Sejarah singkat penamaan ahlusunnah wal jamaah

Sedikit tentang; ((( SEJARAH PENAMAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH )))

Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk hukum yang berkembang dalam disiplin ilmu Fikih yang digali dari berbagai dalil-dalil syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharih, maupun karena adanya perbedaan kontestual. Perbedaan pendapat dalam produk hukum ini sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun demikian setiap produk hukum yang berbeda-beda ini, selama di hasilkan dari tangan seorang ahli ijtihad (mujtahid mutlak), maka semuanya dapat dijadikan sandaran dan rujukan. Dengan demikian masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Dan bagi kita, para ahli taqlid; orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.

Namun kemudian, puncak dan muara penghabisan para ulama mujtahid tersebut hanya terbatas kepada para Imam yang empat saja. Yaitu al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufyy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, al-Imam Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal (w 241 H). Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya dengan jelas (Sharih) secara tekstual, baik dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah.

Para Imam mujtahid yang empat ini, di samping sebagai para Imam madzhab dalam bidang fikih, demikian pula dalam bidang akidah, mereka adalah para ulama teolog terkemuka (al-Mutakllimun) yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan teologi. Demikian pula dalam bidang hadits, mereka adalah pakar-pakarnya (al-Muhadditsun) yang merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai aspek hadits. Lalu di dalam masalah Tasawwuf, disiplin ilmu yang titik beratnya dalam masalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlah al-A’mal al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya. Mereka adalah kaum Sufi sejati, ash-Shufiyyah al-Haqiqiyyun, yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Perjalanan hidup mereka benar-benar telah ditulis dengan “tinta emas” oleh orang-orang yang datang di kemudian hari.

Pada periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah Fikih sangat besar. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus dan pusat perhatian pada saat adalah disiplin ilmu Fikih. Namun, bukan berarti kebutuhan terhadap ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian sangat pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at. Hanya saja saat itu pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dan faham-faham ekstrim dalam masalah-masalah akidah belum terlalu banyak menyebar. Walaupun saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan, namun penyebarannya masih sangat sedikit dan terbatas. Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci, seperti yang telah dilakukan terhadap masalah-masalah fikih.

Benar, saat itu sudah ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat. Seperti al-Imam Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah Ilmu Kalam; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Atau al-Imam asy-Syafi’i yang telah menulis ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, Kitab al-Qiyas, dan beberapa karya lainnya. Hanya saja perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.

Seiring dengan semakin menyebarnya berbagai penyimpangan dalam masalah-masalah akidah, terutama setelah lewat paruh kedua dari tahun ke tiga hijriyah, yaitu pada sekitar tahun 260 hijriyah, yang hal ini ditandai dengan menjamurnya firqah-firqah sempalan dalam Islam, maka kebutuhan terhadap pembahasan akidah Ahlussunnah secara rinci menjadi sangat urgen. Pada periode ini para ulama dari kalangan empat madzhab banyak membukukan penjelasan-penjelasan akidah Ahlussunnah secara rinci. Hingga kemudian datang dua Imam yang agung; al-Imam Abu al-Hasan al-As’yari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Kegigihan dua Imam agung ini dalam membela akidah Ahlussunnah, terutama dari faham-faham rancu kaum Mu’tazilah yang saat itu cukup populer, menjadikan keduanya sebagai Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Keduanya tidak datang dengan membawa faham atau ajaran yang baru. Keduanya hanya melakukan penjelasan-penjelasan secara rinci terhadap keyakinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dengan merujuk kepada dalil-dali naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan dalil-dalil ‘aqli, ditambah dengan argumen-argumen rasional dalam mambantah faham-faham di luar ajaran Rasulullah itu sendiri.

Imam yang pertama, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, menapakan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imam asy-Syafi’i. Sementara yang kedua, al-Imam Abu Manshur al-Maturidi menapakan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imam Abu Hanifah. Di kemudian hari kedua madzhab Imam yang agung ini dan para pengikutnya dikenal sebagai al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, yang disebut sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Penamaan Ahlussunnah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah. Dan penamaan al-Jama’ah adalah untuk menunjukan komunitas para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka, di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar dari umat Rasulullah. Dari penamaan ini, maka secara nyata menjadi terbedakan antara faham yang benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan faham firqah-firqah sesat, seperti Mu’tazilah (Qadariyyah), Jahmiyyah, Musyabbihah, Khawarij, dan lainnya.

Akidah Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah sebagai akidah Ahlussunnah ini kemudian menjadi keyakinan mayoritas umat Islam dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk dalam golongan ini adalah para ulama dari kalangan ahli hadits (al-Muhadditsun), ulama kalangan ahli fikih (al-Fuqaha), dan para ulama dari kalangan ahli tasawuf (ash-Shufiyyah).

Dalam kitab Syarh al-Minhaj, al-Imam ar-Ramli menyatakan bahwa orang-orang yang dikategorikan sebagai ahli bid’ah adalah mereka yang di dalam akidahnya menyalahi akidah Ahlussunnah. Artinya menyalahi apa yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dan yang telah menjadi kayakinan mayoritas umat Islam. Sementara yang dimaksud Ahlussunnah pada masa sekarang ini, –masih dalam pernyataan ar-Ramli–, adalah al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi serta para pengikut keduanya dalam masalah-masalah akidah.

Silsilah Imam Syafi’i & Hubungannya Dengan Rasulullah

Sunnahnya akad nikah di masjid : Dalil dan haditsnya

FATWA SONGSANG SALAHPI-WAHHABIY

Saya sedikitpun tidak terkejut dengan fatwa-fatwa songsang mereka yang berfahaman Salafiy-Wahhabiy. Memang salah satu dari doktrin Salafiy-Wahhabiy bersikap fanatic dengan hujjah mereka. Dalam masa yang sama mereka menyalahkan fahaman dan amalan orang yang tidak sehaluan dengan mereka. Metod ini telah dipergunakan zaman-berzaman oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya untuk mengkafirkan umat Islam, menyalahkan ulamak, membid’ahkan mereka dan melancarkan peperangan terhadap umat Islam atas nama jihad fi sabillillah.
Berbalik Isu Akad Nikah dalam masjid sewajarnya tak perlu diungkitkan kembali memandangkan ia masalah picisan dan telah lama diselesaikan beribu-ribu ulamak muktabar sebelum kita. Mari kita tinjau pandangan mereka dalam masalah ini satu persatu. Sekurangnya terdapat dua pandangan utama dalam membicarakan Isu Akad Nikah di Masjid. Iaitu pandangan Jumhur Ulamak (majoriti) dan pandangan peribadi Imam al-Syaukani
Pandangan Jumhur Ulamak :
Menurut Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Jumhur Ulama mengatakan, SUNAT melakukan akad nikah di masjid (jilid 39, ms.221). Mereka terdiri daripada ulama-ulama Mazhab Syafie dan Hanafi (jilid 32, ms.6) serta Mazhab Hambali (rujuk kitab Fatawa Wa Istisyarat Mauqi’ al-Islam al-Yaum, jilid 11, ms.231)
Manakala Mazhab Maliki mengatakannya HARUS sahaja, bukannya sunat (Mausu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, jilid 32. ms.6). Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah mencatatkan :
Terjemahan : “Berkata ulama-ulama [mazhab] Hanafi dan Syafie, disunatkan [dilakukan] akad nikah dalam masjid berdasarkan hadis “umumkan [kepada khalayak] pernikahan ini dan jadikan [urusan akad] nya dalam masjid serta pukullah kompang”. Berkata ulama-ulama [mazhab] Maliki, ia (melakukan akad nikah di masjid adalah) harus”.
Ulama-ulama lain yang turut mengatakan SUNAT melakukan akad nikah dalam masjid ialah Imam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa dan Imam Ibnu Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (rujuk kitab Fatawa Wa Istisyarat Mauqi’ al-Islam al-Yaum, jilid 11, ms.231).
Kesimpulannya, para ulama 4 mazhab (Syafie, Hanafi, Maliki dan Hambali) bersepakat mengatakan sunat melakukan akad nikah dalam masjid (rujuk kitab Fatawa Wa Istisyarat Mauqi’ al-Islam al-Yaum, jilid 11, ms.259)
Hujjah Jumhur Ulamak :
Pertama : Hadis Tabarani adalah hadis yang hasan. (al-Hafiz al-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah, jilid 1, ms.36, al-‘Ajluni dalam Kasyful Khafa’, jilid 1, ms.145 dan lain-lain.)
Kedua : Akad nikah dilakukan di masjid bagi mengambil keberkatan masjid sebagai rumah Allah SWT dan aktiviti ibadah. (al-Baqarah 114)
Ketiga : Masjid adalah tempat yang diketahui ramai. Justeru, melakukan akad nikah dalam masjid akan menyebarkan berita perkahwinan. Menyebarkan berita perkahwinan pula adalah satu tuntutan syarak.
Keempat : Nikah adalah ibadat untuk tujuan iman dan taqwa. Oleh itu sunat untuk dilakukan akad dalam masjid.
Kelima : Melakukan sebarang aktiviti yang berkaitan dengan fungsi masji adalah sebahagian pengimarahan masjid (al-Taubah 18)
Keenam : Memudahkan tugas Imam untuk menjalankan urusan perkahwinan yang berbilang.
Ketujuh : Mengingatkan pasangan dan rombongan perkahwinan bahawa mereka membina ikatan perkahwinan secara mulia.(hadis sahih riwayat Ibn Khuzaimah, Kitab Solat, Bab Syahadah Bil Iman no : 1502)
Kelapan ; Mendapat pahala sampingan seperti melakukan sunat Tahiyyatul masjid, iktikaf , zikir, wirid, doa, membaca al-Qur’an dan lain-lain.
Kesembilan : Isu akad Nikah di masjid diamalkan secara mutawattir dalam dunia Islam. Tiada seorang ulamak pun bangkit membantah dan menganggap ia sebagai amalan bid’ah yang bercanggah dengan amalan Rasulillah SAW kecuali AJK Fatwa Perlis.
Pandangan Imam Syaukani
Imam Syaukani mempunyai pendapat yang berbeza dengan jumhur ulama. Bagi beliau, akad nikah TIDAK HARUS dilakukan dalam masjid.Alasannya kerana, masjid hanya dibina bagi menjadi tempat mengingati Allah dan mendirikan solat. Aktiviti selain mengingati Allah dan mendirikan solat, tidak boleh dilakukan di dalam masjid, kecuali dengan adanya dalil khusus yang mengharuskannya.Dalam kitabnya al-Sail al-Jarrar (jilid 2, ms.247-248) : “Masjid sesungguhnya dibina bagi [menjadi tempat] mengingati Allah dan [mendirikan] solat, maka TIDAK HARUS [dilakukan] di dalamnya (masjid) selain [daripada] itu, melainkan dengan [adanya] dalil yang mengkhususkan keumuman [hukum] ini, seperti permainan lembing oleh orang-orang Habsyah di masjid Nabi s.a.w sambil Baginda melihatnya dan seperti perakuan [Nabi s.a.w] kepada orang-orang yang membaca syair di dalamnya (masjid)”.
Imam Syaukani tidak menerima hadis Tabarani yang menjadi dalil jumhur ulama, kerana ia adalah hadis dhaif pada penilaian beliau (rujuk Nayl al-Awtar, jilid 6, ms.211).
Kesimpulan :
1. Mazhab Jumhur Ulamak (iaitu Hanafi, Maliki, Syafi’ie, Hambali dan lain-lain bersepakat mengatakan SUNAT melakukan akad nikah di masjid.
2. Pandangan peribadi Imam al-Syaukani merupakan pandangan terpencil yang syadz kerana menyalahi jumhur ulamak. Ia bukanlah pandangan muktamad dalam penyelesaian isu ini. Oleh itu, menggunakan pandangan ini untuk menyalahkan pandangan Jumhur dikira sebagai menyanggah arus fatwa sedia ada, meragukan masyarakat dan dikira satu kesalahan.
3. Amalan melakukan akad nikah dalam masjid mempunyai sandaran dalil yang kukuh. Ia bukan bersandarkan kepada logic akal atau seputar isu pentadbiran hal ehwal masjid semata-mata.
4. Bagaimanapun, Majlis Tetap Fatwa Arab Saudi yang mengatakan melakukan akad nikah dalam masjid secara konsisten, atau beranggapan ia ada kelebihan, adalah bid’ah.(Rujuk : http://www.islam-qa.com/ar/ref/132420) adalah satu amalan dalam negara mereka. Pandangan ini bukan bersifat mutlak tetapi ada qaidnya yang tersendiri. Iaitu berbeza antara akad nikah secara konsisten ataupun tidak. Pandangan ini tidak bersesuaian untuk dipraktikkan di Malaysia memandangkan ia menjustifikasikan kesan negative (bid’ah sesat) terhadap berjuta-juta umat Islam yang telah melakukan akad nikah di Masjid dalam perkahwinan mereka sebelum ini. Apakah umat Islam boleh sesat dan bid’ah bila mengikut pandangan jumhur ulamak? Atau mereka dituduh sesat hanya berkhilaf dalam perkara furuk? Fikirkanlah.
3. Individu yang menegah akad nikah dalam masjid sebenarnya lebih mirip kepada pandangan Imam al-Syaukani. Tetapi Imam Syaukani sendiri tidak membid’ahkan pandangan Jumhur Ulamak. Apatah lagi menyalahkan mereka dan menuduh mereka melakukan amalan yang bertentangan dengan Rasulillah SAW. Jika ia diprakktik di perlis, maknanya umat Islam Perlis sebahagian besarnya dianggap telah melakukan perbuatan bid’ah kerana telah melakukan akad di masjid sebelum ini. Kemungkinan jua termasuk Datuk Ahmad Jusoh sendiri jika ayah dan ibunya melakukan amalan yang sama. Maka sewajarnya fatwa songsang ini tidak dipraktikkan.
4. Fatwa atau pandangan sembrono dari Perlis membuktikan aliran pemikiran mereka bukan berteraskan kepada fahaman Salafus Soleh atau Ahli Sunnah Wal Jamaah mengikut disiplin mazhab. Sebaliknya mereka mempunyai kecenderungan yang kuat kepada aliran Salafi Wahhabiy. Pandangan Dr Mohd Asri, Dr Juanda Jaya, Dr Azwira Abdul Aziz dan Datuk Ahmad Jusoh jika dianalisa dengan teliti dilihat mempunyai banyak persamaannya. Kami mempunyai bukti eksklusif untuk penghujahan.
5.Mengqiaskan amalan akad nikah dalam masjid menyerupai amalan orang Kristian yang melakukannya dalam gereja adalah satu contoh kiasan yang salah (Qiyas Maal Fariq). Ini kerana tidak wujud persamaan illat antara kedua majlis aqad Nikah di atas. Alasan yang jelas ialah akidah dan syariat kita berbeza antara satu sama lain (Islam, Kristian dan Yahudi). Jika ada persamaan pun ia hanya kebetulan sahaja. Contohnya, jika semua penganut agama berpuasa. Apakah dengan berpuasa kita dilihat mempunyai persamaan pegangan dan amalan? Bukankah al-Qur’an membezakan akidah dan syariat kita dgn mereka pada surah al-Kafiruun ayat 6. Jika anda memahami kaedah penggunaan kias ini anda sesekali tidak menganggap isu akad nikah ini mempunyai persamaan. Ia tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Maka Mengertilah.
Posted by Zamihan Mat Zin AL-GHARI at 11:45 PM 0 comments

Hukum Berakad Nikah Di Masjid

Nampaknya geng pendakwa “kami ikut sunnah, hok lain semua ahli bid`ah”, telah menimbulkan satu isu lagi untuk diperselisihkan umat Islam dalam negara kita. Apa yang tidak sedapnya ialah apabila dengan mudahnya membuat tuduhan bahawa perbuatan mengadakan akad nikah perkahwinan dalam masjid adalah menyimpang daripada amalan Rasulullah SAW…. Allahu … Allah …. laser..laser.
Marilah kita kembali merujuk kepada para fuqaha kita untuk mengetahui sebenaq-benaqnya hukum mengadakan akad nikah dalam semejid (baca: masjid jangan dibaca samjid). Kalu kita bukak telaah kitab fiqh mazhab Syafi`i kita, antaranya yang hok mudah didapati lagi banyak manfaat dan berkatnya, karya waliyUllah Sidi Abu Bakar ad-Dimyathi rahimahUllah iaitu “Hasyiah I`aanathuth Thaalibin” jilid 3 halaman 315 kita dapati ibaratnya sebagai berikut:-

……. iaitu dan DISUNNATKAN agar akadnikah itu dilakukan dalam masjid. Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahUllah dalam “Tuhfah” menyatakan: Ini adalah kerana ada suruhan (baca: anjuran) dengannya sebagaimana khabar yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani. Iaitu “Hebahkanlah pernikahan ini, laksanakan ia di masjid-masjid, palulah kompang-kompang dan seseorang daripada kamu buatkanlah kenduri walaupun hanya dengan seekor kambing….”

Selain Imam ath-Thabrani rahimahUllah, Imam at-Tirmidzi turut meriwayatkan dalam “Sunan at-Tirmidzi” juzuk 2 halaman 247 sebagai berikut:-

Daripada Sayyidatina ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha menyatakan bahawa Junjungan Nabi SAW bersabda: “Hebahkanlah akan pernikahan ini, laksanakanlah ia di masjid-masjid dan palulah untuknya kompang-kompang.”

Imam at-Tirmidzi rahimahUllah menilai hadits ini sebagai hasan gharib, di mana seorang rawinya yang bernama ‘Isa bin Maimun dipandang sebagai seorang yang dhaif. Sungguhpun begitu, beliau meriwayatkannya daripada Ibnu Abu Najiih seorang yang tsiqah. Hadits yang diriwayat oleh Imam ath-Thabrani yang tersebut dahulu juga tidak lepas dari perselisihan muhadditsin. Sebahagian muhadditsin seperti al-Hafiz as-Sakhawi dan al-Ajluni menilainya sebagai hasan, manakala sebahagian lain menilainya sebagai dhaif. Oleh itu pihak yang menghukumkan sunnat berakadnikad di masjid mempunyai sandaran antaranya hadits-hadits tersebut, dan tidak mustahil ada sandaran-sandaran lain yang tidak kita ketahui kerana kecetekan ilmu kita.

Mengenai hukumnya dalam mazhab-mazhab lain, maka tersebut dalam “Mawsu`ah al-Fiqhiyyah” sebagai berikut:-

Bahawa adalah pernikahan tersebut diakadkan dalam masjid. Ulama al-Hanafiyyah dan asy-Syafi`iyyah menghukumkan MANDUB untuk melaksanakan akad pernikahan dalam masjid, kerana hadits: “Hebahkanlah akan pernikahan ini, laksanakanlah ia di masjid-masjid dan palulah untuknya kompang-kompang.” Ulama al-Malikiyyah menghukumkannya sebagai JAIZ.

Begitulah hukumnya melangsungkan upacara akadnikah dalam masjid. Maka tuduhan bahawa ianya menyimpang daripada amalan Rasulullah SAW adalah suatu tuduhan melulu tanpa usul periksa dan perlakuan biadap kepada para ulama muktabar yang menghukumnya sebagai sunnat atau setidak-tidaknya harus. Walau bagaimanapun, dalam melaksanakan upacara pernikahan di masjid, sayogia diberikan perhatian yang sungguh-sungguh agar kesucian dan kehormatan masjid tidak dicemari. Mudah-mudahan Allah sentiasa memberikan taufiq dan hidayahNya bagi kita semua sebagaimana para ulama kita terdahulu.

*****************************

 

Pengharaman Buku-Buku Tulisan Ustaz Wahaby (Rasul Dahri) Yang Telah Diperakui Haram di Malaysia

Pengharaman Buku-Buku Tulisan Ustaz Wahaby (Rasul Dahri) Yang Telah Diperakui Haram

Keputusan:
1. Bahawa buku-buku tulisan Encik Rasul Dahri adalah diharamkan di Negeri Pulau Pinang sebagaimana pengharamannya di peringkat kebangsaan.
2. Buku-buku tersebut ialah :-
i) Tajuk : Bahaya Taqlid Buta Dan Ta’sub Mazhab
Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
ii)  Tajuk : Imam Syafie (Rahimahullah) Mengharamkan Kenduri Arwah Tahlilan, Yasinan dan Selamatan

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
iii) Tajuk : Amalan-amalan Bid’ah  Pada Bulan Sya’ban

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
iv)  Tajuk : Bahaya Tariqat Sufi / Tasawuf Terhadap Masyarakat

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
v)  Tajuk : Hukum Mengenai Rokok Dan Mencukur Janggut

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
vi)  Tajuk : Setiap Bid’ah Menyesatkan

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
vii)  Tajuk : Persoalan Bid’ah Menyesatkan

Penulis : Rasul Dahri
Penerbit : Perniagaan Jahabersa, Taman Kempas, Johor Baharu
3. Pengharaman buku-buku ini adalah kerana didapati boleh :-
i) Bercanggah dengan garis Panduan Penapisan Bahan-bahan Penerbitan Berunsur Islam.
(a) (i) Mempropagandakan akidah, hukum dan ajaran yang bercanggah dengan Mazhab Ali Sunnah   Wal Jamaah.
(b) (ii) Menyebarkan kenyataan yang menggemparkan fikiran orang ramai dan menimbulkan keraguan dan kegelisahan kepada masyarakat awam.
4. Oleh itu, mana-mana orang Islam yang mengajar, mengamal dan menyebar kandungan buku tersebut adalah dilarang sama sekali.
5. Pengharaman ini juga meliputi untuk menerbitkan apa-apa bentuk, versi atau variasi atau apa-apa terjemahan dalam apa-apa bahasa atau apa-apa bahan publisiti sama ada bahan cetak atau elektronik atau selainnya atau apa-apa media atau apa-apa media atau apa-apa kaedah yang boleh membawa kepada penyebaran dan isi kandungan buku-buku tersebut.
Status Penwartaan:

Diwartakan

Nombor Rujukan:

PU/PP 3200 Jld. 1

Negeri:

“DEDENGKOT” WAHABI; IBNU UTSAIMIN DAN AL ALBANI MENGINGKARI RASULULLAH SEBAGAI MAKHLUK ALLAH PALING MULIA

“DEDENGKOT” WAHABI; IBNU UTSAIMIN DAN AL ALBANI MENGINGKARI RASULULLAH SEBAGAI MAKHLUK ALLAH PALING MULIA

“DEDENGKOT” WAHABI; IBNU UTSAIMIN DAN AL ALBANI MENGINGKARI RASULULLAH SEBAGAI MAKHLUK ALLAH PALING MULIA……; salah satu bukti bahwa WAHABI memusuhi Rasulullah.

 

Kitab ini karya Ibnu Utsaimin berjudul al Manahi al Lafzhiyyah, h. 161, lihat scan berikut:

 

 

Ini adalah terjemah lengkapnya:

 

Ibnu Utsaimin di tanya: “Ada salah seorang guru di perguruan tinggi mengatakan bahwa mengucapkan “NABI MUHAMMAD ADALAH MAKHLUK PALING MULIA” adalah kata-kata yang tidak benar, menurutnya ini adalah ungkapan para ahli tasawuf. Ia berdalil dengan firman Allah:

 

ويخلق ما لا تعلمون (النحل: 8)

 

[Allah menciptakan sesuatu yang tidak kalian ketahui/QS. An-Nahl: 8], menurutnya; makhluk Allah ini sangat banyak, kita tidak dapat menghitung jumlahnya, [menurutnya bisa saja ada yang lebih mulia dari nai Muhammad]; maka kenapa kita harus mengatakan bahwa nabi Muhammad sebagai makhluk Allah paling mulia?

 

Ibnu Utsaimin menjawab [qabbahahullah]: “Pendapat yang masyhur menurut mayoritas ulama adalah ungkapan-ungkapan semacam ini dalam pemahaman mutlak; artinya nabi Muhammad adalah makhluk Allah yang paling utama di antara makhluk-makhluk lainnya, seperti perkataan seorang dalam bair syairnya:

 

وأفضل الخلق على الإطلاق  #   نبينا فمل عن الشقاق

 

“Dan makhluk paling utama secara mutlak adalah nabi kita; Muhammad, maka hindarilah dari perselisihan pendapat”. [bait Syekh Ibrahim al Laqqani dalam Jawharah at Tauhid]. Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih selamat adalah kita katakan; “Muhammad adalah pimpinan seluruh anak Adam”, “manusia paling mulia”, “nabi yang paling mulia”, atau kata-kata semacam ini. DAN SAYA TIDAK MENGETAHUI SAMPAI DETIK INI BAHWA MUHAMMAD ADALAH MAKHLUK ALLAH YANG LEBIH UTAMA DARI SEGALA MALHLUK APAPUN SECARA MUTLAK.

 

PARAAAAH…. ente Utsaimin!!!!! Ente mengutip bait Syekh Ibrahim al Laqani, dan ente katakan bahwa pendapat masyhur di kalangan ulama adalah bahwa nabi Muhammad makhluk Allah paling mulia secara mutlak…. lalu ente membuat pendapat sendiri yang menurut ente LEBIH HATI-HATI dan LEBIH SELAMAT….. heh!! Yang ada justru ente “NYELENEH” karena menyalahi pendapat yang ente katakan sendiri sebagai pendapat masyhur…. gharib ente Utsaimin!!!! Man Syadza Syadza finnar………

 

Berikut ini BUKTI PARAH LAINNYA…. dari tulisan al Albani, bukunya berjudul Kitab at Tawassul; Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, isinya pada halaman ini untuk “membantah” IBNU UTSAIMIN tapi sekaligus untuk MENGINKARI NABI MUHAMMAD SEBAGAI MAKHLUK PALING MULIA, lihat scan ini:

 

 

Berikut terjemah  yang berwarna kuning, berkata al Albani [qabbahahullah]:

 

“Perkara ke tiga dan yang terakhir; bahwa SANG DOKTOR (Ibnu Utsaimin) menganggap bahwa nabi Muhammad adalah makhluk Allah paling mulia secara mutlak. Ini adalah keyakinan, –yang dia sendiri tidak menetapkan kebenarannya–, yang seharusnya ditetapkan dengan dalil yang nyata (qath’iyyutsubut), dan petunjuk yang jelas (qath’iyyuddilalah); artinya harus ada ayat al Qur’an yang menetapkan secara jelas keyakinan semacam ini, atau hadits nabi yang mutawatir menunjukan demikian. SEKARANG… MANA DALIL PASTI YANG MENGATAKAN BAHWA NABI MUHAMMAD SEBAGAI MAKHLUK ALLAH YANG PALING MULIA SECARA MUTLAK?

 

Inilah keyakinan BURUK kaum Wahabi, tidak ada dalam HATI mereka ruang untuk mencintai Rasulullah; yang ada kata ”cinta” di MULUT doang… benar; kalau di MULUT mereka dech paling BERKOAR mengatakan cinta kepada Rasulullah.

Na’udzu billah Min Fitnatihim…..

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i, Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi)

Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi’i, Mengatakan: “IBNU TAIMIYAH SESAT” (Menohok Wahabi)

Kitab Karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami berjudul Hasyiyah al-Idlah Ala Manasik al-Hajj Wa al-‘Umrah (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi)

Bab VI: Menjelaskan tentang ziarah ke makam tuan kita dan baginda kita Rasulullah (Shallallahu Alyhi Wa Sallam) dan segala permasalahan yang terkait dengannya

Terjemah:

“… Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibn Taimiyah terhadapkesunahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yangtelah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan olehImam al-‘Izz ibn Jama’ah, juga sebagaimana telah panjang lebar dijelaskantentang kesesatannya oleh Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya tersendiriuntuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam). PenghinaanIbn Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karenaterhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan, –Allah maha suci darisegala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. KepadaAllah; Ibn Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lainsebagainya dari keburukan-keburuan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telahdikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan diadengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu merekayang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yangsuci ini–“.

Imam Ahmad membolehkan mengalungkan Hirz/ta’widz/semacam jimat dari al-Qur’an, sementara orang2 Wahabi mengatakan syirik!

Imam Ahmad membolehkan mengalungkan Hirz/ta’widz/semacam jimat dari al-Qur’an, sementara orang2 Wahabi mengatakan syirik!!!!

Terjemah:

5494. Ayahku (Ahmad ibn Hanbal) telah berkata kepadaku (Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal): Telah berkata kepada kami Yahya ibn Zakariyya ibn Abi Za’idah: Telah memberitakan kepadaku Isma’il ibn Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi, ia (asy-Sya’bi) berkata: “NO PROBLEM / GA MASALAH / BOLEH TA’WIDZ (SEMACAM TULISAN) YANG BERISI AYAT-AYAT AL-QUR’AN DIKALUNGKAN DI LEHER SEORANG MANUSIA”.

5503. Telah berkata kepadaku ayahku (Ahmad ibn Hanbal) dan Abu Kuraib Muhammad ibn al-‘Ala’ serta Zamhuyah, bahwa mereka berkata: Telah berkata kepada kami Ibn Abi Za’idah dari Isma’il bahwa ayahku berkata dalam haditsnya: Telah memberitakan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi, bahwa ia (Asy-Sya’bi) berkata: NO PROBLEMMM / GA MASALAH TAWIDZ DARI (AYAT-AYAT) AL-QUR’AN YANG DIGANTUNGKAN DI LEHER SEORANG MANUSIA”.

Imam Ahmad ibn Hanbal yang dianggap oleh orang2 wahabi sebagai imam mereka (padahal sebenarnya BOHONG BESAR) membolehkan mangalungkan ta’widz, sementara mereka mengatakan bahwa yang melakukan itu telah menjadi musyrik. Artinya, walaupun dalam mulut mereka tidak mengatakan Imam Ahmad seorang yang musyrik, tapi secara implisit; sadar atau ga sadar mereka menuduh Imam Ahmad ibn Hanbal seorang yang musyrik. Na’udzu Billah!!!!!

aqidah wahaby bersumber pada aqidah sesat mujasimah hashiwiyah (pencetus fitnah di baghdad)

Fitnah Hanabilah Mujassimah Yang Menyebabkan Berlakunya Pertumpahan Darah Di Baghdad – Bahagian 1

https://salafytobat.files.wordpress.com/2011/03/fitnahal-hanabilahal-mujassimah.jpg?w=300

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh; Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; Selawat dan Salam ke atas Rasulullah SAW, Rahmat ke seluruh alam; Juga kepada ahli keluarga baginda dan para sahabat r.a. yang telah bertebaran di merata alam;
1.      Pertama sekali, penulis memohon maaf di atas kelewatan meng”update” penulisan di blog ini kerana kekangan tugasan dan masa. Namun begitu, penulis sentiasa berharap agar pihak pembaca mengambil manfaat daripada maklumat yang dikemukakan di blog ini sebagai satu wadah buat penulis menjalankan tugas “Nasihat” dan “Saling Pesan Memesan” di dalam agama. Wama tawfiqi illa billah.
2.      Sepertimana yang telah penulis bentangkan di dalam posting yang lepas bahawa fahaman al-Tajsim pernah melanda mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal (selepas kewafatan beliau) sehingga timbul istilah “al-Hanabilah al-Mujassimah” atau “Mujassimah al-Hanabilah.”
3.      Maka di dalam posting yang ringkas ini, penulis mengemukakan satu salah satu peristiwa yang terawal berlaku disebabkan fahaman Tajsim dan Tashbih yang meresap masuk ke dalam sebahagian kecil tokoh mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal r.a. sehingga menyebabkan berlakunya peperangan dan pembunuhan di Baghdad.
Ya Allah! Selamatkanlah umat ini daripada fitnah seperti ini.
4.      Al-Imam al-Allamah al-Muhaddith al-Nassabah Ibn al-Athir (wafat 630H) menukilkan di dalam kitab sejarahnya yang sangat terkenal “al-Kamil fi al-Tarikh” mengenai salah satu fitnah al-Hanabilah al-Mujassimah di Baghdad. [Lihat gambar yang disediakan]
Terjemahan:
Tahun Tiga Ratus dan Tujuh Belas (Hijrah)
Pada Menyatakan Beberapa Peristiwa
“Dan padanya satu fitnah yang besar telah berlaku di Baghdad di antara pengikut Abu Bakar al-Marwazi al-Hanbali dan orang-orang lain daripada masyarakat umum. Dan ramai daripada tentera telah masuk ke dalamnya (Baghdad).
Dan sebab bagi (fitnah) tersebut ialah bahawa sesungguhnya para pengikut al-Marwazi mentafsirkan firman Allah Ta’ala (Surah al-Isra’: 79):
“semoga Tuhanmu membangkit dan menempatkanmu pada hari akhirat di tempat yang terpuji.”
bahawa sesungguhnya Allah [Maha Suci] akan meletakkan Nabi SAW bersamanya di atas Arash.
Dan golongan yang lain pula berkata: Hanyasanya ia (tempat yang terpuji itu) adalah Shafaat.
Maka berlakulah fitnah dan mereka saling berbunuhan, sehingga yang terbunuh di kalangan mereka itu sangat ramai.”
5.      Lihatlah wahai pembaca budiman yang mencari kebenaran, fitnah Tajsim yang timbul pada tahun 317H di Baghdad dari salah seorang Hanabilah Mujassimah iaitu Abu Bakar al-Marwazi al-Hanbali telah menyebabkan pertumpahan darah yang banyak berlaku di kalangan umat Islam, hasil daripada tafsiran menyelewengnya terhadap nas al-Quran.
6.      Lihatlah juga bagaimana mereka mendakwa Allah SWT itu “duduk/bersemayam/bersila/tetap” di atas Arash dan Allah SWT akan meletakkan Nabi Muhammad SAW di sisinya di atas Arash di akhirat nanti. Bukankah ini yang dilaungkan oleh golongan Hashwiyyah dan Mujassimah pada zaman kita ini!!!!
Bukankah dakwaan seperti ini boleh menimbulkan kacau bilau dan pertumpahan darah di kalangan umat Islam???!!!! Insya-Allah, penulis akan menukilkan lebih banyak peristiwa seperti di atas.
Sesungguhnya Maha Suci Allah SWT daripada dakwaan Tajsim ini dan sesungguhnya Rasulullah SAW bebas daripada dakwaan palsu ini.
7.      Para musuh Islam sememangnya telah menyedari perkara-perkara yang telah menjadi faktor umat Islam saling bunuh-membunuh dan berpecah. Maka, kaedah yang sama telah digunakan untuk menjatuhkan kerajaan Islam Turki Uthmaniyyah. Fikir-fikirkanlah.
8.      Semoga Allah menunjukkan kita jalan yang lurus.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

http://al-ashairah.blogspot.com/

Lampiran:

Bukti (Scanned book: alwasiat and al fiqh al absath) Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”

I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)  Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Terjemah:

Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:

  1. Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
    Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
  2. Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.

Keterangan:
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.

http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/07/01/bukti-aqidah-imam-abu-hanifah-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-sesat-wahabi/scan-isyarah1/

II. Hujjah Imam Hanafi dalam Kitab Alwasiat) Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby

NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :


( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )


Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptakan semua makhluq (sebelum diciptakan tempat, arah, arsy, langit dan smua makhluq = zaman azali) dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”

Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi- Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan”Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam
أَنت الظَّا  ه  ر فَلَيس فَوقَك شىءٌ وأَنت ” :r 3. قال رسول الله
الْبا  ط  ن فَلَيس دونك شىءٌ ” (رواه مسلم وغيره)
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu”

(H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

III. Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

IV. Hujjah Imam Adzahaby  Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

Bukti (Scanned book: alwasiat and al fiqh al absath) Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”

I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)  Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Terjemah:

Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:

  1. Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
    Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
  2. Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.

Keterangan:
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.

http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/07/01/bukti-aqidah-imam-abu-hanifah-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-sesat-wahabi/scan-isyarah1/

II. Hujjah Imam Hanafi dalam Kitab Alwasiat) Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby

NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :


( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )


Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptakan semua makhluq (sebelum diciptakan tempat, arah, arsy, langit dan smua makhluq = zaman azali) dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”

Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi- Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan”Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam
أَنت الظَّا  ه  ر فَلَيس فَوقَك شىءٌ وأَنت ” :r 3. قال رسول الله
الْبا  ط  ن فَلَيس دونك شىءٌ ” (رواه مسلم وغيره)
Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu”

(H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

III. Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

IV. Hujjah Imam Adzahaby  Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

Buku Baru “Membersihkan Nama Ibnu ‘Arabi Studi Komprehensif Tasawuf Rasulullah”

Buku Baru, Penting Untuk Anda Miliki, Lebih Dari 600 hlm; “Membersihkan Nama Ibnu ‘Arabi Studi Komprehensif Tasawuf Rasulullah”

Judul          : Membersihkan Nama Ibnu ‘Arabi Studi Komprehensif Tasawuf Rasulullah

Penulis      : Kholil Abu Fateh

Ukuran      : 20 x 14 cm

Tebal         : 604 halaman (selain halaman Muqadimah dan Daftar Isi)

Harga        : 75. 000 (Tujuh Puluh Lima Ribu) + Ongkos Kirim

Alamat      : Bagi yang berminat bisa didapat secara online, silahkan hubungi ABOU FATEH di kotak FB di alamat ini http://www.facebook.com/profile.php?id=1789501505, atau kirim email ke alamat: aboufaateh@yahoo.com

**********************************************************

Membersihkan Nama Ibnu ‘Arabi

Studi Komprehensif Tasawuf Rasulullah

Daftar Isi­_,

Pengantar Penulis_,

Bab I               Definisi Tasawuf, Hulûl, Wahdah Al-Wujûd Dan Cakupannya,_

a.       Pengertian Tasawuf, Sejarah Penamaan dan Ajaran-ajarannya_,

b.       Ajaran Tasawuf di Masa al-Khulafâ’ ar-Râsyidîn_,

c.       Landasan Tasawuf; Ilmu dan Amal_,

d.       Di Antara Pokok-Pokok Ajaran Kaum Sufi_,

e.       Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka_,

f.        Definisi Yang Salah Tentang Syari’at Dan Hakekat_,

g.       Kisah Yang Benar Tentang Nabi Musa Dan Nabi Khadlir_,

h.       Kritik Terhadap Pembagian Tasawuf Kepada Akhlaqi Dan Falsafi_,

i.         Fenomena Syathahât; Antara Wali Shâhî Dan Wali Jadzab_,

j.         Pendapat Mayoritas Ulama Sufi Tentang al-Hallaj_,104

k.       Tinjauan Historis Dan Definisi Akidah Hulûl, Dan Wahdah al-Wujûd_,

l.         Dasar Akidah Kaum Sufi_,

m.     Bantahan Terhadap Kelompok Anti Tasawuf_,

Bab II             Biografi Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi,­_

a.       Nama dan Kelahiran Ibn ‘Arabi_,

b.       Keluarga Ibn ‘Arabi_,

c.       Perjalanan Ilmiah Ibn ‘Arabi_,

d.       Guru-guru Ibn ‘Arabi_,

e.       Tahun Wafat Ibn ‘Arabi_,

f.        Karya-karya Ibn ‘Arabi_,

Bab III            Kajian Terhadap Karya-Karya Ibn ‘Arabi Tentang Akidah Tanzîh,_

a.       al-Futûhât al-Makkiyah_,

1. Sikap Ulama Terhadap Ibn ‘Arabi Dan al-Futûhât al-Makkiyyah_,

2. Kajian Terhadap al-Futûhât al-Makkiyyah_,

3. Ungkapan Tanzîh Ibn ‘Arabi Dalam al-Futûhât al-Makkiyah_,

b.       At-Tanazzulât al-Lailiyyah Fî al-Ahkâm al-Ilâhiyyah_,

c.       ‘Aqîdah Ahl al-Islâm (Aqîdah Fî at-Tauhîd) _,

d.       Al-Anwâr Fîmâ Yumnah Shâhib al-Khalwah Min Asrâr,_

e.       Al-Khalwah al-Muthlaqah_,

f.        Kunhu Mâ Lâ Budd Lî al-Murîd Minhu_,

g.       Al-Mauizhah al-Hasanah_,

h.       Isthilahât ash-Shûfiyyah_,

i.         Al-‘Ujâlah_,

j.         Al-Hikam al-Hâtimiyyah_,

k.       Risalah Ibn ‘Arabi Kepada Imam al-Fakhr ar-Razi_,

l.         Wasiat Ibn ‘Arabi Kepada Sebagian Anaknya,_

m.     Nasab al-Khirqah_,

Bab IV           Ibn ‘Arabi Dan Akidah Ahlussunnah,_

a.       Allah Ada Tanpa Tempat_,

b.       Ahlussunnah Dalam Mensikapi Teks-Teks Mutasyâbihât_,

1.       Definisi Muhkamât dan Mutasyâbihât_,

2.       Metode Ulama Ahlussunnah Dalam Memahami Teks-teks  Mutasyâbihât_,

3.       Empat    Faedah    Penting    Sebagai    Bantahan    Atas    Orang Yang   Mengingkari  Takwil_,

c.       Tafsir sebagian ayat yang seringkali dijadikan rujukan oleh pemeluk akidah Hulûl, Dan Wahdah al-Wujûd_,

d.       Langit Adalah Kiblat Doa_,

Bab V             Distorsi Terhadap Sebagian Wali Allah,_

a.       Kedustaan atas Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani_,

b.       Kedustaan atas Syaikh Abu Yazid al-Busthami_,

c.       Kedustaan atas Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili_,

d.       Kedustaan atas Imam al-Ghazali_,

e.       Kedustaan atas Syaikh Ahmad at-Tijani al-Maghribi_,

Bab VI            Representasi Tasawuf Sunni Pada Angkatan Pertama,_

a.       Uwais al-Qarani_,

b.       al-Hasan al-Bashri_,

c.       ‘Ali Zainal ‘Abidin_,

d.       Ibrahim ibn Ad-ham_,

e.       Dawud ath-Tha’i_,

f.        Fudlail ibn ‘Iyadl_,

g.       Ma’ruf al-Karkhi_,

h.       Sirri as-Saqthi_,

i.         Bisyr al-Hafi_,

j.         Hatim al-Asham_,

k.       Syaqiq al-Balkhi_,

l.         Abu Turab an-Nakhsyabi_,

m.      Dzunnun al-Mishri_,

n.       al-Harits al-Muhasibi_,

o.       al-Junaid al-Baghdadi_,

Bab VII          Penutup_,

Daftar Pustaka_,

***************************************************

Pengantar Penulis

Bismillâh ar-Rahman ar-Rahîm.

al-Hamdulillâh.

ash-Shalât Wa as-Salâm ‘Alâ Rasûlillâh.

Telah banyak karya para ulama terdahulu yang mereka tulis dalam menjelaskan kebebasan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan ittihâd. Di antaranya, Syaikh ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani yang telah menulis berbagai karya fenomenal, seperti al-Yawâqît Wa al-Jawâhir, al-Kibrît al-Ahmar dan lainnya, al-Hâfizhas-Suyuthi menulis sebuah karya dengan judul Tanbîh al-Ghabiyy Fî Tabri’ah Ibn ‘Arabi, as-Sayyid Musthafa al-Bakri dengan karyanya; as-Suyûf al-Hidâd Fî A’nâq Ahl az-Zandaqah Wa al-Ilhâd, syaikh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi dengan karyanya; ar-Radd al-Matîn ‘Alâ Muntaqish al-‘Ârif Muhyiddîn, syaikh al-Makhzumi menulis kitab dengan judul Kasyf al-Asrâr, kemudian Ibn Hajar al-Haitami di bagian akhir dalam kitabnya; al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, serta masih banyak kitab lainnya dalam bahasan serupa yang telah ditulis para ulama. Ditambah lagi dengan banyak berbagai pujian dari para ulama terkemuka terhadap Ibn ‘Arabi. Ini semua artinya bahwa Ibn ‘Arabi adalah seorang ulama besar yang benar-benar “lurus”, tidak seperti pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa beliau sebagai “bapak” akidah hulûl dan ittihâd.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini penulis sajikan bukan untuk menambah terlebih memperluas bahasan para ulama tersebut di atas. Sebaliknya kandungan buku ini tidak lain hanya kutipan-kutipan dari sekian kitab para ulama yang telah membebaskan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan ittihâd, termasuk dari berbagai ungkapan Ibn ‘Arabi sendiri. Kutipan-kutipan inipun tak ubah layaknya setetes air dari lautan yang seakan tidak bertepi, ia tidak menawarkan janji untuk dapat menyirami rasa dahaga. Namun buku yang penulis sodorkan ini setidaknya memberikan kontribusi dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari dua akidah tersebut. Paling tidak buku ini merupakan edisi bahasa Indonesia dari sekian banyak literatur berbahasa Arab dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari akidah hulûl dan wahdah al-wujûd. Inilah niat awal dari penulis ketika hendak membukukan karya ini.

Ada beberapa alasan yang mendorong penulis untuk membukukan karya ini:

Pertama; Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi adalah sosok yang tidak dapat terlepas dari setiap kajian tasawuf. Hampir setiap komunitas kajian tasawuf, dari kajian-kajian tasawuf lingkup terkecil hingga seminar-seminar yang diadakan di berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta (UIN/PTIS) akan menyinggung Ibn ‘Arabi dengan karya-karyanya. Hanya saja yang menjadi keprihatinan penulis bahwa hampir setiap pembicaraan selalu berangkat dari kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi adalah pembawa akidah hulûl dan ittihâd. Sekian banyak literatur yang telah ditulis para ulama dalam membebaskan Ibn ‘Arabi dari dua akidah tersebut selalu diabaikan, bahkan oleh sebagian mereka sama sekali tidak dikenal. Kondisi seperti ini sama sekali tidak memberikan kajian yang berimbang, bahkan sangat tidak proporsional dan sangat subjektif.

Ke dua; Beberapa orang yang karena berangkat dari keyakinan bahwa Ibn ‘Arabi pembawa akidahhulûl dan ittihâd, kesimpulan mereka selanjutnya menjadi lebih memprihatinkan. Adanya faham pembagian tasawuf kepada tasawuf Akhlaqi (juga dikenal dengan tasawuf Sunni) dan tasawuf Filosofis adalah pendapat yang lahir dari kesimpulan mereka tersebut. Akibatnya timbul semacam justifikasi yang mengatakan bahwa tasawuf aliran filosofis adalah bagian dari Islam. Menurut mereka tasawuf filosofis ini tidak ubahnya seperti tasawuf Akhlaqi, benar-benar sebagai bagian dari ajaran Islam. Tentu, kemudian kesimpulan puncak mereka selanjutnya adalah bahwa akidah hulûl dan ittihâd adalah bagian dari akidah Islam. Bagi penulis, pendapat semacam ini sangat merisihkan, karenanya tidak boleh didiamkan.

Ke tiga; Ada sebagian faham menyesatkan berkembang di sebagian masyarakat kita menyebutkan adanya dikotomi antara syari’at dan hakekat, atau menurut istilah lain perbedaan antara zhahir dan batin. Kesimpulan semacam ini sedikit banyak memberikan pengaruh kepada prilaku amalan ibadah orang-orang Islam, terutama terhadap sebagian kaum awam. Faham dikotomis ini pula, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan terbentuknya beberapa firqah yang mengaku sebagai bagian dari Islam tapi tidak peduli dengan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Gejala terakhir ini cukup berkembang, tidak hanya pada lapisan masyarakat bawah tapi juga di kalangan orang-orang berpendidikan, bahkan tidak sedikit dari para akademis. Dengan alasan bahwa tujuan pengamalan syari’at hanya untuk memperbaiki hati atau wilayah batin, maka hati itu sendiri apa bila sudah baik maka praktek-praktek syari’at  yang ada pada wilayah zhahir menjadi tidak penting dan tidak perlu diamalkan.

Ke empat; Kritik teks dan penelusuran-penelusuran literal yang paripurna terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi dapat dikatakan sangat minim, terutama dalam bahasa Indonesia. Referensi mereka yang menetapkan konsep hulûl dan ittihâd sebagai keyakinan Ibn ‘Arabi selalu saja merujuk kapada al-Futûhât al-Makkiyyah atau Fushûsh al-Hikam. Mereka mengabaikan adanya ungkapan-ungkapantanzih (kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya) yang sama sekali berseberangan dengan akidahhulûl dan ittihâd dalam kedua karya Ibn ‘Arabi tersebut, juga dalam karya-karya beliau lainnya. Kemungkinan adanya reduksi atau sisipan-sisipan tangan yang tidak bertanggung jawab dalam dua karya Ibn ‘Arabi tersebut sama sekali tidak pernah diangkat di meja-meja diskusi. Keadaan semacam ini tentu saja kurang sehat dan tidak objektif, setidaknya dalam tinjauan penulis, karena kondisi semacam ini tidak akan pernah menemukan “kata kunci” untuk meredam kontroversi menyangkut Ibn ‘Arabi dengan akidah hulûl dan ittihâd. Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba menawarkan kata kunci tersebut.

Ke lima; Gejala perkembangan tasawuf pada akhir-akhir ini hampir menyentuh semua level. Hampir semua masyarakat kita mengenal bahkan tidak sedikit yang secara praktis masuk dalam wilayah tasawuf. Tentu saja di sini ada nilai-nilai positif yang mereka dapatkan. Namun kekhawatiran yang kemudian muncul adalah saat tasawuf tersebut disentuh oleh lapisan masyarakat yang benar-benar tidak mengetahui ilmu agama. Seseorang yang tidak dapat membedakan dalam masalah thahârah (bersuci) antara Istinjâ’, Istijmâr, Istibrâ’, Istirkhâ, atau tidak mengetahui tatacara wudlu’ yang benar, air yang harus dipergunakan, hal-hal yang membatalkan wudlu, atau yang terkait dengan masalah shalat, serta praktek ibadah lainnya, tentu saja bila orang semacam ini masuk dalam wilayah tasawuf tidak akan mandapatkan banyak manfa’at. Gejala inilah yang belakangan terjadi di sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit dari mereka yang hanya ikut-ikutan ingin dibaiat untuk dzikir dalam sebuah tarekat sementara ia belum bisa membereskan tatacara bersucinya. Lebih parah lagi yang membaiat (mursyid) orang-orang awam tersebut juga tidak memiliki ilmu agama yang cukup.

Berangkat dari beberapa alasan di atas maka konsep mendasar dari penulisan buku ini adalah untuk mengungkapkan tanzîh dalam karya-karya Ibn ‘Arabi. Bahwa akidah tanzîh ini adalah keyakinan mayoritas umat Islam dari masa ke masa, dan dari berbagai generasi ke genarasi. Hampir semua komunitas dari berbagai kalangan dari orang-orang Islam meyakini akidah tanzîh ini. Tidak terkecuali komunitas sufi yang notabene orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, sudah pasti akidah tanzîh ini merupakan keyakinan mendasar mereka. Untuk tujuan ini, pada bagian akhir dari tulisan ini sengaja penulis bahas konsep tanzîh Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menjadi akidah pokok kaum sufi.

Walaupun masalah tanzîh ini cukup luas, karena sebenarnya menyangkut pembahasan sifat-sifat Allah dalam berbagai teks al-Qur’an dan Hadits, namun dengan tanpa mengabaikan urgensi pembahasan itu semua, penjelasan “Allah ada tanpa tempat” adalah yang sangat pokok dan paling urgen untuk penulis diungkap di sini. Kecenderungan timbulnya akidah-akidah tasybîh (akidah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) belakangan ini semakin meluas di sebagian masyarakat kita. Karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu agama pokok, terutama masalah akidah, disadari atau tidak disadari ada beberapa orang yang telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya. Imam al-Qâdlî ‘Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islam-nya (menjadi kafir), sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîhyang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan akidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang.

Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H, lihat biografinya dalam ad-Durar al-Kâminah, karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, j. 4, h. 198) dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî, h. 588, mengutip perkataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagai berikut:

سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ: يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء (رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ)

“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588)

Dalam kajian terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi, penulis membatasi diri dalam bahasan ungkapan-ungkapan akidah tanzîh yang beliau tulis saja. Penulis sengaja tidak masuk dalam wilayah yang lebih luas. Pembahasan masalah teologi dalam berbagai aspeknya, termasuk istilah-istilah kaum sufi (Musthalahât ash-Shûfiyyah) dan takwil-takwil dari perkataan mereka, sama sekali tidak penulis singgung. Namun demikian, khusus tentang Musthalahât ash-Shûfiyyah penulis hanya mengungkap secukupnya, termasuk beberapa di antaranya yang ditulis Ibn ‘Arabi sendiri. Masalah Musthalahât ash-Shûfiyyah, karena di samping membutuhkan pembahasan yang cukup luas, juga sebenarnya telah diungkap dalam banyak literatur yang sudah matang untuk kita baca, hanya memang umumnya masih dalam bentuk bahasa Arab. Seperti Musthalahât ash-Shûfiyyah dalam kitab al-Luma’ karya Abu Nashr as-Sarraj, ‘Awârif al-Ma’ârif karya al-Surâwardi, ar-Risâlah karya al-Qusyairi dan lain-lain. Khusus tentang takwil perkatan-perkataan Ibn ‘Arabi lihat al-Yawâqît Wa al-Jawâhir karya Imam ‘Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dan beberapa kitab lainnya. Kemudian dalam pengutipan pernyataan-pernyataan para ulama, ada beberapa di antaranya sengaja penulis kutip teks aslinya dalam bahasa Arab dan sekaligus terjemahannya. Urgensitasnya adalah untuk memperkuat kebenaran tentang masalah terkait, sekaligus untuk menyodorkannya kepada para pembaca agar dapat menyikapi teks-teks tersebut secara proporsional.

Dan pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis mengutip biografi beberapa sufi terkemuka angkatan pertama dengan pelajaran-pelajaran penting dari berbagai ungkapan mereka, terutama yang terkait dengan masalah-masalah pokok akidah. Bagian ini cukup penting karena ajaran tasawuf yang berkembang di kemudian hari adalah berasal dari jalur mereka. Dengan demikian kita menjadi benar-benar mengetahui “representasi praktis” tentang pengamalan ajaran-ajaran tasawuf dari para pemuka tasawuf itu sendiri. Selain dari pada itu, penulis menyakini sepenuhnya tantang keberadaan “berkah”, bahwa jalan untuk meraih berkah-berkah tersebut sangat banyak, salah satunya dengan mengungkap dan mempelajari pragmentasi kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang-orang saleh adalah sebagai “sebab” bagi kita, bahwa “lantaran mereka” maka kita orang-orang awam diberi rizki, diberi hujan, dan diberi berbagai karunia lainnya oleh Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

بِهِمْ يُسْقَوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُوْنَ (رَوَاهُ الطّبَرَانِيّ)

“Dengan sebab mereka (para wali Allah), maka orang-orang awam diberi hujan (oleh Allah), dan dengan sebab mereka orang-orang awam tersebut diberi kemenangan”. (HR. ath-Thabarani).

Para ulama kita berkata: “Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât…”, artinya; “Dengan sebab menyebut orang-orang saleh maka rahmat-rahmat Allah diharapkan menjadi turun”. Imam Ahmad ibn Hanbal ketika ditanya tentang seorang sufi terkemuka bernama Shafwan ibn Sulaim, berkata: “Dia adalah orang saleh yang dengan disebut namanya maka hujan akan turun”.

Akhirnya, dengan banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, buku ini semoga memiliki kelebihan dan dapat memberikan siraman serta pencerahan bagi orang-orang yang selalu memegang teguh akidah tanzîh; akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan selalu mengharap ridla Allah serta perlindungan-Nya. Amin

Wa Billâh at-Taufîq.

Penulis,

H. Kholil Abu Fateh, MA

************************************************

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Karîm.

‘Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlusuunah Wal Jama’ah, 2002, Pustaka Tarbiyah, Jakarta

Ashbahani, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dar al-Fikr, Bairut

‘Asqalani, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fathal-Bârî Bi Syarh Shahîh al-Bukhâritahqîq Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1998 M

_________,  ad-Durar al-Kâminah Fî al-Ayân al-Mi’ah ats-Tsâminah, Haidarabad, Majlis Da’irah al-Ma’arif al-’Utsmaniyyah, cet. 2, 1972.

_________, al-Ishâbah Fî Tamyîz ash-Shahâbahtahqîq ‘Ali Muhammad Bujawi, Bairut, Dar al-Jail, cet. 1, 1992 M

_________, Tahdzîb at-Tahdzîb, Bairut, Dar al-Fikr, 1984 M.

_________, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.

Asy’ari, al, ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari asy-Syafi’i (w 324 H), Risâlah Istihsân al-Khaudl Fî ‘Ilm al-Kalâm, Dar al-Masyari’, cet. 1, 1415 H-1995 M, Bairut

Asy’ari, Hasyim, KH, ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah, Tebuireng, Jombang.

Azdi, al, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq as-Sijistani (w 275 H), Sunan Abî DâwûdtahqîqShidqi Muhammad Jamil, Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H-1994 M.

Baghdadi, al, Abu Manshur ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ( W 429 H), al-Farq Bain al-Firaq, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. Tth.

_________, Kitâb Ushûl ad-Dîn, cet. 3, 1401-1981, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Baghdadi, al, Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali, al-Khathib, Târikh Baghdâd, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th.

Baijuri, al, Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar at-Tauhîd, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Indonesia

Baihaqi, al, Abu Bakr ibn al-Husain ibn ‘Ali (w 458 H), al-Asmâ’ Wa ash-Shifâttahqîq ‘Abdullah ibn ‘Amir, 1423-2002, Dar al-Hadits, Cairo.

_________, Syu’ab al-Imân, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, as-Sunan al-Kubrâ, Dar al-Ma’rifah, Bairut. t. th.

Bantani, al, ‘Umar ibn Nawawi al-Jawi, Kâsyifah as-Sajâ Syarh Safinah an-Najâ, Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia, th.

_________, Salâlim al-Fudalâ Syarh Manzhumah Kifâyah al-Atqiyâ’ Ilâ Thariq al-Auliyâ’, Syarikat al-Ma’arif Bandung, t. th.

Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syatha al-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ Wa Minhâj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’. Syarikat Ma’arif, Bandung, t. th.

_________, Hâsyiyah I’ânah ath-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah ad-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dar al-Fikr, Bairut.

Bayyadli, al, Kamaluddin Ahmad al-Hanafi, Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâmtahqîq Yusuf ‘Abd al-Razzaq (Dosen Usuluddin al-Azhar Cairo), cet. 1, 1368-1949, Syarikah Maktabah Musthafa al-Halabi Wa Auladuh, Cairo.

Bukhari, al, Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Bairut, Dar Ibn Katsir al-Yamamah, 1987 M

Dzahabi, al, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman, Abu ‘Abdillah, Syamsuddin, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, tahqîq Syau’ib al-Arna’uth dan Muhammad Nu’im al-Arqusysyi, Bairut, Mu’assasah al-Risalah, 1413 H.

_________, Mizân al-I’tidâl Fi Naqd al-Rijâltahqîq Muhammad Mu’awwid dan ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1995 M

Dimyathi, al, Abu Bakr as-Sayyid Bakri ibn as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Kifâyah al-Atqiyâ’ Wa Minhâj al-Ashfiyâ’ Syarh Hidâyah al-Adzkiyâ’, Bungkul Indah, Surabaya, t. th.

Ghazali, al, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ath-Thusi (w 505 H), Kitâb al-Arba’in Fi Ushul al-Dîn, cet. 1408-1988, Dar al-Jail, Bairut

_________, al-Maqshad al-Asnâ Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ, t. th, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cairo

_________, Minhâj al-Âbidîn, t. th. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia

Ghumari, al, Ahmad ibn Muhammad ash-Shiddiq al-Hasani al-Maghribi, Abu al-Faidl, al-Mughîr ‘Alâ al-Ahâdîts al-Maudlû’ah Fi al-Jâmi’ ash-Shaghîr, cet. 1, t. th. Dar al-‘Ahd al-Jadid

Hanbal, Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Dar al-Fikr, Bairut

Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah, t. th. Dar al-Fikr

Hakim, al, al-Mustadrak ‘Alâ al-Shahîhain, Bairut, Dar al-Ma’rifah, t. th.

Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât as-Sunniyah Fi Kasyf Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dar al-Masyari’, cet. IV, 1419 H-1998 M.

_________, as-Syarh al-Qawîm Syarh ash-Shirât al-Mustaqîm, cet. 3, 1421-2000, Dar al-Masyari’, Bairut.

_________, ad-Dalîl al-Qawîm ‘Alâ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Thubi’ ‘Ala Nafaqat Ahl al-Khair, cet. 2, 1397 H. Bairut

_________, ad-Durrah al-Bahiyyah Fî Hall Alfâzh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 2, 1419-1999, Dar al-Masyari’, Bairut.

_________, Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, cet. 4, 1423-2002, Dar al-Masyari’, Bairut.

_________, Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Fî Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, cet. 3, 1417-1997, Dar al-Masyari’, Bairut

_________, al-Mathâlib al-Wafiyyah Bi Syarh al-’Aqîdah an-Nasafiyyah, cet. 2, 1418-1998, Dar al-Masyari’, Bairut

_________, at-Tahdzîr asy-Syar’iyy al-Wâjib, cet. 1, 1422-2001, Dar al-Masyari’, Bairut.

Haddad, al, ‘Abdullah ibn ‘Alawi ibn Muhammad, Risâlah al-Mu’âwanah Wa al-Muzhâharah Wa al-Ma’âzarah, Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, Indonesia.

Haramain, al, Imam, Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik al-Juwaini, al-‘Aqîdah an-Nizhâmiyyahta’lîq Muhammad Zahid al-Kautsari, Math’ba’ah al-Anwar, 1367 H-1948 M.

Hushni, al, Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi ( w 829 H), Kifâyat al-Akhyâr Fî Hall Ghayât al-Ikhtishâr, Dar al-Fikr, Bairut. t. th.

_________, Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasab Dzâlik Ilâ al-Imâm al-Jalîl Ahmad, al-Maktabah al-Azhariyyah Li at-Turats, t. th.

Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hatimi ath-Tha’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq Mahmud Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhuts Wa ad-Dirasat, Dar al-Fikr, Bairut

_________, ‘Aqîdah Fî at-Tauhîd (‘Aqîdah Ahl al-Islâm), ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Mesir

_________, ‘Aqîdah Ahl al-Islâm, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, al-Anwâr Fîmâ Yumnah Shahîb al-Khalwah Min Asrâr; Cairo; Maktabah ‘Alam al-Fikr, cet I, 1407 H-1986 M

_________,  al-Khalwah al-Muthlaqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, Min Rasâ’il Sayyidî Muhyiddin Ibn ‘Arabi; Washiyyatuh Allati Katabahâ Ilâ Ba’dl Aulâdih, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir.

_________, al-Mauizhah al-Hasanah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, Ishthilâhât ash-Shûfiyyah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, al-‘Ujâlahta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, al-Hikam al-Hâtimiyyah al-Musammâ Bi al-Kalimat al-Hikamiyyah Wa al-Mushthalâhât al-Jâriyah ‘Alâ Alsinah ash-Shûfiyyah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, at-Tanazzulât al-Lailiyyah Fi al-Ahkâm al-Ilâhiyyah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, Min Rasâ’ail asy-Syaikh Muhyiddin Li al-Imâm al-Fakhr ar-Razi, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, Kunhu Mâ Lâ Budd Li al-Murîd Minhu, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

_________, Nasab al-Khirqahta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmud, cet. ‘Alam al-Fikr, Cairo Mesir

Ibn ‘Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Bairut.

Ibn Balabban, Muhammad ibn Badruddin ibn Balabban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H), al-Ihsân Bi Tartîb Shahîh Ibn Hibban, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut

_________, Mukhtashar al-Ifâdât Fi Rub’i al-‘Ibâdât Wa al-Âdâb Wa Ziyâdât. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut

Ibn Hibban, ats-Tsiqât, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, Bairut

Ibn al-Jauzi, Abu al-Faraj ‘Abd ar-Rahman ibn al-Jauzi (w 597 H), Talbîs Iblîstahqîq Aiman Shalih Sya’ban, Cairo: Dar al-Hadits, 1424 H-2003 M

_________, Daf’u Syubah at-Tasybîh Bi Akaff at-TanzîhTahqîq Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Muraja’ah DR. Ahmad Hijazi as-Saqa, Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1412-1991

_________, Shafwah ash-Shafwah, Dar al-Fikr, Bairut

_________, Shayd al-Khâthirtahqîq Usamah as-Sayyid, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah. Cet. 4, Bairut

Ibn Jama’ah, Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’adullah ibn Jama’ah dikenal dengan Badruddin ibn Jama’ah (w 727 H), Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîltahqîq Wahbi Sulaiman Ghawaji, Dar al-Salam, 1410 H-1990 M, Cairo

Ibn Katsir, Isma’il ibn ‘Umar, Abu al-Fida, al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, Bairut, Maktabah al-Ma’arif, t. th.

Ibn Khallikan, Wafayât al-A’yân, Dar al-Tsaqafah, Bairut

Ibn al-‘Imad, Abu al-Falah ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât adz-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihya al-Turats al-‘Arabi, Bairut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t. th.

Ibn as-Subki, Abu Nashr Tajuddin ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi (w 771 H), Thabaqât asy-Syafi’iyyah al-Kubrâtahqîq ‘Abd al-Fattah Muhammad al-Huluw dan Mahmud Muhammad ath-Thanji, t. th, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah.

‘Iyadl, Abu al-Fadl ‘Iyyâdl ibn Musa ibn ‘Iyadl al-Yahshubi, asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ, tahqîqKamal Basyuni Zaghlul al-Mishri, Isyrâf Maktab al-Buhuts Wa al-Dirasat, cet. 1421-2000, Dar al-Fikr, Bairut.

Isfirayini, al, Abu al-Mudzaffar (w 471 H), at-Tabshir Fî ad-Dîn Fî Tamyîz al-Firqah al-Nâjiah Min al-Firaq al-Hâlikinta’lîq Muhammad Zâhid al-Kautsari, Mathba’ah al-Anwar, cet. 1, th.1359 H, Cairo.

Jailani-al, ‘Abd al-Qadir ibn Musa ibn ‘Abdullah, Abu Shalih al-Jailani, al-Gunyah, Dar al-Fikr, Bairut

Jauziyyah, al, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Hâdi al-Arwâh iIlâ Bilâd al-Afrah, Ramadi Li an-Nasyr, Bairut.

Kalabadzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), at-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuftahqîq Mahmud Amin an-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyat al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbabi al-Musawi, Cairo

Kautsari, al, Muhammad Zahid ibn al-Hasan al-Kautsari, Takmilah ar-Radd ‘Alâ Nuniyyah Ibn al-Qayyim, Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.

_________, Maqâlât al-Kautsari, Dar al-Ahnaf , cet. 1, 1414 H-1993 M, Riyadl.

Khalifah, Haji, Musthafa ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dar al-Fikr, Bairut.

Maqarri-al, Ahmad al-Maghrirbi al-Maliki al-Asy’ari, Idlâ’ah al-Dujunnah Fî I’tiqâd Ahl al-Sunnah, Dar al-Fikr, Bairut.

Maturidi, al, Abu Manshur, Kitâb al-Tauhîd, Dar al-Masyriq, Bairut

Malibari, al, Zainuddin Ibn ‘Ali, Nadzam Hidâyah al-Adzkiyâ’, Syirkah Bukul Indah, Surabaya, t. th.

Makki, al, Tajuddin Muhammad Ibn Hibatillah al-Hamawi, Muntakhab Hadâ’iq al-Fushûl Wa Jawâhir al-Ushûl Fi ‘Ilm al-Kalâm ‘Alâ Ushûl Abi al-Hasan al-Asy’ari, cet, 1, 1416-1996, Dar al-Masyari’, Bairut 

Mizzi, al, Tahdzîb al-Kamâl Fî Asmâ’ ar-Rijâl, Mu’assasah al-Risalah, Bairut.

Mutawalli, al, al-Ghunyah Fî Ushûl ad-Dîn, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, Bairut.

Nabhani, al, Yusuf Isma’il, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dar al-Fikr, Bairut

Naisaburi, al, Muslim ibn al-Hajjaj, al-Qusyairi (w 261 H), Shahîh Muslimtahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Bairut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1404 H.

Nawawi, al, Yahya ibn Syaraf, Muhyiddin, Abu Zakariya, al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim Ibn al-Hajjaj, Cairo, al-Maktab al-Tsaqafi, 2001 H.

Qari, al-, ‘Ali Mullâ al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut

Qadli, al, Samir, Mursyid al-Hâ’ir Fi Hall Alfâzh Risâlah Ibn ‘Asâkir, cet. I, 1414 H-1994 M, Dar al-Masyari’, Bairut

Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazan an-Naisaburi, ar-Risâlah al-QusyairiyyahtahqîqMa’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hamid Balthahji, Dar al-Khair.

Qurthubi, al, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, Dar al-Fikr, Bairut

Rifa’i, al, Abu al-’Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthan ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad,cet. 1, 1425-2004, Dar al-Masyari’, Bairut.

Razi, al, Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtîh al-Ghaib, Dar al-Fikr, Bairut

Sarraj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah ats-Tsaqafah al-Diniyyah, Cairo Mesir

Syafi’i, al, Muhammad ibn Idris ibn Syafi’ (w 204 H), al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Maktabah al-Tijariyyah Mushthafa Ahmad al-Baz, Mekah, t. th.

Sya’rani, al, ‘Abd al-Wahhab, ath-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amam Bab al-Ahdlar, Cairo Mesir.

_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm asy-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.

_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dar al-Fikr, t. th.

_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo

Subki, al, Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki, as-Saif ash-Shaqîl Fî ar-Radd ‘Ala ibn Zafîl, Mathba’ah al-Sa’adah, Mesir.

Suhrawardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut

Syakkur, al, ‘Abd, Senori, KH, al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Bayân ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamâ’ah

Syahrastani, al, Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, al-Milal Wa an-Nihalta’lîq Shidqi Jamil al-‘Athar, cet. 2, 1422-2002, Dar al-Fikr, Bairut.

Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat ash-ShûfiyyahtahqîqMusthafa ‘Abd al-Qadir ‘Atha, Mansyurat ‘Ali Baidlun, cet. 2, 1424-2003, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

Suyuthi, al, Jalaluddin ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dar al-Jail, Bairut.

Thabari, al, Târîkh al-Umam Wa al-Mulûk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.

_________, Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ay al-Qur’ân, Dar al-Fikr, Bairut

Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar ats-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dar al-Masyari’, 1423 H, 2002 M.

_________, at-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl at-Tashawwuf, Bairut, Dar al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M

Thabarani, al, Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub, Abu Sulaiman (w 360 H), al-Mu’jam ash-ShagîrtahqîqYusuf Kamal al-Hut, Bairut, Muassasah al-Kutuh al-Tsaqafiyyah, 1406 H-1986 M.

_________, al-Mu’jam al-Awsath, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.

_________, al-Mu’jamal-Kabîr, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.

Tirmidzi, al, Muhammad ibn Isa ibn Surah as-Sulami, Abu Isa, Sunan at-Tirmidzi, Bairut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th.

Zabidi, al, Muhammad Murtadla al-Husaini, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh Ihyâ’ Ulum al-Dîn,Bairut, Dar at-Turats al-‘Arabi