Puasa ‘Asyura dan Keagungannya (Fadhilahnya)

Puasa ‘Asyura dan Keagungannya

Berpuasa adalah sebuah amalan yang biasa dilakukan oleh para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih sepanjang masa dunia terbentang, sebagai ibadah atas diri mereka. Kadang-kadang sebagai tanda syukur atas nikmat yang mereka terima dari Allah, para Nabi dan orang-orang shalih biasa bersyukur dengan melaksanakan ibadah puasa.

Puasa ‘asyura adalah sebuah puasa yang hukumnya sunnat. Puasa ini sudah berusia sangat lama, bahkan mungkin puasa ‘asyura adalah salah satu dari puasa yang tertua yang pernah ada di muka bumi. Dalam Islam, puasa ‘asyura sudah berusia 1444 tahun lamanya, seusia dengan agama Islam, yaitu semenjak awal pertama Nabi diutuskan Allah ke muka bumi. Jadi keliru besar jika ada anggapan selama ini bahwa puasa hari ‘asyura, dan mengangungkannya  hanyalah sebuah tradisi orang-orang Jawa, dan bukan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Orang-orang Quraisy dan suku Arab Jahiliyyah di Mekah pun sudah terbiasa selama ratusan tahun berpuasa pada hari ‘asyura ini. Di sisi mereka hari ‘asyura adalah satu hari yang agung, sehingga mereka mengisinya dengan ibadah puasa. Sebuah hadis dari Siti ‘Aisyah menceritakan: “Adalah hari ‘asyura itu, hari dimana kaum Quraisy berpuasa pada masa Jahiliyyah.” Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berpuasa pada hari ‘asyura itu sejak zaman Jahiliyah dan Beliau juga berpuasa pada hari ‘asyura tersebut ketika beliau memasuki kota Madinah (ketika hijrah). Dan, Beliau pun mewajibkan umatnya untuk puasa pada hari ‘asyura itu. Manakala puasa Ramadhan sudah diwajibkan, maka kewajiban atas puasa ‘asyura dicabut, barangsiapa yang mau berpuasa dipersilahkan dan barangsiapa yang tidak mau berpuasa dipersilahkan juga (hukumnya menjadi sunat). (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Keterangan dan Keutamaan Tentang Puasa ‘Asyura

Hari ‘asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharram, dalam Islam semenjak diwajibkannya puasa Ramadhan, yakni pada tahun ke-2 Hijrah (tahun ke-15 kenabian), puasa ‘asyura ini tidak lagi menjadi wajib atas kaum Muslimin, tetapi hanya disunnatkan saja, setelah sebelumnya sempat diwajibkan atas kaum muslimin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (keterangan ini dikutip dari hadis Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad, dan Baihaqi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Imam Nawawi, Jilid VII, halaman 646).

Keutamaan puasa ‘asyura ini ada diriwayatkan dalam hadis Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu: “Adalah Rasulullah SAW ditanya tentang puasa pada hari ‘asyura, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Puasa ‘asyura menggugurkan dosa setahun yang terdahulu.” (HR. Muslim)

Sedangkan hari tasu’a adalah hari kesembilan dari bulan Muharram. Kaum muslimin juga disunatkan berpuasa pada hari tasu’a berdasarkan sebuah riwayat dimana Nabi bercita-cita ingin berpuasa pada hari tasu’a ini. Walaupun Nabi tidak sempat melakukannya karena terlebih dahulu wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal di tahun itu, namun hukumnya dalam syariat Islam tetap sunnat juga melakukannya atas kaum muslimin. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Seandainya aku masih hidup pada hari ‘asyura di tahun depan, aku pasti akan berpuasa pada hari tasu’a, (hari kesembilan bulan Muharam). (HR. Muslim). Pada riwayat yang lain, Imam Muslim menambahkan: “Ketika hari yang dimaksud tiba di tahun depan, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah dipanggil Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Dari hadis tersebut, dapat dipetik hikmah bahwa menambahkan puasa tasu’a pada bulan Muharram adalah agar amalan kaum muslimin tidak serupa persis dengan amalan umat Yahudi yang biasa berpuasa hanya pada hari ‘asyura saja. Dalam hadis yang lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi bersabda; “Berpuasalah kamu pada hari ‘asyura itu, dan bedakan olehmu akan umat Yahudi dengan berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya” ( H.R. Imam Ahmad, Baihaqi, Ibnu Khuzaimah, dan Humaidi, shohih).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sunnat dalam Islam, berpuasa di bulan Muharram sedikitnya selama tiga  hari berturut-turut, yaitu tanggal 9,10, dan 11 Muharram.

‘Asyura Puasanya Banyak Umat

Kaum Yahudi sudah terbiasa mengagungkan hari ‘asyura ini sebagai ‘hari raya’ di kalangan mereka selama kurang lebih 2000 tahun sebelum masa Nabi Muhammad. Ketika Nabi berhijrah, Beliau sempat tinggal beberapa hari di Quba’ dan membangun sebuah masjid di sana, serta melaksanakan sholat Jum’at untuk pertama kalinya. Kemudian Nabi memasuki kota Madinah pada hari ‘asyura sambil berpuasa pada hari itu, karena puasa ‘asyura memang sudah biasa dilakukan oleh kaum Quraisy sejak zaman Jahiliyah. Saat itu Nabi menjumpai komunitas Yahudi yang banyak di Madinah dan mereka ternyata sedang berpuasa pula pada hari ‘asyura itu. Kemudian terjadilah percakapan antara Nabi Muhammad dengan umat Yahudi Madinah itu, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Madinah, Beliau mendapati umat Yahudi berpuasa pada hari ‘asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini, sehingga kalian berpuasa atasnya?” Umat Yahudi menjawab: “Ini adalah hari yang Agung, di mana Allah telah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, sehingga Nabi Musa berpuasa pada hari ini karena bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga berpuasa pada hari ini.” Kemudian Nabi SAW bersabda: “(sebagai ummat Nabi Musa kamu berhak mengagungkan hari ini tetapi) Kami kaum muslimin, lebih berhak dan lebih utama (mengagungkan hari ini) untuk penghormatan kepada Nabi Musa daripada kalian.” Maka Nabi berpuasa pada hari itu, serta memerintahkan pula umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari Muslim, dengan lafazh Imam Muslim).

Dalam hadis yang lain, terjadi di tahun kesepuluh setelah Nabi hijrah, (yakni tahun terakhir Nabi hidup bersama Sahabatnya di dunia), telah diceritakan oleh para Sahabat kepada Nabi bahwa ternyata puasa pada hari ‘asyura itu sudah diamalkan oleh umat Yahudi dan Nasrani. Mendengar ini, Rasulullah berkata: ”Jika begitu, pada tahun depan kita tambahkan berpuasa pada hari tasu’a.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain, dijelaskan dari Abu Musa al Asy’ari bahwa: “Adalah umat Yahudi telah menjadikan hari ‘asyura itu sebagai hari ‘ied, yakni hari raya di kalangan  mereka.” (HR. Bukhari Muslim)

Hikmah

Telah nyata bagi kita bahwa hari ‘asyura itu adalah hari agungnya umat Yahudi dan Nasrani, dan mereka telah menjadikannya sebagai ‘hari raya’ yang diperingati selama lebih dua ribu tahun lamanya sampai ke zaman Nabi Muhammad, sebagai hari yang bersejarah. Pada hari itu Nabi Musa dan kaumnya telah diselamatkan Allah (ketika menyeberangi Laut Merah), dari kejaran Fir’aun laknatullah ‘alaih dan para tentaranya. Ketika kabar ini sampai kepada Nabi, Beliau justru menguatkan bahwa memperingati hari Agungnya Nabi Musa bukan hanya merupakan haknya umat Yahudi, akan tetapi Nabi dan kaum muslimin bahkan lebih berhak memperingatinya.

Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan, kalau memperingati hari Agung Nabi Musa saja, umat Yahudi dan kaum muslimin diperintahkan Nabi untuk mengagungkannya, bagaimana dengan hari Agung Nabi kita sendiri…..? Dan, jika peristiwa Nabi Musa berhasil menyeberang Laut Merah dengan selamat diagungkan oleh umatnya selama lebih dua ribu tahun (dan Nabi Muhammad ikut mengagungkannya pula), lantas kenapa kita umat Nabi tidak boleh mengagungkan Isra’ Mi’raj Nabi kita….? Bukankah pada peristiwa Isra’ Mi’raj itu Nabi Muhammad berhasil ‘menyeberang’ langit dan kembali ke  bumi dalam satu malam! Nah, Manakah yang lebih Agung, menyeberang laut atau ‘menyeberang’ langit….?

Inilah hikmah yang dapat dipetik dari kisah puasa ‘asyura, satu hari yang sangat diagungkan oleh banyak umat, mulai dari umat Yahudi, bersambung kepada umat Nasrani, diteruskan oleh suku Quraisy di zaman Jahiliyah, dan terus berlanjut sampai kepada kaum muslimin. Saat ini, puasa di hari ‘asyura sudah berlangsung pada generasi manusia selama kurun waktu lebih dari 3400 tahun lamanya dan masih akan terus berlanjut sampai dunia kiamat.

Wallahu a’lam bishshowab

from :

website ustaz  tengku zulkarnaen

http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/index/70/Puasa-Asyura-dan-Keagungannya