Bukti Imam Ahmad takwil ayat mutasyabihat dan Kedustaan Wahabi (Utsaimin)

Imam Ahmad Ahli Tahrif Kata Wahhabi?

Imam Ahmad secara tidak langsung atau langsung telah dituduh oleh wahhabi sebagai ahli Tahrif (mengubah maksud ayat).

Imam Ahmad yang dituduh wahhabi sebagai ahli tahrif menurut pengakuan kebanyakan wahhabi adalah bermadzhab Hanbali, yaitu mengikuti metode Imam Ahmad bin Hanbal dalam fiqih, namun bagaimana bisa Imam yang diikuti itu ternyata sebagai ahli tahrif menurut ‘Ulama pentolan wahhabi sendiri?

Tuduhan Imam Ahmad sebagai ahli tahrif menurut pentolan ‘Ulama wahhabi berlatar belakang  dari Imam Ahmad yang dalam menafsirkan salah satu ayat dalam Al Quran tidak menurut dhohirnya, sebagai berikut:

قال تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22)

Sabda Allah: “Dan datanglah Robbmu sementara para Malaikat bershaf shaf”

تفسير الإمام أحمد رحمه الله: روى البيهقي في مناقب الإمام أحمد عن الحاكم، عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى قال تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22) أنه جاء ثوابه. ثم قال البيهقي وهذا إسناد لا غبار عليه. نقل هذا ابن كثير في البداية والنهاية المجلد 10 ص 327.

“Dalam tafsir Imam Ahmad: Imam Bayhaqi meriwayatkan dalam manaqib Imam Ahmad dari Al Hakim, dari Abi ‘Amru bin samak, dari hanbal sesungguhnya Ahmad bin Hanbal mentakwil Sabda Allah (datanglah Robbmu sementara para Malaikat bershaf shaf) sesungguhnya datang pahalaNya, Imam Bayhaqi menjelaskan bahwa sanad ini tidak bernoda sama sekali, ImamIbnu Katsir menuqilnya dalam kitabnya Al Bidayah Wa Al Nihayah jild 10 hal 327”

Adapun Syailh ‘utsaimin dalam masalah ayat tersebut didalam kitabnya yang berjudul  “MAJMU’ FATAWA WA AL ROSAIL “ atau anda bisa melihatnya dalam situs http://www.resaltalislam.com/yang saya ambil screen shootnya seperti di bawah ini:

 

 

mengatakannya sebagai berikut:

[فأهل السنة و الجماعة يقولون : نحن نؤمن بهذه الآيات، والأحاديث و لا نحرفها، لأن تحريفها قول على الله بغير علم من وجهين، يتبين ذلك في قوله تعالى {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22) قال أهل السنة والجماعة : جاء ربك أي هو نفسه يجيء، لكنه مجيء يليق بجلاله و عظمته لا يشبه مجيء المخلوقين، ولا يمكن أن نكيفه، و علينا أن نضيف الفعل إلى الله كما أضافه الله إلى نفسه. فنقول: إن الله تعالى يجيء يوم القيامة مجيئاً حقيقياً يجيء هو نفسه، و قال أهل التحريف معناه : و جاء أمر ربك ….]

Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mereka mengatakan: Kita mengimani ayat ini juga beberapa hadits (yang membicarakan masalah Shifat) dan Kami tidak mentahrifnya, karena mentahrif ayat dan hadits hadits tersebut adalah ucapan mengatasnamakan Allah tanpa Ilmu dari dua segi, hal itu akan jelas dalam Firman Allah  {وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفّاً صَفّاً} (الفجر:22), Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan : Datang Tuhanmu yang dimaksud Tuhan datang dengan diiNya, tetapi kedatanganNya yang patut dengan keagungan dan kemulyaanNya, tidak sama seperti kedatangan para Mahluq, dan kita tidak mungkin menteorikan kedatangaNya itu, dan wajib bagi kita untukmenyandarkan perbuatan kepada Allah sebagaimana Allah sendiri menyandarkan perbuatan itu kepada DiriNya sendiri. Maka kami menmgatakan: Allah datamng dihari Qiyamat dengan datang yang sebenarnya, Allah datang dengan Dirinya Sendiri. Dan Orang orang Ahli tahrif mengatakan artinya (Dan datang Robbmu) itu dengan “Dan datang Perintah Robbmu”

Demikianlah Imam Ahmad adalah Ahli Tahrif menurut pandangan ‘Ulama wahhabi Syaikh Al ‘utsaimain, sebab Imam Ahmad telah mentakwil ayat tersebut dengan yang tidak seperti mereka katakan atau tidak mengartikan sesuai apa adanya. (By warkopmbahlalar)

Bukti aqidah madzab hambali yang haq dalam kitab kitab imam aljauzi aalhambali yang hidup 1 abad sebelum Ibnu taymiyah:

Imam al jauzi (wafat 597 H) (Scanned Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih-): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali

Imam al jauzi (Kitab Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih): Jelaskan Siapa Penyebab dan Penyebar Ajaran Mujasimmah di Kalangan pengikut Imam Hambali

1. Imam al jauzi jelaskan kenapa ada golongan mujasimmah dalam pengikut madzab hambali dan sebutkan biang keroknya

Judul :  Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih

Karya : al-Imam al-Hafidz Abul Faraj ‘Abdurrahman bin al-Jauzi al-Hanbali (w 597 H)

Kompilasi ebook kedalam format CHM oleh: http://www.ashhabur-royi.blogspot.com bekerjasama dengan http://www.pustakaaswaja.web.id

Al-Imâm al-Hâfizh al-‘Allâmah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as-Shiddiqi al-Bakri berkata (original Scanned kitab page 98 -101):

“Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah akidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qâdlî Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az-Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan dengan sebab itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “إن الله خلق ءادم على صورته”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah” (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.

Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara zahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan.

Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang beliau tuliskan didalam muqaddimah kitab Da’fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih (دفع شبه التشبيه بأكف التنزيه) yakni salah satu karya monumental beliau dalam bidang aqidah. Kitab ini memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih ( menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan makhluk) yang sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka.

Dalam ebook ini juga terdapat pengantar dari penterjemah yang sangat penting untuk dibaca agar anda bisa membedakan antara Ibn Al-Jauzi dengan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Penjelasan mendalam tentang faham Ibn Taimiyah yang ditentang ulama-ulama terkemuka dari masa ke masa dari generasi ke generasi, Cara mudah membantah ajaran wahabi,  dan panduan membaca kitab terjemah Daf’u Syubah At-Tasybih ini.

Segera Download Ebooknya, Gratis!!!

Klik disini : http://www.mediafire.com/?ljb0wwpj1ph66h9 (format CHM) 

Ebook ini didedikasikan bagi para pejuang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk memberantas ajaran Wahabi dan faham-faham menyesatkan lainnya. Halal untuk diperbanyak dengan cara apapun dengan tanpa merubah sedikitpun kandungan yang dimaksud.

Selain E-book dengan format CHM, anda juga bisa mendownload E-book ini dalam format PDF ~dengan isi yang sama~ yang mana dengan format PDF bisa dibaca melalui HP (semua HP yang punya Sistem Operasi baik itu Symbian, Windows Mobile, maupun Android), silahkan download E-book PDFnya disini : http://www.mediafire.com/?kmuu3tgemfk9tf9

Kami sertakan juga link download kitab Daf’u Syubah At-Tasybih دفع شبه التشبيه بأكف التنزيهberbahasa arab bagi anda yang ingin melihat teks arab kitab ini. Silahkan download disini: http://www.mediafire.com/?whb05pg0xd5284k ( Format PDF, Size 6,4 Mb)

Bermanfaat, Insya Allah!!

2. al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih wahabi (penyembah dajjal keriting) ((( Mewaspadai Ajaran Wahabi )))

by AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT

 

 

 Kitab ini berjudul “Talbis Iblis”, [ artinya Membongkar Tipu Daya Iblis ], karya al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H), salah seorang ulama terkemuka (–bahkan rujukan–) dalam madzhab Hanbali.

Terjemahan yang diberi tanda:

“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [–dengan pemahaman yang salah–] dari hadits nabi: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”.

Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (meterial). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.

Imam Ibn al Jawzi al Hanbali menegaskan bahwa KEYAKINAN ALLAH BERTEMPAT DI ATAS ARSY ADALAH KEYAKINAN MUSYABBIHAH. Lihat, beliau adalah ulama besar dalam madzhab Hanbali, hidup jauh sebelum datangnya Ibnu Taimiyah dengan faham-faham Tasybih-nya. Ratusan tahun sebelum datang Muhammad bin Abdil Wahhab dengan faham-faham Tajsim-nya…….

Catatan Penting:

Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali.

Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.

 3. Beda Antara Imam Abu ya’ala (Muhadits) dengan Abu ya’la (Mujasimmah)

Tulisan ini sangat penting dan sangat mendesak untuk menghindari tipu daya kaum Wahhabi.

Perhatikan, ada dua orang bernama Abu Ya’la, keduanya orang berbeda, yang pertama adalah ulama terkemuka ahli hadits di kalangan Ahlussunnah, sementara yang ke dua adalah seorang Musyabbih (seorang yang sesat; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) yang seringkali menjadi rujukan utama bagi orang Wahabi dalam menetapkan keyakinan sesat mereka.

Perhatikan;

Orang Pertama:

Nama: Abu Ya’la ahli hadits bernama; Ahmad bin Ali bin al Mutsanni bin Yahya bin Isa al Maushiliy, penulis kitab Musnad (Dikenal dengan kitab Musnad Abi Ya’la al Maushili), lahir tahun 210 H, wafat tahun 307 H (satu pendapat mengatakan wafat tahun 306 H).

Guru-guru: Di antaranya Imam-imam Ahli hadits terkemuka berikut ini; Ali bin al Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yahya bin Sa’id al Qaththan, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan lainnya.

Murid-murid: Di antaranya Imam-imam ahli hadits terkemuka berikut ini; an Nasa’i, Ibnu Adiy, Abu Hatim, Abu asy-Syaikh, Abu Bakr bin al Muqri’, ath-Thabarani, dan lainnya.

Orang Ke Dua:

Nama: Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al Baghdadi al Hanbali, dikenal dengan sebutan al Qadli Abu Ya’la al Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H.

Al Qadli Abu Ya’la ini dikenal sebagai orang yang menyebarkan faham tasybih, bahkan salah seorang yang paling bertanggungjawab atas kerusakan Madzhab Hanbali. Orang inilah yang telah “menyuntikan penyakit” akidah tasybih di dalam madzhab Hanbali, dia banyak menuliskan akidah tasybih lalu dengan BOHONG BESAR ia mengatakan bahwa itu semua adalah aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.

Imam al Hafizh Ibn al Jawzi (w 597 H) berkata:

Aku melihat ada beberapa orang dalam madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah aqidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu; Abu Abdillah bin Hamid, al-Qadli Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn az Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak madzhab Hanbali, bahkan karena itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan, mereka mendapati teks hadits “Innallah Khalaqa Adam ‘Ala Shuratih”, lalu mereka menetapkan adanya “Shurah” (bentuk) bagi Allah. Lalu mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu -dan ini yang menyesakkan- mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”. (Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 7-8)

Kemudian dalam nasehatnya kepada para pengikut madzhab Hanbali; al Hafizh Ibn al Jawzi menuliskan:

Janganlah kalian memasukan ajaran-ajaran aneh ke dalam madzhab orang salaf yang saleh ini (Ahmad bin Hanbal); yang nyata-nyata itu bukan dari ajarannya. Kalian telah menutupi madzhab ini dengan bungkus yang buruk, hingga tidak disebut siapapun seorang yang bermadzhab Hanbali kecuali ia dianggap sebagai Mujassim (berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda). Selain itu kalian juga telah merusak madzhab ini dengan sikap fanatik terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Padahal kalian tahu sendiri bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, perintis madzhab ini membolehkan melaknat Yazid. Bahkan Syekh Abu Muhammad at Tamimi sampai berkata tentang salah seorang imam kalian (yaitu Abu Ya’la al-Mujassim): “Dia (Abu Ya’la) telah menodai madzhab ini dengan noda yang sangat buruk, yang noda tersebut tidak akan bisa dibersihkan hingga hari kiamat”. (Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 10)

Imam Abu Muhammad at Tamimiy berkata:

“Abu Ya’la telah mengotori orang-orang Madzhab Hanbali (al Hanabilah) dengan kotoran yang tidak bisa dibersihkan dengan air lautan sekalipun”. (diriwayatkan oleh Ibn al Atsir dalam al Kamil Fi at Tarikh).

Waspadalah…. waspadalah… !!!!!

Kitab berjudul “Ash Shawa’iq al Ilahiyyah Fi ar Radd ‘Ala al Wahhabiyyah”, karya Syekh Sulaiman bin Abdil Wahhab. Beliau adalah saudara kandung dari Muhammad bin Abdil Wahhab; perintis gerakan wahabi. Lihat, saudara kandungnya aja mengatakan bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab orang sesat!!!!! [WAHABI mati kutu

Tafsir al kabir (Imam al-Fakhr ar-Razi (wafat 606 H)) : Aqidah salaf adalah Allah ada tanpa tempat dan arah

Dari Tulisan Imam al-Fakhr ar-Razi (606 H) Dalam at-Tasir al-Kabir; ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Membongkar Kesesatan Aqidah Wahabi)

 

Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).

Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).

Seorang ahli tafsir terkemuka, Imam al-Fakhr ar-Razi (w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut: 

“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan, sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil”( at-Tafsîr al-Kabîr, QS. al-Baqarah: 225, jld. 4, juz 7, h. 14).

Pada bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 Imam al-Fakhr ar-Razi menuliskan sebagai berikut:

“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa Tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;

Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. (Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah)”.

Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan adanya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.

Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.

Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” (at-Tafsîr al-Kabîr, QS. Thaha: 5, jld. 11, juz 22, h. 5-6).

Waspadai Wahabi, mereka menyebarkan aqidah sesat; mengatakan Allah bertempat di atas arsy, lalu pada saat yang sama juga mengatakan Allah bertempat di langit. mereka mengatakan Allah bertempat bahkan di dua tempat, heh!!!!! Na’udzu Billah!!!
Mereka yakin arsy dan langit sebagai ciptaan Allah; tapi mereka mengatakan Allah bertempat pada keduanya!!! di mana logika sehat mereka?????? itu artinya dalam keyakinan mereka; Allah berubah-ubah, dari semula yang ada tanpa arsy dan tanpa langit, lalu berubah menjadi bertempat pada keduanya!!!

Benar, mereka adalah kaum yang ditertawakan oleh orang2 tolol; sebelum ditertawakan oleh orang2 berakal….!!!!!!
waspadai mereka….!!! jaga anak2 dan generasi kita, jangan sampai berkeyakinan rusak ala Wahabi!!!!

 

Fatwa Pengkafiran Cucu Muhammad Bin Abdul Wahhab Terhadap Ulamak Mufassir Fakhruddin Al Razi (w.606 H)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

 

 

 

al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, Cetakan Dar al-Qasim, vol.10, hal.355.

 

Setelah ia menjelaskan ehwal keburukan orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang Musyrik akhirnya ia (Abdurrahman bin Hasan; cucu Muhammad bin Abdil-Wahhab -tergolong Alu Syeikh-) masih merasa kurang jika tidak memurtadkan Imam al-Razi. Ia menuliskan risalah bahwa;

 

Ada hal yang lebih buruk dari itu semua iaitu dari kalangan mereka (orang-orang kafir) ada yang menuliskan karya -yang termasuk- dalam agama orang-orang musyrik dan murtad dari agama Islam, sebagaimana halnya al-Razi menulis bukunya tentang penyembahan gugusan bintang dan dia (al-Razi) menggunakan dalil-dalil untuk -mendukung- kebaikan dan manfaat dari karyanya sekaligus dia menganjurkan untuk hal itu (mempelajari dan mengambil manfaatnya). Hal ini -seperti apa yang dilakukan al-Razi- berdasarkan kesepakatan umat muslim adalah kemurtadan dari agama Islam, meskipun pada akhirnya dia balik ke agama Islam.

 

Poin-poin dari risalah ini adalah:

  • Kata “Anna Min Hum” (sesungguhnya dari kalangan mereka). Di sini terdapat Huruf Jar yaitu “Min” (dari) yang berfaedah Tab’idh (sebagian). Jadi, Isim Mu’akhkhar dari Inna yaitu “Man” yang terdapat setelah Khabar Inna Muqaddam (dalam hal ini jumlah Jar dan Majrur -Minhum-) adalah bagian dari kata “Hum” (mereka: marja’nya adalah yahudi, nasrani). Jadi orang yang menulis karya semacam ini adalah bagian dari orang-orang kafir seperti Yahudi dan Nasrani.

 

  • Kata “Kama Shannafa al-Razi” (sebagaimana yang ditulis oleh al-Razi). Di sini terdapat Huruf Jar yaitu “Kaf” (seperti, sebagaimana) yang berfaedah Tasybihkarena merupakan Adat Tasybih seperti kata Mitsl. Maka dalam hal ini Imam al-Razi berada pada posisi al-Musyabbah (orang yang diserupakan), sementara kata “Man” (orang) yang merupakan bagian dari Yahudi dan Nasrani adalah al-Musyabbah Bih (orang yang diserupai). Konsekuensi logik dari ucapan ini adalah menyerupakan Imam al-Razi dengan orang-orang yahudi dan nasrani.

 

  • Kata “Fi ‘Ibaadati al-Kawakib“. Semenjak bila Imam al-Razi menulis buku penyembahan gugusan bintang!? Ini jelas sekali tuduhan lantaran kedengkian dan berburuk sangka sebelum memahami apa yang ditulis oleh Imam al-Razi. Jika sekarang ahli astronomi Islam menuliskan buku-buku pegangan untuk pelajar guna menjelaskan tentang gugusan bintang, apakah penulis ini dikatakan menganjurkan untuk menyembah gugusan bintang sehingga ia dikafirkan?? Barangkali penulis ini akan dikafirkan jika berhasil membuktikan bahwa bumi adalah bulat, bukan datar bagai papan tulis yang punya tepi.

 

  • Kata “Hadzihi Riddatun ‘an al-Islam” (murtad dari agama Islam). Inilah ujung dari premis-premis yang digunakannya untuk memfitnah Imam al-Razi sebagai pelopor kemurtadan di abad 6 s/d 7 Hijriyah. Bahkan sebelum ditutup dengan kata “Intaha” alias Selesai, statemen ini diakhiri dengan “Wa In Kaana Qad Yakuunu ‘Aada Ilaa al-Islam” (meskipun dia pernah kembali ke agama Islam), dia tetap murtad!!!

 

Dari risalah di atas dapat kita susun premis-premisnya yang terdiri dari muqaddimah kubra dan shughra serta natijahnya, sbb;

 

+Orang yang menulis tentang ilmu perbintangan (meski dituduh menganjurkan menyembah bintang) adalah murtad yang termasuk golongan yahudi, nasrani.

+Imam al-Razi adalah penulis buku perbintangan (meski dituduh menganjurkan menyembah bintang).

=Imam al-Razi termasuk golongan…………… Na’udzubillah

Pengikut Wahabi mengritik aqidah takfir Pendiri Wahabi (mohammad ibnu abdul wahab)

Pengikut Wahabi Kritik Pendiri Wahabi

 

Kitab Fathul Majid Kitab aqidah utama aliran wahabi yang ditulis oleh Muhammad Ibnu badul wahab dan telah di tahrij berulang kali oleh mufti mufti wahabi saudi.

Ustaz Abu Syafiq – Pendedahan Eksklusif Kitab Utama Gerakan Wahhabiy

 

risalah Muhammad bin abdil wahab yang lain semisal buku Kasyfus syubhat sangat berbahaya bagi keutuhan dan persatuan umat islam.

Adalah Hasan farhan al-maliki, murid Ibn baz yang menilai pengkafiran yang dilakukan Muhammad bin abdil wahab  kepada umat islam sangat membahayakan bagi generasi muda saudi dan umat islam keseluruhan.

Dalam karyanya yang berjudul “da’iyah wa laisa nabiyyan, qira’ah naqdiyah li madzhab as-syeh muhammad ibn abdil wahhab fit takfir” (Seorang dai bukan nabi, penilaian kritis pada madzhab syeh Muhammad bin abdil wahab menyatakan:

.

“cukup jika kita mengatakan bahwa sikap keras dia (Muhammad bin abdil wahab) -semoga Allah merahmati- dalam mengkafirkan (muslim) mengakibatkan bahaya yg begitu besar bagi kita dan mayoritas umat islam di dunia ini. Bukti-bukti pengkafiran syaikh sangat jelas bagi orang-orang yang Allah selamatkan dari sifat fanatik yang tak benar,,,”

“bahkan kita menyaksikan sebagian dari para fanatik syeh ini, begitu mudahnya dalam menerima doktrin-doktrin penyalahan kepada para pembesar shahabat, seperti Umar, Ali, Abi darrin ra dan orang2 semisalnya” (lihat hal.3)

Kemudian Farhan al-maliki pun menegaskan keprihatinan kumpulan risalah Muhammad bin abdil wahab “Ad-durar as-saniyah fil ajwibah an-najdiyah” yang berisi tentang bab jihad yang mencapai 2 jilid besar yang membahas memerangi umat islam, tidak ada satu katapun jihad kepada orang kafir asli. Berikut ini keterangannya:

“dan bagi orang yg membaca buku ad-durar as-saniyah, dia pasti mengetahuinya. Bahkan dalam buku ini terdapat 2 jilid besar berbicara tentang Jihad, semuanya membahas memerangi umat islam. Tak ada sepatah katapun tentang jihad terhadap orang-orang kafir, yaitu yahudi dan kristen. Padahal negri-negri muslim yang ada disekitarnya, diteluk, irak, syam terdapat orang kafir asli yang sedang menjajah umat islam…” (hal.96).

Masih menurut Hasan Farhan al-maliki, risalah Muhammad bin abdil wahab yang lain semisal buku Kasyfus syubhat sangat berbahaya bagi keutuhan dan persatuan umat islam. Karna isinya banyak tentang pengkafiran umat islam, penghalalan harta, nyawa dan kehormatan manusia yang dibungkus dengan teks berbau agama secara apik dan rapi.

———–
Inilah pengakuan seorang pengikut sekte wahabi yang jelas-jelas tak sefaham pendirinya, Muhammad bin abdil wahab. Namun anehnya di Indonesia yang kita cintai ini, masih banyak pula yang selalu percaya dengan pemikiran Muhammad bin abdil wahab yang anarkis dalam dakwahnya dan membabi buta dalam sasarannya. Semoga kita mampu mengambil manfaatnya dan membuang yang tak ada gunanya. Amin.   (Menyan From: Emka Shofa)

Dalil dalil Bolehnya Memakai Hirz atau Ta’widz atau wafaq

Memakai Hirz Atau Ta’widz Adalah ajaran Dan Tradisi Ulama Salaf; Dengan Dasar Yang Kuat (Mewaspadai Ajaran Wahhabi Yang Mengharamkannya)

segala apa yang terlintas dalam hatimu tentang Allah maka Allah tidak seperrti demikian itu

segala apa yang terlintas dalam hatimu tentang Allah maka Allah tidak seperrti demikian itu

Di antara keganjilan golongan Wahabi bahwa mereka mengharamkan memakai hirz yang isi di dalamnya hanya ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir kepada Allah, mereka bahkan memutus hirz-hirz tersebut dari leher orang yang memakainya dengan mengatakan: “ini adalah perbuatan syirik”, terkadang mereka tidak segan-segan memukulnya. Kita katakan: Bagaimana penilaian kalian terhadap sahabat Abdullah ibn ‘Amr ibn al ‘Ash dan para sahabat lainnya yang telah mengalungkan hirz-hirz tersebut pada leher anak-anak mereka yang belum baligh, apakah kalian akan memvonis para sahabat tersebut dengan syirk ?!!!, lalu apa yang hendak kalian katakan tentang Imam Ahmad, Imam Ibn Mundzir yang telah membolehkan hirz? Cukuplah ini sebagai bukti bahwa kelompok Wahabi ini sesat karena telah menganggap syirik apa yang telah dilakukan oleh para ulama salaf.

At-Tirmidzi dan an-Nasa-i meriwayatkan dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada kami beberapa kalimat untuk kita baca ketika terjaga dari tidur dalam keadaan terkejut dan takut”, dalam riwayat Isma’il Rasulullah bersabda yang maknanya: “Jika di antara kalian merasakan ketakutan maka bacalah:

” أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه ومن شر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون “

Adalah sahabat Abdullah ibn ‘Amr mengajarkan bacaan ini kepada anaknya yang sudah baligh untuk dibaca sebelum tidur dan menuliskannya untuk anak-anaknya yang belum baligh kemudian dikalungkan di lehernya”.
Al Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya al Amali [Nata-ij al Afkar, h. 103-104] berkata: “Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ali ibn Hujr, dari Isma’il ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh an-Nasai dari ‘Amr ibn Ali al Fallas dari Yazid ibn Harun”. Kalaupun Ibn Baz atau Muhammad Hamid al Faqqi melemahkan hadits ini, maka itu adalah sesuatu yang tidak benar, sama sekali tidak berpengaruh dan tidak perlu diambil karena mereka berdua bukan Muhaddits atau Hafizh. Terlebih Amir al Mukminin fi al Hadits, Ibn Hajar al ‘Asqalani telah menyatakan bahwa hadits ini hasan.

Ibn Abi ad-Dunya [dalam kitab al ‘Iyal, h. 144] meriwayatkan dari al Hajjaj, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang telah melihat Sa’id ibn Jubayr sedang menuliskan beberapa ta’widz untuk orang”. Dalam riwayat al Bayhaqi [ as-Sunan al Kubra, Jilid 9, hlm. 351] orang yang telah melihat Sa’id ibn Jabir itu disebutkan namanya yaitu Fudhail.

Dalam kitab Masa-il al Imam Ahmad [h. 260] karya Abu Dawud as-Sijistani sebagai berikut:
“Telah memberitakan kepada kami Abu Bakr, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Aku melihat tamimah (hirz) yang terbuat dari kulit terkalungkan pada leher putera Ahmad yang masih kecil”.

Juga telah memberitakan kepada kami Abu Bakr berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Dawud: Aku telah mendengar Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang menulis al Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan diminumnya? Ahmad berkata: “Saya berharap itu tidak masalah”.

Abu Dawud berkata: Aku mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Ahmad: Menulis al-Qur’an pada sesuatu kemudian dicuci dan dibuat mandi?, beliau menjawab: “Saya tidak mendengar kalau hal itu dilarang”.

Dalam kitab Ma’rifah al ‘Ilal wa Ahkam ar-Rijal [ hlm. 278-279] dari Abdillah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku, ia berkata: telah meriwayatkan kepadaku Yahya ibn Zakariya ibn Abi Za-idah, ia berkata: telah mengkabarkan kepadaku Isma’il ibn Abi Khalid dari Farras dari asy-Sya’bi berkata: “Tidak masalah mengalungkan hirz dari al Qur’an pada leher seseorang”.

Abdullah ibn Ahmad [dalam Masa-il al Imam Ahmad karya puteranya Abdullah, h. 447] berkata: “Saya melihat ayahku menuliskan bacaan-bacaan (hirz/at-ta’awidz) untuk orang-orang yang dirasuki Jin, serta untuk keluarga dan kerabatnya yang demam, ia juga menuliskan untuk perempuan yang sulit melahirkan pada sebuah tempat yang bersih dan ia menulis hadits Ibn Abbas, hanya saja ia melakukan hal itu ketika mendapatkan bala dan aku tidak melihat ayahku melakukan hal tersebut jika tidak ada bala. Aku juga melihat ayahku membaca ta’widz pada sebuah air kemudian diminumkan kepada orang yang sakit dan disiramkan pada kepalanya, aku juga melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah lalu diletakkan pada mulutnya dan mengecupnya, aku juga sempat melihat ayahku meletakkan rambut Rasul tersebut pada kepala atau kedua matanya kemudian dicelupkan ke dalam air dan air tersebut diminum untuk obat, aku melihat ayahku mengambil piring Rasul yang dikirim oleh Abu Ya’qub ibn Sulaiman ibn Ja’far kemudian mencucinya dalam air dan air tersebut ia minum, bahkan tidak hanya sekali aku melihat ayahku minum air zamzam untuk obat ia usapkan pada kedua tangan dan mukanya”.

Dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah [ 5/39-40] tersebut sebagai berikut: “Telah meriwayatkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Ali ibn Mushir dari Ibn Abi Laila dari al Hakam dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibn Abbas berkata: Jika seorang perempuan sulit melahirkan maka tulislah dua ayat ini dan beberapa kalimat pada selembar kertas kemudian basuh (celupkan dalam air) dan minumlah:

“بسم الله لا إله إلا هو الحليم الكريم , سبحان الله رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، (كأنهم يوم يرونها لم يلبثوا إلا عشية أو ضحاها ) [سورة النازعات / 46] (كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ) [الأحقاف / 35] (فهل يهلك إلا القوم الفاسقون) [سورة الأحقاف / 35]“

Dalam kitab al Ausath fi as-Sunan wa al Ijma’ wa al Ikhtilaf , Juz 1 h. 103-104 karya Ibn Mundzir disebutkan bolehnya memakai at-ta’widz (hirz).

Dalam kitab al A-daab asy-Syar’iyyah karya Ibn Muflih al Hanbali juga disebutkan bahwa Imam Ahmad menulis ta’widz untuk seorang perempuan yang ketakutan di rumahnya, membuat hirz untuk orang yang demam. Imam Ahmad juga membuat hirz untuk wanita yang akan melahirkan dan meriwayatkannya dari Ibn Abbas dan Ibn as-Sunni meriwayatkannya dari Rasulullah dalam ‘Amal al Yaum wa al-laylah”.

Al Bayhaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al Kubra kebolehan memakai hirz dari beberapa ulama Tabi’in, di antaranya Sa’id ibn Jubayr, Atha’. Bahkan Sa’id ibn al Musayyab memerintahkan agar dikalungkan ta’widz dari al Qur’an. Kemudian al Bayhaqi berkata: “ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa (bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca ruqa dari ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq”.

Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi:

” إن الرقى والتمائم والتولة شرك ” رواه أبو داود

Maknanya : “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik” (H.R. Abu Dawud)

Yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta’awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga mereka dari ‘ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik.
Demikian juga ruqa yang terdapat dalam hadits tersebut, karena ruqa ada dua macam ; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.

Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.

Sedangkan ruqa yang syar’i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. umat Islam pada masa sahabat memakai ruqa syar’i tersebut untuk menjaga diri dari ‘ayn dan yang lainnya dengan mengalungkan ruqa-ruqa tersebut pada leher mereka. Ruqa syar’i ini terdiri dari ayat-ayat al Qur’an atau dzikir.[]

http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/04/24/87/

Bukti Kejahatan Wahabi Mengubah Kitab Ash Shobuni dengan kedok Tharij/ Tahrif = Ziarah Kubur Nabi Menjadi Ziarah masjid nabi

Tahrif Kitab Ash Shobuni

 By mbahlalar

Nama Kitab : ‘Aqidah as-Salaf Ashab al-Hadits

Penulis : Abu Utsman As-Shobuni

Pemalsu : (diduga) Kelompok Wahhabi

Tujuan : Pembenaran faham Wahhabi sebagai faham Salafy

Pada bukti kali ini anda akan saya bawa kepada fakta bahwa mereka memang suka mentahrif kitab kitab ‘Ulama, jika kaum Yahudi terkenal sebagai kaum yang suka merubah rubah isi kitab sucinya para Rasul, maka mereka sangat hoby mentahrif kitab ‘ulama, dan kali ini yang menjadi korban tahrif itu adalah Kitab Ash Shobuni.

Tahrif Kitab Ash Shobuni ini disertai bukti yang kuat melalui scen kitab asli dan palsunya, betapa tahrif kitab ash shobuni ini dalam rangka mendukung fatwa farwa mufti yang ada di kerajaannya.

Berikut adalah Cover Edisi “pemalsuan” pertama  cetakan tahun 1397 H.:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Edisi pertama ini adalah cetakan ad-Dar as-Salafiyah Kuwait. berikut adalah isu kajian yang dipalsukan:

 

 

perhatikan, pada halaman ini komentator menjelaskan (sekaligus memperlihatkan) perubahan kata “ziyarat qabri“ pada kata “ziyarat masjidi”. Menurutnya, kata “ziyarat qabri“ adalah salah (walaupun naskah aslinya seperti itu).

Lalu beberapa tahun kemudian, tahun 1404 H. terbit edisi baru:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

ini adalah edisi cetakan  pada percetakan yang sama. dengan komentator Badar al-Badar (yang mungkin lebih amanah dari edisi sebelumnya), coba perhatikan pada isu yang sama:

 

 

 

pada halaman ini, terlihat bahwa kata “ziyarat qabri” tertulis sebagaimana aslinya. walaupun si komentator memberikan komentar sesuai dengan keyakinannya, bahwa kata “ziyarat qabri” itu salah.

Kemudian edisi berikutnya, terbit di Mesir:

Tahrif Kitab Ash Shobuni

yang diterbitkan oleh percetakan  Dar at-Tauhid li an-Nasr wa at-Tawzi’, dengan komentator Abu Khalid Majdi Ibn Saad. pada isu yang sama, si komentator sama sekali merubah dan bahkan membuang semua komentar pada edisi sebelumnya, sehingga pembaca akan kehilangan jejak sama sekali.

 

 

Tahrif Kitab Ash Shobuni

Anda ingin bergabung dengan orang-orang jahat? Wahabi akan menerima anda dengan tangan terbuka!!!

Ilham Sulaiman

Bukti Imam Nawawi (Kitab Syarh Shahih Muslim) : Ada Dua Metode tafsir Hadis Mutasyabihat – Takwil hadits Nuzul

Diantaranya, Karena Takwil Berikut Ini Ulama Sekaliber Imam an-Nawawi Dianggap sesat Oleh Kaum Wahhabi. Hasbunallah!!

 

 

Syarah Shahih Muslim, Vol.2, Hal. 29

 

 

Imam Nawawi berkata:

“ketahuilah bahwa para ahli ilmu mempunyai dua metode dalam menyikapi hadis-hadis dan ayat-ayat mengenai sifat Allah. Yang pertama; metode mayoritas salaf atau –mungkin- semuanya, yaitu mereka tidak memperbincangkan maknanya, mereka hanya berkata, “kita wajib mengimani dan meyakininya dengan makna yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah Ta‘âlâ sembari dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta‘âlâ tiada menyerupai sesuatu pun, Dia maha suci dari sifat-sifat fisik, berpindah, mempunyai ruang gerak dalam arah, dan Dia maha suci dari semua bentuk sifat-sifat makhluk”. Ini -pun merupakan- pendapat kalangan Mutakallimîn, dan dipilih oleh kalangan Muhaqqiqîn (ahl al-Haq) dari mereka.

 

 

Syarah Shahih Muslim, Vol.3, Hal. 294

 

Mengenai hadis Nuzûl, Imam Nawawi berkata: ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama, yang mana salah satu pendapat itu adalah pendapat mayoritas salaf dan sebahagian Mutakallimîn; Yaitu dengan mengimani bahwa -ayat-ayat sifat- itu benar, sesuai dengan kelayakan bagi Allah Ta‘âlâ. Dan makna lahiriyah (dari ayat-ayat sifat) yang kita kenali itu, bukanlah makna yang dimaksud (oleh Allah). Di samping itu kalangan salaf tidak mempersoalkan takwilannya sembari meyakini kemahasucian Allah dari ciri sifat-sifat makhluk. Dan Allah maha suci dari berpindah, bergerak dan dari segala ciri khas makhluk. Dan yang ke duanya adalah pendapat mayoritas mutakallimîn, pun itu adalah pendapat salaf. Pernah diceritakan bahwa Imam Malik dan Imam Awza‘î yaitu dengan takwilan yang layak tergantung posisi (konteks ayat-ayat itu). Berdasarkan konteks ini, kalangan salaf ada yang mentakwil hadis ini dengan dua macam takwil. Salah satunya adalah Takwilan yang pernah digunakan oleh Anas Ibnn Malik ra, dll; yang maknanya adalah turunnya rahmat, urusan (keputusan) Allâh, dan malaikat-Nya. Sebagaimana dapat dikatakan jika pembantu-pembantu (kabinet) seorang pemimpin melakukan sesuatu maka akan dikatakan “pemimpin telah melakukan ini/itu”. Pendapat ke dua ini adalah dengan metode Isti‘ârah (salah satu kajian dalam ilmu balaghah). Sehingga -hadis ini- bermakna Ijabah serta kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang berdoa.

Mulla Ali Al-Qari (Imam Madzab Hanafi) di Kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar : “TELAH KAFIR ORANG YANG MENETAPKAN TEMPAT BAGI ALLAH”

 

Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:

 

“فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة”

 

“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”[1].

 

Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:

 

“من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وإن عُدّ قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان”

 

“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-”[2].

 

Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:

 

“بل قال جمع منهم ـ أي من السلف ـ ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني”

 

“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik,al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani”[3].

 

[1] Syarh al-Fiqh al-Akbar h. 215

[2] Ibid, h. 271-272

[3] Mirqât al-Mafâtîh, j. 3, h. 300

 

Lampiran :


I. Bukti (Kitab al fiqh al absath)  Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”, (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Terjemah:

Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah

 

NIH BACA YANG DIGARIS MERAH :


( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )


Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis imam hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

 Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Bukti Wahabi Berdusta Atas Nama Ibnu Katsir : Maulid Nabi di Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah

Bongkar Kedok: “Ulama Wahabi Berdusta Atas Nama Ibnu Katsir”

Sayid alwi almaliki

“Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki, Tentang Maulid (5)”

Bantahan Yang Gugur

Pada hakikatnya Maulid tidak lain dan tidak bukan adalah perhimpunan untuk mendengar sirah Nabi صلى الله عليه وسلم, serta memperingati kurniaan Allah Ta’ala ke atas umat ini dengan kelahiran Nabi Yang Mulia Lagi Penyantun dan Penyayang صلى الله عليه وسلم.

Namun demikian terdapat beberapa serangan liar serta bantahan yang sangat lemah, yang dipegang kuat oleh mereka yang mengingkari maulid. Malah mereka saban tahun akan membuat serangan-serangan ini demi menegakkan benang basah mereka.

Antara tuduhan mereka adalah, orang yang menyambut Maulid beriktiqad bahawa ia adalah hari raya yang ketiga. Dakwaan ini telah ditolak dan telah diterangkan sebelum ini.

Selain itu mereka juga mendakwa bahawa sambutan Maulid merupakan tambahan kepada syariat dan seolah-olah menokok tambah dalam agama. Ini karena, kata mereka, jika ia merupakan suatu perkara yang baik, tentu sekali Nabi صلى الله عليه وسلم akan membuatnya. Dakwaan ini merupakan suatu dakwaan liar yang lemah sama-sekali. Ini karena, tiada seorang pun sama ada orang awam di kalangan Muslimin, jauh sekali para ulama, yang akan beriktiqad atau menyangka sedemikian. Tambahan pula, bukanlah semua yang tidak dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم atau salaf, dan dilakukan oleh golongan selepas mereka dikira sebagai cubaan menyempurnakan agama atau menokok tambah dalam syariah. Amat jauh sekali fahaman ini. Kalaulah demikian di manakah pintu ijtihad?

Apakah yang mereka katakan pada ribuan masa’il ijtihadiah (permasalahan yang diselesaikan dengan ijtihad para mujtahidin) yang diselesaikan selepas kurun-kurun yang utama tersebut? Adakah ia menyempurnakan agama juga? Dan bolehkah kita katakan semua permasalahan ini, terlepas pandang dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan para Salaf? Atau mereka melupakannya atau tercuai dari menyelesaikannya?. سبحانك هذا بهتان عظيم (Maha Suci Engkau, ya Allah. Ini adalah satu pembohongan yang besar!) Ini merupakan satu sangkaan yang jelas sesat.

Seterusnya kita persoalkan, siapakah yang mendakwa bahawa amalan maulid ini mempunyai cara dan teknik yang berbentuk ta’abbudiyyah yang mempunyai nash secara langsung ke atasnya? Dakwaan ini merupakan sebesar-besar tipu daya dan sebathil-bathil perkara yang cuba diserapkan oleh mereka. Dakwaan ini juga telah kita jawab sebelum ini.

Selain itu mereka mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan bid’ah dari kelompok Rafidhah, karena yang pertama menciptakan sambutan ini adalah kerajaan Fatimiyyah yang mereka katakan zindiq, rafidhah dan keturunan Abdullah bin Saba’. Begitulah apa yang mereka dakwa.(12)

Jawaban kepada tuduhan ini telah kita sebutkan sebelum ini, yang mana sesungguhnya yang pertama sekali menyambut maulid adalah shohib kepada Maulid ini sendiri, iaitu Saiyiduna Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kita telah sebutkan dalil-dalil shahih padanya yang mana tiada khilaf padanya.

Adapun perselisihan pada kaifiat dan jalannya (tekniknya) yang sentiasa berkembang dan berubah, ia bukanlah suatu perkara yang mesti mempunyai nash secara langsung. Malah sebenarnya umat Islam telahpun menyambutnya sebelum zaman Fatimiyyah lagi. Dan para ulama telah menyusun perihal maulid ini dalam kitab-kitab yang khas baginya.

Penipuan dan Pemalsuan Terhadap Ibn Katsir

Kita juga ada membaca dan mendengar ucapan mereka yang anti-maulid, untuk menyebarkan kebathilan mereka dengan apa jua cara, walau denganpemalsuan (seperti mana kebiasaan mereka bagi mengaburi orang awam di kalangan Muslimin, terutamanya yang kurang ilmu), apabila mereka mengatakan begini (dengan lafaz mereka sendiri):(13 )

“Sesungguhnya al-Hafiz Ibnu Katsir menyebutkan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (Jilid 11 mukasurat 172), bahawa Daulah Fatimiyah al-Ubaidiyyah (yang dinisbahkan kepada Ubaidullah bin Maimun al-Qadaah berbangsa Yahudi), yang memerintah Mesir dari tahun 357H hingga 567H, telah mengadakan pelbagai sambutan pada hari-hari yang tertentu, dan antaranya ialah sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم.” – Tamat petikan

Beginilah yang mereka naqalkan dari al-Hafiz Ibnu Katsir. Dan apabila kita merujuk kepada apa yang mereka sebutkan, kita katakan kepada mereka: Wallahi, Kamu semua telah berdusta!!! Sesungguhnya kami dapati daripada apa yang kamu dakwa daripada al-Hafiz Ibnu Katsir merupakan satu dustaan, tipudaya, pemalsuan dan pengkhianatan dalam mengambil kata-kata ulama.

Nah, bagaimanakah kita boleh mempercayai dan berasa aman dengan mereka yang sanggup berbuat demikian kepada ulama? Mereka amat taksub dan mengikut hawa nafsu mereka sehingga sanggup berbuat apa sahaja dan enggan bermunaqasyah dengan adil, insaf dan jauh dari hawa nafsu.

Berikut pendapat sebenar al-Hafiz Ibn Katsir pada amalan maulid dan perkembangannnya, dan yang telah disembunyikan oleh mereka yang mendakwa kononnya mereka bermunaqasyah dengan penuh keadilan dan keinsafan. Al-Hafiz Ibn Katsir berkata dalam al-Bidayah wa an-Nihayah Juzuk 13, Halaman 136, Terbitan Maktabah al-Ma’arif seperti berikut:

“… al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri, salah seorang dari pemimpin besar yang cemerlang serta raja-raja yang mulia, baginya kesan-kesan yang baik14 (lihat kata Ibn Katsir “kesan-kesan yang baik”), beliau telah mengadakan maulid yang mulia pada bulan Rabiulawwal, dan mengadakan sambutan yang besar. Selain itu, beliau seorang yang amat berani, berakal, alim lagi adil. Semoga Allah merahmati beliau dan memperbaikkan kesudahannya…” dan beliau berkata seterusnya : “dan beliau (Sultan Muzaffar) berbelanja untuk menyambut maulid 300,000 dinar”

Maka lihatlah sidang pembaca sekalian, kepada puji-pujian kepadanya oleh Ibn Katsir, yang menyifatkan beliau sebagai seorang yang alim, adil lagi berani, dan tidak pernah mengatakan, zindiq, pembuat dosa, fasiq, melakukan dosa besar, sepertimana yang didakwa oleh mereka yang menentang sambutan ini. Sidang pembaca boleh merujuk sendiri kepada rujukan yang diberi, dan akan menemui kata-kata yang lebih hebat lagi dari ini, yang tidak disebutkan di sini bagi tidak memanjangkan perbahasan ini.

Lihatlah juga kata-kata al-Imam al-Hafiz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’, Juzuk 22, halaman 336, ketika menerangkan perihal al-Malik al-Mudzaffar apabila disebutkan: “Beliau merupakan seorang yang tawadhu’, baik, ahli sunnah, dan menyintai para fuqaha’ dan muhadditsin.”

Selain itu bagi menjawab bantahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.

1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya karena padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.

Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa karena bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”

Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”

Inilah istinbat-istinbat yang dikatakan oleh mereka yang menentang sambutan maulid (anti-maulid) sebagai istidlal yang bathil serta qias yang fasid, lalu mereka mengingkarinya. Cukuplah bagi kita memerhatikan siapakah yang mengingkari dan siapa pula yang mereka ingkari!!!

Golongan yang anti-maulid juga mengatakan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah melakukannya, begitu juga khulafa’ ar-rasyidun serta tidak juga dari mereka dikalangan para sahabat yang lain.

Maka Kita katakan kepada mereka bahawa sekadar meninggalkan sesuatu perkara tanpa diiringi nash bahawa apa yang ditinggalkan adalah perkara yang dilarang, bukanlah merupakan satu nash padanya. Malah ada menunjukkan bahawa apa yang ditinggalkan itu suatu yang disyariatkan. Manakala suatu perbuatan yang ditinggalkan menjadi suatu perkara yang dilarang bukanlah diambil dari sifatnya ditinggalkan semata-mata, tetapi berdasarkan dalil lain yang menunjukkan larangan. Walau bagaimanapun soal jawab ini gugur karena kita katakan apa yang bercanggah adalah pada teknik dan cara, bukannya pada asal hakikat maulid itu sendiri yang ada dilakukan sendiri oleh baginda صلى الله عليه وسلم.

Dan adapun dakwaan mereka dengan bahawa kebanyakan yang menyambut maulid ini adalah golongan fasiq dan yang membuat maksiat merupakan satu tuduhan yang jelas tidak berasas sama sekali. Mereka perlu membawakan bukti pada apa yang mereka katakan. Jika tidak ini merupakan suatu fitnah kepada majoriti umat Islam di seluruh dunia, dan merupakan satu maksiat dan dosa besar pula ke atas mereka. Malah kita juga sudah menjawab dakwaan ini sebelum ini.

Antara bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya sambutan ini bukanlah dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم.

Jawaban baginya pula ialah: Kita tidak mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan satu-satunya dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم, dan siapa yang tidak menyambutnya bukanlah pencinta. tetapi apa yang kita katakan adalah: Sesungguhnya sambutan maulid ini merupakan satu tanda daripada tanda-tanda kecintaan kepada baginda, dan ia merupakan satu dalil dari dalil-dalil kepada kaitan kita kepada baginda dan mengikuti baginda. Selain itu, tidak semestinya siapa yang tidak menyambutnya bukan seorang pencinta atau pengikut baginda.

Dan sabitnya kecintaan dengan mengikuti jejak baginda tidak menafikan tsabitnya kecintaan dengan mengikuti baginda serta ditambah lagi dengan mengambil berat dan berusaha lagi, seperti mana yang disyariatkan, yang tergambar dalam sambutan ini. Sambutan ini pula tidak terkeluar dari kaedah dan asas-asas syariah di sisi mereka yang berakal.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah, kata-kata sebahagian mereka bahawa ayat Alquran yang kita sebutkan dalam dalil ketiga, (bahagian 1) sebelum ini iaitu :

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ…

Mereka mengatakan bahawa ayat ini tidak menunjukkan kepada kegembiraan dengan adanya Rasul صلى الله عليه وسلم karena yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah Islam dan Al-Quran. Mereka juga menaqalkan kata-kata beberapa mufassir padanya, serta beberapa atsar padanya, walaupun tidak diriwayatkan langsung hadits marfu’ padanya.

Kita katakan: Subahanallah!. Betapa pelik dan ajaibnya kata-kata ini. Kalaulah yang berkata ini tidak mengucapkan syahadah, nescaya kita katakan dia adalah seorang musuh yang nyata menyesatkan, mempunyai dendam dan hasad serta niat jahat. Namun kalimah tauhid yang disebutkan menyelamatkan mereka dari kata-kata ini, lalu dengan lidah-lidah sesama mu’min yang mengesakan Allah serta mangasihi satu sama lain, kita bersangka baik kepada mereka bahawa ini adalah karena kejahilan mereka serta salah faham.

Dan sebagai jawapan bagi bantahan ini, kita katakan bahawa telah jelas disifatkan Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai rahmat dalam ayat-ayat dan hadits yang begitu banyak yang sebahagiannya telah pun kita sebutkan sebelum ini. Maka apakah penghalang dari kita katakan rahmat dalam ayat yang disebutkan ini juga merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم, maka kita katakan Islam, Al-Quran dan Nabi صلى الله عليه وسلم semuanya adalah rahmat.

Dan siapakah yang datang dengan Islam yang merupakan rahmat? Dan siapa pula yang diturunkan padanya Al-Quran yang merupakan rahmat? Bukankah baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang datang dengan rahmat ini? Jikalah tidak didatangkan dalam Al-Quran nash yang jelas menunjukkan secara mutlak zat serta syakhsiah baginda yang mulia sebagai rahmat, cukuplah penyataan di atas sebagai menunjukkan bahawa yang membawa rahmat itu sendiri adalah rahmat. Dan berdasarkan manhaj mentafsir Al-Quran dengan al-Quran, tidak syak lagi bahawa ayat tersebut merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan rahmat yang diperintahkan oleh Allah kepada kita supaya bergembira dengannya.

bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya hari kelahiran baginda adalah hari kewafatan baginda juga. Maka kegembiraan tentulah tidak lebih utama dari kesedihan. Dan lebih utama bagi seorang yang menyintai menganggap hari ini sebagai hari berkabung dan bersedih.

Kita katakan: Sesungguhnya cukuplah bagi kita al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin as-Suyuthi sebagai balasan kepada kesalahan ini. Beliau telah menyatakan di dalam kitabnya al-Hawi: Sesungguhnya kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم merupakan seagung-agung nikmat, manakala kewafatan baginda musibah terbesar kepada kita. Dan syariah menyeru kita untuk menzahirkan kesyukuran atas nikmat, dan sabar serta bertenang ketika ditimpa musibah. Syariat telah memerintahkan ‘aqiqah pada kelahiran sebagai menzahirkan kesyukuran dan kegembiraan atas kelahiran. Sebaliknya tidak pula diperintahkan demikian atau lainnya ketika kematian, malah dilarang pula ratapan dan menunjukkan kesedihan yang teramat sangat. Maka kaedah syariah telah menunjukkan bahawa pada bulan ini digalakkan menunjukkan kegembiraan dengan kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم, dan bukanlah menunjukkan kesedihan dengan kewafatan baginda صلى الله عليه وسلم.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah bahawa kisah Abu Lahab yang membebaskan Tsuwaibah ketika dikhabarkan kepueteraan Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan satu atsar yang bathil, karena ia hanya sebuah mimpi yang tidak boleh dijadikan hujah, serta bercanggah dengan al-Quran. Kemudian mereka berdalilkan kata-kata Ibn Hajar dan mereka berkata : Telah berkata al-Hafiz di dalam al-Fath bahawa ia adalah mimpi yang tiada hujah padanya.

Kita katakan bahawa, Ibn Hajar yang mereka ambil kata-katanya sebagai dalil dan mereka sifatkan sebagai “al-Hafiz” merupakan Ibn Hajar yang sama yang telah mengistinbatkan hukum maulid berdasarkan asas yang shohih berdalilkan hadits puasa ‘asyura’ (seperti disebutkan sebelum ini), lalu mereka tidak mengambil kata-katanya malah mengatakan : “Pendalilan ini adalah pendalilan yang bathil dan kias yang fasid”.

Lihatlah kepada kepincangan teknik mereka. Apabila mereka menyangka ijtihad Ibn Hajar menepati hawa mereka, lantas mereka katakan: “telah berkata ‘Al-Hafiz’”, sebagai menghormati dan memuliakan beliau dengan gelaran ini. Tetapi apabila bercanggah dengan hawa mereka, mereka tidak akan menyebutkan demikian malah mengatakan dalilnya fasid dan kiasnya fasid.

Tambahan pula, ini merupakan gambaran jelas kejahilan mereka yang anti sambutan maulid ini yang kononnya mengambil dalil dari kata-kata Ibn Hajar pada menolak khabar berkaitan tsuwaibah. Ini karena orang yang menaqalkan kata-kata ini telah menyeleweng serta menggunakan kata-kata Ibn Hajar mengikut nafsunya semata-mata, dan tidak mendatangkannya dengan gambaran yang sebenar. Kalaulah didatangkan kata-kata beliau dengan sempurna, tentulah gugur hujjah mereka. Ini karena al-Hafiz Ibn Hajar telah menolak serangan ini di penghujung perbahasannya tentang tajuk tersebut dengan mengatakan bahawa Allah Ta’ala berhak untuk melebihkan apa yang dikehendaki ke atas Abu Lahab, seperti mana yang dikurniakan kepada Abu Talib. Sesiapa yang merujuk kitab tersebut dengan sempurna tentu sekali akan memahami secara jelas pendapat Ibn Hajar yang sebenarnya.

Berkenaan hadits atau khabar tersebut pula, kita katakan secara ringkasnya bahawa kisah tersebut adalah sangat masyhur dalam kitab-kitab hadits dan sirah, dan telah dipetik dari para huffaz yang muktabar dan muktamad. Dan cukuplah bagi kita bahawa ia diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya, yang kita sepakati kesahihannya yang tidak disangkal sama sekali.

Selain itu permasalahan ini termasuk dalam bab manaqib dan kelebihan serta kemuliaan yang mana tidak disyaratkan padanya sahihnya suatu khabar tersebut. Selain itu dakwaan mereka bahawa khabar ini sekadar mimpi yang tidak boleh dijadikan hukum syara’, kita katakan bahawa mereka tidak tahu membezakan antara hukum syara’ dan bukan. Pada hukum syara’ memang ada padanya perselisihan sama ada mimpi boleh dijadikan hujjah ataupun tidak. Adapun dalam bab manaqib seperti ini, berpegang dengan mimpi adalah dibolehkan secara mutlak. Inilah yang dipegang oleh para huffaz berdasarkan mimpi masyarakat jahiliyah akan tanda perutusan Rasulullah صلى الله عليه وسلم serta perkhabaran lain. Perkara ini banyak sekali terdapat dalam kitab-kitab sunnah terutamanya dalam menceritakan tanda-tanda kenabian.

Mereka juga mengatakan bahawa yang bermimpi dan meriwayatkan khabar ini, iaitu Abbas, dalam keadaan kufur, sedangkan orang kafir tidak diterima persaksian mereka dan tidak diterima khabar dari mereka. Ini merupakan kata-kata yang ditolak, dan tiada padanya haruman ilmiah langsung. Ini karena tidak pernah langsung kita katakan mimpi merupakan suatu persaksian. Maka tidak disyaratkan padanya keislaman seseorang. Ini seperti yang diriwayatkan dalam al-Quran kisah mimpi raja Mesir di zaman Nabi Yusuf عليه السلام yang merupakan seorang penyembah berhala, akan tetapi dijadikan sebagai tanda kenabian Nabi Yusuf عليه السلام. Kalaulah ia tidak boleh dijadikan dalil serta tiada faedah, mengapa pula disebutkan oleh Allah dalam al-Quran?

Dan apa yang lebih pelik lagi ialah, mereka mengatakan bahawa Abbas bermimpi ketika beliau kafir, dan orang kafir tidak diterima persaksian mereka, sedangkan kata-kata ini hanya layak keluar dari mereka yang tidak mengetahui ilmu hadits sahaja. Ini karena apa yang dinyatakan dalam ilmu hadits adalah periwayat hadits yang mengambil hadits ketika kafir kemudian meriwayatkannya sesudah Islamnya, boleh diambil riwayatnya serta diamalkan. Lihatlah contoh-contoh bagi perkara ini dalam kitab-kitab ilmu hadits, supaya anda akan mengetahui bahawa orang yang mengatakan begini adalah orang yang berkata tanpa ilmu, dan sesungguhnya nafsunyalah yang mendorongnya menceburkan diri dalam bidang yang dia bukan ahlinya.

Selain itu, apa yang lebih kuat lagi ialah, mimpi Abbas ini bukanlah seperti mimpi lain. Ini karena beliau telah menceritakannya ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم ada bersama, dan baginda mendengar serta menyetujuinya dan membenarkannya. Jikalau ia merupakan sesuatu yang salah atau bercanggah dengan agama, tentu sekali baginda akan mengingkarinya. Dan oleh karena baginda telah mendengar dan bersetuju dengannya, maka ia telah menjadi sunnah taqririah.

_________________________________

Catatan kaki:

(12) dan (13): Tuduhan ini dibuat oleh Shaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (meninggal pada1420H), bekas mufti Saudi didalam fatwanya (rujuk fatwa markaz ad-dakwah wa al-irsyad)

(14) Maksudnya menpunyai akhlaq yang baik.

Saya bawakan petikan dari kitab Irsyadul Jawiyyin ila Sabilil Ulama-il ‘Amilin oleh Tuan Guru Hj ‘Abdul Qadir bin Hj Wan Ngah Sekam. “ …… iaitu satu raja yang adil dan ‘alim … namanya Abu Said Kukubri bin Zainuddin … raja negeri Irbil dan bercerita oleh setengah mereka …….. [seterusnya] …. Dan cerita oleh isterinya bahawa baju bagi raja itu tak sampai harga lima dirham pun, maka isterinya merepek [berleter] kepadanya, maka jawab raja itu: Pakai aku akan kain lima dirham dan bersedekah aku dengan dirham yang lebih lagi itu terlebih baik daripada aku pakai yang mahal dan tinggal aku akan faqir miskin …..” – Halaman 11. – Tamat petikan -.

Al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri adalah ipar kepada Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Beliau gugur syahid didalam medan jihad menentang tentera salib Perancis ketika mempertahan kota Akka pada tahun 630H. Beliau pernah menghadiahkan wang sebanyak seribu dinar kepada Shaikh Abu al-Khattab ibn Dihya karena telah menyusun untuk beliau sebuah kitab maulid bertajuk al-Tanwir fi Maulid al-Bashir al-Nadzir. – Wallahu a’lam

(Sumber: http://asysyifawalmahmuudiyyah.wordpress.com/ )

Jidat Hitam Bekas sujud Bukan Sunnah Tapi Ciri Ahlu Riya dan Khawarij

Jidat Hitam Benarkah Sunnah?

jidat itemمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِYang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,

يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ

“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Cirri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.

(Dafid Fuadi)

Kebohongan Abd. Aziz (Ustad Gadungan Wahabi) Dibongkar Oleh Pemeluk Hindu

Kebohongan Abd. Aziz (Ustad Gadungan Wahabi) Dibongkar Oleh Pemeluk Hindu

dul najisMenggugat Kesaksian Ustadz  “Ida Bagus” Abdul Aziz

(Oleh: I. K. Sugiartha)

Apakah sama  agama dan  tradisi?  Secara umum dapat dijelaskan, bahwa Agama  adalah pengikat jiwa yang menuntun jalan mencapai Tuhan. Sementara tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan di dalam melaksanakan ajaran agama.   Namun  seorang Ustadz Abdul Aziz,   yang mengaku mantan Hindu,  mengidentikan tradisi  dengan agama Hindu.  Padahal  Pak Ustadz ini,  katanya, sudah  menyandang gelar  sarjana agama (SAg) Hindu dan sudah belajar Hindu selama 25 tahun, serta  menguasai Yoga Samadi. Bukan main. Tetapi, kenapa dia meninggalkan Hindu. Benarkah Mantram Tryambakam kalah dengan  suara Takbir?

Kesaksian Menjadi Muslim

Inilah rangkuman kesaksian Ustadz Abdul Aziz yang disampaikan di dalam sebuah pengajian  yang bertajuk  ‘’Kesaksian Hidayah Mantan Pemeluk Hindu’’ di Surakarta, Jawa Tengah,  pada Rabu, 21 Juli 2010, rekamannya beredar di tengah-tengah masyarakat,  penulis sampaikan dengan gaya bertutur seperti berikut ini.

Sebelum saya masuk Islam, agama saya adalah Hindu.  Pendidikan saya Sarjana Agama  Hindu.  Saya mempelajari Hindu sudah dua puluh lima tahun.  Orang mungkin tidak akan percaya kalau saya bisa  sampai masuk Islam. Saya berkasta brahmana. Nama depan saya  ‘’Ida Bagus’’ (dia tidak menyebutkan nama Hindunya).  Saya menguasai yoga samadi.

Saya melakukan praktek yoga samadi di Pura Mandara Giri Lumajang bersama beberapa orang teman saya.  Pada suatu hari saya disarankan untuk membaca Mantram Tryambakam. Saya pun terus aktif  membaca Mantram Tryambakam, pagi, sore dan malam. Pada hari ketiga yang melakukan yoga samadi, saya diuji Tuhan, ribuan nyamuk datang dan mengerubuti saya. Saya kemudian bacakan Mantram Tryambakam, nyamuk itu hilang. Pada hari kelima saya melakukan yoga semadi,  saya lagi diuji Tuhan,  aroma bau busuk menebar dari tubuh saya. Saya kemudian membacakan Tryambakam, bau busuk di tubuh saya  pun hilang.

Pada hari ketujuh saya melakukan yoga samadi,  tiba-tiba hati saya berdebar-debar. Saya terus membaca Tryambakam, tetapi guncangan hati saya tidak berhenti. Dalam situasi  berdebar-debar,  tiba-tiba saya mendengar suara takbir ‘’Allahuakbar … Allahuakbar’’. Padahal malam itu bukan malam idul fitri, lantas dari mana suara takbir itu datang. Saya coba lawan dengan Mantram Triyambakam, namun  suara takbir itu tidak hilang, malah suaranya semakin jelas dan kuat. Dari situ saya kemudian berpikir  bahwa ini adalah hidayah bagi saya.        Saya kemudian masuk Islam pada tahun 1995,  dan  naik haji pada tahun 1996. Sepulang saya dari haji,  kedua orang tua saya dan lima saudara saya  semua ikut dengan saya masuk agama islam.

 

Panca Yajna:  Upacara Selamatan?

Tidak ada maksud sedikitpun dari penulis  untuk  mencampuri urusan privacy seorang Ustazd Abdul Aziz, lebih-lebih mengenai pilihan jalan (agama) penuntun hidupnya.  Cuma saja, yang mengundang  perhatian saya, karena   di dalam ceramahnya yang  berdurasi sekitar  satu setengah jam (dua CD) tersebut, Pak Ustadz  telah menjadikan ajaran ‘’Agama’’ Hindu sebagai bahan  banyolan, di antaranya seperti kalimat-kalimat yang dicetak miring berikut ini:

 Pertama. Panca Yajna adalah  lima  upacara selamatan di dalam agama Hindu, masing-masing:

  1. 1.      Dewa yajna yakni selamatan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa.
  2. 2.      Rsi yajnya adalah selamatan kepada  orang-orang yang dianggap suci.
  3. 3.      Pitra yajna adalah selamatan kepada roh leluhur.
  4. 4.      Manusa yajna adalah selamatan kepada  manusia.
  5. 5.      Butha yajna adalah selamatan kepada  mahluk bawahan.

Melakukan selamatan ini adalah wajib hukumnya di dalam Agama  Hindu. Contoh  selamatan pada hari kematian, acaranya berlangsung pada hari pertama, ke-3, ke-7, ke-40,  ke-100 dan  nyewu (hari ke-1000).   ‘’Kalau tidak  punya uang untuk melaksanakan selamatan, wajib utang kepada tetangga. (jamaah tertawa).

            Sebab  bila keluarga yang meninggal tidak diselamatin, rohnya akan gentayangan,  menjelma menjadi hewan,  binatang, bersemayam di keris dan jimat, dll. Makanya pohon-pohon diberi sarung, dan pada setiap hari Sukra Umanis jimat dan keris diberi minum kopi. ‘’Sedangkan yang melaksanakan selamatan, dapat tiket langsung masuk surga.’’  Di dalam Islam tidak ada selamatan-selamatan, tetapi yang ada adalah sedekoh. Sedekoh punya kelebihan dari selamatan yakni memberikan sedekoh ketika kita punya kelebihan yang biasanya dilakukan pada menjelang bulan puasa. Jadi bukan hasil utang.

Tanggapan Penulis.   Sejak SD saya belajar agama Hindu, sampai sekarang Panca Yajna itu artinya lima korban suci. Bahkan di dalam Kitab Bhagawad Gita, yajna berarti bakti, pengabdian, persembahan dan kurban (sedekah) yang dilakukan dengan tulus iklas (hati suci). Bukan   berharap untung  yang lebih besar kepada Tuhan dari sedekoh yang kecil kepada manusia. Jadi Panca Yajnya itu adalah berbakti (sujud) kepada Tuhan (Dewa Yajna),  bakti kepada  orang suci  (Rsi Yajna),  berbakti kepada leluhur  (pitra yajna), melayani (berderma) kepada sesama (manusa yajna) dan bersedekah kepada bahluk bawahan (butha yajna). Tidak ada saya jumpai arti Panca Yajna adalah lima upacara  selamatan dan  wajib ngutang,  seperti  kitab yang dibaca Ustadz Abdul Aziz.

Istilah selamatan  tidak ada di dalam Hindu, apalagi selamatan atas kematian. Adapun rangkaian upacara kematian di dalam Hindu seperti  nelun, ngaben, ngeroras (memukur) dll. pada intinya  merupakan penyucian sang jiwa dari unsur badan fisik, mendoakan agar perjalanan sang jiwa tidak mendapatkan halangan,  memperoleh ketenangan dan kedamaian di alam pitra. (Kitab Asvalayana Griha Sutra).  Masalah dia (sang jiwa) mendapat tiket ke sorga atau akan masuk neraka, tergantung dari  bekal  karmanya. Yang jelas sangat tidak ditentukan oleh acara selamatan.

Apalagi kalau dikatakan bahwa  roh yang tidak diselamatin  akan gentayangan, menjelma jadi hewan atau pohon,  itu  ada di cerita film kartun. Proses reinkarnasi berlangsung puluhan bahkan mungkin sampai ratusan  tahun. Sementara pohon-pohon di berikan busana (sarung: menurut Ustazd Abdul Aziz),  adalah  sebagai  tanda bahwa pohon-pohon  tersebut dilestarikan dan tidak boleh ditebang sembarangan. Ini wujud bahwa Hindu cinta lingkungan.

 

Kedua.  Di dalam agama Hindu, dalam memberangkatkan mayat ada tradisi trobosan yakni berjalan menerobos di bawah keranda mayat, sebagai wujud bhakti kepada orang tua yang meninggal. Dan ketika mayat ditandu ke kuburan, di sepanjang jalan dipayungi. Apakah mayatnya kepanasan? Belum pernah mati kok tahu mayat kepanasan. Di Islam acara-acara semacam itu tidak ada dasar hukumnya baik di hayat maupun hadist.

Tanggapan Penulis. Dengan tanpa bermaksud merendahkan kemampuan sosok Ustadz Abdul Aziz di bidang agama, namun perlu saya sampaikan bahwa rangkaian acara satu hari, 3, 7, 40, 100 dan  nyewu,  menurut hemat saya adalah tradisi di dalam kehidupan beragama dengan berbagai tujuan dan motivasinya. Misalnya ‘’Tradisi Nyewu di Yogyakarta’’ yang pernah dimuat di Media Hindu.  Tolong dibedakan antara agama dan tradisi.

 

Ketiga.  Apakah Tuhan Hindu minta makan? Lihat ini, Dewa makan bubur hangat. Dewa  Brahma masih  doyan pisang rebus  (Ustadz menunjukkan  gambar Brahma disertai sesajen termasuk tumpeng). Tumpeng bagi Hindudianggap simbol Tri Murti. Barang siapa yang bisa membikin tumpeng, berarti dia sudah masuk Hindu.

Tanggapan Penulis. Orang bodoh pun tahu bahwa Tuhan tidak butuh apapun dari manusia, apalagi pisang rebus. Makanan duniawi cuma dibutuhkan oleh badan fisik, tidak untuk badan rohani. Persembahan berupa bebantenan yang dilakukan oleh orang Bali yang beragama Hindu  bukan untuk memberi dewa (Tuhan) makan. Akan tetapi, melakukan persembahan merupakan cara umat Hindu untuk mewujudkan rasa bhakti dan  ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan atas  segala anugerah-Nya. Persembahan tersebut kemudian dimohonkan untuk diberkati untuk selanjutnya dapat kita nikmati. ‘’Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa. ‘’ (BG. III.13)

Bisa membuat tumpeng berarti masuk Hindu? Ini bombastis. Untuk menjadi Hindu ada proses ritualnya, di antaranya upacara sudi widana dan mengucapkan Panca Sradha.  Banyak orang muslim, kristen dan Budha yang pandai  membuat tumpeng, apakah itu berarti mereka masuk Hindu?

 

Para Wali Menjiplak Weda?

            Menanggapi  pertanyaan seorang jamaah mengenai film  seri kartun ‘’Little Krsna’’ di  TV, Ustadz Abdul Aziz  mengatakan, ‘’Hati-hati, awasi anak-anak kita, itu cara-cara orang di luar muslim untuk melakukan cuci otak terhadap anak-anak kita (muslim).’’   Sedangkan setahu saya,  cuci otak itu adalah cara teroris untuk merekrut anggota. Teroris itu siapa?  Tidak pernah ada di dalam Hindu gerakan cuci otak untuk merekrut orang (agama) lain. Yang ada malah sebaliknya, orang di luar Hindu yang sibuk melakukan gerakan konversi untuk  memperoleh tabungan pahala.

Benarkah para wali dulu mengubah (menjiplak) doa-doa Hindu ke dalam bahasa Alquran?’’  Atas pertanyaan seorang jamaah lainnya ini, Ustadz Abdul Aziz tidak  kuasa menjawab. ‘’Saya tidak berani  menjawab pertanyan ini, karena saya tidak punya referensi sebagai dasar,’’ tangkisnya. Apa  makna di balik kata tidak berani tersebut? Apa benar dia tidak punya referensi?

Seorang ustadz yang  mengaku telah belajar weda selama 25 tahun,  tetapi referensi yang disampaikan  kok malah muter-muter  soal tradisi melulu; acara selamatan, terobosan,  memayungi mayat, pohon pakai sarung, keris dan jimat minum kopi, membuat tumpeng.

Padahal harus disadari, yang namanya tradisi tentulah berbeda sesuai dengan desa,  kala, patra (tempat, waktu dan keadaan), baik di dalam satu agama apalagi beda agama. Semua agama punya tradisi, termasuk di kalangan umat Islam.  Tetapi sepanjang hal itu dilakukan sebagai ungkapan rasa bhakti,  rasa hormat dan doa,  kenapa tidak diapresiasi. Tidak ada dasar hukumnya (bida’ah)?  Sekarang zaman komputerisasi, di mana-mana orang pakai laptop,  HP, pesawat terbang, sepeda motor, apakah juga bida’ah menurut Islam?

Selama berceramah, tidak ada sepotong filsafatpun yang terlontar dari mulut sang ustadz.  Sementara  esensi dari ajaran Hindu  ada pada filsafat. Di situ logika dimainkan, bukan sekedar keyakinan semu dengan menelan  mentah ayat-ayat.

Mantram Tryambakam adalah syair yang sakral dan memiliki kekuatan (energi)  gaib. Kalau sekedar ngusir nyamuk dan menghilangkan bau busuk, ngapain harus melakukan yoga samadi sampai tujuh hari tujuh malam, cukup dengan autan saja. Sedangkan di dalam melakukan yoga samadi,  pada  tahap tertentu, berbagai bentuk godaan bisa saja  muncul.   Namun hal itu bukanlah petunjuk Tuhan (hidayah),  malah  bila kita tidak kuat bisa terjerumus.

                       
Penulis: Sisya Grya Taman Narmada,

Lombok Barat.

HP. 081917180160

 (Sumber)

Simak artikel sebelumnya: Abd. Aziz (mantan hindu), Ustad Wahabi Provokator Ditangkap Polisi

Abd. Aziz (mantan hindu), Ustad Wahabi Provokator Ditangkap Polisi

17/11/2011   FirqohKAJIAN ASWAJA   59 Comments
napiUst. Abdul Aziz (yang mengaku mantan pendeta Hindu) tadi malam tanggal 16 November 2011, ia ditahan di Mapolres Kulonprogo Jogjakarta, setelah mengisi ceramah yang berisi “adu domba” di Masjid Agung Wates Kulon Progo. Acara tersebut diselenggarakan oleh HTI.

Sebelumnya pihak banser meminta ke aparat kepolisian kalau nanti si abdul aziz ceramah menyinggung amaliah-amaliah NU minta agar di turunkan dari podium kalau tidak bersedia, kami dari pihak banser akan menurunkan secara halus, kalau tidak bisa ya terpaksa pakai cara kasar. Kayaknya si abdul sudah tahu kalau ditunggu banyak banser ansor dan para santri,  jadi ceramahnya landai-landai saja.

Tapi yang tidak terima adalah pendeta hindu karena menjelek-jelekan agama hindu, terus ketika pulang ceramah ia digiring oleh polisi ke mapolres. Lha di situ dari pihak NU,  MUI, Pendeta Hindu disuruh memberi tanggapan tentang isi pengajian si abdul aziz.

 

Selanjutnya soal cerita kebohongannya, waktu di mapolres ditanya nama ayahnya, katanya bernama ketut blablabla padahal tadi waktu ceramah bilang  ayahnya bernama made blablabla. Menurut pendeta yang ikut menyergap, kasta brahmana tidak ada yang bernama ketut yang tadi di ceramahnya mengaku kasta brahmana. Terus ditanya ayahnya belajar agama hindu di pure mana? ia menjawab belajar di lumajang pure A. Pak Kapolres yang asli Lumajang tahu kalau pure itu belum lama dibangun… bohong lagi deh.. Waktu ceramah ia bilang katanya puasa 7  hari 7amalam membaca mantra blablabla,  ternyata kata pak pendeta itu mantra yang dibaca dul aziz itu salah…bohong lagi.. Ketika ditanya KTP, katanya tidak punya KTP juga, sampai pak kapolres agak emosi memukul meja.

Kemudian dari pihak NU di mapolres menunjukan CD dan menerangkan bahwa si abdul itu menghina ibu Sinta Nuriyah (istri Gus Dur) dan memusyrikan amalan-amalan warga NU.

Ya begitulah kelihatanya menyeru takbir, kalimat tauhid dan mengklaim paling mengikuti sunnah, ternyata cuma akal busuk & tukang bohong dalam berdakwah menghalalkan segala cara untuk mencari pengikut.

(Liputan Tim Sarkub Kulon Progo: Bloodstone Jawa )

———-

Simak juga liputan Tim Sarkub Bojonegoro  —-> klik  Tim Sarkub Bojonegoro bertemu dg Abd. Aziz (mantan hindu wahaby)