Renungan kepada syiah yang melaknati istri nabi

Allah SWT berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”. (QS. Al Ahzab: 6)

Orang-orang yg berpendapat bahwa SayyidatunaAisyah adalah seorang yg patut dilaknat. Apakah mereka tidak membaca ayat al Quran di atas? atau mereka akan mengatakan bahwa ayat Al QUran adalah dusta? apakah Aisyah bukan istri nabi? Allah yang dusta, atau mereka yang dusta?
Allah mengatakan di dalam Firman Al Quran: “dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka ( ummul mukminin)” maka barangsiapa yang tidak mengakui istri nabi sebagai ibu bagi kaum mukminin berarti dia bukan termasuk dari kaum mukminin .

Al Quran adalah Kalamullah, Al Quran tidak bisa diganggu gugat dan dikritisi kebenarannya barangsiapa yang ragu akan kebenaran Al Quran atau mendustakannya maka dia kafir.

Jika Nabi menyukai dan mencintai Aisyah bahkan menjadikannya Istri bahkan Allah pun menyebutnya demikian didalam AL quran, lalu kenapa ada sekelompok orang yang mengaku sebagai umat Nabi yang justru menghina, menjelek-jelekan dan mengutuknya. Inilah orang-orang zindiq  yang ingin menghancurkan ISlam dari dalam bagai serigala berbulu domba.
Seorang Muslim Harus mencintai Nabi. Bukti cinta kepada Nabi adalah mencintai apa-apa yang dicintai Nabi. Aisyah adalah Istri Nabi dan Ummul Mukminin (Ibunya Kaum Muslimin)

http://www.radiodakwahmustofa.com/index.php/arsip-artikel/57-desember-2011/342-renungan-buat-syiah.html

 

————-

Hati-hati dengan kesesatan aqidah syi’ah!

Dengan menggunakan kisah-kisah dan musibah yang menimpa ahlubait, mereka menyembunyikan kesesatan aqidah mereka….

 Hati-hati dgn agama buatan yahudi-majusi iran ini…..yang hakikatnya mereka “tidak mau” diperintah oleh muslim yang bukan keturunan majusi – parsia.

Versi bekas tokoh ulama Syi’ah Iran~Al ‘Allama Ismail Alu Ishaq Al-Khaouainy.

1. Membunuh Umar dengan “menyewa” jasa Abu Lu`lu—yang asli klan Irani Al-Majusy.

2. Membunuh Usman d Ibu kota Islam Medina dengan alibi chaos theory. sekelompok orang Kufa yang kala itu menggusur “Istana” kekhilafahan berjumlah sekitar 470 militan.

3. Membunuh Imam Ali ra, melalui perantara Ibn Muljam dari kota Kufa keturunan asli Iran.

4. Membunuh Imam Hasan ra, via Istrinya Ja’dah dari Kufa berkebangsaan Persian.

5. Mengundang Imam Husein ra, ke wilayah Karbala untuk dikhianati lalu kemudian dibunuh oleh tentara Yazid.

6. Mengkhianati Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib ra, sehingga terpaksa harus berperang sendirian & gugur syahid di medan laga sebagai pahlawan revolusi Islam.

wallahu a’lam

Neo-Salafisme Wahabi: Ironi Teologi dan Pendangkalan Islam

Neo-Salafisme Wahabi: Ironi Teologi dan Pendangkalan Islam
Oleh: Mukti Ali

“Awalnya Wahabi adalah sebuah gerakan dakwah, yang diusung oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, seorang Baduwi Najd. Setelah mendapatkan dukungan politik dari Ibnu Sa’ud, seorang politikus handal, Muhammad bin Abdul al-Wahab bersekongkol dengannya membentuk arus oposisi menentang kekuasaan Dinasti Ottoman. Targetnya adalah mewujudkan mimpi terbentuknya kekuasaan independen, yang mengusung ideologi Islam yang bercita-rasa literalis, berorientasi ke belakang (semakin ke belakang mendekati zaman Nabi dianggap semakin murni?), dan mengkebiri cara berfikir religius yang substansial dan multi-dimensional: mencemooh filsafat, mantik dan tasawuf. Wahabi telah menitik tekankan pada aspek teologi (tauhid) sebagai arena atau wilayah “pemurnian”. Ada pembengkakan wilayah teologi yang diupayakannya. Wahabi berasumsi bahwa ani-tesa tauhid adalah musyrik. Dan musyrik dibagi menjadi dua, yaitu syirik kecil dan besar. Syirik besar bersifat jahri (jelas) adalah sikap yang berlebihan terhadap selain Tuhan, dimana sikap itu sejatinya hanya layak dipersembahkan untuk Tuhan. Jika sikap itu dilakukan, kata Wahabi, maka terejawantahkannya pemberhalaan (tawtsien). Ziarah dan tawashul terhadap kuburan Nabi, para sahabat dan orang-orang salih, sikap memuliakan batu atau sampah, dan mencintai orang-orang salih dianggap oleh Wahabi adalah sikap yang “berlebihan”, karena itu sebagai wujud pemberhalaan. Pandangan ini akan berimplikasi mensejajarkan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah, yang sama-sama tidak boleh disikapi secara berlebihan, lantaran dianggap sama-sama bukan Tuhan.”

Awalnya Wahabi adalah sebuah gerakan dakwah, yang diusung oleh Muhammad bin Abdul al-Wahab, seorang Baduwi Najd. Setelah mendapatkan dukungan politik dari Ibnu Sa’ud, seorang politikus handal, Muhammad bin Abdul al-Wahab bersekongkol dengannya membentuk arus oposisi menentang kekuasaan Dinasti Ottoman. Targetnya adalah mewujudkan mimpi terbentuknya kekuasaan independen, yang mengusung ideologi Islam yang bercita-rasa literalis, berorientasi ke belakang (semakin ke belakang mendekati zaman Nabi dianggap semakin murni?), dan mengkebiri cara berfikir religius yang substansial dan multi-dimensional: mencemooh filsafat, mantik dan tasawuf.

Wahabi telah menitik tekankan pada aspek teologi (tauhid) sebagai arena atau wilayah “pemurnian”. Ada pembengkakan wilayah teologi yang diupayakannya. Wahabi berasumsi bahwa ani-tesa tauhid adalah musyrik. Dan musyrik dibagi menjadi dua, yaitu syirik kecil dan besar. Syirik besar bersifat jahri (jelas) adalah sikap yang berlebihan terhadap selain Tuhan, dimana sikap itu sejatinya hanya layak dipersembahkan untuk Tuhan. Jika sikap itu dilakukan, kata Wahabi, maka terejawantahkannya pemberhalaan (tawtsien). Ziarah dan tawashul terhadap kuburan Nabi, para sahabat dan orang-orang salih, sikap memuliakan batu atau sampah, dan mencintai orang-orang salih dianggap oleh Wahabi adalah sikap yang “berlebihan”, karena itu sebagai wujud pemberhalaan. Pandangan ini akan berimplikasi mensejajarkan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah, yang sama-sama tidak boleh disikapi secara berlebihan, lantaran dianggap sama-sama bukan Tuhan.

Kita tahu bahwa sikap “berlebihan” adalah masalah yang sangat relatif dan kondisional. Terbukti, betapa hidup keseharian adalah cermin bagi kita untuk mengaca diri, betapa kita telah membeda-bedakan cara penyikapan terhadap sekian banyak jenis manusia. Para orang bijak jaman kuno sudah lama mengingatkan kita akan perlunya sikap adil: meletakkan sesuatu (atau manusia) pada tempatnya. Kata Aristoteles dalam Ethica Nicomachea-nya: “Sikap egaliter (musawa) tidak selamanya cerminan dari sikap adil. Adil adalah sikap proporsional, bukan egalitarianisme total”. Kebutuhan seorang mahasiswa berbeda dengan seorang siswa SD, SMP dan seterusnya. Menghadap ke presiden akan berbeda dengan menghadapi wong cilik. Perbedaan adalah wajar untuk mewujudkan rasa adil. Tapi bukan berarti berbeda. Wahabi, yang menyamakan Nabi dan orang salih dengan batu atau sampah, yang dianggap sama-sama makhluknya, kiranya tak tepat mengartikan makna adil.

Islam idealis dengan patokan teologi rigid yang diandaikan Wahabi menjadikannya sebagai sekelompok Serigala berbulu Domba: menawarkan ke-beradaban dengan cara-cara yang “biadab”. Menyergap kelompok yang lain dan yang berbeda. Nyatanya, setelah gerakan oposan Wahabi mendapatkan bekingan dari Inggris, mereka berhasil memisahkan diri dari Dinasti Ottoman, dan kisah pembantaian terhadap sesama Muslim dimulai. Mekah yang begitu suci dijadikan tempat jagal penyembelihan orang-orang Muslim, yang dianggap sebagai pelaku bid’ah. Wahabi merasa tidak puas menghabisi orang-orang Muslim di kandangnya sendiri (baca; Jazirah Arab), akhirnya Wahabi pun menyembelih orang-orang Muslim Syi’ah di Karbala.

Jargon pemurnian Islam yang diusung Wahabi menjadi ironi. Lantaran sejatinya mereka bukan memurnikan Islam, tapi mengeringkan Islam. Mendesain Islam sebentuk jalan setapak dan sempit. Sejenis cara berfikir identitas, yang memberikan ukuran-ukuran pasti dan sekematisasi kaku. Siapa pun harus dibentuk, tidak bisa membentuk. Jika sekema itu berbentuk kotak, maka dia harus menjadi kotak. Islam ditonjolkan dalam militansi kesalihan-formalis: bercelana di atas mata kaki, berjenggot, becadar, dll. Hanya dengan itu pula identitas Wahabi dimanifestasikan. Dada kita akan semakin sesak jika kita melihat betapa Wahabi menselaraskan agama dan pemikiran keagamaan. Lantaran Wahabi tak memberikan sedikit pun hak akal dan intuisi untuk didayagunakan dalam bergumul dengan agama. Sementara kita tahu, bahwa pemikiran keagamaan adalah produk ijtihadi penalaran manusia hasil pergumulan dengan agama dan realita. Pemikiran keagamaan akhirnya akan selamanya majemuk.

Wacana teologi yang diusung Wahabi adalah sejenis wacana yang absen dari percaturan ilmiah, dengan mengembalikannya ke dalam wacana “religius murni” yang bertumpu pada makna literalisme teks-teks primer agama (Quran&hadits), yang bersifat univositas. Bahasa metafor (majaz) adalah barang haram. Berteologi dengan berfikir atau penghayatan-intuitif adalah tindakan kriminal! Syahdan, Wahabi dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan pun tetap berpegang pada makna literalisnya. Yadu-Allah, semisal, diartikan bahwa Tuhan mempunyai tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih, demikian Wahabi berkata. Sejatinya nama besar dan harum “salaf al-salih” di sini sedang dijual sebagai alat legitimasinya. Terbukti, para salaf al-salih dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan makna, dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Wa-llahu A’lam. Sementara kita tahu bahwa Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam tajsiem (mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). Pengakuan Wahabi sebagai madzhab salaf menjadi musykil. Bahkan, wacana teologi ala Wahabi yang hendak mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi akan membawa pada agnostisisme.

Prinsip Wahabi ini tak selaras dengan ujaran Nabi, bahwa: “al-Quran bagaikan intan permata, yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang beragam”. Ini adalah petanda bahwa bahasa al-Quran adalah bahasa yang ambigu dan bahkan ekuivositas (kemajemukan makna). Ada lapisan makna yang terkandung dalam bahasa al-Quran. Karena itu, semisal para teolog, para filsuf dan sufi dalam merumuskan bangunan teologinya dengan epistemologi filosufis-religius, yang diistilahkan Immanuel Kant dan Heidegger dengan “onto-teologi”. Piranti “analogi”, semisal, telah digunakan. Penalaran dan eksperimentasi didayagunakan untuk menyibak kandungan makna al-Quran yang begitu majemuk, demi meraih penyucian dan pensakralan Tuhan yang jitu.

Muhammad Abduh sebagai saksi mata menilai Wahabi adalah gerakan pembaharuan yang paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama menciptakan taklid baru yang lebih menjijikan. Muhammad Abduh dan Wahabi sejatinya terikat dalam satu mimpi bersama, yaitu mengembalikan Islam pada masa Islam belum terkotak-kotak dalam beragam sekte. Biasa diistilahkan sebagai “neo-Salafisme”. Tapi keduanya memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradoksalitas Wahabi tercium oleh Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literlisme, yang menghantarkan pada “taklid baru yang menjijikan”. Berimplikasi pada pendangkalan Islam yang tak bisa dielakkan: menghempas progresif, mendulang regresif.

Baru-baru ini saya mendapatkan buku murah di pasar buku lowak (azbaciah) yang bertajuk “al-Sa’udiyyun wa al-Irhabi: Ru’yah ‘Alamiyah” (Orang-orang Saudi dan Terorisme: Sebuah Pandangan Dunia): Riyadh, 2005. Sejenis bunga rampai, memuat tulisan dari berbagai kalangan. Ada satu sub judul yang membicarakan relasi terorisme dan Wahabi. Cukup beragam tulisan itu: ada yang menohok bahwa Wahabi adalah salah satu sumber merebaknya terorisme, dan ada yang menyucikan Wahabi dari terorisme. Tapi, penyucian Wahabi dari terorisme menjadi sangsi jika kita melihat kenyataan selalu saja ada pihak yang bergabung dalam komplotan terorisme berkedok agama, yang telah menyerap doktrin Wahabi. Dan benarkah kalau mereka hanyalah sekedar oknum?[]

– Penulis masih tingkat akhir Akidah-Filsafat, Ushuluddin, Univ. Al-Azhar Kairo.

3 Musuh Islam Paling Berbahaya (Wahhaby – Syiah – Islam Liberal)

3 SEKAWAN BAHAYA

Pemikiran Wahhabiyah tidak sesuai diamal kerana dikhuatiri boleh pecah belah ummah
 
FELO Kehormat Institut Pemikiran dan Tamadun Islam Antarabangsa (Istac), Dr Muhammad Uthman El-Muhammady mendedahkan sejak kebelakangan ini aliran selain Ahli Sunnah Wal Jamaah seperti fahaman (Wahhabiy), Syiah dan Islam liberal mula menyerang negara menyebabkan sebahagian masyarakat terpengaruh.
 
 
Beliau yang menjadi ahli panel pada Wacana Ilmu bertajuk Ahli Sunnah Wal Jamaah anjuran akhbar Berita Harian dan Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (Yadim), baru-baru ini melahirkan kebimbangan (bahawa) masyarakat dan negara akan berdepan pelbagai masalah jika perkara (ini) tidak didedahkan. “Ramai yang mempertikaikan kita menggunakan kitab lama, kononnya tidak moden. (Mereka sebenarnya ingin memodenkan) masyarakat kepada aliran (pemikiran) Islam liberal. Kita bimbang jika masyarakat tidak didedahkan dengan fahaman yang betul mengenai Ahli Sunnah Wal Jamaah (pegangan Majlis Agama Negeri dan Fatwa Kebangsaan) nescaya kita akan berdepan pelbagai masalah termasuk boleh (memberi ancaman) kepada keselamatan negara,” katanya.
 
Ketika ditanya, Sejauh mana fahaman Syiah, aliran Wahhabiy dan Islam liberal mempengaruhi pemikiran umat Islam, Pengarah Bahagian Penyelidikan, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Razali Shahabudin berkata, sukar menafikan wujud segelintir umat Islam negara ini dipengaruhi unsur bertentangan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah dan amalan mazhab Syafi’ie. Beliau berkata, setakat ini JAKIM dengan kerjasama Jabatan Agama Islam Negeri (JAIN) serta pihak keselamatan melalui peruntukan undang-undang dan dasar kerajaan berjaya membendung penularan fahaman berkenaan. “Pelbagai tindakan pencegahan dilakukan JAKIM dan JAKIM bagi mengelakkan fahaman itu menjadi serius sama ada melalui fatwa dikeluarkan, majlis penerangan di pelbagai peringkat masyarakat dan tindakan undang-undang terhadap penganut fahaman berkenaan,” katanya.
Beliau berkata, fahaman Syiah dan Islam liberal bahaya terhadap umat Islam kerana alasan yang berbeza. Syiah diharamkan di negara ini melalui keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan pada 1996 berdasarkan percanggahan dengan akidah, syariah dan akhlak Ahli Sunnah Wal-Jamaah. Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan yang bersidang pada 3 Mei 1996 membuat keputusan menetapkan umat Islam di Malaysia hendaklah hanya mengikut ajaran Islam berasaskan pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah dari segi akidah, syariah dan akhlak. Memperakukan ajaran Islam yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah bercanggah dengan hukum syarak dan undang-undang Islam dan dengan demikian penyebaran apa-apa ajaran yang lain daripada pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah dilarang. Antara penyelewengan yang dikenal pasti dalam ajaran Syiah ialah imam adalah maksum, khalifah diwasiatkan secara nas, menolak ijmak ulama, menolak qiyas dan mengamalkan nikah mutaah (dan banyak lagi penyelewengan).
Sementara fahaman Wahhabiyah pula tidak sesuai diamalkan di negara ini kerana dikhuatiri boleh membawa kepada perpecahan umat Islam. Itu adalah hasil daripada perbincangan beberapa kali pada Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan. Semua keputusan adalah menyekat penularan fahaman Wahhabiyyah atas alasan isu khilafiyyah fiqhiyyah yang dibangkitkan boleh menggugat perpaduan umat Islam di Malaysia. Bagaimanapun keputusan itu tidak memutuskan Wahhabiyyah sebagai ajaran sesat. Razali berkata, mengenai Islam liberal pula setakat ini tidak wujud mana-mana individu atau organisasi di Malaysia yang menubuhkan apa-apa kumpulan atas nama Islam liberal seperti berlaku di Indonesia.
 
 
 
Bagaimanapun katanya, wujud fenomena liberal dalam kalangan organisasi dan individu tertentu yang sentiasa dipantau serta dikaji oleh pihak berkuasa agama. Malah, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia kali ke-74 pada 25- 27 Julai 2006 membincangkan “Aliran Pemikiran Islam Liberal” dan memutuskan aliran itu adalah ajaran sesat dan menyeleweng daripada syariat Islam. “Antara kesesatan pemikiran itu ialah berpegang kepada konsep pluralisme agama, meragui ketulenan al-Quran, menggesa tafsiran baru konsep ibadat, mempertikaikan kredibiliti Nabi SAW dan mempertikaikan hukum-hakam yang muktamad,” katanya. Beliau berkata, ajaran sesat dan sebarang ajaran baru menyalahi tradisi Ahli Sunnah Wal Jamaah di negara ini yang berpegang kepada akidah Asya’irah-Maturidiyyah dan fiqh Syafi’ie, sudah tentu akan menimbulkan rasa kurang senang umat Islam.
 
Katanya, penyebaran ajaran sesat akan menggugat akidah serta syariah Islam sementara aliran seperti Wahhabiyyah boleh menimbulkan kekeliruan dan berakhir dengan krisis perpaduan jika tidak dibendung dan ditangani. Berdasarkan rencana Fahaman Wahabi Berasaskan Pemikiran Ibnu Taimiyyah di laman web Jakim bertarikh 19 Disember 2006, pada prinsipnya fahaman Wahabi membuat terjemahan serta tafsiran al-Quran dan hadis sebulat-bulatnya mengikut fahaman pemimpin mereka. Penerapan fahaman Wahabi di kalangan umat Islam di negara ini sejak berkurun lama berakar umbi dengan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah menimbulkan salah faham di kalangan umat Islam. Orang awam yang kurang mahir selok belok mazhab lebih baik bertaklid dengan pegangan mazhab sedia ada. Hakikatnya fahaman Wahhabiy tidak membawa pemikiran baru mengenai akidah. Mereka hanya mengamalkan apa yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah dalam bentuk yang lebih keras berbanding apa yang diamalkan Ibnu Taimiyyah sendiri. Perkembangan fahaman Wahabi dan penerapan mazhab lain dalam masyarakat Islam di negara ini tidak dapat dielakkan kerana kesan globalisasi ilmu di dunia hari ini.

Nota : Di edit dari wartawan : Hasliza Hassanhasliza@bharian.com.my
http://www.bharian.com.my/Tuesday/Agama/20090825013128/Article/index_html
25/08/09. Tulisan dlm kurungan adalah editan dari Tuan Blog.
 
Kesimpulan :
 
1) Fahaman Wahhabiy, Syiah dan Islam Liberal adalah bertentangan dengan Fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah di Malaysia. Kewujudan aliran ini bukan sekadar mengganggu-gugat keharmonian fahaman dan amalan, tetapi tindakan mereka yang ekstrem mampu mengancam keselamatan negara. Oleh itu, ianya perlu dibendung sehingga ke akar umbi.
 
 
2) Bersama kita semarakkan program Pemantapan Akidah di semua peringkat dalam mendedahkan penyelewengan yang terdapat pada fahaman ini supaya masyarakat jelas dgn fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah yang sebenar.
 
 
3) Tiba masanya undang-undang sivil dan syariah diperkasakan bagi tujuan mengawal kesucian akidah dan pematuhan kepada peraturan syarak dari dicemari oleh golongan ekstrem dan golongan yang tidak bertanggungjawab. Awas, TIGA SEKAWAN! Wahhabiy, Syiah dan Liberal, kami akan menggempur kamu! BERTAUBATLAH SEBELUM TERLAMBAT.