Membentangkan kedua tangan dan mengangkatnya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah wajah atau mengarah ke atas dalam berdoa adalah sunnah, dan termasuk salah satu sebab dikabulkannya sebuah doa. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya Tuhanmu Tabaraka wa Ta’ala itu Mahamalu lagi dermawan. Dia malu jika ada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepadanya, lalu orang itu mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Umar bin Al-Khathab]
*Hadits shahih. Dishahihkan Al-Iraqi, Ibnu Hajar. (Bahkan Al bani al wahabi pun menshahihkan hadis ini)*
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Membentangkan tangan ke langit adalah salah satu adab berdoa yang diharapkan bisa menjadi sebab dikabulkannya sebuah doa.” [Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam I/191]
Imam An-Nawawi berkata, “Sesungguhnya hadits yang menyebutkan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya dalam berdoa dalam banyak kesempatan selain shalat istisqa’ adalah shahih. Dan, haditsnya tak terhitung banyaknya.” [Syarh Shahih Muslim VI/190]
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Disunnahkan bagi orang yang berdoa untuk mengangkat kedua tangannya dalam berdoa di luar shalat sebagai ittiba’.” [Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra I/252]
b. Memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika berdoa dalam khutbah
Namun demikian, ada saat di mana Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengangkat tangannya ketika berdoa, yaitu dalam khutbah Jum’at, di mana beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuknya. Disebutkan dalam hadits shahih,
“Bahwasanya Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya pada hari Jum’at di atas mimbar. Maka, Umarah bin Ruwaibah Ats-Tsaqafi pun menegurnya. Dia (Umarah) berkata; ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan lebih dari ini’. Dia (Umarah) memberikan isyarat dengan jari telunjuknya.” [HR. Muslim dan An-Nasa`i dari Umarah Ats-Tsaqafi]
Imam An-Nawawi berkata, “Sesungguhnya yang sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat tangan dalam khutbah. Ini adalah pendapat Malik, sahabat-sahabat kami, dan selain mereka.” [Syarh Shahih Muslim VI/162]
Imam Al-Haitami berkata, “Dan tidak disukai bagi khatib mengangkat kedua tangannya pada waktu khutbah, sebagaimana yang dikatakan Al-baihaqi.” [Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra I/253]
C. Sunnah berdoa setelah shalat fardhu
Banyak hadits yang menjelaskan keutamaan berdoa setelah shalat fardhu. Di antaranya, adalah riwayat Abu Umamah Al-Bahili, bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Doa apakah yang paling didengar (oleh Allah)?” Beliau bersabda, “(Doa pada) akhir tengah malam dan selepas shalat wajib.” [HR. At-Tirmidzi]
*Dihasankan At-Tirmidzi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar*
Dr. Abdullah Al-Faqih berkata, “Sesungguhnya berdoa selepas shalat setelah selesai dari berdzikir itu ada ketetapan syariatnya. Dan, bahwasanya mengangkat kedua tangan dalam berdoa juga disyariatkan. Oleh karena itu, barangsiapa yang berdoa setiap kali selesai shalat dengan mengangkat kedua tangannya, dia tidak boleh disalahkan, sekalipun dia selalu melakukannya.”
Bukti AA gym dan Anis matta (PKS dan seluruh kader ihwan) berfaham wahabi dan berideologi teroris radikal (Sayyid qutb):
Usamah Bin Laden pernah mengirimkan surat untuk kaum Muslimin Indonesia yg dibacakan kembali Oleh KH. Abdullah Gynastiar dalam acara Konser amal Milad Daarut Tauhid di Gedung Sasana Budaya Ganesha ITB ( 15/10/01 ) yg isinya:
Saudaraku……
Suratmu sudah ku terima
Aku baik-baik saja di sini
Aku masih menikmati teh di Pagi hari dan menikmati tenggelam di sore hari
Mengendalikan bisnis, mengontrol Jaringan Al Qaeda di balik gua-gua Afganistan
Tenanglah saudaraku di Indonesia
Jadwal kematianku tidak ditulis di pentagon atau Gedung Putih
Saudaraku….
Aku menonton aksi-aksi kalian dari jaringan TV Al Jazira
Aku senang kalian sudah mulai berani bicara
Aku senang kalian sudah bikin Bush marah-marah
Aku gembira kalian sudah bias bilang tidak
Aku belajar kalian sudah belajar dari singa
Aku terharu kalian msikin tapi mau menyumbang
Aku heran kalian kecil-kecil tapi berani jihad ke Afganistan
Aku pikir kalian ini anak ajaib
Saudaraku……..
Aku mau buka rahasia kepadamu tapi jangan bilang siapa-siapa
Kamu tahu tidak kenapa orang Taliban saying kepadaku
Kata mereka aku lucu
Bocah-bocah Afganistan senang kepadaku karena aku memabawakan mainan pesawat-pesawat Amerika buat mereka
Para pemulung juga suka kepadaku karena rudal-rudal amerika itu bias jadi besi tua yang laris
Orang-orang Amerika itu terlalu serius
Padahal kita Cuma sedang bermain di halaman ( surga )
Saudaraku……….
Kalau nanti Allah memilihku menjadi syahid, utusanku akan dating menemuimu membawa sebuah pundi-pundi kecil
Itulah darahku
Siramlah tanah-tanah jihad di negerimu
Tetapi kalau aku bias mengubur keangkuhan Amerika di sini, aku sendiri yang akan datang ke Indonesia.
Kamu tahu apa yang akan aku lakukan?
Aku Cuma mau investasi di negerimu
________________
Anis matta dan kader PKS pemuja osamah bin laden dan alqaida:
bukti :
Keagungan Osama bin Laden dalam Puisi Anis Matta
Inilah puisi ‘imajiner’ Anis Matta tentang Osama bin Laden:
“Surat Untuk Osama”
Osama,
Kamu tidak pernah bilang padaku
Kalau kamu mau meledakkan WTC dan Pentagon
Bush juga tidak punya bukti sampai sekarang
Jadi aku memilih percaya
Pada cinta yang terpancar
Di balik keteduhan matamu
Pada semangat pembelaan yang tersimpan
Di balik lebat janggutmu.
____________________________________________
Pendiri Al qaida dan Taliban : Berfaham wahabi saudi arabia dan aktifis Ikhwanul Muslimin (PKS):
Osamah adalah penganut faham wahabi saudi arabia, mulai ikut dalam ihwanul muslimin ketika menjadi mahasiswa di Jeddah
Nama : Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin
Lahir : Kota Jeddah, Arab Saudi, 28 Juni 1957
Pendidikan : Lulusan Sarjana dalam bidang Ekonomi dan Manajemen
Universitas King Abdul Aziz di Jeddah (1979)
Fiqh: sekte wahabi (salafy palsu)
aqidah : Mujasimmah takfiriah (Menjisimkan Allah dan mengkafirkan muslim diliuar kelompoknya)
Politik : Radikal (pemuja kitab-kitab sesat sayyid qutb (tokoh khawarij ihwanul muslimin)
Islam sama sekali tak bisa dilepaskan dari sosok Baginda Nabi SAW. Beliau adalah insan yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia dengan agama yang sempurna ini. Tiada sosok yang patut diagungkan di muka bumi melebihi Baginda Nabi SAW. Segenap keindahan fisik dan budi pekerti terdapat dalam figur Baginda Rasulullah SAW. Mencintai Baginda Nabi SAW adalah bagian dari mencintai Allah SWT. Beliau bersaba:
مَنْ أَحَبَّنِي فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ وَمَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطاَعَ اللهَ
“Barangsiapa mencintaiku, maka ia benar-benar telah mencintai Allah SWT. Barangsiapa menaatiku, maka ia benar-benar telah taat kepada Allah SWT.”
Cinta haruslah disertai dengan penghormatan dan pengagungan. Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan manusia agar mengagungkan sosok Baginda Nabi SAW. Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
“Sesungguhnya kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya dan mengagungkan Rasul-Nya.”
Cinta para sahabat kepada Baginda Rasul SAW adalah cinta yang patut diteladani. Dalam hadits-hadits disebutkan bagaimana para sahabat saling berebut bekas air wudhu Baginda Nabi SAW. Meski hanya tetesan air, namun air itu telah menyentuh jasad makhluk yang paling dekat dengan Sang Pencipta. Karena itulah mereka begitu memuliakannya dan mengharap berkah yang terpendam di dalamnya. Ketika Baginda Nabi SAW mencukur rambut, para sahabat senantiasa mengerumuni beliau. Mereka ingin mendapatkan potongan rambut beliau meski sehelai. Dengan rambut itu mereka hendak mengenang dan mengharap berkah Nabi SAW. Demikianlah rasa cinta para sahabat kepada Baginda Nabi SAW.
Primitif
Apa yang berlaku saat ini di Bumi Haramain adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kaidah cinta. Di sana orang-orang Wahabi mengaku mencintai Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sama sekali tidak menghormati beliau SAW. Mereka bahkan melecehkan beliau dan melakukan perbuatan yang teramat tidak pantas kepada sosok sebesar beliau. Bayangkan saja, rumah yang ditempati beliau selama 28 tahun, yang semestinya dimuliakan, mereka ratakan dengan tanah kemudian mereka bangun di atasnya toilet umum. Sungguh keterlaluan!
kebiadaban WahabiFakta ini belakangan terkuak lewat video wawancara yang tersebar di Youtube. Adalah Dr. Sami bin Muhsin Angawi, seorang ahli purbakala, yang mengungkapkan fakta itu. Dalam video berdurasi 8:23 menit itu, ia mengungkapkan bahwa ia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk mencari situs rumah Baginda Nabi SAW. Setelah berhasil, ia menyerahkan hasil penelitiannya kepada pihak yang berwenang.
Respon pihak berwenang Arab Saudi ternyata jauh dari perkiraan pakar yang mengantongi gelar Doktor arsitektur di London itu. Bukannya dijaga untuk dijadikan aset purbakala, situs temuannya malah mereka hancurkan. Ketika ditanya oleh pewawancara mengenai bangunan apa yang didirikan di atas lahan bersejarah itu, Sami Angawi terdiam dan tak mampu berkata-kata. Si pewawancara terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengakui bahwa bangunan yang didirikan kelompok Wahabi di atas bekas rumah Baginda Nabi SAW adalah WC umum. Sami Angawi merasakan penyesalan yang sangat mendalam lantaran penelitiannya selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Ia kemudian mengungkapkan harapannya, “Kita berharap toilet itu segera dirobohkan dan dibangun kembali gedung yang layak. Seandainya ada tempat yang lebih utama berkahnya, tentu Allah SWT takkan menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal Rasul SAW dan tempat turunnya wahyu selama 13 tahun.”
Ulah jahil Wahabi itu tentu saja mengusik perasaan seluruh kaum muslimin. Situs rumah Baginda Nabi SAW adalah cagar budaya milik umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mengusik tempat terhormat itu. Ulah mereka ini kian mengukuhkan diri mereka sebagai kelompok primitif yang tak pandai menghargai nilai-nilai kebudayaan. Sebelum itu mereka telah merobohkan masjid-masjid bersejarah, di antaranya Masjid Hudaybiyah, tempat Syajarah ar-Ridhwan, Masjid Salman Alfarisi dan masjid di samping makam pamanda Nabi, Hamzah bin Abdal Muttalib. Pada tanggal 13 Agustus 2002 lalu, mereka meluluhkan masjid cucu Nabi, Imam Ali Uraidhi menggunakan dinamit dan membongkar makam beliau.
Wahabi tidak rela Masjid cucu Nabi berada di Madinah
Selama ini kelompok Wahabi berdalih bahwa penghancuran tempat-tempat bersejarah itu ditempuh demi menjaga kemurnian Islam. Mereka sekadar mengantisipasi agar tempat-tempat itu tidak dijadikan sebagai ajang pengkultusan dan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kemusyrikan. Akan tetapi dalih mereka agaknya kurang masuk akal, sebab nyatanya mereka berupaya mengabadikan sosok Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, salah seorang tokoh pentolan mereka. Mereka mendirikan sebuah bangunan yang besar dan mentereng untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Syekh al-Utsaimin. Bandingkan perlakuan ini dengan perlakuan mereka kepada Baginda Nabi SAW. Mereka merobohkan rumah Baginda Nabi SAW dan menjadikan tempat yang berkah itu sebagai WC umum, kemudian membangun gedung megah untuk Al-Utsaimin. Siapakah sebetulnya yang lebih mulia bagi mereka? Baginda Rasulullah SAW ataukah Syekh al-Utsaimin?
Kacamata UsaiminBangunan berdesain mirip buku itu dibubuhi tulisan “Yayasan Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin.” Di dalamnya terdapat benda-benda peninggalan Syekh al-Utsaimin, seperti kaca mata, arloji dan pena. Benda-benda itu diletakkan pada etalase kaca dan masing-masing diberi keterangan semisal, “Pena terakhir yang dipakai Syekh al-Utsaimin.”
pena terakhir yang dikeramatkanSungguh ironis, mengingat mereka begitu getol memberangus semua peninggalan Baginda Nabi SAW. Ulama mereka bahkan mengharamkan pelestarian segala bentuk peninggalan Baginda Nabi SAW. Beruntung, sebagian benda peninggalan beliau telah dipindahkan ke Turki.
Haul Wahabi
Wahabi melarang keras pengkultusan terhadap diri Baginda Nabi SAW, akan tetapi mereka sendiri melakukan pengkultusan terhadap diri Syekh al-Utsaimin. Mereka membid’ahkan peringatan haul seorang ulama atau wali, akan tetapi belakangan mereka juga menghelat semacam haul untuk Syekh al-Utsaimin dengan nama ‘Haflah Takrim.” Betapa ganjilnya sikap kelompok Wahabi ini.
‘Haul’ al-Utsaimin mereka adakan pada bulan Januari 2010 lalu di sebuah hotel di Kairo di bawah naungan Duta Besar Saudi di Kairo, Hisham Muhyiddin. Rangkaian acara haul itu dibuka dengan pembacaan ayat-ayat Quran, dilanjutkan sambutan-sambutan berisi pujian terhadap almarhum. Sambutan pertama disampaikan Ketua yayasan ar-Rusyd sekaligus Presiden Asosiasi Penerbit Saudi, yang memuji peran Syekh Utsaimin dalam penyebaran agama Islam. Sambutan selanjutnya disampaikan Abdullah, putra Utsaimin, kemudian Atase Kebudayaan Saudi Muhammad bin Abdul Aziz Al-Aqil. Yang disebutkan belakangan ini banyak mengulas manakib Syekh al-Utsaimin dengan menjelaskan tahun lahir dan wafatnya. “Perayaan ini adalah sedikit yang bisa kami persembahkan untuk mendiang Syekh Utsaimin,” ujarnya.
Utsaimin yang dikultuskan Wahabi
Acara haul ditutup dengan saling tukar tanda kehormatan antara Yayasan ar-Rusyd, Yayasan Utsaimin, Atase Kebudayaan dan Deputi Menteri Kebudayaan dan Informasi. Begitu pentingnya perayaan untuk Utsaimin ini sampai-sampai seorang pengagumnya menggubah sebuah syair:
وَاللهِ لَوْ وَضَعَ اْلأَناَمُ مَحَافِلاَ # مَاوَفَتِ الشَّيْخَ اْلوَقُورَحَقَّهُ
“Demi Allah, Seandainya segenap manusia membuat banyak perayaan untuk Syeikh Utsaimin, hal itu tidaklah mampu memenuhi hak beliau.”
Syair itu menunjukkan pengkultusan orang-orang Wahabi terhadap Syekh Utsaimin. Pengagungan yang kebablasan juga mereka berikan kepada pendiri aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Seorang Mahasiswa Universitas Riyadh pernah memprotes dosennya, Dr. Abdul Adhim al-Syanawi, karena memuji Rasulullah SAW. Sang dosen menanyakan apa penyebab si mahasiswa membenci Nabi SAW? Mahasiswa itu menjawab bahwa yang memulai perang kebencian adalah Baginda Nabi sendiri (sambil menyitir hadits seputar fitnah yg muncul dari Najed, tempat kelahiran Muhamad bin Abdul Wahab). “Kalau begitu, siapa yang kamu cintai?” tanya sang dosen. Lalu si mahasiswa menjawab bahwa yang dicintainya adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Selanjutnya sang dosen menanyakan alasan kecintaan mahasiswanya itu. “Karena Syekh Muhammad Abdul Wahab menghidupkan sunnah dan menghancurkan bid’ah,” Jawab mahasiswa itu. (kisah ini dicatat Ibrahim Abd al-Wahid al-Sayyid,dalam kitabnya, Kasf al-Litsam ‘an Fikr al-Li’am hlm.3-4.)
Sungguh benar Baginda Nabi SAW. yang dalam salah satu hadits beliau mengisyaratkan bahwa akan ada fitnah (Wahabi) yang bakal muncul dari Najed. Isyarat itu menjadi nyata semenjak munculnya Muhammad bin Abdul Wahab dari Najed yang dengan bantuan kolonial Inggris mencabik-cabik syariat Islam.
Syekh Utsaimin adalah salah satu penerus Muhammad bin Abdul Wahab. Ia juga gencar menyebarkan fitnah lewat tulisan-tulisannya. Salah satu fitnah itu seperti tertera di dalam karyanya, al-Manahi al-Lafdziyyah hal 161. Di situ ia menulis:
وَلاَ أَعْلَمُ إِلىَ سَاعَتيِ هَذِهِ اَنَّهُ جَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اْلخَلْقِ مُطْلَقاً فيِ كُلِّ شَئٍْ
“Dan saya tidak mengetahui sampai detik ini bahwa Muhammad adalah makhluk Allah yang lebih utama dari segala makhluk apa pun secara mutlak.” Agaknya kalimat inilah yang membuat penganut Wahabi lebih mengagungkan Utsaimin dari pada Baginda Rasulullah SAW….! Ibnu KhariQ
Bismillah, Sujud artinya ketundukan baik itu menundukan kepala ke tempat yang lebih rendah ataupun suatu perbuatan yang mengisyaratkan kepada ketundukan itu sendiri, contohnya ketaatan.
Sedangkan Sahwi artinya Lupa, yaitu meninggalkan sesuatu dengan tidak sengaja. Jadi Sujud Sahwi adalah sujud dalam shalat yang dilakukan karena ada salah satu perbuatan shalat yang tertinggal secara tidak sengaja
Dalil sujud sahwi (dua kali sujud):
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
HUKUM SUJUD SAHWI
Madzhab Hanafi : Wajib dan berdosa bagi siapa yang meninggalkannya tetapi tidak membatalkan shalat. Dalil mereka sebagaimana diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri bahwasannya Rasulullah Saw bersabda : “jikalau salah satu diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya sehingga dia tidak mengetahui sudah mendapatkan berapa rakaat, tiga atu empat rakaat maka, hendaknya dia menghilangkan keragu-raguannya dan memantapkan keyakinannya kemudian hendaknya dia sujud dua kali sebelum salam, seandainya dia telah shalat sebanyak lima rakaat shalatnya tetap sah”
Madzhab Hanafi memaknai kalimat perintah dalam hadits tersebut sebagai perintah yang wajib dilaksanakan maka dari itu mereka mewajibkan sujud sahwi bagi yang lupa dalam mengerjakan rukun maupun kewajiban dalam shalat.
Madzhab Syafi‘i : Hanya wajib dalam keadaan tertentu yaitu ketika Imam melakukan sujud sahwi maka dalam keadaan seperti ini makmum wajib melakukannya karena mengikuti Imam, jikalau makmum tidak mengerjakannya maka shalatnya batal dan wajib baginya mengulang shalat kembali. Jikalau Imam tidak melakukan sujud sahwi maka tidaklah wajib bagi makmum untuk melakukannya melainkan hukumnya berubah menjadi sunnah dan sunnah ini hanya berlaku untuk individu masing-masing.
Madzhab Maliki : Sunnah baik itu bagi Imam maupun individu masing-masing.
Madzhab Hambali : Wajib hanya ketika seseorang meninggalkan rukun ataupun kewajiban-kewajiban dalam shalat, sunnah jika meniggalkan selain dua hal tersebut.
TATA CARA SUJUD SAHWI
Sujud Sahwi ialah sujud dua kali dengan mengucapkan takbir ketika merendahkan kepala hingga menyentuh lantai kemudian mengangkatnya lagi sambil mengucapkan takbir, di sujud yang kedua juga seperti sujud pertama kemudian duduk dan salam, tata cara ini dilakukan bagi yang mengerjakan sujud sahwi sebelum salam. Adapun yang mengatakan sujud sahwi dilakukan setelah salam maka dimulai dari duduk.
Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai tempat sujud sahwi, apakah dilakukan setelah salam atau sebelum salam. Madzhab Hanafi mengatakan sujud sahwi dilakukan oleh seseorang yang shalat setelah salam kekanan saja[1] kemudian membaca tasyahhud setelah dua kali sujud dan salam setelah tasyahhud, jikalau tidak membaca tasyahhud maka ia telah meninggalkan hal-hal yang wajib tetapi shalatnya tetap sah, dan setelah tasyahhud sujud sahwi, wajib baginya salam, jikalau ia tidak salam maka telah meninggalkan hal yang wajib.
Apakah wajib berniat ketika sujud sahwi?
Sebagian dari ulama fikih Hanafi tidak mewajibkan niat, karena sujud sahwi ada untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam shalat, dan tidaklah wajib berniat di setiap bagian-bagian yang temasuk dalam satu kesatuan seperti shalat maka, sujud sahwi tidak wajib baginya niat. Sedangkan sebagian yang lain mewajibkan niat, karena itu juga termasuk shalat dan tidaklah sah shalat tanpa niat, sebagaimana wajibnya niat untuk sujud tilawah maupun sujud syukur.
Sedangkan Madzhab Syafi‘i mengatakan bahwasannya sujud sahwi ialah sujud dua kali seperti dalam shalat dikerjakan sebelum salam, setelah tasyahhud dan shalawat atas Nabi Saw, berniat di dalam hati tidak diucapkan dengan lisan, karena berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa sujud sahwi yaitu dua sujud dan bertasyahhud setelah dua sujud tanpa doa dan shalawat keatas Nabi Saw, jikalau sujud sahwi dikerjakan setelah salam maka ia harus sujud dan bertasyahhud dan wajib mengulangi salam kebali, seandainya ia tidak mengulangi salamnya maka shalatnya tidak batal.
Madzhab Hambali: sujud sahwi yaitu dimulai dari takbir kemudian sujud dua kali setelah salam ataupun sebelum salam. Hanya saja mereka mengatakan bahwasannya sujud sahwi dilakukan sebelum salam adalah lebih baik kecuali dalam dua hal yakni:
Pertama: ketika kurang ataupun kelebihan rakaat dalam shalat, maka ia harus melengkapi kekurangannya kemudian sujud setelah salam.
Kedua: Ketika Imam ragu-ragu mengenai suatu hal di dalam shalat, kemudian ia menghilangkan keragu-raguannya dan memantapkan piihannya maka dalam hal ini sujud sahwi lebih baik dilakukan setelah salam.
SEBAB-SEBAB MENGERJAKAN SUJUD SAHWI
1. Ketika meninggalkan bacaan fatihah
2. Mengeraskan bacaan di dua rakaat terakhir
3. Meninggalkan Tuma’ninah
4. Meninggalkan duduk yang wajib dalam shalat, yakitu semua duduk kecuali duduk tasyahhud akhir. Barang siapa meninggalkan duduk tasyahhud awal atau duduk diantara dua sujud maka baginya sujud sahwi
5. Meninggalkan bacaan Tasyahhud pertama dan kedua
6. Memindahkan rukun bacaan dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti membaca fatihah ketika ruku, membaca tasyahhud ketika sujud dan lain sebagainya, kecuali membaca surah sebelum fatihah maka tidak wajib baginya sujud sahwi.
7. Ragu-ragu dalam jumlah rakaat shalat
8. Meninggalkan hal-hal yang sunah dalam shalat tidaklah wajib sujud sahwi melainkan ada beberapa hal yang masuk pengecualian menurut tiap-tiap madzhab, seperti doa kunut ketika shalat subuh dan shalat witir di pertengahan bulan Ramadhan dan itu menurut Madzhab Syafi’i. Sedangkan ulama fikih yang lain hanya memasukkan doa kunut diwaktu shalat witir saja.
Apakah sujud sahwi hanya dilakukan ketika seseorang hanya lupa satu kali atau lebih?
Para ulama sepakat, bagi siapa saja yang lupa terus-menerus atau berkali-kali lebih dari satu kali di dalam shalat maka kesemua itu juga termasuk jenis lupa. Jadi, cukup baginya sujud sahwi, walaupun banyaknya kelupaan tersebut bukan bagian dari shalat, seperti berbicara atau membalas salam dengan tidak sengaja.
Ada juga sebagian yang berkata bahwa jumlah sujud sahwi ditentukan oleh jumlah tempat-tempat yang ia lupa. Wallahu a‘lam bi’s s-Shawwâb
Bacaan dalam sujud sahwi ada 3 pendapat:
1. Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
2. Bacaannya sama dengan sujud dalam shalat:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi]
atau:
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku][6]
[1] Jikalau ia telah mengucapkan salam kedua maka telah gugur kewajibannya untuk mengerjakan sujud sahwi tetapi jikalau ia mengerjakan salam yang kedua dengan segaja maka ia telah berdosa karena meninggalkan yang wajib.
Sumber: Fiqh ‘ala madzhabi arba’ah.
Harlah NU ke 85 di jakarta dan pembentukan densus 99
Banser gigit drum (Jangan ditiru nanti gigi ente rontok!)
Sesepuh Perguruan Silat Pagar Nusa (NU punya)
Densus 99, Pasukan Khusus Banser NU untuk Cegah Terorisme
Jakarta – Densus 99 memang tidak ada hubungan sama sekali dengan Densus 88 Anti Teror milik Polri. Namun pasukan khusus milik Banser Nahdlatul Ulama (NU) ini memiliki tanggung jawab yang hampir sama, yakni mencegah terorisme.
Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid, menjelaskan, Densus 99 didirikan tepat pada ulang tahun ke-77 GP Ansor pada 24 April 2011. Pembentukannya bertepatan dengan banyaknya radikalisasi yang mengatasnamakan agama, termasuk pula peledakan bom yang mengatasnamakan agama di tempat umum dan masjid. Tugas densus ini adalah melakukan pencegahan terorisme dan memberikan edukasi kepada publik supaya tidak terprovokasi oleh gerakan-gerakan yang menginginkan Indonesia bubar.
“Selain pencegahan, Densus 99 juga melakukan monitoring dan manakala menemukan tindak kekerasan harus dilaporkan kepada aparat. Kalau aparat tidak sanggup, Densus 99 wajib menangkap teroris itu,” kata Nusron dalam apel banser sebelum puncak Harlah ke-85 NU di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (17/7/2011).
Dia mengatakan, sebegai pelopor dibentuklah Densus 99 oleh GP Ansor cabang Cirebon. “Karena Cirebon adalah daerah yang sempat kecolongan di mana ada masjid yang dibom,” imbuhnya.
Nama Densus 99 diambil dari asmaul husna atau nama-nama yang indah bagi Allah, yang jumlahnya 99. Densus ini nantinya akan dilatih juga oleh aparat kepolisian. Densus ini akan dilengkapi kemampuan menjinakkan bom dan kontraintelijen.
“Densus 99 siap bekerjasama dengan kepolisian,” ucap Nusron.
Jakarta – 4 Personel Densus 99 Banser Nahdlatul Ulama (NU) pamer ‘kesaktian’. Tubuh mereka dililit rentengan petasan, lalu duar… duarr… duarr, petasan di tubuh keempat pria itu pun meledak. Personel Densus itu tidak terluka sedikit pun!
Aksi pamer kekebalan tubuh itu ditampilkan usai apel Banser menjelang acara puncak Harlah ke-85 Nahdlatul Ulama di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (17/7/2011).
4 Personel yang mengenakan kaos bertuliskan ‘Densus 99’ di punggungnya, bercelana hijau dan menyematkan slayer di kepalanya terlihat berdoa sebelum mempertunjukkan kekebalan fisiknya. Ratusan petasan yang telah direnteng dililitkan ke tubuh mereka, dan diledakkan.
Sampai petasan terakhir meledak, keempatnya terlihat baik-baik saja. Tidak tampak ada luka di tubuh maupun baju yang terbakar. Aksi ini mendapat tepuk tangan orang-orang yang hadir.
Menurut Ketua Densus 99 Cirebon, Nuruzzaman, Densus 99 akan dibentuk di setiap cabang Banser NU di seluruh Indonesia. Untuk saat ini, personel Banser NU ada 1.500 orang, sedangkan yang tergabung dalam Densus 99 ada 200 personel.
“Ini dibentuk sejak adanya ledakan di kantor polisi Cirebon, sejak itu ketua GP Ansor Pusat memerintahkan untuk membentuk densus,” kata Nuruzzaman.
Selain membantu aparat keamanan, Densus 99 juga memberikan informasi bila ada potensi tindak kekerasan atau terorisme di masyarakat. Jika diminta untuk menangkap, Densus 99 menyakan kesiapannya.
“Mereka ini tidak hanya memiliki kemampuan fisik. Di NU kan ada ilmu kekebalan, namun Densus ini juga mempunyai kemampuan intelijen. Nanti akan minta bantuan polisi, Gegana, untuk melatih menjinakkan bom,” terang Nuruzzaman.
Menurut dia, Densus 99 sudah rajin berlatih setiap pekan. Para personel diwajibkan puasa 30-40 hari sebagai upaya untuk berlatih kekebalan.
“Ini tujuannya juga deradikalisasi agar masyarakat tidak mau melakukan tindakan kekerasan. Kita juga siap menghadapi garis keras,” jelas Nuruzzaman.
Jakarta – Sebanyak 30 ribu anggota Barisan Serba Guna (Banser) dikerahkan untuk mengamankan puncak peringatan Harlah ke-85 Nahdlatul Ulama (NU). Sebelum melakukan pengamanan, mereka menggelar apel di depan Gerbang 6, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (17/7/2011).
Pantauan detikcom, apel dihadiri anggota Banser dari berbagai wilayah di Indonesia. Berbaris rapi, mereka mengenakan seragam hijau, krem dan warna lainnya, sesuai kesatuan masing-masing.
“Banser merupakan tenaga inti Gerakan Pemuda Ansor, sekaligus kader penggerak dan pengaman program-program sosial,” kata Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid, usai melakukan pengecekan pasukan di lokasi.
Dalam peringatan Harlah, akan dilakukan gelar 7 pasukan Banser berkemampuan khusus. Pertama Zulfikar Marching Band yang menunjukkan keahlian dalam memainkan musik. Kedua, Densus 99 yang memiliki keterampilan bela diri, mumpuni dan memiliki ilmu kebal. Detasemen yang juga punya keahlian menjinakkan bom ini disiapkan khusus untuk menghadapi kelompok-kelompok garis keras.
Ketiga, Banser Lalu Lintas, yang dibentuk berdasarkan keterbatasan aparat dan kemacetan lalu lintas. Keempat, Banser Laskar Pemadam Kebakaran untuk membantu kasus-kasus kebakaran yang sering terjadi di kota-kota, terutama Jakarta. Kelima, Banser Tanggap Bencana (Bagana) dengan kemampuan tanggap bencana. Keenam, Banser Pengamanan untuk protokoler, pengamanan dan penyelamatan. Ketujuh, Banser Kepanduan, yakni pasukan yang memiliki kemampuan dalam pembinaan pemuda.
Atraksi pencak silat pagar nusa gasmi (Nahdhatul Ulama) pp.annuhiyah al alah – kebal pedang
Allah kuasa, makhluq tidak kuasa
Pisau/pedang tidak boleh berikan manfaat dan mudharat
Laa haula walaa quwwata illa billah
Barokah dan karomah Dzikir, Allah jadikan Pisau dan pedang tidak boleh memotong (ini lebih kecil dari mukjizat yg diberikan Allah swt pada ismail A.s. ketika disembelih oleh Nabi Ibrahim A.s., pedang tidak melukai nabi ismail walaupun dipotong berkali kali, ahirnya digantikan dengan kambing domba):
Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam kitab Al-Hilyah :
Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam alhilyah).
– Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam shalat berjamaah), maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api (api neraka atau juga api dunia) dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani (wahabi majnun) di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).
– hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu:
“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama 40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, no. 2746)
– Dalam kitab syarah al-hikam
Nabi SAW bersabda :” Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui”.
– Hadits qudsy shahih Riwayat Hakim
Dari Abu Darda Ra. berkata : “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabada, “Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada Isa As. : “Aku akan mengirimkan satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri, mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai hilm (kemurahan/kemurahan hati) dan ‘ilm (ilmu) .” Isa bertanya: “Bagaimana mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan ‘ilm?” Allah menjawab: “Aku memberikan mereka sebagian dari hilmKu dan ‘ilmu-Ku.” [HR. Hakim. Katanya Hadits ini shahihmenurut syarat Bukhary, tetapi ia tidak meriwayatkannya, sedangkan adzahaby menyepakatinya”. I/348]
Keterangan : Hadits ini juga terdapat pada Muntakhab hadits SyaikhulHadits Maulana Yusuf, Hadits No. 27, Bab ikhlash dan Juga terdapat pada kitab Ucapan Nabi Isa as dalam kisah-kisah literature umat islam, Tarif Khalidi.
– Dalam hadits qudsy (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn ‘Abd al-Hakam wafat 257 H).
Allah mewahyukan kepada Isa untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: “Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya.” Isa berkata: “Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau perintahkan, tetapi mereka tidak menurut.” Allah berfirman kepada Isa: “Aku akan mengatasi masalahmu ini.” Maka Allah membuat para murid Isa bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus.
– Dalam hadis qudsi, Nabi Isa as. Juga bersabda:
“Isa As. berkata: “Buat kalian tidak ada gunanya mendapat ilmu yang belum kalian ketahui, selama kalian tidak beramal dengan ilmu yang telah kalian ketahui. Terlalu banyak ilmu hanya menumbuhkan kesombongan kalau kalian tidak beramal sesuai dengannya.” [ Diriwayatkan oleh (Abu ‘Abdallah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani) Ibn Hanbal (… – 241 H), Kitab al-Zuhd, 327. Dan (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad) Al-Ghazali (… – 505 H), Ihya’ ‘Ulum al-Din, 1:69-70].
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa,
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa”
( QS Al-Baqarah : 183 )
1. Penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal 1431 H, menunggu pengumuman Menteri Agama RI
2. Diperbolehkan memperbanyak dengan tujuan non komersial dengan menyebutkan sumbernya
3. Memperbanyak untuk tujuan komersial harus mendapat izin tertulis dari Ketua Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan bahwa adz-Dzahabi (w 748 H) memiliki sifat sinis terhadap al-Imâm al-Asy’ari. Adz-Dzahabi sama sekali tidak apresiatif, bahkan selalu memojokan faham-faham al-Imâm al-Asy’ari dalam berbagi kesempatan. Perlakuan adz-Dzahabi dalam meremehkan al-Imâm al-Asy’ari ini sebagimana ia tuangkan dalam karyanya sendiri; Târîkh adz-Dzahabi. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menempatkannya secara proporsional sesuai keagungannya.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi tidak banyak berkomentar, di akhir tulisannya ia hanya berkata: “Barangsiapa yang ingin mengenal lebih jauh tantang al-Asy’ari maka silahkan untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî karya Abu al-Qasim Ibn Asakir”[1]. Yang lebih mengherankan lagi di akhir tulisan itu kemudian adz-Dzahabi menuliskan ungkapan doa sebagai berikut:
“Ya Allah, matikanlah kami di dalam Sunnah Nabi-Mu dan masukan kami ke surga-Mu. Jadikanlah jiwa-jiwa kami ini tenang. Kami mencintai para wali-Mu karena-Mu, dan kami membenci para musuh-Mu karena-Mu. Kami meminta ampun kepada-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang telah melakukan maksiat. Jadikan kami mengamalkan ayat-ayat muhkamât dari kitab-Mu dan beriman dengan ayat-ayat mutsyâbihât-nya. Dan jadikan kami sebagai orang-orang yang mensifati-Mu sebagaimana Engkau mensifati diri-Mu sendiri”[2].
Simak tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam mengomentari tulisan adz-Dzahabi di atas:
“Dari sini nyata bagimu bahwa adz-Dzahabi ini sangat aneh dan mengherankan. Engkau melihat sendiri bagaimana sikap orang miskin ini, dia benar-benar seorang yang celaka. Saya telah mengatakan berulang-ulang bahwa adz-Dzahabi ini sebenarnya guru saya, dan saya banyak mengambil ilmu hadits darinya, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan karenanya saya wajib menjelaskan kebenaran ini. Maka saya katakan: “Wahai adz-Dzahabi, orang sepertimu bagaimana mungkin hanya menyuruh orang lain untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî sementara engkau sendiri malalaikan pujian terhadap Syaikh al-Asy’ari?! Padahal engkau sama sekali tidak meninggalkan nama seorangpun dari kaum Mujassimah kecuali engkau menuliskan biografinya secara langkap. Bahkan bukumu itu sampai menyebut-nyebut biografi beberapa orang dari madzhab Hanbali yang datang belakangan dan tidak memiliki kapasitas memadai secara keilmuan. Semua itu engkau tuliskan biografinya dengan sangat rinci dan lengkap. Lantas apakah engkau tidak mampu untuk menuliskan biografi Syaikh al-Asy’ari secara proporsional?! Padahal derajat Syaikh al-Asy’ari berada jauh ribuan tingkat di atas orang-orang mujasim yang engkau tuliskan itu?! Tidak lain ini adalah hawa nafsu dan kebencian yang telah mencapai puncaknya. Aku bersumpah demi Allah, engkau melakukan ini tidak lain hanya karena engkau tidak senang nama al-Asy’ari disebut-sebut dengan segala kebaikannya. Dan di sisi lain engkau tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang-orang Islam akan apa yang ada dalam hatimu dari kebencian kepada Syaikh al-Asy’ari, karena engkau sadar bila kebencian itu engkau ungkapkan seutuhnya maka engkau akan berhadapan dengan kekuatan seluruh orang Islam.
Sementara itu doamu yang engkau ungkapkan di akhir tulisan biografi Syaikh yang sangat ringkas itu, adakah kalimat-kalimat itu pada tempatnya wahai orang miskin?! Kemudian ungkapanmu “…dan jadikanlah kami orang-orang yang membenci musuh-musuh-Mu” adalah tidak lain karena manurutmu Syaikh al-Asy’ari adalah musuh Allah, dan engkau benar-benar sangat membencinya. Kelak nanti engkau akan berdiri di hadapan hukum Allah untuk bertanggung jawab terhadap Syaikh, sementara semua ulama dari empat madzhab, orang-orang saleh dari kaum sufi, dan para pemuka Huffâzh al-hadîts berada di dalam barisan Syaikh al-Asy’ari. Engkau kelak saat itu akan merangkak dalam kegelapan akidah tajsîm, yang engkau mengaku-aku telah bebas dari akidah sesat tersebut, padahal engkau adalah orang terdepan dalam menyeru kepada akidah sesat tersebut. Engkau mengaku ahli dalam masalah Ilmu Tauhid, padahal engkau sama sekali tidak memahaminya walaupun hanya seukuran atom atau seukuran tipisnya kulit biji kurma sekalipun. Aku katakan bagimu: “Siapakah sebenarnya yang mensifati Allah sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya sendiri?! Adakah orang itu yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti dirimu?! Ataukah yang benar-benar memahami bahwa “Allah tidak menyerupai apapun dari segala makhluk-Nya” (QS. As-Syura: 11)?!”. Sebenarnya, secara khusus bagiku tidak harus banyak bicara dalam masalah ini, namun demikian hal ini harus saya sampaikan.
Dalam penulisan biografi Syaikh al-Asy’ari sebagaimana anda tahu sendiri, bahwa sebenarnya tidak akan cukup dengan hanya dituangkan dalam beberapa lembar saja. Dalam kitab yang saya tulis ini, saya juga memerintahkan kepada para pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang Syaikh al-Asy’ari untuk merujuk kepada kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî (karya al-Hâfizh Ibn Asakir). Namun anjuran saya ini berbeda dengan anjuran adz-Dzahabi. Saya menganjurkan anda untuk membaca Tabyîn Kadzib al-Muftarî agar anda benar-benar mengenal sosok al-Asy’ari dan mengetahui keagungan serta bertambah kecintaan kepadanya, sementara adz-Dzahabi menganjurkan hal tersebut tidak lain hanya untuk menutup mata anda, karena sebenarnya dia telah bosan dengan menyebut-nyebut kebaikan orang-orangnya sendiri yang tidak senang kepada Syaikh al-Asy’ari”[3].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam penulisan biografi al-Hâfizh Ahmad ibn Shaleh al-Mishri menuliskan kaedah yang sangat berharga dalam metode penilaian al-jarh (Klaim negatif terhadap orang lain). Kesimpulannya ialah bahwa apa bila seseorang melakukan al-jarh terhadap orang lain yang memiliki amal saleh lebih banyak dari pada perbuatan maksiatnya, dan orang-orang yang memujinya lebih banyak dari pada yang mencacinya, serta orang-orang yang menilai positif baginya (al-Muzakkûn) lebih banyak dari pada yang menilai negatif atasnya (al-Jârihûn), maka penilaian orang ini tidak dapat diterima, sekalipun ia punya penjelasan dalam penilainnya tersebut. Terlebih lagi apa bila orang yang menilai al-jarh ini berlandaskan karena panatisme madzhab, atau karena kecemburuan masalah duniawi dan lainnya. Kemudian pada akhir tulisan kaedah al-jarh ini, al-Imâm Tajuddin as-Subki menuliskan:
“… dan adz-Dzahabi ini adalah guru kami. Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulama Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.
Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga mengutip tulisan al-Imâm al-Hâfizh Shalahuddin Khalil ibn Kaikaldi al-Ala-i dalam penilainnya terhadap adz-Dzahabi, sebagai berikut:
“Al-Hâfizh asy-Syaikh Syamsuddin adz-Dzahabi tidak saya ragukan dalam keteguhan beragamanya, sikap wara’-nya, dan ketelitiannya dalam memilih berbagai pendapat dari orang lain. Hanya saja dia adalah orang yang berlebihan dalam memegang teguh madzhab itsbât dan dia sangat benci terhadap takwil hingga ia melalaikan akidah tanzîh. Sikapnya ini telah memberikan pengaruh besar terhadap tabi’atnya, hingga ia berpaling dari Ahl at-Tanzîh dan sangat cenderung kapada Ahl al-Itsbât. Jika ia menuliskan biografi seseorang yang berasal dari Ahl al-Itsbât maka dengan panjang lebar ia akan mengungkapkan segala kebaikan yang ada pada diri orang tersebut, walaupun kebaikan-kebiakan itu hanya sebatas prasangka saja ia tetap akan menyebut-nyebutnya dan bahkan akan melebih-lebihkannya, dan terhadap segala kesalahan dan aib orang ini ia akan berpura-pura melalaikannya dan menutup mata, atau bahkan ia akan membela orang tersebut. Namun apa bila yang ia menuliskan biografi seorang yang ia anggap tidak sepaham dengannya, seperti Imam al-Haramain, al-Imâm al-Ghazali, dan lainnya maka sama sekali ia tidak mengungkapkannya secara proporsional, sebaliknya ia akan menuliskan nama-nama orang yang mencaci-maki dan menyerangnya. Ungkapan-ungkapan cacian tersebut bahkan seringkali ia tulis berulang-ulang untuk ia tampakkan itu semua dengan nyata, bahkan ia meyakini bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan cacian semacam itu sebagai bagian dari agama. Di sini ia benar-benar berpaling dari segala kebaikan para ulama agung tersebut, dan karena itu dengan sengaja pula ia tidak menuliskan kebaikan-kebaikan mereka. Sementara bila ia menemukan cacat kecil saja pada diri mereka maka ia tidak akan melewatkannya. Perlakuan ini pula yang ia lakukan terhadap para ulama yang hidup semasa dengan kami. Dalam menuliskan biografi para ulama tersebut jika ia tidak mampu secara terus terang mengungkapkan cacian atas diri mereka (karena takut diserang balik) maka ia akan menuliskan ungkapan “Allâh Yushlihuh” (semoga Allah menjadikan dia seorang yang lurus), atau semacamnya. Ini semua tidak lain adalah karena akidah dia yang berbeda dengan mereka”[4].
Setelah mengutip pernyataan al-Hâfizh al-Ala-i di atas, al-Imâm Tajuddin as-Subki lalu menuliskan komentar berikut:
“Sebenarnya, keadaan guru kita adz-Dzahabi ini lebih parah dari pada apa yang digambarkan oleh al-Hâfizh al-Ala-i. Benar, dia adalah syaikh kita dan guru kita, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti dari pada dirinya. Ia memiliki panatisme yang berlebihan hingga mencapai batas yang tercela. Saya khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita, karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. Yang saya yakini bahwa para ulama Asy’ariyyah tersebut, walaupun yang paling rendah di antara mereka di hari kiamat nanti kelak akan menjadi musuh-musuhnya. Hanya kepada Allah kita berharap agar bebannya diringankan, semoga Allah memberi ilham kepada para ulama tersebut untuk memaafkannya, juga semoga Allah memberikan syafa’at mereka baginya. Sementara itu, para ulama yang semasa dengan kami mengatakan bahwa semua pendapat yang berasal dari dirinya tidak boleh di anggap dan tidak boleh dijadikan sandaran”[5].
Pada bagian lain, masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Adapun kitab at-Târîkh karya guru kami; adz-Dzahabi, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya, sekalipun sebuah karya yang bagus dan menyeluruh, namun di dalamnya penuh dengan panatisme berlebihan, semoga Allah memaafkannya. Di dalamnya ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama, yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan bahkan ia memuji-muji mereka. Walau demikian ia tetap salah seorang Hâfizh terkemuka dan Imam yang agung. Jika sejarawan (Mu’arrikh) sekelas adz-Dzahabi saja memiliki kecenderungan panatisme madzhab berlebihan hingga batas seperti ini, maka bagaimana lagi dengan para sejarawan yang berada jauh di bawah tingkatan adz-Dzahabi?! Karena itu pendapat kami ialah bahwa penilaian al-Jarh (cacian) dan al-Madh (pujian) dari seorang sejarawan tidak boleh diterima kecuali apa bila terpenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan oleh Imam agung umat ini (Habr al-Ummah), yaitu ayahanda kami (al-Imâm Taqiyuddin as-Subki), semoga rahmat Allah selalu tercurah atasnya”.
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul Qam’u al-Mu’âridl Bi Nushrah Ibn Fâridl menuliskan sebagai berikut:
“Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imâm Fakhruddin ar-Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imâm Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qût al-Qulûb. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imâm yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karya-karyanya, seperti al-Mîzân, at-Târikh, dan Siyar A’lâm an-Nubalâ’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?! Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”[6].
Asy-Syaikh al-Imâm Ibn al-Wardi dalam kitab Târîkh Ibn al-Wardi pada bagian akhir dari juz ke dua dalam penulisan biografi adz-Dzahabi mengatakan bahwa di akhir hayatnya adz-Dzahabi bersegera menyelesaikan kitab Târîkh-nya. Dalam kitab at-Târîkh ini adz-Dzahabi menuliskan biografi para ulama terkemuka di daratan Damaskus dan lainnya. Metode penulisan yag dipakai adalah dengan bertumpu kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara mereka dari masa ke masa. Hanya saja buku ini kemudian berisi sinisme terhadap beberapa orang ulama terkemuka[7].
Saya Abou Fateh, penulis buku yang lemah ini, –sama sekali bukan untuk tujuan mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita–, menambahkan:
“Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah akidah. Salah satu karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybîh mereka adalah sebuah buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhîm”. Buku ini wajib dihindari dan dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena ternyata, –dan ini yang membuat miris penulis–, tidak sedikit di antara generasi muda kita sekarang yang terlena dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham Wahhabiyyah hingga menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan akidah tasybîh mereka. Hasbunallâh.
***************** footnote ********************
[1] Târîkh adz-Dzahabi.
[2] Ibid.
[3] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 352-354
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 185.
[5] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 190 dalam penyebutan biografi Ahmad ibn Shaleh al-Mishri.
[6] Lihat ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî al-Jarh Wa at-Ta’dîl, h. 319-320 karya asy-Syaikh Abd al-Hayy al-Laknawi mengutip dari risalah Qam’u al-Mu’âridl karya al-Hâfizh as-Suyuthi. Tidak sedikit para ulama dalam karya mereka masing-masing menuliskan sikap buruk adz-Dzahabi ini terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, kaum Asy’ariyyah, dan secara khusus kebenciannya terhadap kaum sufi, di antaranya salah seorang sufi terkemuka al-Imâm Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani dengan karyanya berjudul Mir’âh al-Janân Wa ‘Ibrah al-Yaqzhân, dan al-Imâm Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dengan karyanya berjudul al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, termasuk beberapa karya yang telah kita sebutkan di atas.
[7] Lihat Barâ’ah al-Asy’ariyyîn mengutip dari Târîkh Ibn al-Wardi, j. 2, h. 13
Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat, yang akan kita sebutkan berikut ini.
Di antaranya, hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih#.
Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”#.
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut#.
Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”#.
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:
وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.
Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:
فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:
قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.
Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.
Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits#.
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.
Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.
Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.
Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:
”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.
(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah! Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:
”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.
Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:
[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).
Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:
”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:
”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.
Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).
Anda pahami teks-teks ini semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].
You must be logged in to post a comment.