Wasilah dan Rabithah

A. Pengertian

1). Pengertian Wasilah

Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan rabitah dalam suatu tarikat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadat, menempati posisi penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarikat pasti bermursyid, berwasilah dan merabitahkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadat.

Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (sukses) (Q.S. Al Maidah 5 : 35).

Dalam kamus “Al Munjid” dikatakan,

Artinya : “Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain”.

Ibnu Abbas menegaskan,

Artinya : “Wasilah adalah suatu pendekatan”.

Dalam tafsir Ibnu Katsir II : 52-53 pada waktu menafsirkan Q.S. 16 Al Maidah 5 : 35 menyatakan:

Artinya : “wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”.

Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan Q.S. Al Maidah 5: 35 menyatakan,

Artinya : “Pengertian umum dari wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada penerus-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa.” (Sulaiman Zuhdi,1288 H : 3).

Dalam Ilmu Balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal” ( ) artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai Wasilah, tetapi yang dimaksud sebenarnya adalah nuurun ala nuurin ( ) yang ada pada rohaniah Rasulullah SAW.

Syekh Muhammad Amin Al Kurdi menyatakan :

Artinya : “Wasilah ialah sesuatu yang menyampaikan ke Hadirat Allah SWT” (Amin Al Kurdi, 1994 : 447).

Prof. Dr. H. Syekh Kadirun Yahya menyatakan bahwa wasilah itu adalah suatu channel, saluran atau frekuensi yang tak terhingga ( ) yang langsung membawa kita kehadirat Allah SWT.

Wasilah itu ialah,

Artinya : “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki” (Q.S. An Nur 24 : 35).

Wasilah itu telah ditanamkan kedalam diri rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW dan umatnya menuju kehadirat Allah SWT.

Para sahabat dan umat Rasulullah harus mendapatkan wasilah ini disamping menerima warisan Al Qur’an dan As Sunnah. (Kadirun Yahya 1989 : 12).

2). Pengertian Rabitah

Rabitah artinya bertali, berkait atau berhubungan. Dalam pengertian tarikat, rabitah itu menghubungkan rohaniah murid dengan rohaniah guru, guna mendapatkan wasilah yang ada pada rohaniah Syekh Mursyid, di mana rohaniah Syekh Mursyid telah berhubungan, berhampiran dengan rohaniah Syekh-Syekh Mursyid sebelumnya, sampai dengan rohaniah Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW.

Firman Allah SWT,

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, supaya kamu beruntung (sukses)” (Q.S. Ali Imran 3 : 200).

Kalimat warabithu ( ) dalam ayat ini dengan mengambil arti hakikinya, itulah yang menjadi dasar rabitah oleh para pakar tasawuf tarikat seperti tersebut di atas. Syekh Amin Al Kurdi menjadikan rabitah kubur sebagai kaifiat kedelapan dan rabitah mursyid sebagai kaifiat kesembilan dalam berzikir (Amin Al Kurdi 1994 : 443 – 444).

Firman Allah SWT,

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (Q.S. At Taubah 9 : 119).

Asy-Syekh Ubaidullah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam ayat itu terbagi dua :

a. Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang- orang yang shidiqin itu.

b. Bersama-sama maknawiah, yaitu bersama-sama rohaniah yang diartikan dengan rabitah.

As Syekh Muhammmad Amin Al Kurdi menyatakan wajiblah seorang murid terus menerus merabitahkan rohaniahnya kepada rohaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah SWT.

Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas, yang memberi bekas yang hakiki, yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah SWT. Yang memberi kurnia dan memberi nikmat hanya Allah SWT, sebab ditangan Allah SWT sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk mentasarufkannya kecuali Allah SWT. Hanya saja Allah SWT mentasarufkannya itu, melalui pintu- pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya atau menjadi Sunnah-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah SWT yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin Al Kurdi,1994 : .448)..

Ini pulalah yang dimaksud dengan sabda Rasululah SAW, “Besertalah kamu dengan Allah SWT, jika kamu belum bisa menjadikan dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah SWT “ (Amin Al Kurdi, 1994 : 447-448)..

As Syekh Al Imam Al Ghazali dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin” pada waktu menerangkan, penjelasan tentang perincian sesuatu yang seyogyanya untuk dihadirkan di dalam hati pada setiap rukun dan syarat dari amal-amal shalat, mengatakan, “Adapun tasyahhud, apabila kamu duduk untuknya maka duduklah dengan sopan dan jelaskanlah bahwa seluruh shalawat dan kebaikan- kebaikan yaitu akhlak yang suci adalah bagi Allah. Demikian juga kerajaan itu bagi Allah. Itulah makna Attahiyyat (penghormatan).

Dan hadirkanlah Nabi SAW di dalam hatimu dan sosok tubuhnya yang mulia, dan katakanlah,

Artinya : “Semoga kesejahteraan, rahmat dan berkah Allah SWT atasmu wahai Nabi”.

Dan benarkanlah angan-anganmu, bahwasanya salam itu sampai kepada beliau dan beliau membalas atasmu dengan sesuatu yang lebih sempurna daripadanya.

Kemudian ucapkanlah salam atas dirimu dan seluruh hamba Allah SWT yang shalih. Kemudian angan-angankanlah bahwasanya Allah Yang Maha Suci membalasmu dengan salam yang sempurna dengan sejumlah hamba-hamba Allah SWT yang shalih.” (Al Ghazali I, 1990 : 541,555-556).

Seorang murid dalam rabitah hendaklah menghadirkan gurunya yang mursyid ke dalam hati sanubarinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan untuk mendapatkan khusuk dalam shalat, kita menghadirkan Nabi Muhammad SAW dalam hati dan kepribadiannya yang mulia pada waktu kita bertasyahhud.

Demikian pulalah dalam menghadirkan guru yang Mursyid, pada waktu berzikir dan beribadat menurut Tarikat Naqsyabandiyah yang ditegaskan oleh Syekh Amin Al Kurdi dalam bukunya Tanwirul Qulub. (Amin Al Kurdi, 1994 : 448).

B. Dalil dan Pembahasan

Membahas tentang wasilah dan rabitah, sesungguhnya juga membahas tentang Rohaniah. Masalah rohaniah atau masalah roh adalah masalah yang amat sangat halus dan oleh sebab itu pengkajiannya adalah amat tinggi dan dalam, tapi dia merupakan kunci, merupakan power, merupakan kekuatan dalam beramal. Dia adalah sumber keikhlasan, yang merupakan kunci dari diterimanya amal ibadat. Dia menimbulkan khusuk dalam shalat, membuahkan taqwa dalam puasa, menghasilkan mabrur dalam haji. Sebab wasilah dan rabitah ini, langsung sampai dan kembali datang kepada manusia dari sumbernya yang maha tak terhingga ( ) yaitu Allah SWT.

Itulah sebabnya kita melihat keberhasilan para wali-wali Allah SWT yang saleh, mengaktualisasikan isi kandungan Al Qur’an dan As Sunnah. Ketika membaca Al Quran, Kalamullah yang telah menzahir dalam bentuk kalamullah yang berbahasa Arab, bila pada waktu membacanya memakai metode, channel, wasilah yang benar; maka Kalamullah Yang Azali, yang tak berhuruf dan tak bersuara, langsung datang kembali dari Allah SWT dan kondisi Kalamullah yang demikianlah yang dapat memberi bekas dan menjelma menjadi realita kenyataan.

Dengan demikian pengertian Wasilah bukanlah perantara, tetapi dia adalah sarana penghubung, ia adalah saluran atau channel, untuk sampai kepada Allah SWT. Karena itu dia bukanlah jasmani seseorang, bukan pula jasmani mursyid, apalagi gambar mursyid. Dia bukan rohani seseorang dan bukan pula rohani mursyid, tapi sesuatu yang ditanamkan oleh Allah SWT ke dalam rohani Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW. Jadi Rasulullah pun bukan wasilah, tapi Rasulullah SAW adalah corong wasilah, hamilul wasilah, pembawa wasilah atau wasilah carrier. Begitu pulalah halnya fungsi Mursyid yang berstatus sebagai pewaris Nabi pada tiap-tiap zamannya. Jadi seseorang beramal dan berwasilah bukanlah beramal dengan perantara, tapi beramal langsung menurut salurannya. Demikian Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menjelaskan dalam beberapa buku beliau.

Sebagai ilustrasi dari beliau dapat dijelaskan perbedaan antara hubungan langsung dan tidak langsung adalah misalnya : seseorang yang menyapu lantai, maka hubungan antara dia dengan proses pembersihan lantai adalah langsung. Kalau pengertian sapu tersebut sebagai perantara yang artinya merupakan hubungan tidak langsung maka orang tersebut memerintahkan kepada sapu untuk menyapu, kemudian si sapu bergerak sendiri membersihkan lantai sedangkan orang tersebut tidak melakukan apa-apa. Contoh lain tentang hubungan langsung adalah siaran Olimpiade di Barcelona yang diterima oleh TV di rumah. Meskipun melalui satelit dan setasiun bumi/relay, hubungan yangditerima adalah tetap hubungan langsung, sehingga siaran tersebut dinamakan siaran langsung dan satelit tersebut bukan dinamakan perantara. Para ahli Fisika dan ahli Elektro khususnya akan membenarkan dan sepakat serta tidak membantah dengan pernyataan ini.

Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya lebih lanjut menegaskan bahwa dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Rasul banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh manusia untuk mempelajari dan meriset ayat atau firman kitabi itu, supaya disinkronisasikan dan dikonfirmasikan dengan firman Afaqi (tekhnologi alam semesta) dan firman Nafsani (diri jasadi dan diri rohani manusia).

Karena itu dalam mempelajari channel, saluran, gelombang, frekuensi tak terhingga ( ), dapat disinkronisasikan dan dikomfirmasikan kajiannya dengan masalah listrik umpamanyapada sentral listrik PLTA, PLTU, atau PLTD yang merupakan sentral atau sumber dari strum aliran listrik.

Dari sentral listrik umpamanya bermuatan + 170.000 KVA yang dimasukkan ke dalam sebuah Travo, guna menurunkan kapasitasnya, sehingga sesuai dengan apa yang diperlukan guna pemakaian di rumah-rumah, maka semua rumah yang berhubungan dengan Travo tersebut, dinamakan langsung berhubungan dengan sentral listrik itu sendiri. Bukan perantara Travo, hanya via/melalui/lewat Travo.Bentuk si listrik yang ada pada kawat, pada saat si listrik berada dalam kawat, adalah persis sama dengan bentuk si kawat.

Perhatikan gambar berikut ini,

D = Dinamo

A = Ampere

V = Voltage

S.C = Stop Contact

Keterangan Gambar :

Jika hubungan (kontak) dengan Induk Dinamo telah terlaksana dengan realita / dengan baik, maka di mana saja diukur Volt-nya akan ditemukan tinggi voltasenya di mana saja serupa tingginya ! Dengan perkataan lain, voltage dalam induk dinamo sama dengan voltage yang berada pada tiap-tiap pesawat yang berada dalam kesatuan lingkaran listrik yang berhubungan dengan induk dinamo. Begitu pulalah keadaannya dengan wasilah yang telah ditanamkan pada arwahul muqaddasah Rasulullah SAW, yang berfrekwensi tak terhingga ( ) yang datangnya dari Allah SWT, wasilah itu pulalah yang ada pada arwahul muqaddasah para Syekh Mursyid atau ahli silsilah, yang sambung bersambung sampai dengan Syekh Mursyid sekarang ini (Kadirun Yahya, 1989 : 25- 29).

Sebagai catatan bahwa mengibaratkan wasilah yang sumbernya dari Allah SWT dengan setrum listrik yang strumnya bersumber dari sentral dinamo listrik, bukanlah dimaksudkan menyamakan hakikat fisiknya, tetapi sebenarnya untuk memudahkan umat Islam memahami pengertian wasilah. Allah SWT yang tidak sesuatu apapun yang serupa dengannya ( ) tentunya tidak mungkin pula disamakan dengan setrum listrik yang ada pada kabel yang berasal dari dinamo. Untuk menjelaskan alam ghaib seringkali dinjumpai pada ayat-ayat Al Qur’an yang mengambil contoh pada alam fisika/dzahir.

Untuk menjelaskan hubungan wasilah yang ada pada Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW, yang diteruskan oleh para wali-wali Allah SWT, kalau disinkronisasikan dan konfirmasikan dengan listrik tadi maka berikut ini akan disampaikan beberapa dalil naqli sebagai berikut :

Firman Allah SWT,

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al Anbiya 21 : 107).

Q.S.Al Anbiya 21 : 107 menjelaskan bahwa rahmat itu adalah kepunyaan Allah SWT, sedangkan Rasul membawa rahmat itu ke seluruh alam langsung dari Allah SWT. Kesimpulannya Wasilah itu berisi rahmat.

Firman Allah SWT :

Artinya :“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Q.S. Al Anfal 8 : 17).

Q.S. Al Anfal 8 : 17 menjelaskan bahwa hakikatnya Allah-lah yang melempar sehingga musuh hancur berantakan, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah melaksanakan secara syari’atnya. Kesimpulannya Wasilah itu berisi Qudrat Allah.

Firman Allah SWT,

Artinya : “Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (Q.S. Al Baqarah 2 : 152).

Q.S. Al Baqarah 2 : 152 menjelaskan bahwa zikir dan syukur kita berbalas langsung dari Allah SWT dan memberi bekas. Kesimpulannnya Wasilah itu berisi Zikir dan Syukur.

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Bahwasanya Al Qur’an ini satu ujungnya di tangan Allah SWT dan satu lagi di tangan kamu (Muhammad), maka peganglah kuat-kuat akan dia” (H.R. Abu Syuraih Al Khuja’i).

H.R. Abu Syuraih Al Khuja’i menjelaskan bahwa Al Qur’an dengan segala isi kandungan dan mukjizatnya baru bisa mendapatkan Kalamullahi Al Azali yang memberi bekas melalui wasilah yang tertanam pada arwahul muqaddasah Rasulullah SAW. Kesimpulannya Wasilah itu berisi Kalamullah Al Azali.

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau/ memuat akan zat-Ku (yang membawa Asma-Ku / Kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuatnya ialah Hati Hamba-Ku Yang Mukmin / suci, lunak dan tenang.” (Hadis Qudsi R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Hadis Qudsi menjelaskan bahwa hati hamba seorang mukmin yang suci, lunak dan tenang dapat menjadi saluran wasilah dari Allah SWT.

Kesimpulannya Wasilah itu berisi saluran melalui Arwahul Muqaddasah.

Dari penjelasan tersebut di atas, yang memberi bekas adalah wasilah (yang bersumber langsung dari Allah SWT) yang berisi rahmat, qudrat Allah, zikir dan syukur, kalamullah al azali, saluran melalui Arwahul Muqaddasah, yang langsung datang dari Allah SWT. Sebagaimana halnya yang memberi bekas pada listrik adalah setrum listrik itu, yang langsung datang dari sentralnya. Jadi yang memberi bekas bukan kabelnya, tapi adalah strumnya. Yang memberi bekas bukan para Nabi-Nabi Allah SWT, bukan juga wali-wali Allah SWT, tetapi wasilah yang merupakan frekuensi yang tak terhingga ( ) yang datang dari Allah SWT.

Kalau setrum listrik dengan suatu metode tertentu dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk digunakan pada alat-alat elektronik berupa TV, radio, kulkas, rice cooker, setrika, mesin cuci, lampu, dan sebagainya; maka wasilah yang datang dari Allah SWT dapat dimanfaatkan untuk mendapat rahmat-       Nya seperti mendapatkan manisnya ibadat ( ), shalat yang khusuk, puasa yang membuahkan takwa, haji yang mabrur, ketenangan dan keberkatan dalam berumah tangga, kemakmuran dalam berbangsa dan bernegara, dan dapat pula menolak bala, melawan musuh, baik yang datang dari luar maupun yang datangnya