan bahkan membuang semua komentar pada edisi sebelumnya, sehingga pembaca akan kehilangan jejak sama sekali.

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Anda ingin bergabung dengan orang-orang jahat? Wahabi akan menerima anda dengan tangan terbuka!!!

D. Tafsir Shawi Bongkar Kejahatan Wahabi

Hasyiyah Ash-Shawi 'ala Tafsir Al-JalalainDi dalam kitab tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih asli dan belum ditahrif oleh Wahabi Salafi cetakan “Darul Fikr” jilid 5 halaman 119-120 (lihat dan simak tulisan yang ada di foto kedua & ketiga di bagian baris 1, 2, dan 3 dari bawah, dan foto keempat di bagian baris 5 dan 6 dari atas) diterangkan sebagai berikut:ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ۬ شَدِيدٌ۬ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَهُم مَّغۡفِرَةٌ۬ وَأَجۡرٌ۬ كَبِيرٌ (٧ Artinya:Orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang keras. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Qur’an Surat Fathir: 7)Tulisan yang ada di foto kedua dan ketiga, sebagai berikut:و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ Artinya:“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Mekkah). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”…Tulisan yang ada di foto keempat, sebagai berikut:ألا أنهم هم الكاذبون , استحوذ عليهم الشيطان , فأنساهم ذكر الله , اولئك حزب الشيطان , ألا ان حزب الشيطان هم الخاسرون , نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم Artinya:“Ingatlah ! Mereka adalah golongan para pembohong, yang telah dikuasai oleh hawa nafsu setan. Dan setan itu berusaha melupakan agar mereka tidak ingat atau dzikir kepada Allah swt. Mereka adalah termasuk golongan setan. Sedangkan, golongan setan itu adalah golongan orang-orang yang merugi. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, semoga Allah membinasakan mereka !.”

BANDINGKAN:

  • Kitab tafsir Ash-Shawi yang asli.

tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih asli dan belum ditahrif oleh Wahabi Salafi cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 5 halaman 119, tertulis:

و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيئ

“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini. Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Mekkah). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”

  • Kitab tafsir Ash-Shawi yang dipalsu wahabi

tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang masih sudah dipalsukan dan dihapus oleh Wahabi Salafi cetakan “Darul Fikr” tahun 1993 jilid 3 halaman 397, Tertulis

و قيل : هذه الأية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب و السنة , و يستحلون بذلك دماء المسلمين و أموالهم , لما هو مشاهد الأن فى نظائرهم………….. يحسبون أنهم على شيئ

“Dikatakan bahwa ayat tersebut di atas diturunkan pada kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang suka mentahrif (merubah) Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dengan demikian, mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Hal itu bisa dibuktikan, karena adanya suatu kesaksian pada bangsa mereka saat ini………………………………………….. Mereka mengira bahwa mereka berkuasa atas sesuatu.”

Sekte wahabi salafi menghapus kalimat:
و هم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية
Mereka adalah golongan orang-orang yang berasal dari tanah Hijaz (sekarang Saudi). Golongan tersebut dinamakan “Wahabiyyah”.

CATATAN PENTING:

Kitab tafsir “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” yang saat ini beredar di seluruh dunia, asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an) ayat tersebut di atas yang menerangkan tentang “Wahabiyah” dihapus dan dihilangkan oleh kelompok Wahabi. Karena, kalau tidak dihilangkan akan merugikan dan membahayakan bagi mereka, bahkan bisa menjadi ancaman bagi Saudi Arabia dalam rangka tetap menjaga dan memelihara eksistensi kerajaannya di dunia internasional.

(Oleh: KH. thobary Syadzily, Ketua Tim Sarkub)


T
afsir hasyiah asowi yang lain :


DI ATAS ADALAH COVER BAGI KITAB “HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN” KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY MENINGGAL 1241H.
YANG TELAH DIPALSUKAN OLEH WAHHABI.CETAKAN DAR KUTUB ILMIAH PADA TAHUN 1420H IAITU SELEPAS CETAKAN YANG ASAL TELAH PUN DIKELUARKAN PADA TAHUN 1419H.

INI ISU KANDUNGAN DALAM KITAB YANG TELAH DIPALSUKAN:

ISI KITAB DI ATAS YANG TELAH DIPALSUKAN & TIDAK BERSANDARKAN PADA NASKHAH YANG ASAL DAN DIUBAH PELBAGAI ISI KANDUNGAN ANTARANYA PENGARANG KITAB TELAH MENYATAKAN WAHHABI ADALAH KHAWARIJ KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM TANPA HAK. TETAPI DIPALSUKAN OLEH WAHHABI LANTAS DIBUANG KENYATAAN TERSEBUT. INI MERUPAKAN KETIDAK ADANYA AMANAH DALAM ILMU AGAMA DISISI KESEMUA PUAK WAHHABI.

NAH…!
INILAH KITAB TAFSIR TERSEBUT YANG ORIGINAL LAGI ASAL:


DI ATAS INI ADALAH COVER KITAB SYARHAN TAFSIR ALQURAN BERJUDUL “HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN”.KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY MENINGGAL 1241H.CETAKAN INI ADALAH CETAKAN YANG BERSANDARKAN PADA NASKHAH KITAB TERSEBUT YANG ASAL.DICETAK OLEH DAR IHYA TURATH AL-’ARABY.
PERHATIKAN PADA BAHAGIAN BAWAH SEBELUM NAMA TEMPAT CETAKAN TERTERA IANYA ADALAH CETAKAN YANG BERPANDUKAN PADA ASAL KITAB.CETAKAN PERTAMA PADA TAHUN 1419H IAITU SETAHUN SEBELUM KITAB TERSEBUT DIPALSUKAN OLEH WAHHABI.

INI ISI KANDUNGAN DALAM KITAB TERSEBUT PADA JUZUK 5 MUKASURAT 78:
DI ATAS INI ADALAH KENYATAAN SYEIKH AS-SOWI DARI KITAB ASAL MENGENAI WAHHABI DAN BELIAU MENYIFATKAN WAHHABI SEBAGAI KHAWARIJ YANG TERBIT DI TANAH HIJAZ.
BELIAU MENOLAK WAHHABI BAHKAN MENYATAKAN WAHHABI SEBAGAI SYAITAN KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM, MEMBUNUH UMAT ISLAM DAN MERAMPAS SERTA MENGHALALKAN RAMPASAN HARTA TERHADAP UMAT ISLAM.LIHAT PADA LINE YANG TELAH DIMERAHKAN.

Inilah Wahhabi. Bila ulama membuka pekung kejahatan mereka Wahhabi akan bertindak ganas terhadap kitab-kitab ulama Islam.
Awas..sudah terlalu banyak kitab ulama Islam dipalsukan oleh Wahhabi kerana tidak sependapat dengan mereka.

Semoga Allah memberi hidayah kepada Wahhabi dan menetapkan iman orang Islam.

E. Kaum Wahabi Telah Mengoyak Kitab al Adzkar Karya Imam An Nawawi (Mengungkap Kejahatan Wahabi)

Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia(LAJNAH AL BUHUTS AL ILMIYYAH WA AD DA’WAH WA AL IRSYAD”.), telah di-tahrifsebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.

Anda tahu apa yang dilakukan oleh lajnah al buhuts at takfiriyyah ini???? Mereka “mengoyak” tulisan Imam an Nawawi; lihat.. sebuah bab semula berjudul:

فصل في زيارة قبر رسول الله صلي الله عليه وسلم

[[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan tentang ziarah ke makam Rasulullah ]]]]]

(Anda tahu; kandungan makna dari penamaan bab ini?? adalah berisi ungkapan betapa besar Imam an Nawawi mencintai dan mengagungkan Rasulullah….!!!)

Tapiiii…. ternyata; kaum Wahabiyyah Talafiyyah telah merubah judul bab tersebut menjadi:

فصل في زيارة مسجد رسول الله صلي الله عليه وسلم

[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan ziarah ke masjid Rasulullah ]]]]

(Anda tahu dengan pemalsuan tangan-tangan jahat Wahabi ini betapa besar “luka” yang ditorekan mereka kepada “hati” seorang Imam terkemuka sekelas Imam an Nawawi??? Apakah anda tidak merasakan bahwa tangan-tangan jahat tersebut tidak hanya melukai seorang Imam an Nawawi… tapi; PERHATIKAN… bukankah itu melukai Rasulullah???? Lalu apakah anda sebagai umat Rasulullah tidak merasa dilukai ketika Rasulullah dilukai oleh tangan-tangan jahat itu???

Apakah anda tahu bahwa Rasulullah besabda:

من زار قبري وجبت له شفاعتي / رواه البزار وغيره

“Barangsiapa yang datang berziarah ke makamku maka wajiblah ia mendapatkan syafa’atku” (HR. al Bazzar dan lainnya)

????????????????????????????????????????????????????

Orang-orang Wahabi yang tidak tahu diri itu harus menjawab “pertanyaan panjang” ini, dan harus mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Rasulullah kelak; [ ]


Sedangkan pada cetakan wahabi yang lain, kisah utbiy tidak dihilangkan tapi “Pasal ziarah ke kubur Nabi” tidak ditulis dalam daftar isi kitab padahal setiap pasal yang lain ditulis. Sedangkan “Bab Apa apa yang bermanfaat bagi si mayyit dari bacaan selainnya/ bab maa yafna’u lmayyit min qauli ghirihi” SUDAH DIHILANGKAN.  Dibawah ini adalah scan kitab annawawi yang masih asli:

Maka tersebutlah di dalam kitab “al-Adzkar” yang masyhur karya ulama waliyUllah terbilang, Imamuna an-Nawawi ‘alaihi rahmatul Bari, pada halaman 258, antara lain:-

“…. Dan para ulama telah berbeza pendapat mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab asy-Syafi`i dan sekumpulan ulama bahawasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain dan sekumpulan ashab asy-Syafi`i (yakni para ulama mazhab asy-Syafi`i) berpendapat bahawa pahala tersebut SAMPAI. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : “Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si Fulan.”

F. Bait Diwan Imam Syafe’i yang dihilangkan oleh wahabi ****

BAIT YANG HILANG DARI DIWAN IMAM SYAFI’I !

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, 
maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. 
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, 
maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

COBA DOWNLOAD DARI (Diwan syafii yang dipalsukan) :

http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=17&book=16

MAKA KALIMAT DI ATAS SUDAH HILANG !

BANDINGKAN DENGAN TERBITAN BEIRUT DAN DAMASKUS:

Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34

 Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48  


Bahkan terbitan Dar el-mareefah juga dihilangkan (Scan kitab pdf diwan syafii yang asli):
http://www.4shared.com/file/37064910/c3ad321/Diwan_es-Safii.html?s=1

G. Syaikh Albani wahabi mengubah Kitab Jami’ushaghir Imam Suyuti

Kitab Al-Jamius Shaghir ditulis oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Nama lengkap beliau adalah Jalaluddin abdurrahman ibn Kamaluddin Abi Bakr ibn Muhammad al-Suyuthi. Beliau lahir tahun 849 H atau tahun 1445 M di Asyuth Mesir dari keturunan orang-orang terkemuka di negeri itu dan wafat tahun 911 H atau 1505 M. Ayah beliau wafat pada waktu beliau berumur 6 tahun, sehingga beliau tumbuh sebagai anak yatim.

Untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, maka selain di negerinya sendiri, beliau pun mencari ilmu dan merantau ke negeri-negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, India, Maghribi, dan negeri-negeri lain; serta berguru pada para ulama terkenal yang menguasai berbagai disiplin ilmu saat itu, yang jumlahnya kurang lebih 150 orang. Di antara ulama itu ialah Syaikh Syihabuddin al-Syarmasahi, Syaikhul Islam Alamuddin al-Bulqini, putera al-Bulqini, Syaikhul Islam Syarafuddin al-Manawi, Taqiyuddin al-Syibli, Muhyiddin al-Khafiji, Syaikh al-Hanafi, dan lain-lain. Bidang keilmuan yang beliau kuasai sangat luas, antara lain Tafsir, Hadits, Fiqh, Nahwu, Ma’ani, Bayan, dan Badi’ menurut cara orang Arab yang baligh, bukan menurut cara orang Ajam (non-Arab) dan ahli-ahli filsafat (keterangan ini dapat diperoleh dalam kitab beliau Husnul Muhaadlarah).

Sesungguhnya kitab hadits Al-Jami’ Ash-Shaghir karangan Al-Hafidz As-Suyuthi merupakan salah satu kitab hadits yang paling lengkap pokok pembahasannya, paling banyak manfaatnya, paling sederhana penyusunannya. dan yang menjadi kekhasan kitab ini adalah hadits-hadits yang tercantum diurutkan berdasarkan urutan huruf hijaiyah.Kitab jamius Shaghir beliau selesaikan pada tahun 907 H, 4 tahun sebelum beliau wafat (911 H). Dan ini sungguh suatu jihad yang dilakukan oleh seorang ulama untuk mengumpulkan dan menyusun sebuah kitab sehingga manfa’atnya dapat dirasakan oleh ummat setelahnya. Beliau juga menyusun secara terpisah appendix (lampiran) bagi kitabnya ini dengan judul Ziyaadah Al Jami’. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata,”Ini adalah appendix bagi kitab karangan saya yang bernama Al Jamius Shaghir Min hadits Al basyir An Nadzir, dan saya memberinya nama Az Ziyadah Al Jami’. Kode yang terdapat dalam appendix ini sam dengan kode dalam kitab Al Jami’, dan susunannya pun sama dengan yang terdapat dalam kitab Al jami’”

Akan tetapi masih banyak koreksi hadits dari para ulama yang lain diantaranya Al-Imam Al-Mannawi -rahimahullah- dalam kitabnya Al-Faidhul Qodir Syarh Al-Jamius Shaghir, juga Appendix kitab Al-jami’, yakni Az-Ziyadah Al-Jami’ juga beliau komentari dalam kitabnya Miftah As-Sa’dah bi Syarhi Az-Ziyadah. Dalam kitabnya ini, Beliau berupaya mengkritisi derajat hadits yang terkandung dalam kitab Al-Jamius Shaghir, namun sayangnya tidak semua hadits beliau teliti.

Entah dengan alasan tersebut atau maksud lain, maka seorang yang katanya ulama hadits tapi belum punya julukan AL-HAFIZH tetapi berani membuat KITAB TANDINGAN JAMI’US SHAGHIR. Orang ini namanya tersohor dikalangan WAHABI SALAFI tapi keulama’annya terdengar ANEH ditelinga Ahlussunnah wal Jama’ah pada umumnya. Siapa dia kalau bukan Nashiruddin Al-Albani yang mengklaim dirinya telah menyempurnakan kitab Jami’us Shaghir dengan LABEL SHAHIH AL-JAMI’ ASH-SHAGHIR WA ZIYADATUH. Juga begitu beraninya Al-Bani ini mendho’ifkan banyak hadits shahih Imam Bukhari.

Untuk membedakan mana Kitab Jami’us Shaghir milik Ahlussunnah Imam Suyuthi dan Kitab Jami’us Shaghir milik WAHABI SALAFI karangan Al-Bani perhatikan gambar dibawah ini.

Jami’us Shaghir As-Suyuthi syahadatnya memakai kata “SAYYIDINA.” Dan tidak melabelkan kata SHAHIH. Hal ini menggambarkan katawadhuan beliau akan kekurangan-dan kelemahan sebagai manusia yg tidak bisa terlepas dari kesalahan.

Bandingkan dengan Jami’us Shaghir karangan Al-Bani yang dengan bangganya melabelkan kata “SHAHIH” yang dimana secara nalar sehat menggambarkan kegeniusan dan hapalannya akan ilmu dan hadits-hadits Nabi, meskipun dia belum memiliki julukan AL-HAFIZH (banyak menghapal hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam), dan juga tidak mau menyebutkan kata “SAYYIDINA” dalam membaca syahadat Rasul.

Ikhwan wa Akhwat fillah…………..hati-hati dan waspada dengan propaganda ulama-ulama WAHABI SALAFI yg bisanya hanya menyalahkan, mendho’ifkan kitab-kitab ulama salaf dan hadits-hadits Nabi, sementara mereka tidak lain hanyalah ulama pemecahbelah umat islam, terutama NASHIRUDIN AL-ALBANI tukang servis jam beralih menservis HADITS SHAHIH menjadi HADITS DHO’IF. Wallohul musta’an wa bish-shawab.

H.  Wahabi Tahrif/Ubah  Kitab Nadhom Jurumiyah

Astagfirullah… lagi-lagi tangan jahat komplotan tanduk setan nejd gentayangan.. kenapa mereka usil suka merubah-ubah kitab karya ulama shaleh terdahulu. Sekarang giliran kitab nadzhom jurumiyah (kitab nahwu/tata bahasa arab) yang kena tahrif komplotan wahabi.  Suatu kejahatan pelanggaran Hak Cipta Kekayaan Intelektual (HAKI) dilakukan oleh komplotan yang mengaku paling murni aqidah  & paling nyunnah.

Komplotan wahabi yang mentahrif kitab ini adalah

  1. محمد رفيق الونشريسي الجزائري
  2. أحمد بن عمر الحازمي
  3. محمد بن أحمد جَدّو

Ternyata Bait ke 4 terakhir dari kitab nadzom Ajjurumiyah mereka tahrif (lihat gambar dibawah)

Mereka (komplotan WC)  mengganti kata ” بجاه ” dengan kata ” بحب  ”

Sebagi bukti Silahkan download kitabnya disini: http://www.almtoon.com/show-book.php?id=10

Inilah Bait Nadzhom dimanipulasi:

جعلها الله لكل مبتدي **** دائمة النفع بحب أحمد

”Semoga Allah Menjadikan Kitab selalu dalam kemanfaatan bagi para mubtadi (orang yang baru belajar) dengan kecintaan kepada Ahmad (Nabi Muhammad)”

Dan Inilah Bait Nadzhom Aslinya:

جعلها الله لكل مبتدي **** دائمة النفع بجاه أحمد

”Semoga Allah menjadikan selalu manfaat bagi orang yang baru belajar dengan kemuliaan (martabat) Nabi Muhammad”

——-

قال ذلك الوهابي في الشرح : ثم سأل (المؤلف) الله عز و جل أن يجعل نظمه هذا دائم النفع للمبتدئين في علم النحو و قد توسل إلى الله سبحانه و تعالى في الأصل : بجاه محمد صلى الله عليه و سلم فقــــــــــــــــــــــــال

Telah berkata Wahabi dalam Syarah Kitab Itu : Kemudian meminta (pengarang kitab) kepada Allah, supaya nadhomanya di jadikan selalu bermanfaat bagi orang2 yang baru belajar dalam ilmu nahwu, dan ia (si pengarang kitab) bertawasul (mengambil perantara) kepada Allah. Padahal dalam text aslinya adalah: Dengang Kemuliaan Nabi muhammad SAW.

ثم قال (الأستاذ الونشريسي) : و معلوم ما في هذا التوسل من مخالفة لما كان عليه سلفنا الصالح رضوان الله عليهم جميعا فحذفته و أبدلته بتوسل مشروع و هو حب النبي صلى الله عليه و سلم و راجع في ذلك كتاب العلامة المحدث الفقيه محمد ناصر الدين الألباني رحمه الله التوسل أنواعه و أحكامه ) فإنه فريد في بابه. انتهى.

Kemudian berkata Si Wahabi (الأستاذ الونشريسي) dan telah di ketahui apa yang ada dalam tawasul ini adalah dari menyalahi apa yang ada pada ulama salaf, maka Aku menghilangkanya dan menggantinya denga tawasul yang di syariatkan yaitu dg mencintai nabi Muhammad saw, dan sebagai pengembalian hukum dalam masalah itu adalah kitab karya Al-alamah Ahli hadits Ahli fiqih yaitu Muhammad nasiruddin Albani (kitab tawasul dan hukum2nya), dalam bab tersendiri.

————

Berikut hasil download di: http://www.almtoon.com/show-book.php?id=10

(Oleh: Ibnu Rasyid Rahmatulloh)

(*) Tahrif (تحريف ):  distortion, corruption, alteration: “penyelewengan, kecurangan, pengubahan”)

Yahudi & Ibnu Taymiyah berkeyakinan neraka akan Punah

Yahudi Berkeyakinan di neraka hanya sebentar saja, Sedangkan Ibnu Taymiyah berkeyakinan neraka akan Punah
Bangsa yang Beranggapan Tidak Disentuh Neraka Kecuali Sebentar

Allah berfirman : (QS. Al-Baqarah:80-81)

“Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali hanya beberapa hari saja”. Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu telah menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan mengingkari janjiNya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap apa yang tidak kamu ketahui?” 80) 

 

 Yang benar, barangsiapa berbuat kejelekan dan ia telah diliputi oleh kesalahannya, mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” 81).

Bangsa Yahudi punya anggapan kalau terpaksa mendapat hukuman neraka paling lama 7 hari, karena menurut mereka dunia ini berumur 7 ribu tahun. Mereka beranggapan 1 hari di neraka sama dengan lama di dunia 1000 tahun. Sebagian orang Yahudi ada pula yang beranggapan bahwa kalau orang Yahudi terpaksa mendapat hukuman neraka, maka paling lama 40 hari, yaitu sama dengan lamanya mereka dahulu menyembah patung anak sapi.

 

Anggapan mereka yang sangat keliru ini kemudian oleh Allah dimintai dasar dalilnya, yaitu adakah anggapan semacam itu merupakan suatu perjanjian yang Allah pernah adakan dengan mereka, ataukah bangsa Yahudi hanya semata-mata berbuat dusta? Sebab persoalan hukuman neraka, lama atau sebentar adalah menjadi hak Allah. Manusia dapat mengetahui hal tersebut hanyalah semata-mata melalui wahyu Allah yang disampaikan kepada para Rasul-Nya. Tanpa melalui cara seperti ini, maka jelaslah bahwa anggapan bangsa Yahudi seba gaimana tersebut di atas adalah satu pernyataan dusta dan ucapan lancang atas nama agama. Karena ucapan semacam itu hanyalah bukti dari kekufuran mereka dari ajaran Allah dan fakta kebobrokan mental mereka.

Anggapan bangsa Yahudi mengenai masa lamanya mereka akan mengalami siksa neraka seperti itu, hanyalah muncul karena salah satu dari 2 kemungkinan berikut ini: 

a. karena ada janji Allah kepada mereka,

b. mereka sengaja membuat kebohongan dengan nama agama.

Karena janji Allah semacam itu memang tidak pernah ada, berarti apa yang menjadi pengakuan bangsa Yahudi itu benar-benar kebohongan besar dan bukti kebobrokan mental mereka.

Tetapi justru sebaliknya dalam ayat 81 Allah menegaskan adanya kaidah pertanggunganjawab dan pembalasan hukum bahwa setiap orang yang melakukan dosa sehingga dirinya penuh dengan noda-noda dosa, maka dia akan mendapatkan siksa neraka kekal. Apalagi bangsa Yahudi telah berani berbohong dengan nama Allah dan mengaku sebagai bangsa pilihan dalam pandangan Allah, padahal sebenarnya dusta belaka, sudah tentu akan menjadi penghuni neraka kekal abadi. Sebaliknya seseorang akan selamat dari siksa neraka dan menjadi penghuni surga hanyalah orang-orang beriman lagi beramal shaleh. Sedangkan bangsa Yahudi sebagaimana tersebut dala m ayat 80 di atas adalah orang-orang yang berani melakukan perbuatan paling tercela, yaitu berdusta dengan kedok agama yang membuktikan betapa bobroknya mental mereka. Maka adalah sepatutnya bahwa bangsa Yahudilah yang menjadi penghuni neraka yang kekal itu.

Perkataan Kufur Ibnu taymiyah – ibnu qayyim – wahabi dan Yusuf qardhawi : Neraka akan punah

Perkataan Kufur Yusuf al Qardlawi, mengatakan; Neraka akan Punah]

video:

ingatlah wahai qardawi!!!

72:23] Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya

illaa balaaghan mina allaahi warisaalaatihi waman ya’shi allaaha warasuulahu fa-inna lahu naara jahannama khaalidiina fiihaa abadaan

http://www.youtube.com/watch?v=IhJljy2O1yM&feature=related


Al Qardlawi berkata:
Ibn Qayyim sebenarnya memiliki pendapat sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah; gurunya, bahwa menurut keduanya neraka akan punah, sementara surga kekal. Menurut mereka; suatu hari nanti neraka akan punah. Dalam hal ini mereka memiliki dalil, Ibn Qayyim menjelaskan masalah ini dalah bukunya; syifa’ al ‘Alil Fi Masa’il al Qadla’ Wa al Qadar Wa al Hikmah Wa at Ta’lil, lalu dalam bukunya; Hadi al Arwah Ila Bilad al Afrah, dan ketiga ada dalam bukunya yang lain. Lalu Ibn Taimiyah juga berpendapat demikian. Ibn Qayyim menyebutkan banyak dalil untuk masalah ini, menyebutkan sekitar 20 dalil. Pendapatnya ini sesuai dengan keluasan rahmat Allah. Ia menyebutkan tiga ayat dalam al Qur’an; firman Allah; Qala an naru matswakum khalidin fiha illa ma sya’Allah Inna Rabbaka hakimun alim (Qs. Al An’am), kemudian ayat dalam surat Hud; Fa ammalladzina kafaru fa finnari lahum fiha zafiruw wa syahiq khalidina fiha ma damatissamawatu wal ardlu illa ma sya’a rabbuka inna rabbaka fa’allun lima yurid. Dalam masalah surga Allah tidak menyebutkan “illa ma sya’a Rabbuka”, yang ada disebutkan tentang surga adalah “atha’an ghayru majdzudz”, jadi penyebutan prihal neraka berbeda dengan penyebutan prihal surga. Lalu ayat ke tiga adalah firman Allah dalam surat an Naba’; “labitsin fiha ahqaban, la yadzuquna fiha badan wala syaraban”, makna “ahqab”; sekalipun waktu panjang, namun pada akhirnya ia memiliki penghabisan, taruh misalkan makna “ahqab” di sini 1 juta tahun, namun akhirnya itu akan habis. Ini adalah pendapat Ibn Qayyim (dan gurunya). Dan Ini adalah pendapat yang saya sendiri setuju dengannya, karena ini sesuai dengan keluasan rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya. Lalu Ibn Qayyim sendiri di akhir bukunya menyatakan bahwa dasarnya semua urusan Allah “inna rabbakan fa’alun lima yurid’, artinya ibn Qayyim tidak memastikan hal itu.

**************************

Di antara kontroversi Ibn Taimiyah yang menggegerkan adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah Ila Bilad al-Afrah, h. 579 dan h. 582).

Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah” (Lihat ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67).

Apa yang telah ditetapkan oleh Ibn Taimiyah dan dikuatkan oleh muridnya ini sekarang telah menjadi dasar keyakinan kaum Wahhabiyyah. Bahkan salah seorang pemuka mereka bernama Abd al-Karim al-Humaid, dengan bangga menulis satu buku yang ia beri judul ”al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar”. Di dalamnya, dengan sangat tegas dan gamblang sebagaimana judul buku tersebut, ia mengatakan bahwa neraka akan punah, serta seluruh siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis. (Lihat al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar, h. 8, Riyadl, Saudi). Hasbunallah…!!! Pertanyaannya; Lantas ke manakah orang-orang kafir itu? Ke surga? Na’udzu Billah.

Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi lainnya- yang memicu ”perang” antara dia dengan al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imam as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar” sebagai bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah, hingga beliau mengatakan bahwa Ibn Taimiyah telah keluar dari Islam; seorang yang sesat dan menyesatkan. Di antara yang dituliskan al-Imam as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:

”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam adalah bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah. Kesepakatan (Ijma’) keyakinan ini telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam. Dan sangat banyak dalil menunjukan di atas hal itu” (Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya Al-Hafizh ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, h. 60).

Pada bagian lain dalam risalah tersebut al-Imam as-Subki menuliskan:

”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah. Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam yang telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam, agama-agama lain-pun di luar Islam meyakini demikian. Maka barangsiapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir” (Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya Al-Hafizh ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, h. 67).

Pernyataan Ibn Taimiyah di atas jelas merupakan bohong besar terhadap para ulama Salaf dan terhadap al-Imam ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta Ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Bahkan, dalam kurang lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir kekal di dalamnya tanpa penghabisan, di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.

[Al -ahzab (33):64] Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka),
[Al -ahzab (33):65]mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong.
Dalam surat attaubat ayat 68:
[9:68] Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.
Dalam Surat Annisa 169:
[4:169] kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

يُقَالُ لِأهْلِ الْجَنّةِ: يَا أهْلَ الْجَنّةِ خُلُوْدٌ لاَ مَوْت، وَلأهْلِ النّار: خُلُوْدٌ لاَ مَوْت (رواه البخاري)

”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari)

Tingkatan Waliyullah (Kekasih Allah) : Khatamul anbiya (Penutup Para Nabi = Nabi Muhammad s.a.w.) – Khatamul Auliya (Penutup Para Wali = Isa Bin Maryama.s.)

Tingkatan dan Kedudukan Para Waliyullah (Kekasih Allah)

Syaikh Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Mahjub, mengatakan bahwa wali Akhyar sebanyak 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar sebanyak 7 orang, wali Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3 orang dan wali Quthub atau Ghauts sebanyak 1 orang. Sedangkan menurut Syaikhul Akbar Muhyiddin ibnu `Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah membuat pembagian tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:

1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kaabah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.

4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu (Muhyiddin ibnu ‘Arabi) mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.

Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Sahabat Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku pernah juga bertemu Wali Abdal bernama Muâ’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.

5. Wali Nuqobaa
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

6. Wali Nujabaa
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd saw.

Jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.

Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau muncul dari mukasyafah) maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H. Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya, yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A’immah, Autad, Abdal, Nuqaba dan Nujaba.

Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya sebagaimana gelar Khatamun Nubuwwah yang disandang oleh Nabi Muhammad saw?.

Ibnu Araby menjawab :
Al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Nabi Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad saw, bergabung dengan para Wali dari ummat Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.

Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirr-nya.

Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Nabi Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya.

Dilain tempat, Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian Muhammad. Beberapa wali yang pernah mencapai derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-Ghaus) pada masanya :

  • Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
  • Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
  • Syaikh Yusuf al-Hamadani
  • Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
  • Syaikh Ahmad al-Rifa’i
  • Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
  • Syaikh Ahmad Badawi
  • Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
  • Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
  • Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi
  • Syaikh Ibrahim Addusuqi
  • Syaikh Jalaluddin Rumi

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Beliau pernah berkata Kakiku ada diatas kepala seluruh wali. Menurut Abdul Rahman Jami dalam kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka diberbagai abad sungguh-sungguh meletakkan kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata :

“Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah”. Kata murid: “Tuan Guru adalah Ghaus!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghausiyah”.

Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad al-Rifa’i telah melampaui “Maqamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum).
Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk.

Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana ya kanjeng syaikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum.

Beliau menjawab, Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.

Syaikh Ahmad Badawi
Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.

Pada usia dini beliau telah hafal Al-Quran, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau telah sampai ketingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, menawarkan kepadanya: “Manakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad Rifai, dengan lembut, dan karna menjaga tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; Aku tak mengambil kunci kecuali dari al-Fattah (Allah ).

Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan shalawat badawiyah sughro dan shalawat badawiyah kubro.

Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau menjawab, Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Usman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung.
Beliau pernah berkata, Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, Aku setiap malam banyak membaca Radiyallahu’an Asy-Syekh Abul Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku.

Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ˜An Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?. Lalu Nabi saw menjawab, Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul kepada Abu Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku.

Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar. Orang yang mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-Syazili di Laut Merah (Laut Qulzum).

Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar menumpang perahu. Di tengah laut tidak angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Beliau datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun syaikh Abu Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai syaikh Abu Hasan asy-Syazili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar.

http://www.sarkub.com/2012/tingkatan-dan-kedudukan-para-waliyullah-kekasih-allah/

Sunnah Nabi, malaikat dan sahabat : memakai sorban (warna putih – hitam – hijau – Merah – Kuning) dan keutamaanya

SORBAN ADALAH PAKAIAN ORANG ISLAM !

 

Sorban Rasulullah masih utuh

HADITS TTG SORBAN

  1. 1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).
  2. 2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)
  3. 3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).
  4. 4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)
  1. 5. Hadhrat Anas R.a. meriwayatkan:

“Saya melihat Sallallahu alayhi wa sallam sedang berwudhu. Dia memakai sorban Qitri…” (Abû Dawûd Hal.19)

  1. 6. Sulaiman R.a.mengatakan: “saya melihat Para Sahabat dari kalangan Awwalun Muhajirin(mereka yang pertama kali hijrah ke Madinah) memakai sorban berbahan dari katun.” (Mussanaf Ibn Abi Shaibah Vol.8 Hal.241)
  1. 7. Abu Dawud telah menyebutkan dalam kitab sunannya, bahwa Nabi SAW telah bersabda :”Perbedaan kita dengan orang musyrik adalah memakai sorban diatas kopiah.”
  1. 8. Abu Dawud dan Imam Ahmad Bin Hanbal, bahsawanya Ibn `Umar r.a. telah berkata, Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) telah bersabda yang mahfumnya bahwa Barang-siapa yang meniru-niru suatu kaum (dalam penampilan), maka dia termasuk dari mereka.

9. Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) telah bersabda yang mahfumnya : Pakailah sorban karena itu adalah tanda dari malaikat. Juga biarkan ujung sorban bergantung di pundak. (Baihaqi)

10. Pakailah sorban, karena itu akan menambah kesabaranmu. (Mustadrak of Hâkim)

11. “Beberapa malaikat Allah akan berdiri di depan pintu mesjid dan memintakan ampun bagi mereka yang memakai SORBAN BERWARNA PUTIH.” (AlMaqaasidul Hasanah Hal.466)

12. “Memakai sorban akan membedakan seorang muslim dengan kaum musryikin.(Ibid)

“Allah Ta’âla menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang memakai sorban pada hari Jum’at dan para malaikat akan mendo’akan mereka.” (Dailami)

  1. 13. “Semoga dengan penjelasan ini,para Fuqaha akan menerima fakta bahwa pahala shalat dengan memakai sorban adalah lebih besar daripada shalat tanpa memakai sorban”

(Fatawa Rashidia Hal.326; Fatâwa Rahimia Vol. 4 Hal.359).

  1. 14. Moulana Rashid Ahmed Gangohi telah menulis seperti berikut ini ketika menjawab satu pertanyaan tentang sorban;

“Membolehkan seorang Imam (dalam shalat) tanpa memakai sorban adalah sama sekali diizinkan tanpa suatu celaan. ………Namun kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa dengan memakai sorban, pahala akan meningkat.”

(Fatâwa Rashidia Hal.326)

  1. 15. Allamah Anwar Shah Kashmiri telah menulis; “dari pandangan para fuqaha (ahli fiqgih), kami menemukan bahwa adalah mustahab (sangat disukai) jika sholat dilaksanakan dengan memakai 3 macam pakaian, satu siantaranya adalah sorban.” (Faizul Bari Vol.2 Hal.8)
  1. 16. Moulana Mohammed Zakariya Khandalwi telah menulis dalam ‘Khasâil-e-Nabawi’ (Penjelasan Kitab Shamâil Tirmizi): Memakai sorban adalah Sunnat-Mustamirrah’ (terus–menerus dilakukan oleh Nabi Sallallahu alayhi wa sallam). Nabi Sallallahu alayhi wa sallam sangat menganurkan kita untuk memakai sorban. Telah diriwayatkan dalam mahfum hadits: “Pakailah sorban. Karena itu akan membuatmu sabar” (Fathul Baari) Juga telah diriwayatkan bahwa that seseorang bertanya kepada Hadhrat Ibn Umar R.a. :”apakah memakai sorban itu adalah sunnah atau bukan?” Beliau menjawab bahwa itu adalah sunnah.
  1. 17. Shaikh Muhammad Ibn Jameel Zino (Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University) dalam bukunya (Al-Shamail Al-Muhammadiyyah , hal. 106):

Ayat Al Qur’an , ” Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang MEMAKAI TANDA. (S. Al Imran : 125)

Ibn ‘Abbas r.hum , Ulama terbesar di awal Islam, berkata: “Tanda itu maksudnya adalah MEREKA MEMAKAI SORBAN.”
(Note : Betapa agungnya sorban, sampai para malaikat juga memakainya)

  1. 18. Topi/kopiah/songkok adalah merupakan ciri suatu bangsa dan banyak kaum muslim yang meniru-niru mereka dengan memakai topi mereka. kenyataannya, menutup kepala dengan sorban, adalah lebih baik bagi mereka, untuk membedakan dari orang-orang kafir (Al-Shamail Al-Muhammadiyyah, Hal.106)

ULAMA MEMAKAI SORBAN

Dalam kitab tentang biografi pendiri mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah (terkenal karena pemikirannya yang intelek ), Imam al-Suyuti and al-Haytami meriwayatkan bahwa beliau (Imam Hanafi) memiliki tujuh buah sorban, mungkin beliau memakai satu sorban untuk satu hari dalam seminggu.

Imam Syafi’I selalu memakai sorban yang besar, seolah-olah beliau adalah orang Arab di tengah padang pasir.” Seperti juga dengan muridnya, Pendiri mazhab Hambali, Ahmad ibn Hanbal selalu memakai sorban dengan melilitkan sebagian ekornya dibawah dagu. Banyak kaum muslimin di Afrika Utara dan di Sudan meniru cara beliau dalam memakai sorban

Telah disebutkan juga bahwa Imam Bukhari Rahmatullah alayhi ketika mempersiapkan perjalanannya ke Samarqand, beliau memakai sorban dan memakai kaos kaki dari kulit. (Muqadama Fathul Bari Hal.493)
Juga telah diriwayatkan bahwa Imâm Muslim Rahmatullah alayhi suatu ketika pernah meletakkan cadarnya (selendangnya) pada sorbannya didepan gurunya lalu meninggalkan ruangan kelas. (Muqadama Fathul Bari Hal.491)

Ini membuktikan bahwa Imam Muslim Rahmatullah alayhi ketika mempelajari hadits selalu dalam keadaan memakai sorban.

Ibn Hajar Al-Asqalani (Rahimahullah) telah menyebutkan di dalam kitab Fathul Baari hal. 491 dan 493, bahwasanya Imam Bukhari dan Imam Muslim keduanya selalu memakai sorban.

Catatan : Walaupun mereka bukan orang Arab tapi mengamalkan hal ini (memakai sorban) untuk mengikuti Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) .

Ibn Al-Jawzi dan Ibn Al-Qayyim (dalam kitab Rawdat al-muhibbin hal. 225.) mengatakan bahwaHasan al-Basri (Rahimahullah) selalu memakai sorban hitam

Seorang ulama mengutip dari biografi Imam nawawi, bahwasanya Imam Nawawi seumur hidupnya hanya memakai baju panjang dan sebuah sorban.

SAHABAT MEMAKAI SORBAN

Abu Umar R.a.meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Hadhrat Ibn Umar R.a. membeli sebuah sorban yang memiliki hiasan padanya Ia meminta sebuah gunting lalu memotong hiasan itu. (Ibn Majah Hal.26)

Nafi’ Rahmatullah alayhi mengatakan: “Saya melihat Ibn Umar R.a. memakai sorban yang mana ekornya bergantung di antara kedua punggungnya.”( Ibn Majah Vol.8 Hal.2)

SORBAN HITAM

Hadhrat Huraith R.a.meriwayatkan that Nabi Sallallahu alayhi wa sallam menjumpai manusia sedang beliau memakai sorban hitam

Hadhrat Jaabir R.a.meriwayatkan bahwa pada saat Fathul Makkah (Penaklukan kota Makkah) , Nabi Sallallahu alayhi wa sallam memasuki kota Makkah Mukarramah dengan memakai sorban hitam. (Sahih Muslim Vol.1 Pg439)

Ibn Abbas (Radhiallaahu Án) meriwayatkan bahwa Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) menemui para sahabat sedang beliau memakai sorban hitam.

Hadhrat Ibn Abbas R.a.meriwayatkan selama Nabi Sallallahu alayhi wa sallam sakit yang menjadi asbab wafatnya, Nabi Sallallahu alayhi wa sallam menjumpai Para Sahabat Radhiallahu anhum dengan menggunakan sorban hitam. (Sahih Bukhari Vol.1 Hal. 536)

Hazrat Jaabir (Radiallahu Anhu) meriwayatkan bahwa pada saat Fathul Makkah, Nabi (SallallahuAlaihi Wasallam) memasuki kota Makkah Mukarramah dengan memakai sorban berwarna hitam.

(Shamaail Tirmizi Hal. 8; Ibn Majah Hal.256)

Dalam riwayat lain : “Saya melihat Nabi Sallallahu alayhi wa sallam memakai sorban hitam.”

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata, أَ

“Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam”. [HR. Muslim (1359), Abu Dawud (4077), Ibnu Majah (1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

“Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) , Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

SORBAN HIJAU

Sulaiman bin Abi Abdullah mengatakan, bahwa beliau melihat Sahabat dari kalangan kaum Muhajirin, mereka memakai sorban berwarna hitam, putih, merah, hijau dan kuning. (Musannaf-e-ibn Abi Shaiba, Vol 8, Hal. 241)

حدّثنا أبو بكر قال حدثنا سليمٰن بن حرب قال: حدثنا جرير بن حازم عن يعلى بن حكيم عن سليمٰن بن أبي عبدالله قال: أدركت المهاجرين الأولين يعتمون بعمائم كرابيس سود وبيض وحمر وخضر

Sulaiman bin Abi Abdullah (ra) berkata bahwa pada saat ia berjumpa “Muhajirina awwalun” (Para Sahabat dari kalangan Muhajirin yang paling awal berhijrah) mereka memakai sorban tebal, ada yang berwarna hitam, putih, merah and HIJAU” [Musannaf Ibn Abi Shaybah (6/48)]
FATWA ULAMA TENTANG SORBAN HIJAU

“Bagaimanapun, beberapa Sahabat [radhiallaahu anhum] memakai sorban hijau.” (Musannaf ibn Abi Shaybah).

^[Mufti Ebrahim Desai, Fatwa  # 14298, date: 5/06/2006]