MEMBONGKAR KESESATAN PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)

MEMBONGKAR PEMIKIRAN LIBERAL

http://degoblog.files.wordpress.com/2009/10/jil.jpg

MEMBONGKAR PEMIKIRAN LIBERAL

Khalili Hasib

Imej yang berkembang selama ini adalah bahwa paham Liberal berkembang pesat di beberapa perguruan tinggi Islam, IAIN, UIN, dan sejenisnya. Perkembangan ini ditengarai dipengaruhi oleh para dosen yang mengajar di kampus tersebut. Kerapkali para dosen menyampaikan pemikirannya yang “nyeleneh” dan bebas dalam memahami dan menginterpretasi konsep agama. Tapi, ternyata tidak semua dosen IAIN berpikiran Liberal. Prof. DR. Hamadi bin Husein buktinya. Beliau adalah segelintir dari beberapa gelintir dosen di IAIN yang masih teguh memegang akidah Islamnya. Tidak terpengaruh oleh faham Liberal dan kebebasan yang diusung oleh kawan-kawannya yang teracuni paham kebebasan dari Barat tersebut.

Lewat Bukunya yang berjudul “Dekonstruksi Islam Liberal, Sebuah Analisis JIL” ini, Profesor di bidang Ilmu Filsafat itu menjelaskan bahwa pembongkaran pemikiran Islam Liberal ini sebagai upaya menangkal setiap bentuk penyimpangan terhadap Islam yang dapat membawa dampak negatif bagi umat, bukan malah membingungkan makna ajaran agama sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam Liberal.

Sesungguhnya pemikiran Islam Liberal belum dapat dikatakan sebagai \”sebuah bangunan atau susunan (konstruksi) yang utuh\”. Islam Liberal tidak memiliki landasan metodologi yang kuat. Karenanya, bagaimana mungkin dapat dibongkar (dekonstruksi)? Namun di situlah uniknya, karena dekonstruksi yang dimaksud itu terjadi dengan sendirinya akibat kelemahan bangunan pemikiran mereka sendiri (hal 27).

Persoalan mendasar yang diperdebatkan Islam Liberal pada dasarnya meliputi dua hal; pertama, paradigma Islam Liberal mengenai cara pandang terhadap universalitas Islam dan multi-interpretatif al-Qur\`an. Kedua, problematika metodologi pemahaman Liberal yang menyangkut: metodologi penafsiran al-Qur\`an, isu pluralitas kandungan al-Qur\`an, Islam dan agama samawi, aspek hukum al-Qur\`an, eksistensi dan absolutisme Tuhan, hukum Tuhan, syari\`at Islam, dan pemahaman tentang Rasulullah Shallallahu \`alaihi wa sallam.

Keilmiahan Islam Liberal tentang universalitas Islam perlu dipertanyakan. Sebab mereka tidak mampu menempatkan pemahamn yang sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual lainnya. Untuk menjawab tantangan zaman, kaum Liberal memposisikan agama sebagai \”pelengkap penderita\”. Islam \”dipaksa\” untuk menuruti keyakinan-keyakinan pribadi tertentu dan mengkhianati integritas intelektual. Ketika terjadi konflik antara ajaran dan zaman, maka yang semestinya jadi rujukan adalah sumber keagamaan. Setiap hasil pemikiran yang sahih pasti tidak akan bertentangan dengan teks-teks yang dipahami secara sahih pula.

Islam Liberal juga salah tempat ketika metode tafsir Hermeneutika—yang pernah diaplikasikan dalam menafsirkan Bible—juga diterapkan pada al-Qur\`an. Teks Bible tidak sama dengan teks al-Qur\`an. Bible mengalami problem teks sejak awal ditulisnya. Teks-teks Bible saling kontradiksi dan melawan teori-teori ilmu pengetahuan. Sehingga para sarjana Bible kemudian menggunakan pisau Hermeneutika untuk dapat mengembalikan makna asal kata-kata yang tertuang di dalam teks.

Sikap ragu akan keabsolutan Tuhan menyebabkan mereka menafikan dan tidak percaya pada hukum Tuhan atau al-Qur\`an. Teks-teks al-Qur\`an dengan teks-teks lain buatan manusia sama-sama berpotensi mengandung penilaian. Sikap demikan bukannya sikap yang inklusif—terbuka bagi segala kebenaran yang ada, tapi justru terjerembab pada kuabangan Nihilisme. Mereka tidak akan mampu menyelamatkan diri dari relativitas kebenaran, jika firman Allah sengaja disejajarkan dengan teks-teks buatan manusia yang terbatas. Manusia tidak akan bisa menemukan kebenaran.

Kalau hukum Tuhan (Allah) dinafikan, maka secara otomatis kaum Liberal memposisikan Rasulullah—sebagai penerima wahyu Allah—adalah manusia biasa yang sejajar dengan manusia lainnya. Islam Liberal lebih menonjolkan sifat basyariah (sisi kemanusiaan) Rasulullah daripada sebagai utusan Allah yang makshum. Bahkan cenderung menutupi sifat kesempurnaannya sebagai Rasul. Apa yang dibawa Rasul tidak wajib diikuti, tapi harus dikritisi.

Pandangan-pandangan Islam liberal tentang Rasulullah penuh dengan ambiguitas. Pada satu sisi Rasulullah dikatakan sebagai figur panutan, namun pada saat yang sama mereka justru menganjurkan untuk tidak mengikuti Rasul secara harfiah. Ini jelas logika kacau orang tidak beriman.

Padahal sarjana-sarjana Barat yang obyektif mengakuti bahwa Rasulullah adalah tokoh teragung yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan. Thomas Carlyle bahkan secara jujur menyandangkan sifat heroisme (kepahlawanan) kepada Rasulullah yang sangat berpengaruh bagi pengikutnya. Annie Besant dalam The Life and Teachings of Muhammad menulis, \”Mustahil bagi siapapun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Sebab ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta\” (hal. 46).

Dalam menyikapi pemikiran destruktif Islam Liberal, tampaknya perlu ketegasan dan keberanian sikap. Mengingat pemikiran ini telah menyebar kepada para intelektual dan mahasiswa Islam. Jika tidak, cara pandang tersebut akan mengakibatkan kesesatan yang nyata pula. Para sarjana Islam itu sebenarnya hanya terkagum-kagum dengan metodologi dan cara penyajian pemikiran Islam Liberal saja.

Harus diakui memang, kita kalah dengan metodologi Barat. Bahkan ada beberapa sarjana Barat sangat tekun mempelajari Islam melebihi santri-santri di pesantren. Maka dalam buku tersebut, Prof. Hamadi menjelaskan bahwa problem sentral terletak pada persoalan metodologi.

Dengan tetap berpegang pada wahyu (al-Qur\`an) sebagai prinsip abadi, kaidah dalam tradisi Islam tetap relevan dengan tuntutan zaman, yakni \”al-Muhafazah \`ala al-Qadim as-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah”, mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan demikian Islam akan tetap eksis di setiap zaman tanpa memberi embel-embel inklusif, liberal atau yang lainnya. Sebab, tanpa embel-embel itu pun Islam tetap eksis dengan kesempurnaan yang melekat di dalamnya. Aplikasi kaidah ini hendaknya dapat dilakukan dengan lincah dan cerdas berkiprah ditengah endemi liberalisasi pemikiran saat ini, dan tetap eksis tanpa kehilangan kendali.

Oleh karena itu pelabelan Islam dengan stigma Liberal adalah sia-sia, tidak membawa manfaat apa-apa. Kesan yang tampak adalah pelabelan ini sekedar untuk disebut modern. Malah bisa menyempitkan arti Islam itu sendiri dan menjauhkan Islam dari makna hakikinya.
Begitulah, melalui penyajiannya yang ilmiah, obyektif, dan mudah dicerna, buku ini dapat diakses oleh semua kalangan. Kapasitas keilmuan sang penulis dalam bidangnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Fakta dan data dalam buku ini semuanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

SIAPA BILANG ULIL BUKAN WAHABY????
Riwayat pendiri jaringan iblis liberal (JIL) :
ULIL ABSHAR ABDALLA:
Lahir: Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967

Pendidikan:
Sarjana, Fakultas Syari’ah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA, cawangan King Saud University (WAHABY UNIVERSITY) – Jakarta (1993))
Master, Perbandingan Agama, Boston University, AS (2007)
Kandidat Doktor, Near Eastern Languages and Civilizations, Harvard University, AS