AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT: Wahhabiyyah Musyabbihah Menyelewengkan Firman Allah QS Thaha:5 Utk Menetapkan Keyakinan Rusak Mereka.. Anda Jangan Terkecoh!!!

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 yang kita maksud adalah:

الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)

Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh kita pahami makna zhahirnya adalah firman Allah dalam QS. Thaha: 5 ini. Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya mengatakan bahwa makna “istawa” dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk. Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa al-Imam Malik suatu ketika ditanya tentang makna istawa, lalu beliau berkata: “al-Istiwa’ Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak benar. Riwayat yang benar dari al-Imam Malik tentang ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dari jalur sanad Abdullah ibn Wahb dan Yahya ibn Yahya, sebagai berikut:

”Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ahmad ibn Muhammad ibn Isma’il ibn Mahran, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku ayahku (Muhammad ibn Isma’il), berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Rabi’ ibn Akhi Risydin ibn Sa’ad, berkata: Aku telah mendengar Abdullah ibn Wahb berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-’arsy istawa, bagaimanakah istawa-Nya?”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Saat itu al-Imam Malik mengeluarkan keringat dingin sambil menunduk karena marah atas pertanyaan tersebut, lalu ia mengangkat kepala sambil berkata: ”ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, sebagaima Dia mensifati diri-Nya demikian, tidak boleh dikatakan baginya bagaimana, karena pertanyaan bagaimana bagi-Nya dihilangkan (Artinya mustahil, karena “bagaimana” hanya untuk mempertanyakan sifat benda), engkau adalah seorang yang berpemahaman buruk dan seorang ahli bid’ah, keluarkanlah orang ini!”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Maka saat itu juga orang tersebut dikeluarkan -dari majelis Al-Imam Malik-” (Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Selain jalur sanad di atas, dalam jalur sanad lainnya al-Hafizh al-Bayhaqi menuliskan sebagai berikut:

“Telah mengkabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harits al-Faqih al-Ashfahani, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah ibn Ja’far ibn Hayyan yang dikenal denga Abu al-Syaikh, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Ja’far ibn Zairak al-Bizzi, berkata: Aku mendengar Muhammad ibn ‘Amr ibn al-Nadlr al-Naisaburi, berkata: Aku mendengar Yahya ibn Yahya berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy istawa…, bagaimanakah istawa Allah?”. Ia (Yahya ibn Yahya) berkata: Saat itu Al-Imam Malik menunduk dan berkeringat karena marah mendapat pertanyaan tersebut, kemudian ia berkata: ”al-Istiwa’ ghair Majhul (artinya jelas penyebutan “istawa” dalam al-Qur’an), Wa al-Kayf Ghair Ma’qul (artinya; istawa tidak boleh dimaknai dengan sifat-sifat benda), beriman dengan adanya “istawa” adalah kewajiban, mempertanyakan bagaimana istawa (Kayf istawa?) adalah bid’ah, dan saya melihatmu sebagai seorang ahli bid’ah”. Kemudian al-Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan -dari majelisnya-”(Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Riwayat yang yang menyebutkan bahwa al-Imam Malik berkata: “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak memiliki sanad yang benar. Riwayat ini seringkali dipakai oleh kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, karena sejalan dengan hawa nafsu mereka dalam menetapkan keserupaan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam keyakinan kaum Musyabbihah bahwa Allah memiliki Kayf (sifat benda) dalam istawa-Nya, hanya saja -menurut mereka- Kayf tersebut tidak dapat kita ketahui. Mereka telah menetapkan Kayf (sifat benda) bagi Allah, mereka tidak mensucikan Allah dari Kayf. Seringkali mereka mengatakan; ”Allah bersemayam di atas arsy, tapi tidak seperti bersemayam kita”. Ini adalah kata-kata yang menyesatkan, karena di dalamnya sama dengan menetapkan sifat benda (kayf) bagi Allah.

Sementara itu, para ulama Khalaf berbeda dengan para ulama Salaf, mereka melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa makna istawa dalam ayat tersebut berarti menguasai dan menundukkan (al-Qahr wa al-Ghalabah wa al-Istila’). Menafsirkan makna istawa dengan menundukkan (al-Istila’) tidak berarti menuntut keharusan adanya pertarungan dan mengalahkan terlebih dahulu (Sabq al-Mughalabah). Karena yang dimaksud dengan makna al-Istila’ di sini adalah al-Qahr; yang berarti menguasai tanpa harus mengalahkannya terlebih dahulu. Karena sifat al-Qahr ini adalah sifat yang terpuji bagi Allah, dan Allah sendiri memuji diri-Nya dengan sebutan nama al-Qahhar dan al-Qahir; yang berarti menguasai seluruh makhluk-Nya. Tentang ini Allah berfirman:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)

Artinya; “Dia Allah yang menguasai para hamba-Nya”.

Makna istawa dalam pengertian ”menguasai” (al-Istila’ wa al-Qahr) juga telah dinyatakan oleh seorang ahli fiqih terkemuka, ahli hadits, dan ahli bahasa, yaitu al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, beliau berkata:

“Seorang yang mentakwil semacam ini (takwil Istawa dengan Istawla) sama sekali tidak melakukan kesalahan yang dilarang, dan juga orang tersebut tidak mensifati Allah dengan sifat yang tidak boleh bagi-Nya (Artinya takwil tersebut sesuatu yang dibenarkan)” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 107).

Takwil Istawa dalam makna Istwla ini, juga telah diberlakukan oleh al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, beliau berkata:

“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kemudian al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan pula:

“Ada beberapa orang merasa bahwa diri mereka sebagai orang yang paham dalam masalah ini, seandainya aku tidak megkhawatirkan akan rusaknya pemahaman orang-orang awam dan pemikiran mereka maka aku akan penuhi kitab ini dengan penjelasan panjang lebar sebagai bantahan terhadap orang-orang tersebut. Mereka itu mengatakan: ”Kita harus mengambil makna zhahih teks-teks mutasyabihat dan memberlakukannya sebagaimana apa adanya yang mengindikasikan bahwa Allah memiliki keserupaan atau bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan”. Mereka biasanya berpegang kepada ayat QS. Ali ‘Imran: 7 bahwa yang mengetahui takwil itu hanya Allah saja, sementara kita tidak boleh mentakwil. Orang-orang semacam ini, demi Allah, lebih berbahaya dari pada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang penyembah berhala. Karena kesesatan dan kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan para penyembah berhala jelas terlihat dengan kasat mata dan dapat dihindari oleh setiap orang Islam. Namun kesesatan dan kekufuran orang-orang tersebut di atas dapat tersamar bagi orang-orang Islam yang berpemahaman lemah hingga mereka ikut menjadi sesat seperti orang-orang tersebut. Mereka akan menjelaskan dan menanamkan keyakinan terhadap orang-orang yang akan disesatkannya bahwa Allah memiliki anggota badan, memiliki sifat-sifat tubuh, seperti naik, turun, bersandar, terlentang, bersemayam dan bertempat, pulang pergi dari satu arah ke arah yang lain. Orang yang ikut dengan mereka akan berkesimpulan bahwa Allah tidak ubahnya seperti benda-benda. Orang ini kemudian akan menjadi sesat tanpa ia sadari” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kesimpulan;

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 tersebut di atas tidak boleh dipahami bahwa Allah bertempat, duduk, atau bersemayam di atas arsy. Karena arsy adalah makhluk Allah, dan Allah mustahil membutuhkan kepada makhluk-Nya. Sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy, demikian pula setelah menciptakan arsy Dia ada tanpa arsy. Tetapi makna “Istawa” dalam ayat tersebut adalah “Yang Maha Menguasai”. Ingat; ketetapan akidah Rasulullah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam dari generasi ke generasi; yaitu kaum Ahlussunnah adalah; “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”

Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA

I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :

{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

Wahai mujasimmah wahhaby!!

lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!

bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

2- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf

Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.

Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

Bersambung ….

https://salafytobat.wordpress.com