2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri
- 1.Anda Sedang Membaca: 2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
- 2.2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
(فَضْلٌ) وَ مَعَ أَنَا نَقُوْلُ أَنَّ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ وَ أَنَّ النَّظَرَ الْمُوْصِلُ إِلَيْهَا وَاجِبٌ، فَإِنَّ بَعْضَ أَصْحَابِنَا يَقُوْلُ أَنَّ مَنِ اعْتَقَدَ فِيْ رَبِّهِ تَعَالَى الْحَقَّ وَ تَعَلَّقَ بِهِ اعْتِقَادُهُ عَلَى الْوَجْهِ الصَّحِيْحِ فِيْ صِفَاتِهِ فَإِنَّهُ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ. وَ لكِنْ هذَا لَا حَصَلَ لِغَيْرِ نَاظِرٍ لَمْ نَأْمَنْ أَنْ يَتَخَلْخَلَ اعْتِقَادُهُ.
(Pasal): Cukupnya Taqlīd untuk Meyakini Allah.
Di saat aku berpendapat bahwa ma‘rifat dan pemikiran yang mengantarkan padanya wajib, sebagian Ashḥāb kita (ulama Asy‘ariyah) berpendapat, bahwa orang yang meyakini kebenaran tentang Allah ta‘ālā dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Allah bergantung padanya dengan cara yang benar, maka ia adalah seorang mu’min muwaḥḥid.Namun hal ini pada umumnya hanya diperoleh oleh orang yang melakukan pemikiran. Andaikan hal itu diperoleh selain orang yang melakukan pemikiran, keyakinannya tidak aman dari kegoncangan.
فَلَا بُدَّ عِنْدَنَا أَنْ يَعْلَمَ كُلَّ مَسْأَلَةٍ مِنْ مَسَائِلِ الْاِعْتِقَادِ بِدَلِيْلٍ وَاحِدٍ، وَ لَا يَنْفَعُهُ اعْتِقَادُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ إِلَّا أَنْ يَصْدُرَ عَنْ دَلِيْلٍ عِلْمُهُ. فَلَوِ اخْتُرِمَ وَ قَدْ تَعَلَّقَ اعْتِقَادُهُ بِالْبَارِيْ تَعَالَى كَمَا يَنْبَغِيْ وَ عَجَزَ عَنِ النَّظَرِ فَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ إِنَّهُ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا، وَ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ النَّظَرِ وَ لَمْ يَنْظُرْ. قَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ إِسْحَاقٍ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا عَاصِيًا بِتَرْكِ النَّظَرِ، وَ بَنَاهُ عَلَى أَصْلِ الشَّيْخِ أَبِيْ الْحَسَنِ.
Maka menurutku, orang harus mengetahui setiap permasalahan akidah dengan dalilnya. Keyakinan tidak akan bermanfaat baginya kecuali bila keyakinannya muncul dari suatu dalil. Bila orang mati dalam kondisi keyakinannya terhadap Allah ta‘ālā Yang Maha Selamat sebagaimana mestinya dan tidak mampu melakukan pemikiran, maka sebagian ulama Asy‘ariyah berpendapat, bahwa orang tersebut adalah mu’min; bila ia mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurut al-Ustādz Abū Isḥāq (261) ia mu’min yang maksiat sebab tidak melakukan penalaran – yang mana pendapat ini dibangunnya pada ajaran Syaikh Abū Ḥasan al-Asy‘arī – , (272).
وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْعَجْزِ وَ الْاِخْتِرَامِ فَظَاهِرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى، وَ أَمَّا كَوْنُهُ مُؤْمِنًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى النَّظَرِ وَ تَرْكِهِ فَقَوْلُهُ فِيْهِ نَظَرٌ عِنْدِيْ، وَ لَا أَعْلَمُ صِحَّتَهُ الْآنَ.
Adapun pernyataan Abū Isḥāq, bahwa orang tersebut mu’min bila tidak mampu melakukan penalaran dan mati, maka jelas benarnya, in syā’ Allāh; sedangkan pernyataan bahwa ia mu’min besertaan mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurutku dalam hal ini perlu pemikiran lebih lanjut, dan sekarang aku tidak meyakini kebenarannya.
فَإِنْ قِيْلَ: قَدْ أَوْجَبْتُمُ النَّظَرَ قَبْلَ الْإِيْمَانِ عَلَى مَا اسْتَقَرَّ مِنْ كَلَامِكُمْ فَإِذَا دُعِيَ الْمُكَلَّفُ إِلَى الْمَعْرِفَةِ فَقَالَ: حَتَّى أَنْظُرَ فَأَنَّا الْآنَ فِيْ مَهْلَةِ النَّظَرِ وَ تَحْتَ تِرْدَادِهِ، مَاذَا تَقُوْلُوْنَ؟ أَتَلْزَمُوْنَهُ الْإِقْرَارَ بِالْإِيْمَانِ فَتَنْقُضُوْنَ أَصْلَكُمْ فِيْ أَنَّ النَّظَرَ يَجِبُ قَبْلَهَا، أَمْ تُمْهِلُوْنَهُ فِيْ نَظَرِهِ إِلَى حَدٍّ يَتَطَاوَلُ بِهِ الْمُدَّى فِيْهِ، أَمْ تَقْدُرُوْنَهُ بِمِقْدَارٍ فَتَحْكُمُوْنَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ نَصٍّ؟
Bila disangkal: “Anda telah mewajibkan pemikiran sebelum keimanan sesuai makna ucapan anda, lalu bila seorang mukallaf disuruh untuk ma‘rifat (beriman) dan menjawab: “(Nanti dulu), sampai saya melakukan pemikiran, sebab sungguh sekarang saya masih dalam masa pemikiran yang lama dan sedang mengulang-ulangnya”, maka apa pendapat anda? Apakah anda akan mewajibkannya untuk mengikrarkan keimanan, sehingga anda merusak prinsip anda sendiri yang mewajibkan pemikiran sebelumnya, atau membiarkannya melakukan penalaran sampai waktu yang tidak diketahui batasnya, atau anda tentukan batas waktunya sehingga anda menghukumnya tanpa nash?
فَالْجَوَابُ أَنَّا نَقُوْلُ أَمَّا الْقَوْلُ بِوُجُوْبِ الْإِيْمَانِ قَبْلَ الْمَعْرِفَةِ فَضَعِيْفٌ، لِأَنَّ إِلْزَامَ التَّصْدِيْقِ بِمَا لَا تُعْلَمُ صِحَّتَهُ يُؤَدِّيْ إِلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَ النَّبِيِّ وَ الْمُتَنَبِّيْ، وَ أَنَّهُ يُؤْمِنُ أَوَّلًا فَيَنْظرُ فَيَتَبَيَّنُ لَهُ الْحَقُّ فَيَتَمَادَى، أَوْ يَتَبَيَّنُ لَهُ الْبَاطِلُ فَيَرْجِعُ وَ قَدِ اعْتَقَدَ الْكُفْرَ.
Maka jawabannya adalah, aku katakan: “Ada pun pendapat yang mewajibkan iman sebelum ma‘rifat (mengenal Allah) maka lemah, sebab mewajibkan pembenaran dengan suatu nisbat yang belum diyakini keabsahannya akan mengantarkan pada penyamaan antara Nabi dan orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, pada penetapan awal mulanya ia beriman, lalu melakukan pemikiran, menemukan kebenaran, dan meneruskan keimanannya, atau ia menemukan kebatilan, lalu ia kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu meyakini kekufuran.
وً أَمَّا إِذَا دَعَا الْمَطْلُوْبُ بِالْإِيْمَانِ إِلَى النَّظَرِ فَيُقَالُ لَهُ: إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ النَّظَرَ فَاسْرُدْهُ، وَ إِنْ كُنْتَ لَا تَعْلَمُهُ فَاسْمَعْهُ” وَ يُسْرُدُ فِيْ سَاعَةٍ عَلَيْهِ، فَإِنْ آمَنَ تَحَقَّقَ اسْتِرْشَادُهُ، وَ إِنْ أَبَى تَبَيَّنَ عِنَادُهُ، فَوَجَبَ اسْتِخْرَاجُهُ مِنْهُ بِالسَّيْفِ أَوْ يَمُوْتُ.
Adapun ketika orang yang diperintah beriman tadi meminta melakukan pemikiran (dahulu), maka dikatakan kepadanya (bila tidak hidup bersama-sama umat Islam): “Bila anda mampu melakukan pemikiran (yang benar), maka lakukanlah sekarang juga; bila tidak, maka dengarkanlah, dan alur pemikiran yang benar disampaikan kepadanya dalam waktu secukupnya. (283) Bila beriman, maka ia nyata-nyata telah mendapatkan petunjuk; bila menolaknya, maka ia jelas-jelas telah mengingkarinya, maka pengingkaran itu wajib dikeluarkan darinya dengan ancaman pembunuhan, kecuali ia mati tanpa dibunuh.”
وَ إِنْ كَانَ مِمَّنْ ثَاقَنَ أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ عَلِمَ طَرِيْقَ الْإِيْمَانِ لَمْ يُمْهَلْ سَاعَةً، أَلَا تَرَى أَنَّ الْمُرْتَدَ اسْتَحَبَّ فِيْهِ الْعُلَمَاءُ الْإِمْهَالَ لَعَلَّهُ إِنَّمَا ارْتَدَّ لِرَيْبٍ فَيُتَرَبَّصُ بِهِ مُدَّةً لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ الشَّكَّ بِالْيَقِيْنِ وَ الْجَهْلُ بِالْعِلْمِ، وَ لَا يَجِبُ ذلِكَ لِحُصُوْلِ الْعِلْمِ بِالنَّظَرِ الصَّحِيْحِ أَوَّلًا.
Bila ia termasuk orang yang hidup bersama umat Islam dan mengetahui cara beriman, maka ia tidak diberi waktu sedikitpun untuk menunda keimanannya. Tidakkah anda tahu, bahwa ulama mensunnahkan memberi kesempatan kepadanya, mungkin ia murtad karena keraguan, lalu ditunggu sebentar mungkin ia dapat mengganti keraguannya dengan keyakinan, dan mengganti kebodohannya dengan ilmu; dan pemberian kesempatan pada orang murtad tersebut tidak wajib karena keyakinan dapat dihasilkan dengan pemikiran yang benar di permulaannya.
وَ كَيْفَ يَصِحُّ لِنَاظِرٍ أَنْ يَقُوْلَ إِنَّ الْإِيْمَانَ يَجِبُ أَوَّلًا قَبْلَ النَّظَرِ وَ لَا يَصِحُّ فِي الْمَعْقُوْلِ إِيْمَانٌ بِغَيْرِ مَعْلُوْمٍ، وَ ذلِكَ الَّذِيْ يَجِدُهُ الْمَرْءُ حُسْنَ ظَنٍّ فِيْ نَفْسِهِ بِمُخْبِرِهِ، إِلَّا فَإِنْ تَطَرَّقَ إِلَيْهِ التَّجْوِيْزُ أَوِ التَّكْذِيْبُ تَطَرَّقَ.
Bagaimana benar menurut seorang pemikir, pendapat yang menyatakan bahwa wajib iman dahulu sebelum pemikiran? Sebab, menurut akal tidak sah iman tanpa kebenaran yang diketahui. Keimanan yang ditemukannya terjadi karena husn-uzh-zhann dirinya kepada orang yang memberitakan keimanan kepadanya, bila tidak demikian, maka bila keraguan atau anggapan bohong mendatanginya, hal itu akan menggantikan kemantapan imannya.
وَ أَيْضًا فَإِنَّ النَّبِيَّ (ص) دَعَا الْخَلْقَ إِلَى النَّظَرِ أَوَّلًا، فَلَمَّا قَامَتِ الْحُجَّةُ بِهِ وَ بَلَغَ غَايَةَ الْإِعْذَارِ فِيْهِ حَمَلَهُمْ عَلَى الْإِيْمَانِ بِالسَّيْفِ، أَلَا تَرَى أَنَّ كُلَّ مَنْ دَعَاهُ إِلَى الْإِيْمَانِ قَالَ لَهُ: “اِعْرِضْ عَلَيَّ آيَتَكَ”، فَيَعْرِضُهَا عَلَيْهِ فَيَظْهَرُ لَهُ الْحَقُّ فَيُؤْمِنُ فَيَأْمَنُ، أَوْ يُعَانِدُ فَيَهْلِكُ. انتهى.
Selain itu, sungguh Nabi s.a.w. pada masa awal risalahnya mengajak manusia untuk melakukan pemikiran, kemudian setelah hujjah menjadi kuat berdasarkan pemikiran dan beliau mencapai uzur tertinggi untuk melakukannya, maka beliau mengajak mereka beriman dengan ancaman perang. Tidakkah anda lihat, bahwa setiap orang yang diajaknya beriman berkata kepadanya: “Tunjukkan tanda-tanda kenabianmu kepadaku!” Lalu beliau menunjukkannya, maka jelaslah kebenaran bagi orang tersebut, kemudian dia beriman dan mendapatkan keamanan, atau mengingkarinya dan mendapatkan kerusakan.”
هذَا كَلَامُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ، وَ هُوَ حَسَنٌ؛ وَ اسْنُشْكِلَ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْمُقَلِّدِ لَيْسَ بِمُؤْمِنٍ، لِأَنَّهُ يَلْزَمُ عَلَيْهِ تَكْفِيْرُ أَكْثَرِ عَوَامِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَ هُمْ مُعْظِمُ هذِهِ الْأُمَّةِ، وَ ذلِكَ مِمَّا يَقْدَحُ فِيْمَا عُلِمَ أَنَّ سَيِّدَنَا وَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ (ص) أَكْثَرُ الْأَنْبِيَاءِ أَتْبَاعًا، وَ وَرَدَ أَنَّ أُمَّتَهُ الْمُشْرِفَةُ ثُلُثَا أَهْلِ الْجَنَّةِ.
Demikian pernyataan Ibn-ul-‘Arabī yang merupakan pendapat bagus, namun dimuskilkan dengan konsekuensi, bahwa seorang muqallid tidak berstatus mu’min, sebab pendapat tersebut berkonsekuensi mengafirkan mayoritas muslim awam, padahal mereka adalah mayoritas umat-ul-ijābah (294) ini. Hal ini mencemari fakta yang telah diketahui, yaitu sungguh Sayyidunā wa Nabiyyunā Muḥammad s.a.w. adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya, dan telah ada hadits yang menyatakan bahwa umatnya yang mulia merupakan 2/3 penghuni surga. (305).
وَ أُجِيْبُ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِالدّلِيْلِ الَّذِيْ تَجِبُ مَعْرِفَتُهُ عَلَى جَمِيْعِ الْمُكَلَّفِيْنَ هُوَ الدَّلِيْلُ الْجُمْلِيُّ، وَ هُوَ الَّذِيْ يُحَصِّلُ فِي الْجُمْلَةِ لِلْمُكَلَّفِ الْعِلْمَ وَ الطُّمَأْنِيْنَهُ بِعَائِدِ الْإِيْمَانِ، بِحَيْثُ لَا يَقُوْلُ قَلُبُهُ فِيْهَا: “لَا أَدْرِيْ، سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُوْلُوْنَ شَيْئًا فَقُلْتُهُ.
Kemusykilan itu dapat dijawab dengan jawaban, sungguh yang dimaksud dengan dalil yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf adalah dalil ijmālī (yang bersifat umum), yang pada umumnya menghasilkan keyakinan dan penerimaan hati atas akidah-akidah keimanan bagi mukallaf, sekira hatinya tidak mengatakan: “Aku tidak mengetahui, aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”
وَ لَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ النَّظَرِ عَلَى طَرِيْقِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنْ تَحْرِيْرِ الْأَدِلَّةِ وَ تَرْتِيْبِهَا وَ دَفْعِ الشُّبْهَةِ الْوَارِدَةِ عَلَيْهَا، وَ لَا الْقُدْرَةُ عَلَى التَّعْبِيْرِ عَمَّا حَصَلَ فِي الْقَلْبِ مِنَ الدَّلِيْلِ الْجُمْلِيِّ الَّذِيْ حَصَلَتْ بِهِ الطُّمَأْنِيْنَةُ.
Tidak disyaratkan mengetahui pemikiran sesuai metode mutakallimin, yaitu meneliti dan membenarkan dalil-dalil, menolak syubhat yang datang padanya, dan mengungkapkan dalil ijmālī yang ada di hati yang menghasilkan penerimaan.
وَ لَا شَكَّ أَنَّ النَّظَرَ عَلَى هذَا الْوَجْهِ غَيْرُ بَعِيْدٍ حُصُوْلُهُ لِمَعْظَمِ هذِهِ الْأُمَّةِ أَوْ لِجَمِيْعِهَا فِيْمَا قَبْلَ آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ يَرْفَعُ فِيْهِ الْعِلْمُ النَّافِعُ، وَ يَكْثُرُ فِيْهِ الْجَهْلُ الْمُضِرُّ، وَ لَا يَبْقَى فِيْهِ التَّقْلِيْدُ الْمُطَابِقُ، فَضْلًا عَنِ الْمَعْرِفَةِ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِمَّنْ يُظَنُّ بِهِ الْعِلْمُ، فَضْلًا عَنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْعَامَّةِ، وَ لَعَلَّنَا أَدْرَكْنَا هذَا الزَّمَانَ بِلَا رَيْبٍ، وَ اللهُ الْمُسْتَعَانُ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Tidak diragukan, bahwa pemikiran sederhana semacam ini tidak sulit diperoleh bagi mayoritas atau semua umat-ul-ijābah ini sebelum akhir zaman yang pada waktu itu ilmu nāfi‘ akan diangkat; banyaknya kebodohan yang membahayakan; tidak ada taqlīd yang benar, apalagi ma‘rifat, pada orang-orang yang disangka mempunyai ilmu, apalagi pada orang-orang awam. Mungkin tanpa diragukan, kita menjumpai zaman ini. Allah Dzat Yang Maha diminta Pertolongan. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.
وَ فِي الْحَدِيْثِ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): تَكُوْنُ فِتْنَةٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيْهَا مُؤْمِنًا وَ يُمْسٍيْ كَافِرًا إِلَّا مَنْ أَجَارَهُ اللهُ تَعَالَى بِالْعِلْمِ.
Diriwayatkan dalam suatu hadits dari Abū Umāmah r.h., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Akan ada fitnah di akhir zaman, di pagi hari orang berstatus mu’min dan sorenya sudah menjadi kafir, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan ilmu.” (316).
Catatan:
- 26). Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin Mahrān al-Asfarayinī (w. 418 H/1027 M). Baca, az-Zirikla, al-A‘lam, 1/61.
- 27). Penalaran bukan syarat sah iman, namun hanya merupakan syarat keluar dari dosa karena tidak melakukannya. Baca, Muḥammad ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasūqī ‘alā Umm-il-Barāhīn (Singapura-Jeddah-Indonesia: al-Haramain, tth.) 62.
- 28). Seperti dikatakan kepadanya: “Alam itu bersifat hadits, dan setiap hal yang hadits pasti ada penciptanya”, dan ditunjukkan dilālah-nya kepadanya sampai ia menemukan natījah-nya. Ibid., 64.
- 29). Umat-ul-Ijābah adalah umat yang memenuhi seruan Allah dan Rasūl-Nya, dan beriman secara nyata; sedangkan umat-ud-da‘wah adalah semua umat yang Allah perintahkan Rasūl-Nya untuk mengajak mereka masuk Islam. Asy-Sya‘rawī, Tafsīr-usy-Sya‘rawī(ttp.: al-Azhar, 1961), IV/2466.
- 30). Yaitu hadits:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): أَهْلُ الْجَنَّةِ عِشْرُوْنَ وَ مِائَةُ صَفٍّ. ثَمَانُوْنَ مِنْهَا مِنْ هذِهِ الْأُمَّةِ، وَ أَرْبَعُوْنَ مِنْ سَائِرِ الْأُمَمِ. (رواه الترمذي، حسن).
“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Penghuni surga ada 120 baris. 80 barisnya dari umatku ini, dan 40 barisnya dari umat selainnya.” (H.R. at-Tirmidzi, hasan).
- 31). H.R. at-Thabrānī. Baca Sulaimān bin Aḥmad ath-Thabrānī, Musnad asy-Syāmiyyīn (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405 H/1984 M), II/227.
2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin

MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri
- 1.2-2-1 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (1/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
- 2.Anda Sedang Membaca: 2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
وَ بِالْجُمْلَةِ فَالْاِحْتِيَاطُ فِي الْأُمُوْرِ هُوَ أَحْسَنُ مَا يَسْلُكُهُ الْعَاقِلُ، لَا سِيَّمَا فِيْ هذَا الْأَمْرِ الَّذِيْ هُوَ رَأْسُ الْمَالِ، وَ عَلَيْهِ يَنْبَنِيْ كُلُّ خَيْرٍ، فَكَيْفَ يَرْضَى ذُوْ هِمَّةٍ أَنْ يَرْتَكِبَ مِنْهُ مَا يُكَدِّرُ مَشْرَبَهُ مِنَ التَّقْلِيْدِ الْمُخْتَلَفِ فِيْهِ، وَ يَتْرُكُ الْمَعْرِفَةَ وَ التَّعَلُّمَ لِلنَّظَرِ الصَّحِيْحِ الَّذِيْ يَأْمَنُ مَعَهُ كُلُّ مُخَوِّفٍ، ثُمَّ يَلْتَحِقُ مَعَهُ بِدَرَجَةِ الْعُلَمَاءِ الدَّاخِلِيْنَ فِيْ سَلْكِ قَوْلِهِ تَعَالَى: “شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلهَ إلَّا هُوَ وَ الْمَلَائِكَةُ وَ أُوْلُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ”، الآيَةَ.
Kesimpulannya, hati-hati dalam segala permasalahan merupakan langkah terbaik yang ditempuh orang berakal, apalagi terkait keimanan yang merupakan modal utama manusia, yang di atasnya semua kebaikan dibangun. Bagaimana orang ber-himmah rela menempuh jalan taqlīd yang masih diperselisihkan dan memperkeruh akidahnya, meninggalkan ma‘rifat dan belajar melakukan pemikiran yang benar yang dapat menghindarkannya dari segala kekhawatiran, kemudian dengannya mencapai derajat ulama yang masuk dalam makna firman Allah ta‘ālā: “Allah menjelaskan, sungguh tidak Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Menegakkan Keadilan; Malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan pun mengakuinya…..” (321).
فَلَا يَتَقَاصَرُ عَنْ هذِهِ الرُّتْبَةِ الْمَأْمُوْنَةِ الزَّكِيَّةِ إِلَّا ذُوْ نَفْسٍ سَاقِطَةٍ وَ هِمَّةٍ خَسِيْسَةٍ. لكِنْ عَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَنْظُرَ أَوَّلًا فِيْمَنْ يُحَقِّقُ لَهُ هذَا الْعِلْمَ وَ يَخْتَارُهُ لِلصُّحْبَةِ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْمُؤَيَّدِيْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى بِنُوْرِ الْبَصِيْرَةِ، الزَّاهِدِيْنَ بَقُلُوْبِهِمْ فِيْ هذَا الْعُرْضِ الْحَاضِرِ، الْمُشْفِقِيْنَ عَلَى الْمَسَاكِيْنِ، الرُّؤَفَاءُ عَلَى ضُعَفَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ.
Tidaklah mencukupkan diri jauh dari derajat yang aman dan suci ini kecuali orang yang berjiwa rendah dan ber-himmah hina. Namun demikian, pertama kali wajib bagi orang berakal untuk mempertimbangkan orang yang mengajarinya secara benar ilmu akidah keimanan ini, dan memilihnya untuk dijadikan guru, dari para imam yang oleh Allah dikokohkan dengan cahaya hati, yang zuhud dengan hatinya dari dunia yang ada ini, yang penuh belas kasihan kepada orang-orang mu’min ilmu, dan orang-orang mu’min yang lemah pemahamannya.
فَمَنْ وَجَدَ أَحَدًا عَلَى هذِهِ الصِّفَةِ فِي هذَا الزَّمَانِ الْقَلِيْلِ الْخَيْرَ جِدًّا، فَلْيَشُدَّ يَدَهُ عَلَيْهِ، وَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَجِدُ لَهُ، وَ اللهُ أَعْلَمُ، ثَانِيًا فِيْ عَصْرِهِ، إِذْ مَنْ يَكُوْنُ عَلَى هذِهِ الصِّفَةِ أَوْ قَرِيْبًا مِنْهَا، لَا يَكُوْنُ مِنْهُمْ فِيْ أَوَاخِرِ الزَّمَانِ إِلَّا الْوَاحِدُ وَ مَنْ يَقْرُبُ مِنْهُ عَلَى مَا نَصَّ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ.
Orang yang menemukan guru semacam itu pada zaman yang sedikit sekali kebaikannya ini, hendaklah selalu mengikutinya. Ketahuilah, sungguh ia tidak akan menemukannya lagi – wallāhu a‘lam – untuk kedua kalinya pada masanya. Sebab, orang yang mempunyai sifat seperti itu atau yang mendekatinya (yang secara terang-terangan mengajarkan ilmu ini), di akhir zaman tidak ada kecuali seorang saja, dan orang yang mendekatinya, sesuai penjelasan ulama.
ثُمَّ الْغَالِبُ عَلَيْهِ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الْخَفَاءُ، بِحَيْثُ لَا يُرْشَدُ إِلَيْهِ إِلَّا قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ. وَلْيَشْكُرِ اللهَ سُبْحَانَهُ الَّذِيْ أَطْلَعَهُ عَلَى هذِهِ الْغَنِيْمَةِ الْعظْمَى آنَاءَ اللَّيْلِ وَ أَطْرَافَ النَّهَارِ، إِذْ أَظْفَرَهُ مَوْلَاهُ الْكَرِيْمُ جَلَّ وَ عَزَّ بِمَحْضِ فَضْلِهِ بِكَنْزٍ عَظِيْمٍ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ، يُنْفِقُ مِنْهُ مَا شَاءَ وَ كَيْفَ شَاءَ، وَ قَلِيْلٌ أَنْ يُنْفِقَ الْيَوْمَ وُجُوْدَ مِثْلِ هذَا إِلَّا نَادِرٌ مِنَ السُّعَدَاءِ.
Pada umumnya di zaman ini, orang yang seperti itu samar (sulit ditemukan), sekira tidak ditunjukkan kepadanya kecuali sedikit orang saja. Hendaklah ia bersyukur kepada Allah sepanjang malam dan siang yang telah memperlihatkannya atas kesuksesan besar ini. Sebab Allah Yang Maha Pemurah – jalla wa ‘azza – dengan kemurnian anugerah-Nya telah memberinya kesuksesan mendapat kekayaan surga yang sangat besar (guru dengan sifat-sifat yang telah disebutkan) yang dapat menjadi sumber belajar dan dengan cara bagaimanapun yang dikehendakinya ia belajar kepadanya. Sedikit sekali orang yang dapat belajar kepada guru semacam ini pada masa sekarang ini kecuali orang beruntung yang langka.
وَ أَمَّا مَنْ يَقْرَأُ هذَا الْعِلْمَ عَلَى مَنْ يَتَعَاطَى لَهُ وَ لَيْسَ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِيْ ذَكَرْنَاهَا فَمَفَاسِدُ صُخْبَةِ هذَا دُنْيًا وَ أُخْرَى أَكْثَرُ مِنْ مَصَالِحِهَا، وَ مَا أَكْثَرُ وُجُوْدِ مِثْلِ هؤُلَاءِ فِيْ زَمَانِنَا فِيْ كُلِّ مَوْضِعٍ، نَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى السَّلَامَةَ مِنْ شَرِّ أَنْفُسِنَا وَ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِيْ شَرٍّ بِجَاهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ (ص).
Adapun orang yang membacakan ilmu akidah ini kepada orang yang meminta kepadanya sementara ia tidak mempunyai sifat-sifat yang telah aku sebutkan, maka mafsadah menjadi muridnya di dunia dan akhirat lebih banyak daripada kemaslahatannya. Sangat banyak orang-orang seperti itu di zaman kita di setiap tempat. Aku memohon keselamatan kepada Allah ta‘ālā dengan derajat Sayyidinā Muḥammad s.a.w. dari keburukan diriku dan keburukan setiap orang yang mempunyai keburukan.
وَلْيَحْذَرِ الْمُبْتَدِئُ جُهْدَهُ أَنْ يَأْخُذَ أُصُوْلَ دِيْنِهِ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِيْ حُشِيَتْ بِكَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ، وَ أُوْلِعَ مُؤَلِّفُوْهَا بِنَقْلِ هَوْسِهِمْ، وَ مَا هُوَ كُفْرٌ صُرَّاحٌ مِنْ عَقَائِدِهِمْ الَّتِيْ سَتَرُوْا نَجَاسَتَهَا بِمَا يَنْبَهِمُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنِ اصْطِلَاحَاتِهِمْ وَ عِبَارَاتِهِمُ الَّتِيْ أَكْثَرُهَا أَسْمَاءُ بِلَا مُسَمَّيَاتٍ، وَ ذلِكَ كَكُتُبِ الْإِمَامِ الْفَخْرِ فِيْ عِلْمِ الْكَلَامِ، وَ طَوَالِعِ الْبَيْضَاوِيْ، وَ مَنْ حَذَا حَذْوَهُمَا فِيْ ذلِكَ.
Hendaklah pelajar pemula menghindarkan kemampuannya untuk belajar ushūl-ud-dīn-nya dari kitab-kitab yang dipenuhi pendapat-pendapat kaum filosuf, para penulisnya menggantungkan diri dengan mengutip kegilaan mereka yang merupakan kekufuran nyata, yaitu akidah-akidah yang kenajisannya mereka tutupi dengan berbagai istilah dan ungkapan yang samar yang mayoritas hanya merupakan nama tanpa substansi, seperti kitab-kitab karya al-Imām al-Fakhr ar-Rāzī tentang kalām, kitab Thawāli‘ karya al-Baidhāwī, dan orang-orang yang menempuh metode mereka dalam ilmu kalam. (332)
وَ قَلَّ أَنْ يُفْلِحَ مَنْ أَوْلَعَ بِصُحْبَةِ كَلَامِ الْفَلَاسِفَةِ أَوْ يَكُوْنَ لَهُ نُوْرُ إِيْمَانٍ فِيْ قَلْبِهِ أَوْ لِسَانِهِ. وَ كَيْفَ يُفْلِحُ مَنْ وَالَى مَنْ حَادَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ خَرَقَ حِجَابِ الْهَيْبَةِ وَ نَبَذَ الشَّرِيْعَةَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَ قَالَ فِيْ حَقّ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ وَ فِيْ حَقِّ رُسُلِهِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ مَا سَوَّلَتْ لَهُ نَفْسُهُ الْحَمْقَاءُ، وَ دَعَاهُ إِلَيْهِ وَهْمُهُ الْمُخْتَلُّ.
Jarang sekali beruntung orang yang menggantungkan diri dengan menekuni kalam para filosuf, atau mendapatkan cahaya keimanan di hati atau lisannya. Bagaimana beruntung orang yang mengasihi orang yang memusuhi Allah dan Rasūl-Nya, membakar haibah Allah yang laksana hijab, membuang syariat di belakang punggungnya, dan berkata bagi Allah – jalla wa ‘azza – dan para Rasūl-Nya ‘alaihim-ush-shālatu was-salām – dengan perkataan yang dihiaskan oleh dirinya yang bodoh dan diajak oleh persangkaannya yang rusak.
وَ لَقَدْ خَذَلَ بَعْضُ النَّاسِ فَتَرَاهُ يُشْرِفُ كَلاَمَ الْفَلَاسِفَةِ الْمَلْعُوْنِيْنَ، وَ يُشْرِفُ الْكُتُيَ الَّتِيْ تُعَرِّضَتْ لِنَقْلِ كَثِيْرٍ مِنْ حَمَاقَاتِهِمْ لِمَا تَمَكَّنَ فِيْ نَفْسِهِ الْأَمَّارَةُ بِالسُّوْءِ مِنْ حُبِّ الرِّيَاسَةِ و حُبُّ الْإِغْرَابِ عَلَى النَّاسِ بِمَا يَنْبَهِمُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنْهُمُ مِنْ عِبَارَاتٍ وَ اصْطِلَاحَاتٍ يُوْهِمُهُمْ أَنَّ تَحْتَهَا عُلُوْمًا دَقِيْقَةً نَفِيْسَةً، وَ لَيْسَ تَحْتَهَا إِلَّا التَّخْلِيْطُ وَ الْهَوْسُ وَ الْكُفْرُ الَّذِيْ لَا يَرْضَى أَنْ يَقُوْلَهُ عَاقِلٌ.
Sungguh sebagian orang telah terlalaikan, sehingga anda lihat ia memuliakan kalām kaum filosuf terlaknat, memuliakan kitab-kitab yang ditulis untuk mengutip berbagai kebodohan mereka karena cinta pangkat dan keunikan menggungguli orang lain dengan berbagai ungkapan dan istilah yang samar bagi kebanyakan orang, yang mengesankan bagi mereka bahwa di bawahnya terdapat ilmu-ilmu yang mendalam dan bagus, padahal kenyataannya hanya pencampuradukkan, kegilaan, dan kekufuran yang orang berakal tidak sudi mengucapkannya.
وَ رُبَّمَا يُؤْثِرُ بَعْضُ الْحَمْقَى هَوْسَهُمْ عَلَى الْاِشْتِغَالِ بِمَا يُعِيْنُهُ مِنَ التَّفَقُّهِ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنَ وَ فُرُوْعِهِ عَلَى طَرِيْقِ السَّلَفِ الصَّالِحِ وَ الْعَمَلُ بِذلِكَ، وَ يَرَى هذَا الْخَبِيْثَ لِانْطِمَاسِ بَصِيْرتِهِ وَ طَرْدِهِ عَنْ بَابِ فَضْلِ اللهِ تَعَالَى إِلَى بَابِ غَضَبهِ أَنَّ الْمُسْتَغِلِيْنَ بِالتَّفَقُّهِ فِيْ دِيْنِ اللهِ تَعَالَى الْعَظِيْمِ الْفَوَائِدِ دُنْيًا وَ أُخْرًا بَلَدَاءَ الطَّبْعِ نَاقِصُو الذُّكَاء.
Terkadang sebagian orang bodoh memprioritaskan mempelajari kegilaan kaum filosuf daripada menyibukkan diri dengan mempelajari ushūl dan furū‘-ud-dīn sesuai metode kaum as-Salaf ash-Shāliḥ dan mengamalkannya, yang bermanfaat baginya. Karena terhapusnya mata hati dan terlemparnya dari pintu anugerah Allah ta‘ālā ke pintu murka-Nya. Orang bodoh yang keji ini menganggap orang-orang yang fokus memelajari agama Allah ta‘ālā yang besar manfaatnya di dunia dan akhirat, sebagai orang-orang berwatak bodoh dan kurang cerdas.
فَمَا أَجْهَلَ هذَا الْخَبِيْثَ وَ أَقْبَحَ سَرِيْرَتُهُ وَ أَعْمَى قَلْبَهُ حَتَّى رَأَى الظُّلْمَةَ نُوْرًا وَ النُّوْرَ ظُلْمَةً. وَ مَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا، أولئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ، لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ، سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُوْنَ لِلسُّحْتِ…..
Sungguhnya bodoh, sungguh keji dan sungguh buta hatinya, sampai ia melihat kegelapan sebagai cahaya dan melihat cahaya sebagai kegelapan. Orang yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu (Muḥammad s.a.w.) tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hatinya. Bagi mereka kehinaan di dunia dan akhirat. Bagi mereka siksaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta haram….. (343).
نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ يُعَامِلَنَا وَ يُعَامِلَ جَمِيْعَ أَحِبَّتِنَا إِلَى الْمَمَاتِ بِمَحْضِ فَضْلِهِ، وَ أَنْ يَلْطَفَ بِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَ يَقِيْهِمْ فِيْ هذَا الزَّمَانِ الصَّعْبِ مَوَارِدَ الْفِتَنِ بِجُوْدِهِ وَ كَرَمِهِ بِجَاهِ أَشْرَفِ الْخَلْقِ سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ (ص).
Aku memohon kepada Allah s.w.t. agar Ia menjagaku dan orang-orang yang mencintaiku sampai mati dengan kemurnian anugerahnya, dan agar mengasihi semua mu’minin, dan menjaga mereka di zaman yang penuh kesulitan ini dari datangnya berbagai fitnah, dengan kemurahan dan kedermawanan-Nya, dengan lantaran derajat manusia termulia, Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w.
Catatan:
- 32). QS. Āli ‘Imrān: 18.
- 33). Merujuk al-Burhān al-Laqqānī dalam Hidāyat-ul-Murīd sebagaimana kutipan al-Bajūrī, pada mulanya dahulu ulama mencukupkan diri dengan pembahasan dzat, shifat, kenabian, dan sam‘iyyat. Lalu muncul berbagai sekte ahli bid‘ah yang sering mendebat dan melempar propaganda yang bercampur kaidah-kaidah filsafat terhadap ulama. Di kemudian hari, hal ini menuntut ulama pada masa berikutnya seperti al-Fakhr-ur-Rāzī, al-Baidhāwī, as-Sa‘d, al-‘Adhad, dan Ibn ‘Irfah untuk memasukkan materi-materi filsafat pada kitab-kitab kalām mereka untuk menghadapi, meruntuhkan, menjelaskan kesalahan, dan menjelaskan bahwa propaganda kaum filosuf, sehingga peringatan agar menghindari kitab-kitab mereka hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu memahaminya. Ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasyūqī, 71.
- 34). QS. Al-Mā’idah: 41-42.
Filed under: Uncategorized | Leave a comment »