Jakarta – Mengikuti sepak terjang Ibrahim Datuk Tan Malaka seperti membuka sejarah merahnya Minangkabau. Meski terkenal sebagai negeri yang kuat menganut Islam, siapa nyana justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme yang bercokol kuat.Hal itu diungkapkan dosen FISIP UI Zulhasril Nasir dalam bukunya ‘Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau’ yang dicetak pertama kali Juli 2007 oleh penerbit Ombak, Yogyakarta.Menurut Zulhasril, justru agama Islam-lah yang menjadi basis persemaian ideologi kiri di Minangkabau. Kebanyakan tokoh pergerakan kemerdekaan pernah sekolah di sekolah-sekolah agama.”Munculnya gerakan kiri radikal di Minangkabau berpangkal di sekolah menengah agama di Padangpanjang (Sumatera Thawalib dan Diniyah), Padang (Adabiyah dan Islamic College) dan Bukittinggi (Sumatera Thawalib Parabek),” ujar Zulhasril di halaman 63-64 bukunya.’Koalisi’ Islam dan sosialisme/komunisme itu disokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Di sinilah peran Tan Malaka sebagai seorang tokoh kiri yang menghubungkan kedua arus itu.Faktor lain adalah sistem pendidikan di Minangkabau merupakan yang termaju di Hindia Belanda setelah pulau Jawa. Pada tahun 1920-an itu, telah muncul puluhan intelektual Minangkabau yang bukan hanya hidup di kampung, tapi menyebar di seluruh Sumatera, Jawa, Belanda, Malaysia dan Singapura. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja.Zulhasril kemudian membagi puluhan aktivis pergerakan kemerdekaan tersebut dalam 5 tipe ideologi. Pertama, Islam-komunis. “Mereka berasas pada ajaran Tan Malaka yang menghubungkan ajaran tentang kesamaan dan kebersamaan manusia dalam Islam dan komunis,” ungkap Zulhasril yang meraih gelar doktor di Universiti Sains Malaysia tahun 2004 lalu itu.Masuk dalam kelompok pertama ini adalah pemimpin PKI Sumbar tahun 1948 Haji Datuak Batuah dan mantan Ketua Umum Partai Murba Djamaluddin Tamin.Kelompok kedua berideologi Islam-nasionalis. Kelompok ini diwakili organisasi Permi, PSII, Muhammadiyah dan Masyumi. Tokoh-tokohnya, M Sjafei, AR Sutan Mansyur, Rasuna Said dan ayahanda Hamka, Haji Rasul.Tipe ketiga adalah Sosialis Demokrat. Walau hanya sedikit, tapi menonjol. Mereka mengikuti kepemimpinan Sjahrir dan Hatta di Batavia, seperti M Rasjid.Tipe keempat adalah nasionalis-kiri. Tipe ini baru bermunculan setelah kegagalan pemberontakan 1926 di Silungkang. Mereka masuk dalam Gyu Gun (militer Jepang). Tokoh-tokohnya adalah Chatib Sulaiman, Dahlan Djambek, dan Ahmad Husein.Tipe terakhir adalah komunis. “Kalangan ini berasal dari gerakan kiri Tan Malaka yang kemudian dipengaruhi Marxisme-Leninisme,” kata Zulhasril.Masuk ke dalam tipe ini adalah Ketua PKI Sumatera Timur Natar Zainuddin dan pimpinan PKI Sumbar Bachtaruddin.5 Kelompok yang dibuat Zulhasril ini hanya mengelompokkan orang yang beraktivitas di Minangkabau saja. Jika dimasukkan yang beraktivitas di tingkat nasional dan luar negeri, masuklah beberapa nama terkenal.Mereka adalah Nazir Sutan Pamoentjak, Hamka, DN Aidit, Hatta, M Yamin, Sjahrir, M Natsir, Agus Salim, Abdul Muis, Asaat, A Rivai dan Tan Malaka sendiri. DN Aidit termasuk. karena meski dilahirkan di Belitung, orang tuanya dari Maninjau, Sumatera Barat.”Tokoh pergerakan yang paling dekat dengan Tan Malaka hanyalah Muhammad Yamin,” ungkap Zulhasril.Sementara, meski sama-sama Minang dan mendalami sosialisme/komunisme, Tan Malaka dan Sjahrir memiliki hubungan yang buruk. Mereka berseteru kencang pasca Indonesia merdeka.Keduanya saling culik. Tan Malaka mengerahkan Persatuan Perjuangan yang memiliki simpatisan dari kalangan militer termasuk Jenderal Sudirman. Sementara Sjahrir memiliki Pesindo dan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang patuh padanya selaku Perdana Menteri.Perseteruan ini mencapai puncaknya pasca perjanjian Linggarjati 1947. Tan Malaka bersama Persatuan Perjuangan mengerahkan gerilya bersenjata menentang perjanjian Indonesia-Belanda itu.Tan Malaka dikejar-kejar oleh pasukan Sjahrir. Sampai pada suatu waktu, di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur, Tan Malaka ditembak mati oleh satu pasukan di bawah divisi Brawijaya. Tan Malaka pun lenyap sejak 21 Februari 1949.
Kehidupan awal Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit (keturunan arab yaman), ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, “Nurul Islam”, yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.[2]. Aidit /aidid adalah marga habib dari yaman (basis komunis arab).
BERDIRINYA PKI (SEMPALAN SYAREKAT ISLAM SEMARANG)
Sarekat Islam, Semarang, socialism Sarekat Islam Semarang merupakan organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat Islam Semarang dalam pergerakannya menjadi radikal. Sarekat Islam Semarang didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun 1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Sarekat Islam Semarang mengalami perpecahan yang disebabkan oleh: (a) Pembentukan Volksraad dan Indie Weerbaar yang menimbulkan pro dan kontra antar anggota Sarekat Islam, (b) Paham Sosialisme-Revolusioner yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet yang disebarkan melalui ISDV dan VSTP dengan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam. Dalam kongres tahun 1917, secara resmi Sarekat Islam Semarang menyatakan bahwa asas partai pecah menjadi 2, yaitu (a) asas Sosialis-revolusioner dibawah Semaoen dan (b) Asas perjuangan berdasarkan agama Islam dibawah Cokroaminoto.
Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah Satuan Khusus Intelijen menggelar operasi bersandi Onta untuk mencegah masuknya komunisme dari Timur Tengah. Oleh Hendri F. Isnaeni | 02 Jan 2017 header img camera Tiga pemimpin NLF (National Liberation Front): Salim Rubai Ali (Presiden Yaman Selatan), Abdul Fattah Ismail, dan Ali al-Nasir Muhammad al-Hasani. Foto: biyokulule.com.
Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini.
Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme.
Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta.
“Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing. LIHAT JUGA:
Fenomena Buzzer dari Masa ke Masa – Dialog Sejarah | HISTORIA.ID
“Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh.
Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman.
Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam.
“Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”
Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah Satuan Khusus Intelijen menggelar operasi bersandi Onta untuk mencegah masuknya komunisme dari Timur Tengah. Oleh Hendri F. Isnaeni | 02 Jan 2017 header img camera Tiga pemimpin NLF (National Liberation Front): Salim Rubai Ali (Presiden Yaman Selatan), Abdul Fattah Ismail, dan Ali al-Nasir Muhammad al-Hasani. Foto: biyokulule.com.
Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini.
Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme.
Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta.
“Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing. LIHAT JUGA:
Fenomena Buzzer dari Masa ke Masa – Dialog Sejarah | HISTORIA.ID
“Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh.
Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman.
Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam.
“Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”
Kehidupan awal Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit (keturunan arab yaman), ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, “Nurul Islam”, yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Keluarga Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.[2]. Aidit /aidid adalah marga habib dari yaman (basis komunis arab).
BERDIRINYA PKI (SEMPALAN SYAREKAT ISLAM SEMARANG)
Sarekat Islam, Semarang, socialism Sarekat Islam Semarang merupakan organisasi berasaskan agama Islam dengan tujuan awal berdiri adalah faktor ekonomi yaitu persaingan dagang dengan pedagang-pedagang Cina. Karena pengaruh paham sosialis-revolusioner Sarekat Islam Semarang dalam pergerakannya menjadi radikal. Sarekat Islam Semarang didirikan oleh Raden Muhammah Joesoep bersama Raden Soedjono pada awal tahun 1913 yang merupakan cabang dari Sarekat Islam Surakarta. Sarekat Islam Semarang mengalami perpecahan yang disebabkan oleh: (a) Pembentukan Volksraad dan Indie Weerbaar yang menimbulkan pro dan kontra antar anggota Sarekat Islam, (b) Paham Sosialisme-Revolusioner yang dibawa oleh H.J.F.M. Sneevliet yang disebarkan melalui ISDV dan VSTP dengan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam. Dalam kongres tahun 1917, secara resmi Sarekat Islam Semarang menyatakan bahwa asas partai pecah menjadi 2, yaitu (a) asas Sosialis-revolusioner dibawah Semaoen dan (b) Asas perjuangan berdasarkan agama Islam dibawah Cokroaminoto.
Berita Gaya Hidup, (harapanrakyat.com),-Kucing merupakan hewan kesayangan Rasulullah SAW. Dari sekian banyak jenis hewan yang bisa dipelihara, diketahui Nabi Muhammad lebih memilih memelihara kucing.
Sebagai umat muslim, pastinya kita sudah sangat familiar dengan kisah tersebut. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa, siapapun yang berani menyiksa hewan mamalia ini, sejatinya bakal diganjar hukuman kejam di akhirat nanti.
Dari sahabat Nabi Muhammad, Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita dimasukkan ke dalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberinya makan, bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada di lantai. (HR. Bukhari).”
Seperti dirangkum dari berbagai sumber, Sabtu (06/10/2018), saking sayangnya pada kucing, Rasulullah pun berpesan bahwasanya kita sebagai manusia harus menyayangi kucing peliharaan kita, sama seperti sayangnya kepada sanak keluarga.
Dalam sejarahnya disebutkan, hewan kesayangan Rasulullah SAW itu diberi nama Mueeza. Salah satu kebiasaan Mueeza yang sangat disukai oleh Nabi yaitu selalu mengeong setiap kali mendengar lantunan suara adzan.
Disebutkan lebih lanjut, bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan kalau kucing tidaklah najis sehingga tidak menyulitkan bagi manusia. Karena, otot pada bagian kulit kucing selain untuk menyesuaikan sentuhan manusia, juga untuk menangkal telur bakteri.
Lidah kucing pun berguna untuk membersihkan bulunya sendiri. Bila Anda melihat kucing menjilati badannya dengan lidahnya, itu tandanya kucing tersebut sedang membersihkan dirinya sendiri dari kotoran atau kuman.
Tidak seperti anjing, jika kita terkena air liurnya saja itu berarti kita terkena najis berat, sehingga harus segera dibersihkan dengan air atau tanah sebanyak 7 kali.
Dijelaskan pula pada bagian punggung kucing, bagian dalam telapak kaki, pelindung mulut, serta ekornya, juga tidak terdapat kuman. Bahkan, hal tersebut dilakukan terhadap kucing dari berbagai perbedaan usia maupun kondisi kulit, dan ini sudah dibuktikan melalui banyak penelitian.
Begitu pula dengan cairan sampel yang diambil dari bagian permukaan lidah kucing. Bahkan, Rasulullah SAW bersabda, “Ia tidak najis. Ia binatang yang berkeliling.”
Diriwayatkan juga dalam hadist (H.R AlBaihaqi, Abd Al-Razzaq, dan Al-Daruquthni), bahwa istri Nabi, yakni Aisyah, pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu dari sisa jilatan kucing.
Allah SWT menciptakan kucing sebagai hewan yang begitu bersih, tidak najis sehingga tidak menyusahkan manusia, bahkan kucing diberi kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri.
Itulah salah satunya yang membuat Rasulullah SAW begitu menyayangi dan menempatkan kucing di posisi istimewa. (Eva/R3/HR-Online)
KISAH SAHABAT ABU HURAIRAH
Abu Hurairah bukanlah nama, namun julukan yang diberikan Rasulullah kepada Abdurrahman.
Dream – Nama Abu Hurairah RA cukup tersohor dalam kajian ilmu hadis. Sabahat Rasulullah Muhammad SAW ini memang dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak di antara para sahabat-sahabat lainnya.
Abu Hurairah merupakan sosok yang sangat rajin ibadah. Dia adalah sahabat yang sering mengikuti aktivitas Nabi SAW, sehingga banyak merekam hadis, baik seputar perkataan, perbuatan, bahkan sikap Rasulullah.
Nama asli Abu Hurairah adalah Abdu Syam bin Shakhr. Dia memeluk Islam ketika Rasulullah tinggal di Madinah, di masa antara perjanjian Hudaibiyah dengan perang Khaibar.
Ada peristiwa istimewa ketika Abu Hurairah memeluk Islam. Ketika itu, Rasulullah bertanya dari mana asal Abu Hurairah.
” Dari mana, engkau?” tanya Rasulullah.
” Dari Daus,” jawab Abu Hurairah yang kala itu masih bernama Abdu Syam.
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya di pelipis Abu Hurairah, lalu mengibasnya.
” Aku belum pernah melihat orang Daus yang penuh kebaikan (sepertimu),” kata Rasulullah.
Ketika masuk Islam, Abu Hurairah berganti nama menjadi Abdurrahman. Nama itu merupakan pemberian Rasulullah SAW untuk mengganti nama sebelumnya, Abdu Syam, yang dinilai bermakna buruk.
Sedangkan nama Abu Hurairah sebenarnya merupakan julukan dari Rasulullah SAW. Ada peristiwa menarik yang membuat Abdurrahman mendapat julukan itu.
Suatu hari, ketika dia menggembala kambing, Abdurrahman menemukan seekor anak kucing. Dia pungut anak kucing itu dan merawatnya.
Setiap malam, Abdurrahman meletakkan anak kucing itu di batang pohon. Pada siang hari, dia menaruh anak kucing itu di lengan bajunya dan bermain dengan hewan lucu tersebut.
Suatu ketika, anak kucing itu mengeong sampai terdengar oleh Rasulullah SAW. Sang Nabi lalu bertanya kepada Abdurrahman.
” Apa itu?” kata Rasulullah.
” Anak kucing yang aku temukan, ya Rasulullah,” jawab Abdurrahman.
” Baiklah, maka engkau adalah Abu Hurairah (bapak kucing kecil),” kata Rasulullah, dan sejak saat itu dia dipanggil Abu Hurairah.
KISAH AISYAH RA. MEMAKAN BUBUR YANG DI JILAT KUCING
Zaman dahulu kucing dipakai untuk terapi. Dengkuran kucing yang 50Hz baik buat kesehatan selain itu mengelus kucing juga bisa menurunkan tingkat stress.
Hadist Kabsyah binti Ka’b bin Malik menceritakan bahwa Abu Qatadah, mertua Kabsyah, masuk ke rumahnya lalu ia menuangkan air untuk wudhu. Pada saat itu, datang seekor kucing yang ingin minum. Lantas ia menuangkan air di bejana sampai kucing itu minum.
Kabsyah berkata, “Perhatikanlah.” Abu Qatadah berkata, “Apakah kamu heran?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu, Abu Qatadah berkata bahwa Nabi SAW prnh bersabda, “Kucing itu tidak najis. Ia binatang yang suka berkeliling di rumah (binatang rumahan),” (H.R At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan dan Ali bin Al-Hasan, dan Anas yang menceritakan bahwa Nabi Saw pergi ke Bathhan suatu daerah di Madinah. Lalu, beliau berkata,
“Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke dalam bejana.” Lalu, Anas menuangkan air. Ketika sudah selesai, Nabi menuju bejana. Namun, seekor kucing datang dan menjilati bejana. Melihat itu, Nabi berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum lalu berwudhu.
Nabi ditanya mengenai kejadian tersebut, beliau menjawab, “Ya Anas, kucing termasuk perhiasan rumah tangga, ia tidak dikotori sesuatu, bahkan tidak ada najis.”
Diriwayatkan dari Dawud bin Shalih At-Tammar dan ibunya yang menerangkan bahwa budaknya memberikan Aisyah semangkuk bubur. Namun, ketika ia sampai di rumah Aisyah, tenyata Aisyah sedang shalat. Lalu, ia memberikan isyarat untuk menaruhnya. Sayangnya, setelah Aisyah menyelesaikan shalat, ia lupa ada bubur.
Datanglah seekor kucing, lalu memakan sedikit bubur tersebut. Ketika ia melihat bubur tersebut dimakan kucing, Aisyah lalu membersihkan bagian yang disentuh kucing, dan Aisyah memakannya.
Rasulullah Saw bersabda, “Ia tidak najis. Ia binatang yang berkeliling.” Aisyah pernah melihat Rasulullah Saw berwudhu dari sisa jilatan kucing.” (H.R AlBaihaqi, Abd Al-Razzaq, dan Al-Daruquthni).
Hadis ini diriwayatkan Malik, Ahmad, dan imam hadits yang lain. Oleh karena itu, kucing adalah binatang, yang badan, keringat, bekas dari sisa makanannya adalah suci, Liurnya bersih dan membersihkan, serta hidupnya lebih bersih daripada manusia. Mungkin ini pula-lah mengapa Rasulullah SAW sangat sayang kepada Muezza, Kucing kesayangannya. (Islampos.com)
Pada kulit kucing terdapat otot yang berfungsi untuk menolak telur bakteri. Otot kucing itu juga dapat menyesuaikan dengan sentuhan otot manusia.
Permukaan lidah kucing tertutupi oleh berbagai benjolan kecil yang runcing, benjolan ini bengkok mengerucut seperti kikir atau gergaji. Bentuk ini sangat berguna untuk membersihkan kulit. Ketika kucing minum, tidak ada setetes pun cairan yang jatuh dari lidahnya.
Sedangkan lidah kucing sendiri merupakan alat pembersih yang paling canggih, permukaannya yang kasar bisa membuang bulu-bulu mati dan membersihkan bulu-bulu yang tersisa di badannya.
Fakta Ilmiah 2 :
Telah dilakukan berbagai penelitian terhadap kucing dan berbagai perbedaan usia, perbedaan posisi kulit, punggung, bagian dalam telapak kaki, pelindung mulut, dan ekor.
Pada bagian-bagian tersebut dilakukan pengambilan sample dengan usapan. Di samping itu, dilakukan juga penanaman kuman pada bagian-bagian khusus. Terus diambil juga cairan khusus yang ada pada dinding dalam mulut dan lidahnya.
Hasil yang didapatkan adalah:
1. Hasil yang diambil dari kulit luar tenyata negatif berkuman, meskipun dilakukan berulang-ulang.
2. Perbandingan yang ditanamkan kuman memberikan hasil negatif sekitar 80% jika dilihat dari cairan yang diambil dari dinding mulut.
Tanda2 sebelum nabi muhammad diangkat jadi nabi (irhasat)…
Note: …klo sesudah diangkat jadi nabi (mukjizat)
Nabi sakit mata parah ketika diasuh kakeknya
Imam Al-Hafidz Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi menegaskan dalam Kitab Al Wafa bi Ahwaali Al-Mushtofa hal 97-98
قال الحافظ أبو الفرج ابن الجوزي في « الوفا باحوال المصطفى ﷺ ص ٩٧-٩٨»
في سنة سبع من مولده صلى الله عليه وسلم أصابه رمد شديد فعولج بمكة، فلم يُغْن فقيل لعبد المطلب : إن في ناحية عكاظ راهباً يعالج الأعين، فركب إليه فناداه وديره مغلق فلم يجبه، فتزلزل ديره حتى كاد أن يسقط عليه.
فخرج مبادرًا فقال: يا عبد المطلب، إن هذا الغلام نبي هذه الأمة ولو لم أخرج إليك لخر علي ديرى، فارجع به واحفظه، لا يقتله بعض أهل الكتاب. ثم عالجه وأعطاه ما يعالج به. وألقي الله له المحبة في قلوب قومه وكل من يراه.
Pada tahun ketujuh kelahiran Nabi Muhammad, beliau tertimpa penyaklt mata yang parah dan diobati di Makkah, namun tidak sembuh. Ada yang mengatakan kepada Abdul Muthalib bahwa di ujung pasar Ukazh ada seorang pendeta yang dapat mengobati penyakit. la berangkat menemui pendeta itu. Namun biaranya tertutup dan pendeta itu tidak menerimanya, sehingga biara itu tergoncang. Pendeta itu khawatir kalau biaranya ambruk menimpanya. Maka ia segera keluar, dan berkata, “Wahai Abdul Muthalib, sesungguhnya anak ini adalah Nabi umat ini. Jika aku tidak keluar menemuimu, maka biaraku ini akan ambruk menimpaku. Bawalah ia dan jagalah dirinya dari sebagian Ahli kitab yang ingin membunuhnya secara diam-diam”. Pendeta itu mengobati dan memberi obat kepada beliau. Allah menaruh rasa cinta untuk beliau ke hati-hati kaum beliau serta orang yang melihat beliau.
Riwayat ini juga bisa kita temukan dalam kitab
١.المنهل العذب المورود شرح سنن أبي داود ج ٩/ ص ١٩٨
٢.سبل الهدى و الرشاد ج ٢/ ص ٢
Juga terdapat pada kitab sirah ” Nurilabshar”
Riwayat kisah seperti ini atau yang semisal dengannya sama sekali tidak mengurangi kemuliaan Rasulullah Muhammad ﷺ. Sebaliknya, justru menegaskan sifat Jaiz seorang Rasul bahwa beliau memiliki sifat manusiawi (اعراض البشرية). Hal ini tak lain adalah sifat kemanusiaan yang melekat pada pribadi Rasul. Sebagai manusia biasa, Rasulullah ﷺ makan, minum, tidur, sakit dan lain sebagainya. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah lupa, bercanda, menangis sebagaimana umumnya manusia.
Hikmah terbesar Allah menjadikan hal seperti ini, kita sebagai umatnya akan sungguh-sungguh memuliakan Rasulullah ﷺ tapi tidak akan pernah menganggap beliau sebagai Tuhan. Sebab, dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kemanusiaan. Di sisi lain Rasulullah ﷺ sebagai uswatun hasanah, maka dengan ada sifat-sifat kemanusiaan seperti itu akan memudahkan umat untuk mengikuti jejak langkahnya.
Wallahu a’lam bish Showab.
2. hadis nabi ketika dahak
Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa air ludah hukumnya adalah suci, begitu juga dengan air dahak. Salah satu dalil yang dijadikan dasar oleh mereka adalah riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari berikut;
وما تنخم النبي صلى الله عليه وسلم نخامة إلا وقعت في كف رجل منهم فدلك بها وجهه وجلده
“Dan Nabi Saw tidak berdahak kecuali dahak tersebut jatuh pada tangan seseorang dari sahabat. Kemudian dia menggosok-gosokkan dahak tersebut ke mukanya dan kulitnya.”
Riwayat ini berisi penjelasan bahwa ketika Nabi Saw berdahak, maka dahak tersebut tidak jatuh ke tanah, melainkan ditengadah oleh sebagian sahabat dan digosokkan pada wajah dan mukanya. Ini menunjukkan bahwa dahak tidak najis. Karena andaikan najis, pasti Nabi Saw melarang perbuatan sahabat tersebut.
2. Hadis nabi bersin
Bersin Rasulullah dan Bersin Manusia Awam
Bersin Rasulullah dan Bersin Manusia Awam
عن أبي هريرة رضي الله عنه: كَانَ إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيْهِ وَخَفَضَ بِهَا صَوْتَهُ -الترمذي
Artinya: Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-,”Bahwasannya Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam jika bersin beliau meletakkan tangannya atau pakaiannya di atas mulutnya, dan dengannya beliau memelankan suara (bersin)” (Riwayat At Tirmidzi, beliau menyatakan,”hadits hasan shahih”)
Dari hadits di atas, Al Munawi menyimpulkan bahwa Rasulullah menahan suara bersin dengan menutup mulut dengan tangan atau baju, dalam riwayat lain menutup wajah. Rasulullah juga tidak berteriak ketika bersin sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan manusia awam.
Di saat aku berpendapat bahwa ma‘rifat dan pemikiran yang mengantarkan padanya wajib, sebagian Ashḥāb kita (ulama Asy‘ariyah) berpendapat, bahwa orang yang meyakini kebenaran tentang Allah ta‘ālā dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Allah bergantung padanya dengan cara yang benar, maka ia adalah seorang mu’min muwaḥḥid.Namun hal ini pada umumnya hanya diperoleh oleh orang yang melakukan pemikiran. Andaikan hal itu diperoleh selain orang yang melakukan pemikiran, keyakinannya tidak aman dari kegoncangan.
Maka menurutku, orang harus mengetahui setiap permasalahan akidah dengan dalilnya. Keyakinan tidak akan bermanfaat baginya kecuali bila keyakinannya muncul dari suatu dalil. Bila orang mati dalam kondisi keyakinannya terhadap Allah ta‘ālā Yang Maha Selamat sebagaimana mestinya dan tidak mampu melakukan pemikiran, maka sebagian ulama Asy‘ariyah berpendapat, bahwa orang tersebut adalah mu’min; bila ia mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurut al-Ustādz Abū Isḥāq (261) ia mu’min yang maksiat sebab tidak melakukan penalaran – yang mana pendapat ini dibangunnya pada ajaran Syaikh Abū Ḥasan al-Asy‘arī – , (272).
Adapun pernyataan Abū Isḥāq, bahwa orang tersebut mu’min bila tidak mampu melakukan penalaran dan mati, maka jelas benarnya, in syā’ Allāh; sedangkan pernyataan bahwa ia mu’min besertaan mampu melakukan pemikiran namun tidak melakukannya, maka menurutku dalam hal ini perlu pemikiran lebih lanjut, dan sekarang aku tidak meyakini kebenarannya.
Bila disangkal: “Anda telah mewajibkan pemikiran sebelum keimanan sesuai makna ucapan anda, lalu bila seorang mukallaf disuruh untuk ma‘rifat (beriman) dan menjawab: “(Nanti dulu), sampai saya melakukan pemikiran, sebab sungguh sekarang saya masih dalam masa pemikiran yang lama dan sedang mengulang-ulangnya”, maka apa pendapat anda? Apakah anda akan mewajibkannya untuk mengikrarkan keimanan, sehingga anda merusak prinsip anda sendiri yang mewajibkan pemikiran sebelumnya, atau membiarkannya melakukan penalaran sampai waktu yang tidak diketahui batasnya, atau anda tentukan batas waktunya sehingga anda menghukumnya tanpa nash?
Maka jawabannya adalah, aku katakan: “Ada pun pendapat yang mewajibkan iman sebelum ma‘rifat (mengenal Allah) maka lemah, sebab mewajibkan pembenaran dengan suatu nisbat yang belum diyakini keabsahannya akan mengantarkan pada penyamaan antara Nabi dan orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, pada penetapan awal mulanya ia beriman, lalu melakukan pemikiran, menemukan kebenaran, dan meneruskan keimanannya, atau ia menemukan kebatilan, lalu ia kembali pada kondisi sebelumnya, yaitu meyakini kekufuran.
Adapun ketika orang yang diperintah beriman tadi meminta melakukan pemikiran (dahulu), maka dikatakan kepadanya (bila tidak hidup bersama-sama umat Islam): “Bila anda mampu melakukan pemikiran (yang benar), maka lakukanlah sekarang juga; bila tidak, maka dengarkanlah, dan alur pemikiran yang benar disampaikan kepadanya dalam waktu secukupnya. (283) Bila beriman, maka ia nyata-nyata telah mendapatkan petunjuk; bila menolaknya, maka ia jelas-jelas telah mengingkarinya, maka pengingkaran itu wajib dikeluarkan darinya dengan ancaman pembunuhan, kecuali ia mati tanpa dibunuh.”
Bila ia termasuk orang yang hidup bersama umat Islam dan mengetahui cara beriman, maka ia tidak diberi waktu sedikitpun untuk menunda keimanannya. Tidakkah anda tahu, bahwa ulama mensunnahkan memberi kesempatan kepadanya, mungkin ia murtad karena keraguan, lalu ditunggu sebentar mungkin ia dapat mengganti keraguannya dengan keyakinan, dan mengganti kebodohannya dengan ilmu; dan pemberian kesempatan pada orang murtad tersebut tidak wajib karena keyakinan dapat dihasilkan dengan pemikiran yang benar di permulaannya.
Bagaimana benar menurut seorang pemikir, pendapat yang menyatakan bahwa wajib iman dahulu sebelum pemikiran? Sebab, menurut akal tidak sah iman tanpa kebenaran yang diketahui. Keimanan yang ditemukannya terjadi karena husn-uzh-zhann dirinya kepada orang yang memberitakan keimanan kepadanya, bila tidak demikian, maka bila keraguan atau anggapan bohong mendatanginya, hal itu akan menggantikan kemantapan imannya.
Selain itu, sungguh Nabi s.a.w. pada masa awal risalahnya mengajak manusia untuk melakukan pemikiran, kemudian setelah hujjah menjadi kuat berdasarkan pemikiran dan beliau mencapai uzur tertinggi untuk melakukannya, maka beliau mengajak mereka beriman dengan ancaman perang. Tidakkah anda lihat, bahwa setiap orang yang diajaknya beriman berkata kepadanya: “Tunjukkan tanda-tanda kenabianmu kepadaku!” Lalu beliau menunjukkannya, maka jelaslah kebenaran bagi orang tersebut, kemudian dia beriman dan mendapatkan keamanan, atau mengingkarinya dan mendapatkan kerusakan.”
Demikian pernyataan Ibn-ul-‘Arabī yang merupakan pendapat bagus, namun dimuskilkan dengan konsekuensi, bahwa seorang muqallid tidak berstatus mu’min, sebab pendapat tersebut berkonsekuensi mengafirkan mayoritas muslim awam, padahal mereka adalah mayoritas umat-ul-ijābah (294) ini. Hal ini mencemari fakta yang telah diketahui, yaitu sungguh Sayyidunā wa Nabiyyunā Muḥammad s.a.w. adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya, dan telah ada hadits yang menyatakan bahwa umatnya yang mulia merupakan 2/3 penghuni surga. (305).
Kemusykilan itu dapat dijawab dengan jawaban, sungguh yang dimaksud dengan dalil yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf adalah dalil ijmālī (yang bersifat umum), yang pada umumnya menghasilkan keyakinan dan penerimaan hati atas akidah-akidah keimanan bagi mukallaf, sekira hatinya tidak mengatakan: “Aku tidak mengetahui, aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku pun mengatakannya.”
Tidak disyaratkan mengetahui pemikiran sesuai metode mutakallimin, yaitu meneliti dan membenarkan dalil-dalil, menolak syubhat yang datang padanya, dan mengungkapkan dalil ijmālī yang ada di hati yang menghasilkan penerimaan.
Tidak diragukan, bahwa pemikiran sederhana semacam ini tidak sulit diperoleh bagi mayoritas atau semua umat-ul-ijābah ini sebelum akhir zaman yang pada waktu itu ilmu nāfi‘ akan diangkat; banyaknya kebodohan yang membahayakan; tidak ada taqlīd yang benar, apalagi ma‘rifat, pada orang-orang yang disangka mempunyai ilmu, apalagi pada orang-orang awam. Mungkin tanpa diragukan, kita menjumpai zaman ini. Allah Dzat Yang Maha diminta Pertolongan. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.
Diriwayatkan dalam suatu hadits dari Abū Umāmah r.h., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Akan ada fitnah di akhir zaman, di pagi hari orang berstatus mu’min dan sorenya sudah menjadi kafir, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan ilmu.” (316).
Catatan:
26). Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin Mahrān al-Asfarayinī (w. 418 H/1027 M). Baca, az-Zirikla, al-A‘lam, 1/61.
27). Penalaran bukan syarat sah iman, namun hanya merupakan syarat keluar dari dosa karena tidak melakukannya. Baca, Muḥammad ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasūqī ‘alā Umm-il-Barāhīn (Singapura-Jeddah-Indonesia: al-Haramain, tth.) 62.
28). Seperti dikatakan kepadanya: “Alam itu bersifat hadits, dan setiap hal yang hadits pasti ada penciptanya”, dan ditunjukkan dilālah-nya kepadanya sampai ia menemukan natījah-nya. Ibid., 64.
29). Umat-ul-Ijābah adalah umat yang memenuhi seruan Allah dan Rasūl-Nya, dan beriman secara nyata; sedangkan umat-ud-da‘wah adalah semua umat yang Allah perintahkan Rasūl-Nya untuk mengajak mereka masuk Islam. Asy-Sya‘rawī, Tafsīr-usy-Sya‘rawī(ttp.: al-Azhar, 1961), IV/2466.
“Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Penghuni surga ada 120 baris. 80 barisnya dari umatku ini, dan 40 barisnya dari umat selainnya.” (H.R. at-Tirmidzi, hasan).
31). H.R. at-Thabrānī. Baca Sulaimān bin Aḥmad ath-Thabrānī, Musnad asy-Syāmiyyīn (Bairut: Mu’assasah ar-Risalah, 1405 H/1984 M), II/227.
2-2-2 Pasal: Cukupnya Taqlid untuk Meyakini Allah (2/2) – Terjemah Syarh Umm al-Barahin
MENUJU KEBENINGAN TAUHID BERSAMA AS-SANUSI
Terjemah Syarḥ Umm-ul-Barāhin
Penulis: Al-Imam Muhammad bin Yusuf as-Sanusi
Penerjemah: Ahmad Muntaha AM.
Penerbit: Santri Salaf Press-Kediri
Kesimpulannya, hati-hati dalam segala permasalahan merupakan langkah terbaik yang ditempuh orang berakal, apalagi terkait keimanan yang merupakan modal utama manusia, yang di atasnya semua kebaikan dibangun. Bagaimana orang ber-himmah rela menempuh jalan taqlīd yang masih diperselisihkan dan memperkeruh akidahnya, meninggalkan ma‘rifat dan belajar melakukan pemikiran yang benar yang dapat menghindarkannya dari segala kekhawatiran, kemudian dengannya mencapai derajat ulama yang masuk dalam makna firman Allah ta‘ālā: “Allah menjelaskan, sungguh tidak Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Menegakkan Keadilan; Malaikat dan orang-orang yang berpengetahuan pun mengakuinya…..” (321).
Tidaklah mencukupkan diri jauh dari derajat yang aman dan suci ini kecuali orang yang berjiwa rendah dan ber-himmah hina. Namun demikian, pertama kali wajib bagi orang berakal untuk mempertimbangkan orang yang mengajarinya secara benar ilmu akidah keimanan ini, dan memilihnya untuk dijadikan guru, dari para imam yang oleh Allah dikokohkan dengan cahaya hati, yang zuhud dengan hatinya dari dunia yang ada ini, yang penuh belas kasihan kepada orang-orang mu’min ilmu, dan orang-orang mu’min yang lemah pemahamannya.
Orang yang menemukan guru semacam itu pada zaman yang sedikit sekali kebaikannya ini, hendaklah selalu mengikutinya. Ketahuilah, sungguh ia tidak akan menemukannya lagi – wallāhu a‘lam – untuk kedua kalinya pada masanya. Sebab, orang yang mempunyai sifat seperti itu atau yang mendekatinya (yang secara terang-terangan mengajarkan ilmu ini), di akhir zaman tidak ada kecuali seorang saja, dan orang yang mendekatinya, sesuai penjelasan ulama.
Pada umumnya di zaman ini, orang yang seperti itu samar (sulit ditemukan), sekira tidak ditunjukkan kepadanya kecuali sedikit orang saja. Hendaklah ia bersyukur kepada Allah sepanjang malam dan siang yang telah memperlihatkannya atas kesuksesan besar ini. Sebab Allah Yang Maha Pemurah – jalla wa ‘azza – dengan kemurnian anugerah-Nya telah memberinya kesuksesan mendapat kekayaan surga yang sangat besar (guru dengan sifat-sifat yang telah disebutkan) yang dapat menjadi sumber belajar dan dengan cara bagaimanapun yang dikehendakinya ia belajar kepadanya. Sedikit sekali orang yang dapat belajar kepada guru semacam ini pada masa sekarang ini kecuali orang beruntung yang langka.
Adapun orang yang membacakan ilmu akidah ini kepada orang yang meminta kepadanya sementara ia tidak mempunyai sifat-sifat yang telah aku sebutkan, maka mafsadah menjadi muridnya di dunia dan akhirat lebih banyak daripada kemaslahatannya. Sangat banyak orang-orang seperti itu di zaman kita di setiap tempat. Aku memohon keselamatan kepada Allah ta‘ālā dengan derajat Sayyidinā Muḥammad s.a.w. dari keburukan diriku dan keburukan setiap orang yang mempunyai keburukan.
Hendaklah pelajar pemula menghindarkan kemampuannya untuk belajar ushūl-ud-dīn-nya dari kitab-kitab yang dipenuhi pendapat-pendapat kaum filosuf, para penulisnya menggantungkan diri dengan mengutip kegilaan mereka yang merupakan kekufuran nyata, yaitu akidah-akidah yang kenajisannya mereka tutupi dengan berbagai istilah dan ungkapan yang samar yang mayoritas hanya merupakan nama tanpa substansi, seperti kitab-kitab karya al-Imām al-Fakhr ar-Rāzī tentang kalām, kitab Thawāli‘ karya al-Baidhāwī, dan orang-orang yang menempuh metode mereka dalam ilmu kalam. (332)
Jarang sekali beruntung orang yang menggantungkan diri dengan menekuni kalam para filosuf, atau mendapatkan cahaya keimanan di hati atau lisannya. Bagaimana beruntung orang yang mengasihi orang yang memusuhi Allah dan Rasūl-Nya, membakar haibah Allah yang laksana hijab, membuang syariat di belakang punggungnya, dan berkata bagi Allah – jalla wa ‘azza – dan para Rasūl-Nya ‘alaihim-ush-shālatu was-salām – dengan perkataan yang dihiaskan oleh dirinya yang bodoh dan diajak oleh persangkaannya yang rusak.
Sungguh sebagian orang telah terlalaikan, sehingga anda lihat ia memuliakan kalām kaum filosuf terlaknat, memuliakan kitab-kitab yang ditulis untuk mengutip berbagai kebodohan mereka karena cinta pangkat dan keunikan menggungguli orang lain dengan berbagai ungkapan dan istilah yang samar bagi kebanyakan orang, yang mengesankan bagi mereka bahwa di bawahnya terdapat ilmu-ilmu yang mendalam dan bagus, padahal kenyataannya hanya pencampuradukkan, kegilaan, dan kekufuran yang orang berakal tidak sudi mengucapkannya.
Terkadang sebagian orang bodoh memprioritaskan mempelajari kegilaan kaum filosuf daripada menyibukkan diri dengan mempelajari ushūl dan furū‘-ud-dīn sesuai metode kaum as-Salaf ash-Shāliḥ dan mengamalkannya, yang bermanfaat baginya. Karena terhapusnya mata hati dan terlemparnya dari pintu anugerah Allah ta‘ālā ke pintu murka-Nya. Orang bodoh yang keji ini menganggap orang-orang yang fokus memelajari agama Allah ta‘ālā yang besar manfaatnya di dunia dan akhirat, sebagai orang-orang berwatak bodoh dan kurang cerdas.
Sungguhnya bodoh, sungguh keji dan sungguh buta hatinya, sampai ia melihat kegelapan sebagai cahaya dan melihat cahaya sebagai kegelapan. Orang yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu (Muḥammad s.a.w.) tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hatinya. Bagi mereka kehinaan di dunia dan akhirat. Bagi mereka siksaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan harta haram…..(343).
Aku memohon kepada Allah s.w.t. agar Ia menjagaku dan orang-orang yang mencintaiku sampai mati dengan kemurnian anugerahnya, dan agar mengasihi semua mu’minin, dan menjaga mereka di zaman yang penuh kesulitan ini dari datangnya berbagai fitnah, dengan kemurahan dan kedermawanan-Nya, dengan lantaran derajat manusia termulia, Sayyidinā wa Maulānā Muḥammad s.a.w.
Catatan:
32). QS. Āli ‘Imrān: 18.
33). Merujuk al-Burhān al-Laqqānī dalam Hidāyat-ul-Murīd sebagaimana kutipan al-Bajūrī, pada mulanya dahulu ulama mencukupkan diri dengan pembahasan dzat, shifat, kenabian, dan sam‘iyyat. Lalu muncul berbagai sekte ahli bid‘ah yang sering mendebat dan melempar propaganda yang bercampur kaidah-kaidah filsafat terhadap ulama. Di kemudian hari, hal ini menuntut ulama pada masa berikutnya seperti al-Fakhr-ur-Rāzī, al-Baidhāwī, as-Sa‘d, al-‘Adhad, dan Ibn ‘Irfah untuk memasukkan materi-materi filsafat pada kitab-kitab kalām mereka untuk menghadapi, meruntuhkan, menjelaskan kesalahan, dan menjelaskan bahwa propaganda kaum filosuf, sehingga peringatan agar menghindari kitab-kitab mereka hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu memahaminya. Ad-Dasūqī, Ḥāsyiyat-ud-Dasyūqī, 71.
Kitab Asal berisyarat dengan huruf (مِنْ) tab‘idhiyyah untuk menunjukkan, bahwa sifat-sifat Allah – jalla wa ‘azza – tidak terbatas pada 20 sifat ini, sebab kesempurnaan-Nya tidak terbatas, namun ketidakmampuan mengetahui sifat-sifat yang tidak terjelaskan oleh dalil ‘aqli dan naqli membuat kita tidak disiksa karenanya, berkat angerah Allah ta‘ālā.
Maknanya jelas, namun dalam menghitung wujūd sebagai suatu sifat berdasarkan madzhab asy-Syaikh Abul-Ḥasan al-Asy‘arī merupakan tasāmuḥ (majaz). Sebab menurutnya, wujūd merupakan Dzāt Allah itu sendiri, bukan selainnya, dan Dzāt Allah bukanlah suatu sifat. Namun ketika dalam pelafalan wujūd dijadikan sifat bagi Dzāt Allah, dan dikatakan: “Dzāt Allah – jalla wa ‘azza – itu maujūd”, maka secara umum wujūd sah dihitung sebagai suatu sifat.
Adapun menurut madzhab ulama yang menjadikan wujūd sebagai sesuatu yang bukan Dzāt Allah, sebagaimana Imām ar-Rāzī, maka menghitungnya sebagai bagian dari sifat-sifat Allah adalah benar dan tidak ada tasāmuḥ di dalamnya.
Pendapat al-Ashaḥḥ menyatakan, bahwa qidam adalah sifat salbiyyah. Maksudnya tidak ada makna yang maujūdpadanya, seperti sifat ilmu misalnya. Qidam hanya merupakan ungkapan untuk menafikan sifat ‘adam (tiada) yang mendahului wujūd. Bila mau anda dapat mengatakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya permulaan bagi wujud Allah.” Bila pula anda katakan: “Qidam merupakan ungkapan dari tidak adanya pembukaan wujud.” Ketiga ungkapan tersebut satu makna.
Adapun maknanya ketika diucapkan untuk sesuatu yang ḥādits, sebagaimana saat anda berkata misalnya: “Ini adalah bangunan yang qadīm, dan tandan yang qadīm”, maka qadīm merupakan ungkapan dari lamanya waktu wujūd-nya dalam kondisi bila sesuatu itu bersifat ḥādits dan didahului oleh ketiadaan, sebagaimana dalam firman Allah ta‘ālā: “Sungguh kamu niscaya dalam kesesatanmu yang lama”, dan firman Allah: “Seperti tandan yang tua.”
Qidam dengan makna semacam ini mustahil bagi Allah ta‘ālā, sebab wujūd-Nya – jalla wa ‘azza – tidak terbatasi dengan zaman dan tempat karena sifat ḥudūts keduanya. Sebab itu, tidak terbatasi dengan keduanya kecuali sesuatu yang ḥādits yang sama dengannya.
Apakah boleh melafalkan kata qadim bagi Allah ta‘ālā, sehingga dikatakan Allah – jalla wa ‘azza – adalah Dzāt Yang Qadim, karena maknanya adalah wajib bagi-Nya – jalla wa ‘azza – secara akal dan naql, atau tidak boleh melafalkannya?
Yang boleh diucapkan hanya: “Wajib bagi Allah ta‘ālā sifat qidam?”, atau ungkapan semisalnya; dan tidak boleh diucapkan bagi-Nya nama al-Qadīm, sebab Asmā’ Allah – jalla wa ‘azza – bersifat tauqīfī.
Ini termasuk permasalahan yang diperselisihkan oleh sebagian para Masyā’ikh. Namun dalam Syarḥu Ushūl-is-Subkī, al-‘Irāqī mengatakan: “Al-Ḥalīmī menyebut al-Qadīm dalam Asmā’ Allah, dan ia berkata: “Al-Qadīm tidak ada nashnya dalam al-Qur’ān, hanya ada dalam as-Sunnah.” Imām al-‘Irāqī mengatakan: “Dengan ungkapan itu al-Ḥalīmī memberi isyarat pada hadits riwayat Ibn Mājah dalam Sunan-nya dari hadits Abū Hurairah r.a., yang di dalamnya terdapat penyebutan nama al-Qadīm dari 99 Asmā’ Allah.”
Yaitu merupakan ungkapan dari menafikan ketiadaan yang terjadi setelah wujūd. Bila mau anda dapat mengatakan: “Baqā’ merupakan ungkapan dari tidak adanya batas akhir bagi wujūd Allah.” Kedua ungkapan ini satu makna.
Sebagian Imām mengatakan, bahwa makna Baqā’ bagi Allah ta‘ālā adalah terus-menerusnya wujūd Allah pada masa mendatang tanpa batas, sebagaimana makna qidam bagi Allah ta‘ālā adalah terus-menerusnya wujūd Allah pada masa lalu tanpa batas awal.
Seolah-olah ungkapan ini mengesankan pengucapnya beranggapan, bahwa qidam dan baqā’ merupakan sifat nafsiyyah. Sebab menurutnya keduanya merupakan wujūd yang terus-menerus di masa lalu dan masa mendatang, dan wujūd adalah sifat nafsiyyah karena tanpanya dzāt tidak akan nyata. Pendapat ini lemah, sebab bila keduanya merupakan sifat nafsiyyah, maka memastikan bahwa tidak dapat diterima akal wujūdnya Dzāt tanpa keduanya. Hal tersebut bāthil dengan argumen, bahwa wujūd dzāt (tanpa keduanya) bisa diterima akal, kemudian baru dicari bukti atas wajibnya qidam dan baqā’-nya.
Ada segolongan orang yang menyimpang. Mereka berpendapat, bahwa qidam dan baqā’ merupakan sifat yang wujūd yang ada pada Dzāt Allah, seperti ‘ilmu dan qudrah. Tidak samar lagi kelemahan pendapat ini, sebab memastikan bahwa keduanya juga bersifat qadīm karena sifat qidam lain yang wujūd (sebagaimana ‘ilmu dan qudrah), dan bersifat juga baqā’ karena sifat baqā’ lain yang wujūd (sebagaimana ‘ilmu dan qudrah), kemudian pembahasannya beralih pada: ini adalah qidam dan baqā’ lain, maka dalam keduanya terdapat kelaziman yang ada qidam dan baqā’ yang pertama dan menetapkan tasalsul.
Yang lebih lemah dari pendapat ini adalah pendapat orang yang membedakan antara qidam dan baqā’. Ia menyatakan bahwa qidam adalah sifat salbiyyah dan baqā’ adalah sifat wujūdiyyah.
Pemahaman yang benar yang dipedomani ulama muḥaqqiqūn adalah keduanya merupakan sifat salbiyyah. Maksdunya masing-masing dari keduanya merupakan ungkapan dari menafikan makna yang tidak pantas bagi Allah ta‘ālā, dan keduanya tidak mempunyai makna yang maujūd dalam kenyataan (dapat dilihat secara kasat mata) dari hati.
4. Mukhālafah lil-Ḥawādits.
[صـــ] (وَ مُخَالَفَتُهُ تَعَالَى لِلْحَوَادِثِ)
(4). Mukhālafah lil-Ḥawādits. (Berbeda dengan semua makhluk).
Bagian awal ayat ini merupakan tanzīh (penyucian Allah dari menyerupai makhluk), dan bagian akhirnya menetapkan (sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat bagi Allah). Maka bagian awalnya menolak kaumMujassimah dan berbagai variannya, dan bagian akhirnya menolak kaum Mu‘ththilah yang menafikan seluruh sifat-sifat Allah.
Hikmah mendahulukan tanzīh pada ayat tersebut – meskipun termasuk mendahulukan penafian daripada pentetapan, meskipun yang lebih utama dalam beberapa tempat adalah sebaliknya – adalah andaikan al-Qur’ān memulai dengan menyebutkan sifat mendengar dan melihat, niscaya akan mengesankan keserupaan Allah terhadap makhluk. Sebab yang segera dipahami dalam sifat mendengar adalah mendengar dengan telinga, dan dalam sifat melihat adalah melihat dengan bola mata, sementara masing-masing dari keduanya dalam hal yang dapat disaksikan hanya berhubungan dengan sebagian makhluk dan tidak berhubungan dengan yang lainnya; dan hanya pada sifat tertentu seperti tidak adanya jarak yang jauh sekali dan semisalnya.
Maka dalam al-Qur’ān memulai dengan penyebutan tanzīh agar darinya dipahami penafian keserupaan Allah ta‘ālādengan makhluk secara mutlak, sampai pada sifat mendengar dan melihat yang disebutkan setelahnya. Sebab mendengar dan melihatnya Allah tidak seperti mendengar dan melihatnya makhluk, karena mendengar dan melihatnya Allah ta‘ālā merupakan sifat yang ada pada Dzāt-Nya Yang Maha Luhur yang mustahil ada unsur fisik, anggota tubuh, dan berbagai kelazimannya, yang wajib (pasti) qidam dan baqā’, yang berhubungan dengan setiap wujūd yang bersifat qadīm maupun ḥādits, yang berupa dzāt maupun sifat; dan lahir maupun batin.
Segala puji hanya milik Allah s.w.t. Tuhan semesta alam, sanjungan Shalawat serta Salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasūlullāh s.a.w., dan setelah itu (membaca basmalah, ḥamdalah, shalawat dan salām).
Berkatalah seseorang yang sangat memdambakan Rahmat Tuhannya Yang Maha Waspada serta Maha Melihat, yaitu Syaikh Ibrāhīm al-Bājūrī yang memiliki sifat lalai.
Beberapa dari saudara-saudaraku – semoga Allah memberi kebaikan kondisi dan urusan padaku dan pada mereka – telah memohon kepadaku agar aku menuliskan untuk mereka sebuah risalah yang memuat sifat-sifat wajib (sesuatu yang tidak dapat diterima akal ketidak adaannya) dan sifat kebalikannya (sesuatu yang tidak dapat diterima akal adanya), serta hal-hal yang boleh dalam ḥaqq Allah s.w.t., juga sifat yang wajib, yang mustaḥīl (sesuatu yang tidak bisa diterima akal adanya) serta yang boleh dalam ḥaqq para Rasūl.
Wajib atas setiap orang mukallaf (muslim yang baligh lagi berakal) mengetahui hal yang wājib dalam ḥaqq Allah s.w.t., yang mustaḥīl serta yang jā’iz (boleh).
Dan Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Qidam (terdahulu). Artinya, sesungguhnya Allah s.w.t. tiada permulaan bagi-Nya.
Kebalikannya adalah sifat al-Ḥudūts (baru).
Dalil bahwasanya Allah s.w.t. bersifatan terdahulu adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang baru. Maka Allah s.w.t. butuh pada yang menciptakan. Dan hal itu tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Dan Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Baqā’ (kekal). Artinya, sesungguhnya Allah s.w.t. tiada akhir baginya.
Dan dalil atas sifat kekalnya Allah s.w.t. adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang rusak (fanā’), maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan hal itu tidak dapat diterima akal (mustaḥīl).
Dan Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat Mukhālafatu lil-Ḥawādits (berbeda dengan makhluk).
Artinya, sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyerupai kepada segala hal yang bersifat baru (makhluk). Maka, Allah tidak memiliki tangan, tidak memiliki mata, tidak memiliki telinga dan tidak pula memiliki yang lainnya dari sifat-sifat makhluk.
Kebalikannya adala sifat al-Mumātsalah (menyerupai).
Dalil bahwasanya Allah s.w.t. tidak menyerupai makhluk adalah: seandainya Allah memiliki keserupaan dengan makhluk, maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan hal itu tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Qiyāmu bin-Nafsi (berdiri sendiri). Artinya, sesungguhnya Allah s.w.t. tidak membutuhkan tempat dan tidak butuh pada yang mewujudkan.
Kebalikannya adalah sifat al-Iḥtiyāju ilal-Maḥalli wal-Mukhashshish (membutuhkan pada tempat dan pencipta).
Dalil bahwasanya Allah s.w.t. bersifat berdiri sendiri adalah: seandainya Allah s.w.t. membutuhkan pada tempat, maka Allah adalah sebuah sifat sedangkan keadaan Allah sebuah sifat adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Dan seandainya Allah membutuhkan pada yang menciptakan, maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan keadaan Allah merupakan sesuatu yang baru adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Waḥdāniyyah (tunggal). Baik dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Perbuatan-Nya.
Pengertian tungal dalam Dzat-Nya adalah, sesungguhnya dzatnya Allah tidak tersusun dari berbagai bagian yang banyak.
Sedangkan pengertian tunggal dalam sifat-Nya adalah, sesungguhnya tidak ada bagi Allah dua sifat atau lebih dari satu jenis sifat, seperti adanya dua sifat Qudrah dan seterusnya. Dan tidak ada pada selain Allah satu sifat yang menyerupai terhadap sifatnya Allah s.w.t.
Arti tunggal dalam perbuatan-Nya adalah, sesungguhnya tidak ada bagi selain Allah suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatannya (semua pekerjaan makhluk adalah atas kekuatan yang diberikan oleh Allah s.w.t.).
Kebalikannya adalah sifat at-Ta‘addud (berbilang).
Dalil bagi sifat Tunggalnya Allah s.w.t. adalah: seandainya Allah adalah sesuatu yang berbilang, maka tentunya tidak akan dapat dijumpai sesuatu pun dari Makhlūq (sesuatu selain Allah) ini.
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Qudrah (Maha Berkuasa). Sifat Qudrah adalah suatu sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. yang dengan sifat tersebut Allah mewujudkan dan meniadakan sesuatu.
Kebalikannya adalah sifat al-‘Ajz (lemah).
Dalil bahwa Allah s.w.t. bersifat Maha Berkuasa adalah: seandainya Allah lemah, maka tentunya tidak akan dapat dijumpai sesuatu pun dari makhluq-Nya.
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Irādah (Maha Berkehendak). Sifat Irādah adalah suatu sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. yang dengan sifat tersebut Allah menentukan hal yang mungkin menjadi wujud atau tidak wujud atau kaya atau miskin atau mengerti atau bodoh dan seterusnya.
Kebalikannya adalah sifat al-Karāhah (terpaksa).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat Maha Berkehendak adalah: Seandainya Allah terpaksa, maka tentunya Allah bersifat lemah. Dan adanya Allah bersifat lemah adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui). Sifat al-‘ilmu adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. yang dengan sifat tersebut Allah mengetahui semua hal.
Kebalikannya adalah sifat al-Jahl (bodoh).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat Maha Mengetahui adalah: seandainya Allah memiliki sifat bodoh, maka tentunya Allah tidak memiliki sifat Maha Berkehendak. Dan hal itu adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Ḥayāh (Maha Hidup). Sifat al-Ḥayāh adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. yang dengan sifat tersebut dapat membenarkan bahwa Allah memiliki sifat ‘Ilmu dan sifat-sifat lainnya.
Kebalikannya adalah sifat al-Maut (Mati).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat Maha Hidup adalah: Seandainya Allah mati, maka tentunya Allah tidak memiliki sifat Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, dan hal itu adalah hal yang tidak bisa diterima akal (mustaḥīl).
Risalah al-Bajuriyah – Tijan ad-Durori (Bagian 2)
RISĀLAH AL-BĀJŪRIYYAH
(TĪJĀN AD-DURARĪ)
Oleh: Syaikh Ibrohim al-Bajuriy
Alih Bahasa: M. Munawwir Ridwan
Penerbit: ZAMZAM (Surmber Mata Air Ilmu)
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat as-Sama‘ (Maha Mendengar) dan al-Bashar (Maha Melihat). Keduanya adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. yang dengan keduanya menjadi terbukalah hal yang wujud.
Kebalikannya adalah sifat as-Shamam (Tuli) dan al-‘Amā (Buta).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat adalah firman Allah s.w.t.:
(وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ)
Dialah Allah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat (asy-Syūrā, ayat 11).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat al-Kalām (Maha Berfirman). Sifat Kalām adalah sifat terdahulu yang menetap pada Dzatnya Allah s.w.t. dan tidak berwujud huruf dan tidak berwujud suara.
Kebalikannya adalah sifat al-Bukmu yaitu al-Kharas (Bisu).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat Maha Mengetahui adalah firman Allah s.w.t.:
(وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا)
Dan Allah telah berfirman kepada Mūsā dengan Firman yang Nyata (an-Nisā’, ayat 164).
Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat Kaunuhu Samī‘an (adanya Allah Dzat yang Maha Mendengar) dan Kaunuhu Bashīran (adanya Allah Dzat yang Maha Melihat).
Kebalikannya adalah sifat Kaunuhu ‘Ashamma (adanya Allah Dzat yang Tuli) adan Kaunuhu A‘mā (adanya Allah Dzat yang Maha Buta).
Dalil bahwa Allah s.w.t. memiliki sifat adanya Allah Dzat yang Maha Mendengar dan adanya Allah Dzat yang Maha Melihat adalah dalil sifat as-Sama‘ dan dalil sifat al-Bashar (Maha Mendengar dan Maha Melihat).
Boleh bagi ḥaqqnya Allah s.w.t. bersifat mengerjakan setiap perkara yang mungkin atau meninggalkannya.
Dalil bahwa Allah s.w.t. bersifat mengerjakan setiap perkara yang mungkin atau meninggalkannya adalah seandainya Allah berkewajiban untuk mengerjakan sesuatu atau berkewajiban untuk meninggalkannya niscaya sifat Jā’iz tersebut menjadi Wājib atau Mustaḥīl. Dan hal itu adalah hal yang tidak dapat diterima oleh akal (mustaḥīl).
Dan wajib bagi ḥaqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat ash-Shiddīq (Benar atau Jujur).
Kebalikannya adalah sifat al-Kidzbu (Berbohong).
Dalil bahwa para rasul memiliki sifat ash-Shidqu adalah seandainya para rasul berbohong niscaya berita/khabar dari Allah s.w.t. adalah suatu hal yang tidak benar/bohong. Dan hal itu tidak dapat diterima oleh akal (mustaḥīl).
Dan wajib bagi ḥaqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-Amānah (dapat dipercaya/terpercaya).
Kebalikannya adalah sifat al-Khiayānat (Berkhianat/tidak dapat dipercaya).
Dalil bahwa para rasul memiliki sifat al-Amānah adalah seandainya pula rasul berkhianat dengan berbuat hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan niscaya kita semua diperintahkan dengan hal yang serupa. Dan tidak benar jika kita diperintah untuk melakukan hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan.
Dan wajib bagi ḥaqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat Tablīghu Mā Umirū bi Tablīghihi(Menyampaikan hal yang diperintahkan untuk disampaikan).
Kebalikannya adalah sifat Kitmān (Menyembunyikan hal yang diperintahkan untuk disampaikan)
Dalil bahwa para rasul memiliki sifat Tablīghu Mā Umiru bi Tablīghihi adalah seandainya para rasul menyembunyikan suatu hal yang diperintahkan untuk disampaikan, niscaya kita diperintahkan untuk menyembunyikan ilmu. Dan tidak benar jika kita diperintah untuk itu. Karena sesungguhnya orang yang menyembunyikan ilmu itu dilaknat.
Dan wajib bagi ḥaqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-Fathanah (Cerdas/Pandai).
Dalil bahwa para rasul memiliki kecerdasan niscaya mereka tidak akan mampu untuk berhujjah mengalahkan para lawan/musuhnya. Dan hal itu tidak dapat diterima akal. Karena al-Qur’ān telah menunjukkan dalam banyak tempat atas kemampuan para rasul berhujjah mengalahkan para lawan/musuhnya.
Boleh bagi ḥaqqnya para rasūl ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām sifat al-A‘rādh-ul-Basyariyyah (sifat Manusiawi) yang tidak sampai mendatangkan pada rendahnya martabat mereka yang luhur, seperti sakit dan semisalnya.
Dalil bahwa para rasul memiliki sifat Manusiawi (al-A‘rādh-ul-Basyariyyah) adalah kenyataan yang dapat disaksikan pada diri para rasul ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām.
Risalah al-Bajuriyah – Tijan ad-Durori (Penutup)
RISĀLAH AL-BĀJŪRIYYAH
(TĪJĀN AD-DURARĪ)
Oleh: Syaikh Ibrohim al-Bajuriy
Alih Bahasa: M. Munawwir Ridwan
Penerbit: ZAMZAM (Surmber Mata Air Ilmu)
Adapun silsilah Nabi s.a.w., dari jalur ayah beliau adalah, baginda kita Muḥammad s.a.w., adalah putra ‘Abdullāh putranya ‘Abd-ul-Muththalib putranya Hāsyim putranya ‘Abdu Manāf putranya Qushay putranya Kilāb putranya Murrah putranya Ka‘b putranya Lu’ay putranya Ghālib putranya Fihr putranya Mālik putranya Nadhar putranya Kinānah purtranya Khuzaimah putranya Mudrikah putranya Ilyās putranya Mudhar putranya Nizār putranya Ma‘add putranya ‘Adnān. Dan – sampai Sayyid ‘Adnān ini – tidak ada silsilah yang Shaḥīḥ hingga Nabi ‘Ādam a.s.
Adapun silsilah Nabi s.a.w., dari jalur ibunya adalah, Baginda kita Muḥammad s.a.w., adalah putra Āminah putrinya Wahb putranya ‘Abdu Manāf putranya Zuhrah putranya Kilāb. Maka bertemulah Sayyidah Āminah beserta Nabi s.a.w., pada kakeknya, yakni Sayyid Kilāb.
Dan sesungguhnya Nabi Muḥammad s.a.w. akan memberi syafaat ketika dalam Fashl-ul-Qadhā’ (pemutusan hukum untuk seluruh makhluk), dan Syafā‘ah ini dikhususkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w.
Dan yang wajib untuk diketahui juga adalah nama para rasul yang disebutkan dalam al-Qur’ān secara rinci, adapun selain para rasul yang disebutkan dalam al-Qur’ān, maka wajib mengetahuinya secara global saja.
Dan sebagian yang wajib diyakini lagi adalah, bahwa sesungguhnya masa/era Rasūlullāh s.a.w., adalah masa yang terbaik, lantas masa sesudahnya (Shahabat Nabi) kemudian masa sesudahnya lagi (Tābi‘īn).
Dan seyogyanya bagi seseorang untuk mengetahui putra seseorang untuk mengetahui putra-putri Nabi Muḥammad s.a.w. Dan jumlah mereka berdasarkan riwayat yang Shaḥīḥ adalah Sayyid Qāsim, Sayyidah Zainab, Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Fāthimah, Sayyidah Ummi Kultsūm, Sayyid ‘Abdullāh yang dijuluki ath-Thayyib dan ath-Thāhir, Sayyid Ibrāhīm. Dan mereka semuanya dari Ibu Sayyidah Khadījah al-Kubrā kecuali Sayyid Ibrāhīm dari Ibu Māriyyah al-Qibthiyyah.
Segala puji hanya milik Allah s.w.t., Tuhan semesta alam. Shalawat kepada Baginda kita Muḥammad s.a.w., dan juga kepada keluarganya dan para Shahabatnya.
PENUTUP (SANG PENULIS KITAB INI)
Puji syukur tiada terkira kami haturkan kepada Allah s.w.t., karena hanya atas pertolongan-Nya sematalah buku kecil ini dapat hadir di hadapan saudara.
Semoga nikmat yang luar biasa ini bisa membawa manfaat dan berkah untuk seluruh umat Islam.