Bukti (scan kitab) Tuhan agama hindu, wahabi dan ibnu taymiyah adalah Dajjal berambut keriting

Ibnu Taimiyyah dan wahabi Menshahihkan Hadis mungkar(“Nabi Melihat Allah SWT Dalam Bentuk Pemuda Amrad”) dan mengunakannya untuk masalah aqidah

Kali ini hadis yang akan dibahas adalah hadis ru’yatullah riwayat Ibnu Abbas. Hadis ini juga tidak lepas dari kemungkaran yang nyata dengan lafaz “Melihat Allah SWT dalam bentuk pemuda amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya)”.Tetapi anehnya hadis dengan lafaz mungkar ini tidak segan-segan dinyatakan shahih oleh syaikh salafy wahabi dan syaikh salafy yang terkenal Ibnu Taimiyyah.

Takhrij Hadis Ibnu Abbas
ثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأيت ربي جعدا امرد عليه حلة خضراء

Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Aku melihat Rabbku dalam bentuk pemuda amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil 2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, Abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143 (dengan sedikit perbedaan pada lafaznya), Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 15. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Sedangkan yang meriwayatkan dari Hammad adalah Aswad bin Amir yakni Syadzaan (tsiqat dalam At Taqrib 1/102), Ibrahim bin Abi Suwaid (tsiqat oleh Abu Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil 2/123 no 377), Abdush Shamad bin Kaisan atau Abdush Shamad bin Hasan (shaduq oleh Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 6/51 no 272).

Hadis ini maudhu’ dengan sanad yang dhaif dan matan yang mungkar. Hadis ini mengandung illat

* Hammad bin Salamah, ia tidak tsabit riwayatnya dari Qatadah. Dia walaupun disebutkan sebagai perawi yang tsiqah oleh para ulama, dia juga sering salah karena kekacauan pada hafalannya sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 14 dan At Taqrib 1/238. Disebutkan dalam Syarh Ilal Tirmidzi 2/164 yang dinukil dari Imam Muslim bahwa Hammad bin Salamah banyak melakukan kesalahan dalam riwayatnya dari Qatadah. Oleh karena itu hadis Hammad bin Salamah dari Qatadah ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi jika menyendiri dan lafaznya mungkar.
* Tadlis Qatadah, Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 92 sebagai mudallis martabat ketiga, dimana Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada martabat ketiga hadis perawi mudallis tidak dapat diterima kecuali ia menyebutkan penyimakannya dengan jelas. Dalam Tahrir At Taqrib no 5518 juga disebutkan bahwa hadis Qatadah lemah kecuali ia menyebutkan sama’ nya dengan jelas. Dalam hadis ini Qatadah meriwayatkan dengan ‘an ‘anah sehingga hadis ini lemah.

Kelemahan sanad hadisnya ditambah dengan matan yang mungkar sudah cukup untuk menyatakan hadis ini maudhu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal no 15. Kemungkaran hadis ini juga tidak diragukan lagi bahkan diakui oleh Baihaqi dan Adz Dzahabi dalam As Siyaar. Bashar Awad Ma’ruf dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 13/55 menyatakan hadis ini maudhu’.

Ibnu Taimiyyah dan Syaikh wahabi ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas ini. Ibnu taymiyah dan wahabi dengan jelas menyatakan shahih marfu’ hadis dengan lafal pemuda amrad dalam kitabnya Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290.

Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah

Dan ini penggalan kitab tersebut juz 7 hal 290 dimana Ibnu Taimiyyah menshahihkan hadis Ru’yah dengan lafal pemuda amrad

Bayaan Talbiis Al Jahmiyyah 7/290

Tentu saja fenomena ini adalah keanehan yang luar biasa. Bagaimana mungkin mereka begitu berani menshahihkan hadis tersebut bahkan mengecam orang yang mengingkarinya dan menggunakannya dalam masalah aqidah.

Inilah tuhan kaum hindu (dajjal kriting dari india ‘sami baba’) sama dengan tuhan yang dinanti nantikan oleh kaum mujasimmah wahabi :

Rasulullah saw bersabda kepada kami, Dajjal akan keluar dari bumi ini dibahagian timur bernama Khurasan (Jamiu at Tirmidzi)

Abu Hurairah meriwayatkan bahawa Nabi saw. bersabda:”Hari Kiamat tidak akan datang hingga 30 Dajal (pendusta) muncul, mereka semua berdusta tentang Allah dan Rasul-Nya.”

“Dajjal adalah seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah dan berambut keriting…” (HR.Bukhari dan Muslim)
“Di awal kemunculannya, Dajjal berkata, Aku adalah nabi, padahal tidak ada nabi setelahku. Kemudian ia memuji dirinya sambil berkata, Aku adalah Rabb kalian, padahal kalian tidak dapat melihat Rabb kalian sehingga kalian mati (HR.Ibnu Majah)

I. Ibnu Taymiyah desesatkan oleh mantan murid muridnya sendiri (adzahabi, ibnu katsir etc)

an-Nasihah al-Dhahabia li ibn Taymiyya


Bukti Scan; Menohok Wahabi

Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak hal adz-Dzahabi mengikuti faham-faham Ibn Taimiyah, –terutama dalam masalah akidah–, namun ia sadar bahwa ia sendiri, dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan mayoritas umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan faham-faham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Untuk ini kemudian adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kesesatan gurunya sendiri. Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah.

Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:

“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun. Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (Ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:

“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!

Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)

Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!

Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!

Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.

lebih lengkapnya:
*Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi (dalam bidang akidah, tawasul, fiqh etc):

*Imam adzahabi (ahlusunnah) membungkam Wahabi

ini ada hadiah bagi asatidz wahaby, sebaiknya para pengikut wahaby bertaubat dan mnyediakan lapangan kerja
buat asatidz mereka, shg tidak terus-terusan diperbudak(menjadi hamba dinar badwi najd) untuk menyebarkan
aqidah tajsim wahaby
Aqidah Ahlusunnah kalahkan aqidah palsu kaum Mujasimmah (scan Kitab)
1. Imam Abu Hanifah
[wsiatabuhanifh.jpg]
[wasiat1.jpg]

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2. ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.

Albany tobat dari aqidah wahaby sesat dan salah
[COVER.JPG]
[AL-BANI+TOLAK+TEMPAT1.jpg]

Silakan pembaca rujuk teks kenyataan Allah Wujud Tanpa Bertempat Dan Tanpa Berarah oleh Al-Bani & Az-Zahabi :

Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani.
Cetakan: Maktab Islami.
Mukasurat: 71.

Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas : “ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”.
(Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).

3. Adzahaby Rah. Kafirkan aqidah Allah duduk dan bertempat
[kabirzahaby.jpg]
[Zkafirkanaqidhjulus.jpg]

Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :

( RUJUK SCAN KITAB TERSEBUT DI ATAS )
Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.

Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.

Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir.
Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.

4. Ibnu Hajar Al-haitsamy aqidah Tajsim Ibnu taymiyah sesat (Aqidah ibnu taymiyah pada kitab-kitabnya sebelum taubat)
[cover.jpg]

Dalam buku Al-Fatawa Al-Hadithiyyah karangan Imam Ibn Hajar Al-Haitami, ketika beliau membahaskan tentang kelebihan golongan fuqaha’ berbanding sebahagian golongan ahli hadith dalam memahami dan mengistinbath hukum daripada hadith-hadith hukum, beliau turut secara tak langsung mengkritik Ibn Taimiyyah.

[373.jpg]

Beliau ditanya: “Hadis itu menyesatkan kecuali bagi ahli Fiqh. Adakah ianya suatu hadith dan apa maknanya? Bukankah seorang ahli Fiqh itu juga perlu tahu mengenai Hadis terlebih dahulu.?!…”

Beliau menjawab: “Kata-kata itu bukanlah dari Rasulullah (sallallahu’alaihi wasallam), ia merupakan kata-kata Ibn ‘Uyainah r.h.l. dan ahli-ahli Fiqh yang lain. Maksud kata-kata itu ialah, hadith itu sendiri seperti Al-Qur’an. Ia kadangkala diriwayatkan dengan lafaz yang umum tetapi dengan maknanya yang khusus, begitu juga sebaliknya. Ada juga Hadis yang Nasikh dan Hadis yang Mansukh (tidak digunakan lagi). Ada juga hadith yang tidak disertai dengan amal (tidak diamalkan). Kadangkala pula, ada hadis yang secara zahirnya seolah-olah menyerupakan Allah dengan makhluk (Tasybih) seperti hadith “Tuhan turun” dan sebagainya. Tidak diketahui akan maknanya kecualilah golongan fuqoha’, berbeza dengan mereka yang tidak mengetahui melainkan sekadar (meriwayatkan lafaz) hadith tersebut. Dengan demikian (tidak mengetahui makna sebenarnya, tetapi sekadar meriwayatkannya secara zahir sahaja) orang akan sesat padanya (pada bermuamalah dengan hadith tersebut) sepertimana yang terjadi kepada sebahagian golongan hadith terdahulu dan golongan hadith yang mutakhir seperti Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya. “

Demikian ungkapan Imam Ibn Hajar dalam menggambarkan fenomena di mana sebahagian ahli hadith yang tidak faham makna hadith secara betul, lalu mereka tersesat dengan hadith tersebut. Beliau menyebutkan antara contoh mereka tersebut adalah: “IBN TAIMIYYAH dan para pengikutnya”.

5. Kitab Al-ibanah dipalsukan oleh musuh-musuh islam dan isinya Kontradiktif (bertentangan)
[1.jpg]
[2.jpg]
[4.jpg]
Lihat pada yang di line di halaman 119 scan kitab al-ibanah (dicetakan Saudi Arabia Universiti Islamiah Madinah Munawwarah) diatas :
Allah istawa ditafsirkan :
“yaliqu bihi min ghairi Thulil istiqrar, kamaa qala:….”
Artinya : (Allah istiwa ditafsirkan) : yang sesuai dengan- NYa (kesucian sifat Allah) dari selain “bertempat”/istiqrar/memerlukan tempat”
Lihat pada yang di garis (line) bawah di Halaman 126, (kitab Al-Ibanah tersebut dicetakan Saudi Arabia Universiti Islamiah Madinah Munawwarah):
“wa innahu mustwawin ‘alal ‘arsyihi bila kaifin wala istiqrarin”
Artinya : Dan sesungguhnya Allah ber – istiwa ‘alal ‘arsyhi tanpa bentuk (kaif) dan tanpa bertempat
Lihat kitab Al-Ibanah di atas artikel ini yang telah discan dan perhatikan pada line yang telah digaris, kitab Al-Ibanah tersebut dicetakan Saudi Arabia Universiti Islamiah Madinah Munawwarah cetakan 5 mukasurat 119 & 126.WAHHABI KATA : Imam Abu Hasan Al-Asya’ry pun kata Allah bertempat duduk/bersemayam di atas arasy dalam kitabnya Al-Ibanah.

Sedangkan

IMAM ABU HASAN AL-ASYA’RY PULA SEBUT DALAM KITABNYA ITU SENDIRI: ALLAH BERISTAWA ATAS ARASY TANPA BERBENTUK DAN TANPA MENGAMBIL TEMPAT. Lihat kitab Al-Ibanah di atas artikel ini yang telah discan dan perhatikan pada line yang telah digaris, kitab Al-Ibanah tersebut dicetakan Saudi Arabia Universiti Islamiah Madinah Munawwarah cetakan 5 mukasurat 119 & 126.

Pendusta Wahhabi amat keji disisi Allah dan Islam. Semoga pembohong Wahhabi ini diberi hidayah sebelum mati.

*ISTAWA TIDAK BOLEH DITERJEMAHKAN KEPADA BERSEMAYAM KERANA BERSEMAYAM BERERTI DUDUK, INI BUKAN SIFAT ALLAH. SEPERTI MANA ALMUTAKABBIR TIDAK BOLEH DITERJEMAHKAN KEPADA SOMBONG&ANGKUH KERANA ITU SIFAT JELEK BUKAN SIFAT ALLAH. AKAN TETAPI SEBAIKNYA DITERJEMAHKAN DENGAN MAHA BERKUASA.

6. JENAYAH PEMALSUAN KITAB AL-IBANAH BAGI IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI
(Kitab : Tabyin kizb al-muftari yang telah ditulis oleh al-Imam Ibnu Asakir)


Terdapat lima buah jodol kitab yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Diantaranya :

1-Makalat al-Islamiyyin

2-Risalah fi istihsan al-hudh fi ilm al-kalam

3-Al-luma’ fir ad ‘ala ahli al-zaigh wa al-bida’

4-Al-ibanah fi usul al-dianah

5-Risalah ahli al-thaghr

Tiga kitab yang pertama disebut oleh para pengkaji sebagai selamat dari sebarang pemalsuan dan tokok tambah.

Sementara dua jodol (Al-ibanah fi usul al-dianah dan Risalah ahli al-thaghr)

yang terakhir para pengkaji berpendapat ada usaha yang bersungguh-sungguh untuk dipalsukan dari manuskrp yang asal.

Mereka yang dikenali sebagai salafiyyin adalah dari golongan yang bertanggung jawab diatas jenayah pemalsuan isi kandungan aslinya.Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.

Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :

Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat

Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan didalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.

Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:

 

Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (وأنكروا أن يكون له عينان…. )

Kalimah عينانdengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).

Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (وأن له عينين بلا كيف….)

Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).

Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (وأن له عينا بلا كيف….)

Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )

Kalimah mufrad adalahbertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-Sunnahdan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينينtidak warid(datang) didalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عينadalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari yang demikian itu.

VII. Kisah Ibnu Taymiyah Bertobat dari Aqidah Tajsim
[DurahKaminahIbnutaimiahTaubt.jpg]

Dengan kajian ini dapatlah kita memahami bahawa sebenarnya akidah Ibnu Taymiyah (Sebelum Tobat) dan Wahhabiyah antaranya :
1-Allah duduk di atas kursi.
2-Allah duduk dan berada di atas arasy.
3-Tempat bagi Allah adalah di atas arasy.
4-Berpegang dengan zohir(duduk) pada ayat “Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
5-Allah berada di langit.
6-Allah berada di tempat atas.
7-Allah bercakap dengan suara.
8-Allah turun naik dari tempat ke tempat
dan selainnya daripada akidah kufur sebenarnya Ibnu Taimiah telah bertaubat daripada akidah sesat tersebut dengan mengucap dua kalimah syahadah serta mengaku sebagai pengikut Asyairah dengan katanya “saya golongan Asy’ary”.
(Malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asyairah, lihat buktinya :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html).

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi juga termasuk kanak-kanak Wahhabi di Malaysia ( Mohd Asri Zainul Abidin).

Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H.

Ini penjelasannya :
Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148

dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:

وأما تقي الدين فإنه استمر في الجب بقلعة الجبل إلى أن وصل الأمير حسام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأحضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، وحصل بحث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم تحضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم يحضر غيره من القضاة ، وحصل البحث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الرحمن الرحيم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أحمد بن تيمية الحراني الحنبلي بحضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، وحضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مباحث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( الحمد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس بحرف ولا صوت ، كتبه أحمد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على حقيقته وظاهره ، كتبه أحمد بن تيمية ، وذلك في يوم الأحد خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل المحروسة من الديار المصرية حرسها الله تعالى بتاريخ يوم الأحد الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا المحضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة

Saya terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut:

1-
ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.

2-
قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.

3-
والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiah :
” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jemaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan bererti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenr-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiah”.

4-
وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.

ULAMA-ULAMA YANG MENYATAKAN DAN MENYAKSIKAN KISAH TAUBATNYA IBNU TAIMIAH.

Selain Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148

dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab yang menyatakan kisah taubat Ibnu Taimiah ramai lagi ulama islam yang menyaksikan dan menceritakan kisah pengakuan tersebut antaranya lagi :

-As-Syeikh Ibnu Al-Mu’allim wafat tahun 725H dalam kitab Najmul Muhtadi Wa Rojmul Mu’tadi cetakan Paris nom 638.

-As-Syeikh Ad-Dawadai wafat selepas 736H dalam kitab Kanzu Ad-Durar – Al0Jam’-239.

-As-Syeikh Taghry Bardy Al-Hanafi bermazhab Hanafiyah wafat 874H dalam Al-Minha As-Sofi m/s576 dan beliau juga menyatakn sepertimana yang dinyatakan nasnya oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya yang lain berjudul An-Nujum Az-Zahirah Al-Jami’ 580.

Merekalah dan selain mereka telah menyatakan taubat Ibnu Taimiah daripada akidah Allah Duduk dan bertempat di atas arasy.

VIII. Di Antara Bukti “al-Imam al-Hafizh Murtadla az-Zabidi Asyafi’i” didalam kitab  ithaf katakan  Ibn Taimiyah Sesat

هذا ما ذكره الحافظ مرتضى الزبيدي في شرح الإحياء ج2/106 طبع دار الفكر ما نصه: قال التقي السبكي “وكتاب العرش من أقبح كتبه (أي لابن تيمية) ولما وقف عليه الشيخ أبو حيان ما زال يلعنه حتى مات بعد أن كان يعظمه” اهـ بحروفه.

Terjemah:

Berikut ini adalah dari tulisan al-Imam al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Fi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddid di atas, cet. Dar al-Fikr Bairut, j. 2, hlm. 106:

“Imam Taqiyyuddin as-Subki (Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki -w 756 H-, seorang ulama yang telah mencapai derajat Mujtahid mutlak) berkata: “Buku berjudul AL-‘ARSY adalah di antara karyanya (Ibn Taimiyah) yang paling buruk [[Ibn Taimiyah al-Mujassim ini mengatakan Allah duduk di atas arsy]], ketika Syaikh Abu Hayyan al-Andaulusi mendapatkan buku ini maka ia senantiasa melaknat Ibn Taimiyah hingga beliau meninggal dunia; setelah sebelumnya beliau mengagungkan Ibn Taimiyah”.

IX. Bukti (Kitab al fiqh al absath) Aqidah Imam Abu Hanifah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”,

Terjemah:

Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah).

Keterangan:
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.

X. Fitnah Hanabilah Mujassimah Yang Menyebabkan Berlakunya Pertumpahan Darah Di Baghdad

1. Fahaman al-Tajsim pernah melanda mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal (selepas kewafatan beliau) sehingga timbul istilah “al-Hanabilah al-Mujassimah” atau “Mujassimah al-Hanabilah.”

2. Al-Imam al-Allamah al-Muhaddith al-Nassabah Ibn al-Athir (wafat 630H) menukilkan di dalam kitab sejarahnya yang sangat terkenal “al-Kamil fi al-Tarikh” mengenai salah satu fitnah al-Hanabilah al-Mujassimah di Baghdad. [Lihat gambar yang disediakan]

Terjemahan:

Tahun Tiga Ratus dan Tujuh Belas (Hijrah)

Pada Menyatakan Beberapa Peristiwa

“Dan padanya satu fitnah yang besar telah berlaku di Baghdad di antara pengikut Abu Bakar al-Marwazi al-Hanbali dan orang-orang lain daripada masyarakat umum. Dan ramai daripada tentera telah masuk ke dalamnya (Baghdad).

Dan sebab bagi (fitnah) tersebut ialah bahawa sesungguhnya para pengikut al-Marwazi mentafsirkan firman Allah Ta’ala (Surah al-Isra’: 79):

“semoga Tuhanmu membangkit dan menempatkanmu pada hari akhirat di tempat yang terpuji.”

bahawa sesungguhnya Allah [Maha Suci] akan meletakkan Nabi SAW bersamanya di atas Arash.

Dan golongan yang lain pula berkata: Hanyasanya ia (tempat yang terpuji itu) adalah Shafaat.

Maka berlakulah fitnah dan mereka saling berbunuhan, sehingga yang terbunuh di kalangan mereka itu sangat ramai.”

3. Lihatlah wahai pembaca budiman yang mencari kebenaran, fitnah Tajsim yang timbul pada tahun 317H di Baghdad dari salah seorang Hanabilah Mujassimah iaitu Abu Bakar al-Marwazi al-Hanbali telah menyebabkan pertumpahan darah yang banyak berlaku di kalangan umat Islam, hasil daripada tafsiran menyelewengnya terhadap nas al-Quran.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

artikel ini juga merupakan bantahan:
Bantahan salatobat kepada mujasimmah wahaby firanda.com dan mahrus ali sesat (mantan kyai NU menggugat)

Menjawab Fitnah Kaum SYIAH : Wilayah bukan imamah

Allah SWT berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) [المائدة/55

Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Syubhat

Sebagian golongan mengklaim ayat tersebut sebagai bukti kuat mengenai hak Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul SAW, sekaligus bukti bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak syah dalam pandangan syariat. Mereka mengatakan bahwa Wali dalam ayat diatas semestinya diartikan dengan penguasa/pemimpin, dan yang dimaksud dengan :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

(Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, seraya menunaikan zakat, seraya mereka rukuk)

adalah Imam Ali seorang. Karena mereka mengartikan kalimat وَهُمْ رَاكِعُونَ dengan “menunaikan zakat ketika rukuk”. Jika demikian, arti ayat tersebut menjadi :

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat ketika rukuk (yaitu Imam Ali).”

Menurut mereka, Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun khusus mengenai Imam Ali, yaitu berkenaan dengan sedekah cincin yang dilakukan Imam Ali kepada seorang pengemis ketika beliau sedang rukuk dalam sholatnya. Kemudian, karena lafadz إِنَّمَا dalam bahasa arab berfaedah hashr (membatasi), berarti ayat tersebut intinya menegaskan bahwa pemimpin orang-orang mukmin hanya Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali saja. Dengan demikian secara otomatis pemimpin yang selainnya (seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak syah menurut syariat.
Kalangan ahlussunnah wal jamaah menjawab :

Sebab turun ayat

Pernyataan bahwa ulama bersepakat mengenai sebab turun ayat ini merupakan pernyataan yang tidak objektif dan penuh dengan hawa kefanatikan. Nyatanya, kitab-kitab tafsir penuh dengan komentar beragam para ulama tafsir mengenai sebab turun ayat ini. Sebagian ahli tafsir berpendapat ayat ini turun mengenai Abdullah bin Salam (mu`alaf yahudi) yang mengeluh pada Rasul mengenai rasa kesepian karena dikucilkan kaumnya(1). Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar(2). Dari Ibnu Abbas sendiri terdapat dua riwayat, yang pertama menyatakan ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali(3), sedangkan riwayat kedua menyebutkan sebab turun ayat ini adalah Ubadah bin Shomit, ketika beliau membatalkan ikatan persekutuan dengan Yahudi(4),.

Kalaupun kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Imam Ali, itu tidak berarti hukum ayat ini khusus bagi Imam Ali. Karena yang digunakan dalam ayat ini adalah ungkapan untuk orang banyak (shigoh jamak/plural) bukan ungkapan untuk satu orang (single). Ungkapannya yaitu, “ orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Dalam kaidah tafsir disebutkan, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(5). Jadi, semua orang mukmin yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang disebut ayat diatas layak untuk dimasukkan dalam kategori Wali, tidak hanya Imam Ali seorang. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Ja`far, Muhammad Al Bagir ( Tokoh Tabi`in yang diagungkan Ahlu Sunnah maupun Syiah) ketika beliau ditanyakan mengenai ayat ini, apakah ayat ini khusus turun mengenai Imam Ali, Beliau menjawab “Ali adalah salah seorang dari orang-orang mukmin”(6). Maksudnya, yang dimaksud wali dalam ayat tersebut adalah setiap mukmin yang sifatnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalamnya, dan Imam Ali termasuk salah satunya.

Makna Wali

Lafadz وَلِيُّ memiliki banyak makna, seperti : tuan, hamba, anak paman, penolong, teman, kekasih, pemimpin, dan lain-lain(7). Akan tetapi, makna Wali yang paling umum ada tiga, yaitu penolong, kekasih, dan pemimpin. Kemudian, dari ketiga makna tersebut, yang paling sesuai dengan ayat di atas adalah penolong bukan pemimpin. Hal ini ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:

1. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini, kita akan menemukan dalam kedua ayat tersebut juga disebutkan lafadz Wali atau lebih tepatnya Auliya (bentuk majemuk dari kata wali), kedua ayat tersebut adalah:

*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ …[المائدة/51

*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ … [المائدة/57

Dalam kitab-kitab tafsir, lafadz Wali pada kedua ayat tersebut diartikan dengan penolong (sekutu), bukan pemimpin(8). Lantas, jika kita artikan Wali dalam ayat ini dengan Pemimpin, maka kita akan menemukan kerancuan makna ketika ayat ini disandingkan dengan ayat yang ada sebelum dan sesudahnya. Tentunya ini adalah hal yang tidak layak dalam Al-Quran. Berbeda halnya jika kita mengartikannya dengan penolong, maka semua makna potongan ayat- ayat tersebut akan saling menyatu dan melengkapi.

2. Ayat ini menetapkan status kewalian bagi mereka yang disebutkan didalamnya secara langsung tanpa tenggat waktu. Maksudnya begitu ayat ini turun, di saat itu juga status mereka adalah Wali(9). Andai kita artikan Wali sebagai pemimpin, berarti ayat ini akan memiliki makna, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman…”. Adalah hal yang tidak mungkin orang-orang beriman yang jumlahnya begitu banyak, semuanya menjadi pemimpin bersama-sama dalam satu waktu, anda bisa bayangkan seberapa kacau kesudahannya. Begitu juga jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang beriman adalah Imam Ali seorang–sebagaimana yang mereka yakini. Kalau demikian, maka maksud ayat ini akan menjadi seperti ini, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan Ali”, ini juga tidak tepat karena itu artinya Imam Ali berhak untuk mengatur umat, bersama-sama dengan Rasul saat Rasul masih hidup, padahal kenyataanya, Imam Ali di masa hidup Rasul sama sekali tidak pernah turut campur dalam memerintah umat kecuali sebagai suruhan Rasul(10). Berbeda jika kita artikan wali dengan penolong, maka makna ayat ini akan menjadi jelas tanpa ada kemusykilan.

3. Maksud mereka untuk menjadikan ayat ini sebagai hujjah mengenai hak Imam Ali menjadi khalifah Rasul, tidak akan terealisasikan kecuali jika lafadz إِنَّمَا berfaidah hashr haqiqi (membatasi). kalau lafadz tersebut berfaidah hashr maka arti ayat ini adalah, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah, Rasul Nya, dan Imam Ali saja”.(tak ada yang lain)

Jika Syiah konsisten dengan pendapatnya ini, seharusnya mereka tidak mengambil imam lain selain Imam Ali. Faktanya, Syiah memiliki sebelas imam lain yang dianggap ma’sum selain Imam Ali.

Andai kita mau meninggalkan kefanatikan, lalu merenungkan dengan objektif mengenai ayat ini beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, akan semakin jelas bagi kita bahwa ayat ini tidak mengarah pada penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah, bahkan tidak ada kaitanya sama sekali dengan kekhalifahan. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman merupakan kekeliruan yang besar.

Referensi

(1)تفسير الجلالين – (ج 2 / ص 223(

ونزل لما قال ابن سلام يا رسول الله إن قومنا هجرونا { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله وَرَسُولُهُ والذين ءامَنُواْ الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة وَهُمْ رَاكِعُونَ } خاشعون أو يصلون صلاة التطوّع
(3),(2)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 87)

القول الثاني : أن المراد من هذه الآية شخص معين ، وعلى هذا ففيه أقوال : روى عكرمة أن هذه الآية نزلت في أبي بكر رضي الله عنه . والثاني : روى عطاء عن ابن عباس أنها نزلت في علي بن أبي طالب عليه السلام

(4)تفسير الخازن – (ج 2 / ص 302)

قوله تعالى : { إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا } قال ابن عباس : نزلت هذه الآية فى عبادة بن الصامت حين تبرأ من موالاة اليهود وقال : أوالي الله ورسوله والمؤمنين يعني أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم وقال جابر بن عبد الله : نزلت فى عبد الله بن سلام وذلك أنه جاء إلى محمد صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن قومنا قريظة والنضير قد هجرونا وفارقونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، فنزلت هذه الآية ، فقرأ : عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال عبد الله بن سلام :
رضينا بالله ربّاً وبرسوله نبياً وبالمؤمنين أولياء .

(5)تفسير الصاوي (ج1/ص383-384)
قوله: (انما وليكم) الخطاب لعبد الله بن سلام و اتباعه الذين هداهم الله الى الاسلام, فلما نزلت هذه الاية, قال عبد الله بن سالام: رضينا بالله ربا, و برسول الله نبيا, و بالمؤمنين اولياء, و العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب, فكل من انتسب لله فهو وليه….
تفسير الرازي – (ج 6 / ص 87)

المسألة الأولى : في قوله { والذين ءامَنُواْ } قولان : الأول : أن المراد عامة المؤمنين ، وذلك لأن عبادة بن الصامت لما تبرأ من اليهود وقال : أنا بريء إلى الله من حلف قريظة والنضير ، وأتولى الله ورسوله نزلت هذه الآية على وفق قوله . وروي أيضاً أن عبدالله بن سلام قال : يا رسول الله إن قومنا قد هجرونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل ، فنزلت هذه الآية ، فقال رضينا بالله ورسوله وبالمؤمنين أولياء ، فعلى هذا : الآية عامة في حق كل المؤمنين ، فكل من كان مؤمناً فهو ولي كل المؤمنين ، ونظيره قوله تعالى : { والمؤمنون والمؤمنات بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ } [ التوبة : 71 ] وعلى هذا فقوله { الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة } صفة لكل المؤمنين…

(6) تفسير البغوي – (ج 3 / ص 73)

وقال جوبير عن الضحاك في قوله: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } قال: هم المؤمنون بعضهم أولياء بعض، وقال أبو جعفر محمد بن علي الباقر: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } نزلت في المؤمنين، فقيل له: إن أناسا يقولون إنها نزلت في علي رضي الله عنه، فقال: هو من المؤمنين .

(7)المصباح المنير في غريب الشرح الكبير – (ج 10 / ص 453)

وَالْوَلِيُّ فَعِيلٌ بِمَعْنَى فَاعِلٍ مِنْ وَلِيَهُ إذَا قَامَ بِهِ وَمِنْهُ { اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا } وَالْجَمْعُ أَوْلِيَاءُ قَالَ ابْنُ فَارِسٍ وَكُلُّ مَنْ وَلِيَ أَمْرَ أَحَدٍ فَهُوَ وَلِيُّهُ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَلِيُّ أَيْضًا عَلَى الْمُعْتِقِ وَالْعَتِيقِ وَابْنِ الْعَمِّ وَالنَّاصِرِ وَحَافِظِ النَّسَبِ وَالصَّدِيقِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَقَدْ يُؤَنَّثُ بِالْهَاءِ فَيُقَالُ هِيَ وَلِيَّةٌ قَالَ أَبُو زَيْدٍ سَمِعْتُ بَعْضَ بَنِي عُقَيْلٍ يَقُولُ هُنَّ وَلِيَّاتُ اللَّهِ وَعَدُوَّاتُ اللَّهِ وَأَوْلِيَاؤُهُ وَأَعْدَاؤُهُ وَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِمَعْنَى مَفْعُولٍ فِي حَقِّ الْمُطِيعِ فَيُقَالُ الْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ وَفُلَانٌ أَوْلَى بِكَذَا أَيْ أَحَقُّ بِهِ وَهُمْ الْأَوْلَوْنَ بِفَتْحِ اللَّامِ وَالْأَوَالِي مِثْلُ الْأَعْلَوْنَ وَالْأَعَالِي وَفُلَانَةُ هِيَ الْوُلْيَا وَهُنَّ الْوُلَى مِثْلُ الْفُضْلَى وَالْفُضَلُ وَالْكُبْرَى وَالْكُبَرِ وَرُبَّمَا جُمِعَتْ بِالْأَلِفِ وَالتَّاءِ فَقِيلَ الْوَلِيَّاتُ وَوَلَّيْتُ عَنْهُ أَعْرَضْتُ وَتَرَكْتُهُ وَتَوَلَّى أَعْرَضَ .
تفسير البغوي – (ج 7 / ص 173(
(32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33(
} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ } تقول لهم الملائكة الذين تنزل عليهم بالبشارة: نحن أولياؤكم أنصاركم وأحباؤكم،
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 84)

القول في تأويل قوله : { وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره:(والذين كفروا)، بالله ورسوله =(بعضهم أولياء بعض)، يقول: بعضهم أعوان بعض وأنصاره، وأحق به من المؤمنين بالله ورسوله.

تفسير الطبري – (ج 14 / ص 347)

القول في تأويل قوله : { وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: وأما “المؤمنون والمؤمنات”، وهم المصدقون بالله ورسوله وآيات كتابه، فإن صفتهم: أن بعضهم أنصارُ بعض وأعوانهم ….
القاموس المحيط – (ج 3 / ص 486(
ي الوَلْيُ القُرْبُ، والدُّنُوُّ، والمَطَرُ بعدَ المَطَرِ، وُلِيَتِ الأرضُ، بالضم. والوَلِيُّ الاسمُ منه، والمُحِبُّ، والصَّدِيقُ، والنَّصيرُ. ووَلِيَ الشيءَ، و عليه وِلايَةً وَوَلايَةً، أَو هي المَصْدَرُ، وبالكسر الخُطَّةُ، والإِمارَةُ، والسُّلطانُ. ….
(8) تفسير الرازي – (ج 6 / ص 89)

أن اللائق بما قبل هذه الآية وبما بعدها ليس إلا هذا المعنى ، أما ما قبل هذه لآية فلأنه تعالى قال : { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ اليهود والنصارى أَوْلِيَاء } [ المائدة : 51 ] وليس المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أئمة متصرفين في أرواحكم وأموالكم لأن بطلان هذا كالمعلوم بالضرورة ، بل المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أحباباً وأنصاراً ، ولا تخالطوهم ولا تعاضدوهم ، ثم لما بالغ في النهي عن ذلك قال : إنما وليكم الله ورسوله والمؤمنون والموصوفون ، والظاهر أن الولاية المأمور بها ههنا هي المنهي عنها فيما قبل ، ولما كانت الولاية المنهي عنها فيما قبل هي الولاية بمعنى النصرة كانت الولاية المأمور بها هي الولاية بمعنى النصرة ، وأما ما بعد هذه الآية فهي قوله { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الذين اتخذوا دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مّنَ الذين أُوتُواْ الكتاب مِن قَبْلِكُمْ والكفار أَوْلِيَاء واتقوا الله إِن كُنتُم مؤمنين } [ المائدة : 57 ] فأعاد النهي عن اتخاذ اليهود والنصارى والكفار أولياء ، ولا شك أن الولاية المنهي عنها هي الولاية بمعنى النصرة ، فكذلك الولاية في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } يجب أن تكون هي بمعنى النصرة ، وكل من أنصف وترك التعصب وتأمل في مقدمة الآية وفي مؤخرها قطع بأن الولي في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } ليس إلا بمعنى الناصر والمحب ، ولا يمكن أن يكون بمعنى الإمام ، لأن ذلك يكون إلقاء كلام أجنبي فيما بين كلامين مسوقين لغرض واحد ، وذلك يكون في غاية الركاكة والسقوط ، ويجب تنزيه كلام الله تعالى عنه ..
(9)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)

لحجة الثانية : أنا لو حملنا الولاية على التصرف والإمامة لما كان المؤمنون المذكورين في الآية موصوفين بالولاية حال نزول الآية ، لأن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه ما كان نافذ التصرف حال حياة الرسول ، والآية تقتضي كون هؤلاء المؤمنون موصوفين بالولاية في الحال ، أما لو حملنا الولاية على المحبة والنصرة كانت الولاية حاصلة في الحال ، فثبت أن حمل الولاية على المحبة أولى من حملها على التصرف ، والذي يؤكد ما قلناه أنه تعالى منع المؤمنين من اتخاذ اليهود والنصارى أولياء ، ثم أمرهم بموالاة هؤلاء المؤمنين ، فلا بدّ وأن تكون موالاة هؤلاء المؤمنين حاصلة في الحال حتى يكون النفي والإثبات متواردين على شيء واحد ، ولما كانت الولاية بمعنى التصرف غير حاصلة في الحال امتنع حمل الآية عليها .
(10)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)

الحجة السادسة : هب أنها دالة على إمامة علي ، لكنا توافقنا على أنها عند نزولها ما دلت على حصول الإمامة في الحال : لأن علياً ما كان نافذ التصرف في الأمة حال حياة الرسول عليه الصلاة والسلام ، فلم يبق إلا أن تحمل الآية على أنها تدل على أن علياً سيصير إماماً بعد ذلك ، ومتى قالوا ذلك فنحن نقول بموجبه ونحمله على إمامته بعد أبي بكر وعمر وعثمان ، إذ ليس في الآية ما يدل على تعيين الوقت

Popularity: 20% [?]

Hadits dalil tentang doa di bulan ramadhan : syahadat – istighfar – minta sorga – berlindung dari neraka

Isnin, 1 Ogos 2011
Doa di Bulan Ramadhan


kitab shahih ibnu khuzaimah

Di dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Sayyidina Salman رضي الله عنه, 4 perkara yang dianjurkan untuk diamalkan di dalam bulan Ramadhan:

وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ: فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهمَا : فَتُسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ

Ertinya: Dan perbanyaklah padanya daripada empat hal (perkara), yang dua hal adalah keredhaan Tuhanmu dan yang dua lainnya adalah tiada kemampuan kalian mendapatkannya (Allah yang memiliki). Dua hal yang pertama adalah syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah (لا اله إلا الله), dan yang kedua adalah kalian beristighfar kepadaNya. Dan dua hal yang bukan milik kalian adalah mintalah syurga dan berlindunglah padaNya daripada api neraka. (Hadits riwayat Ibn Khuzaimah didalam Shahihnya; al-Baihaqi didalam Syu’abul Iman dan Fadhail al-Auqaat; Ibn Abi Dunya di dalam kitab Fadhail Syahr Ramadhan;Ibn Syahin di dalam kitab Fadhail Syahr Ramadhan, Ibn Hibban;al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani di dalam al-Mathalibul ‘Aliyah, kitab puasa, bab kelebihan bulan Ramadhan. Matan hadits yang lengkap boleh dibaca disini)

Maka para ulama menyimpulkannya dengan doa dan dhikir yang elok dibaca oleh mereka yang berpuasa terutamanya menjelang waktu berbuka puasa, dan boleh juga setiap kali selepas sholat waktu ataupun bila-bila masa yang disukai iaitu:

Kalau dibaca bersendirian:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أّسْأَلُكَ الجَنَّةَ، وأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ – ٣X
اَلَّلهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنَّيْ يَا كَرِيْمُ

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku memohon ampun kepada Allah, aku memohon kepadamu (ya Allah) akan syurga dan aku berlindung denganMu (ya Allah) daripada api neraka. (3x) Ya Allah ya Tuhanku sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau suka permohonan maaf, maka maafkanlah daripada aku, wahai Yang Maha Pemurah.

Kalau dibaca beramai-ramai:

نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، نَسْتَغْفِرُ اللهَ، نَسْأَلُكَ الجَنَّةَ، وَنَعُوْذُبِكَ مِنَ النَّارِ – ٣X
اَلَّلهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا يَا كَرِيْمُ

Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, kami memohon ampun kepada Allah, kami memohon kepadamu (ya Allah) akan syurga dan kami berlindung denganMu (ya Allah) daripada api neraka. (3x) Ya Allah ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau suka permohonan maaf, maka maafkanlah daripada kami kami, wahai Yang Maha Pemurah.

Bacaan dhikir/doa tersebut ada disebutkan di dalam kitab Kanz an-Najaah wa as-Surur fi ad-Ad’iyah al-Ma`tsurah allati Tasyrah ash-Shuduur karya al-‘Allamah asy-Syeikh ‘AbdulHamid bin Muhammad ‘Ali bin ‘AbdulQaadir al-Quddus al-Makki asy-Syafie.

Sekian dari
العبد الحقير الفقير إلى عفو ربه
abu zahrah al-qadahi
taman seri gombak
dhuha, 1 Ramadhan 1432/1 Ogos 2011
http://al-fanshuri.blogspot.com/2011/08/doa-di-bulan-ramadhan.html

Usul usul dakwah (Tata tertib dakwah khuruj fii sabilillah)

Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;
(Keterangan : Di indonesia 28 usul dakwah, sedangkan di Negara lain hanya 12 atau 16 usul saja).

Ada dua puluh lapan tertib yang harus dipatuhi oleh setiap da’ie ketika keluar di jalan Allah, iaitu;

1. Empat perkara yang diperbanyakkan;

* Dakwah ilallah – Dakwah ijtima’i, dakwah infradi, dakwah umumi dan dakwah khususi.
* Ta’lim wal ta’lum – Ta’lim infradi, ta’lim ijtimai, halaqah tajwid, fadhilah amal dan muzakarah sifat-sifat sahabat.
* Zikir dan Ibadah – Zikir: membaca Subhanallah, wal hamdulillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar; selawat, istighfar dan tilawah Al-Quran. Ibadah: Ibadah fardhu, wajib, sunat dan mustahab.
* Khidmat – Khidmat kepada diri sendiri, rombongan jemaah, (kariah)kampung dan amir jemaah.

2. Empat perkara yang dikurangkan;

* Kurangkan masa makan dan minum.
* Kurangkan masa tidur dan rehat.
* Kurangkan percakapan yang sia-sia.
* Kurangkan masa di luar masjid.

3. Empat perkara yang ditinggalkan;

* Ishraaf (perbuatan boros atau membazir).
* Berharap (dalam hati) kepada makhluk.
* Meminta kepada makhluk.
* Menggunakan barang orang lain tanpa izin.

4. Empat perkara yang tidak boleh disentuh;

* Perbedaan aqidah.
* Khilafiah/ mazhab.
* Politik, aib masyarakat, pangkat serta derma.
* Berdebat (mujadalah).

5. Empat perkara yang dijaga;

* Mengutamakan amal ijtima’i daripada amal infradi.
* Kehormatan masjid.
* Ketaatan kepada amir jemaah.
* Sabar dan tahamul (ketahanan dalam menghadapi ujian).

6. Empat perkara yang dijauhkan;

* Tankish (merendahkan).
* Tankind (mengkritik).
* Tardid (menafikan atau menolak sama sekali).
* Taqobul (membanding-bandingkan).

7. Empat pilar (tiang/ dasar) agama;

* Ahli dakwah (tabligh, da’ie, juru dakwah).
* Tadris (para ulama, pengasuh/mudir pondok pesantren/ madrasah, majlis ta’lim).
* Kanka (mursyid, ahli tareqat) dan
* Musanif (para pengarang kitab).

Salafi (wahabi), Saudi and Jews ; an unholy nexus

Salafi ,Saudi and Jews ; an unholy nexus

INTRODUCTION

Recently we had a chat with a person who insisted that, as a rule, whatever is taught in the grand mosques of Makka and Madina by Saudi Arabian Government is Islam.

We tried to explain him, citing Islamic history and how these sacred places were occupied by Najdi feudal Lords Sauds on the back of a Salafi frenzy created by Abd al-Wahhab and British Government’s military support who conspired with Sauds to destroy Islamic Khilafah. Read more about Saudi Royal Family.

During the conversation we realized that it is important to write an Article about moral and financial corruption and un-Islamic deeds of Saudi Princes and their Government so that people realize that Salafism is not Islam, rather it is a political ideology to keep the power and wealth in the hands of Saudi Royal family.

Some people may argue that now-a-days almost all countries in the world are facing unchecked corruption by the ruling politicians. Saudis are not the first one who started this trend.

Their argument is valid. We do agree with this line of thinking. Corrupt politicians, Kings or dictators impose on people, their self concocted theories and try to relate it to religion to usurp power, plunder wealth, create a fear psycho among people and take advantage of people’s vulnerabilities.

Some people say that Mutawwas (Saudi Religious Police) are nothing but Government paid informers, well connected with General Intelligence Directorate (Saudi Secret Service), assigned to keep an eye on individual members of public and help Saudi Royals to remain in power. They are trained to keep an eagle’s eye on public activities and close their eyes completely from the members of Royal family. Mutawwas work under the network of Government run Salafi Dawa Centers whose responsibility is to baptize people into Salafism, a political doctrine imposed on people in the name of Islam.

Some people say that Allah (سبحانہ و تعا لی) has chosen Saudi Royal family to take care of the two Grand Mosques in Makka and Madina, therefore Salafism should not be treated as a political doctrine away from Islam.

Those who talk like this are unaware of the history of Islam. At the time of Advent of Prophet Mohammad ( صلى الله عليه و آله وسلم) Ka’ba was under the occupation of Pagan Idol worshipers. As a matter of fact 360 Idols were kept around it which were worshiped by them. Similar is the situation now.

We all know, Salafis are Sky Idol God worshipers. They worship a Sky Idol who has eyes, face, hands and a huge human like physical body and who is sitting on the skies. To legitimize their Idol worship, they misinterpret Quranic verses and Ahadith. They have occupied Islamic heartland and the grand mosques of Makka and Madina in 1925 and are propagating their Salafi /Wahhabi theories in the world as Islamic teachings. Read more…….

Therefore, occupation of grand mosques in Makka and Madina is not a testimony that the occupiers follow Islam.

Also, read this Article, you will be aghast to see the black deeds of Saudi Royal family. They are involved in all kinds of vices anyone could think of under the sun. Looking at them, how can one believe that they are the chosen ones to serve the grand mosques and Islam.

In any case, we would like to reiterate that we are not against any Government or any ruling individual in the world, including Saudi Royal family. Similarly, we are not against any Scholar, as a person, (Ahle Sunnah, Salafi or Shia) in the world. We wish and pray for every individual good in both the lives.

However, we identify the shortcomings of people in order that they realize it and work for their improvement for the good of their people and their salvation in this world and in Hereafter. If they agree, it is fine, and if they do not agree, it is also fine. Our job is to counsel with good intention and pray for their good.

Also, it is important to note that progressive societies take criticism positively as it helps them to correct their shortcomings and serve people better.

The Article has been divided into 4 parts: (1) Introduction, (2) Saudi Royal’s Prostitution Rings, (3) Saudi Royal’s Child Sex Slave Trade, and (4) Brief historical background of Saudi Royal family. The allegations are substantiated by published data which establishes the pattern of abuse using documented occurrence where the princes and their associates have been caught.

The Article is completely based on published information. We have described what is already known to billions of people around the Globe. We have provided the sources of information throughout the Article.

We regret for some terms used in the Article. We had to keep them, unwillingly though, as it is reported in Newspapers, Magazines and Internet. The problem is, when we quote a source, we need to keep the information and its wording as it is.

As usual, the Article is completely unbiased and we have refrained from giving our opinions throughout the Article.

SAUDI ROYALS’ PROSTITUTION RINGS

It is an open secret in Washington that the State Department is extremely sensitive to criticism of its actions regarding Saudi Arabia and its Princes. It is alleged that there are issues related to Saudi Royals which are so embarrassing to Washington that these must be kept secret from public domain.

The sensitivities of the US State Department are confirmed by the following BBC obituary on the death of King Fahd of Saudi Arabia.

BBC OBITUARY – KING FAHD – “Monday, August 1, 2005 – King Fahd (1921-2005) ascended to Saudi Throne in 1982. He had a reputation as a playboy in his youth, with allegations of excessive womanizing, drinking and gambling.

Indeed, it is claimed that he once lost more than $6m in one night at the Monte Carlo casino. There was a joke that new Cadillacs were dumped as soon as their ashtrays were full. King Fahd himself amassed a personal fortune estimated at $18bn”.

Earlier, King Saud bin Abdul Aziz (1902-1969) who ruled Saudi Arabia between 1953-64 was deposed and lived in exile in Europe for plundering oil wealth, womanizing, gambling and other vices. It is reported that he fathered a total of 109 children, 53 princes and 56 princesses from hundreds of beautiful young women. Read more …

Readers may be aware that Saudi Kings are officially addressed as ‘Khadim-ul-Haramain wash Sharifain’ (the Custodians of two holy mosques in Makka and Madina).

It is not just the Kings, the Saudi Royal family as a whole is famous for their lavish spending, womanizing, drinking, gambling and other vices.

An American diplomatic document reveals a secret party of a Saudi Prince with alcohol, drugs, sex and prostitutes. In yet another flurry of secret documents of U.S. diplomacy, the site WikiLeaks showed, in great detail, a Halloween party organized by a wealthy Saudi prince in Jeddah with the highest quality drink, drugs and sex with prostitutes.

One of the secret documents, dated 18/11/2009, reported: “Behind the facade of Wahhabi conservatism on the streets, the nightlife for the young elite of Jeddah is thriving and throbbing. The full range of worldly temptations and vices are available – alcohol, drugs, sex – but strictly behind closed doors.”

Local American consulate officials were invited to the Halloween party, an all-American date, at the mansion of a young Saudi prince in Jeddah. The prince’s name was omitted from the document, as the diplomats themselves acknowledge that their names should be withheld. The only clue is that this Prince belongs to the Al Thunayan huge family.

According to Sunday Times, UK, Glamorous hostesses were allegedly paid tens of thousands of pounds from a BAE Systems slush fund to attend lavish parties where a Saudi prince and his entourage were guests of honor. The money was paid to Anouska Bolton Lee and Karajan Mallinder to meet mortgage, rent, credit card and council tax bills. The two women went to parties in a penthouse suite at the Carlton Tower hotel in Knightsbridge attended by Prince Turki bin Nasser and other senior Saudis involved in the £40 billion al-Yamamah arms deal. Read Full Story appeared in Sunday Times

According to Dailymail – Petrina Montrose who is now 37 and lives in Essex, UK, claimed she was one of three women hired to take part in an orgy with a tall and greasy Saudi Prince. Miss Montrose said she and other two women had been told to go to the five-star Dorchester hotel, in Central London.

Another woman, Denise Hewitt claimed that she and another famous lady had an orgy with her regular client, a Saudi Prince. Read full story appeared in Dailymail

The Duchess of York’s biographer, Alan Starkie, reported she declined a $ 3 million offer from a Saudi prince she called “Rubber Lips” who wanted to bed her.

May 30, 2010 : Starkie reported that “Sarah had no real source of income,” When her debts approached 3 million pounds, “I introduced her to a member of the Saudi royal family who was willing to pay it off completely,” Starkie said. “I arranged for Sarah to visit him . . he met her alone, clad in flowing robes and a lascivious grin . “When he tried to kiss her, she fled home and quickly called me, referring to the fellow dismissively as ‘Rubber Lips,’ indicating that when those lips sprung forward and plastered themselves upon her mouth, ‘it felt like extricating oneself from a suction cup’ as she pulled free”. Read more…

Prince Nayef bin Fawwaz Al Shalaan moved two tons of cocaine from Colombia to an airport outside Paris, using his diplomatic status and a royal family 727 jet, U.S. and French law enforcement authorities told ABC News. He is under indictment by U.S. and French authorities, but living outside the reach of American law in Saudi Arabia, according to Raffanello. The United States and Saudi Arabia have no extradition treaty. A trial for the prince’s alleged co-conspirators is scheduled to begin in a federal court in Miami. Prince Al-Shalaan also has an earlier drug charge — he was indicted in Mississippi on narcotics charges in 1984, and remains a fugitive in that case as well, according to the DEA.

Fabrice Monti, a former French police investigator, said the powerful Saudi Interior Minister, Prince Nayef bin Abdel Aziz, actually threatened to cancel certain business deals with the French government if the narcotics investigation of a fellow prince continued. “The Saudi government acts as one to set up a protective barrier between the Prince and French justice and threatened to not sign a very important and lucrative contract in the works for a very long time,” said Fabrice Monti, who has written a book on the subject. Read ABC News Full story.

The Guardian reported – November 16, 2007 – “It is a remarkable shopping list by any standards. And it has landed the Saudi ambassador to Britain, Prince Mohammed bin Nawwaf bin Abdul Aziz, the nephew of King Abdullah, with a possible £3m debt, and the embarrassment of having allegations about the ostentatious spending habits of the royal family laid bare. Bills he is claimed to have run up on an array of luxury amusements include, a selection of handguns and a trip to a hotel in Casablanca that reads : Girls : party night 5″.

Read Full Report

The Scotsman reported (25 April, 2003) that two British men had been arrested in Paris on suspicion of running a multi-million-dollar call girl ring that allegedly supplied prostitutes to Princes, film stars and captains of industry. According to the Scotsman, the two men are also being investigated over allegations of supplying prostitutes to a member of the Saudi Royal family who allegedly paid nearly 2 million for three months of loyal service. Read more ……

Moroccan newspaper, Al-Alam, revealed how women are being sent to Saudi Arabia under the cover of Umra visa. Once the women arrive in Saudi Arabia, they find that they are in the control of a prostitution ring.

Al-Quds, an Arabic newspaper reported that the Saudi Human Rights Centre in Jeddah was the source of the story about the prostitution ring operating under the cover of the Umra pilgrimage.

A Moroccan woman told Al-Quds that women were held in a brothel in Jeddah after they were granted a one-month visa to enter Saudi Arabia for the duration of the Umra.

Al-Quds also reported that a Moroccan journalist infiltrated a villa in Rabat, Morocco and was able to get closer to “the world of the Saudis”. In May 2002, she reported revealing the abuse that some Moroccan teenagers underwent at the hands of sex traders in Saudi Arabia.

The following report appeared in ‘ The London Times’.

Models, Sex and the Saudi Royal Family Princelings

May 17, 2006 – The world’s largest modeling agency has launched an investigation into allegations that senior staff pressured girls as young as 13 into sex and drugs. Several senior executives at Elite Model Management, which represents the super models Naomi Campbell and Cindy Crawford, have been suspended following the allegations, filmed by an undercover BBC crew. The Mac Intyre Undercover program on BBC1 on Tuesday night showed Gerald Marie, the European president of Elite, saying that he was planning to have sex with girls in a modeling competition final. The average age of the girls was 15.
Mr. Marie, the ex-husband of Linda Evangelista, was filmed propositioning Lisa Brinkworth, an investigative reporter, when she was posing as a model. “I give you one million lire (£300) if you sleep with me,” he is said to have told her. The documentary claimed that two employees had been suspended after boasting about their sexual exploits with younger models. John Casablancas, the chairman of Elite, issued an “unreserved apology for the behavior of his staff captured in the documentary, saying that it showed “some of the darkest aspects of the modeling industry. Marilyn Models, a French agency, had attempted to prevent the documentary from being screened, but a court rejected the agency’s argument that it breached privacy laws. Casablancas does not mention the selling of models to Saudi princes as the darkest aspects of his business. John Casablancas was accused by Ilene Ford from Ford Modeling Agency of introducing young models to Saudi Princes. Read more…….

Prince Faisal’s alleged Sex Rings

Prince Faisal built a marble palace on Kirby in the posh River Oaks section of Houston, United States. He had procurers go to various areas where young people congregated and bring them back to his palace. The Prince had a continual party fueled by a stream procured teenagers both male and female. It was relatively easy for the procurers as the word got out about the sumptuous surroundings of the Prince. The prince had the best of foods, drink and drugs available every day for his continual party. It is reported that there was a hushed scandal, where after the prince left abruptly apparently never to return.

Mohammed Al Fassi, brother-in-law of Prince Turki of Saudi Arabia became so infamous with his perpetual party at his palace in Beverly Hills that he was chased out of the town by his neighbors after an infamous scandal.

SAUDI ROYALS’ CHILD SEX SLAVE TRADE

Saudi Royal family is famous for purchasing largest number of Child Sex Slaves in the world. Earlier, these slaves were procured from Africa and poor Asian countries. However, with the current inflow of oil wealth, Saudi Princes have extended their slave purchases all over the world. Oil wealth has enabled them to become more selective and specialized in Child Sex Slave purchases in the high end European and North American market.

The Middle East Times reported that “Saudi Princes dehumanize child sex slaves obtained through their sex rings by demeaning them and calling them whores so as not to come into conflict with Saudi religious tenets”.

Saudi Government claims their country is free from Slavery but are hesitant to allow international scrutiny of their claim. They continue to refuse to sign United Nations treaties on slavery and human rights abuses, probably because they do not want to be covered under these obligations. They have not signed any extradition treaty even with United States to protect members of Royal family being extradited out of Saudi Arabia for their alleged crimes.

Watch this shocking Video Clip

The US State Department in their human rights report have justified Saud family’s (child sex) slavery by saying:

” It is part of the Saud family culture deeply embedded within the mores and filches of the society”. Read more ……

The Middle East Times reported: “There’s no capability for reform, no strong character to stop the Princes from corruption. They are so used to spending huge amounts of money. You couldn’t tell them — you don’t need 20 whores for the night, just one or two. Or you’ve got 20 whores in the palace, do you need to get two or three whores for every one? Someone like Prince Bishai Bin Abdulaziz; try to stop him and he’ll come and kill you. The Saudi princes dehumanize child sex slaves obtained through their sex rings by demeaning them and calling them whores so as not to come into conflict with Saudi religious tenets”.

The Committee for the Defense of Legitimate Rights in Saudi Arabia based in London through their Saudi dissident leader Mr Masari said: One Regional Governor, whom he accused of tolerating drug users and child sex rings, Prince Mohammed bin Fahd, Governor of the Eastern Province has been accused by the Al Saud newsletter of condoning sex slavery within his administered area. It is reported that Governor Prince Mohammed is an active participant in the child sex rings of the Eastern Province. He has parties for his friends with child sex as the main entertainment. Governor Prince Mohammed likes Hollywood where there are many boys and girls from which to entice into becoming sex slaves in Saudi Arabia under the ruse of film and modeling contracts. These sex slaves are allegedly sold and resold until they are used up whereupon they are helicoptered over Rubal Khali and dumped.

Saudi Prince Saud Abdulaziz bin Nasser Al-Saud killed his male black Sex Slave in Landmark Hotel, London.

The killer Prince (in the picture) tried in vain to hide his homosexuality from the British Court and had been filmed on a closed-circuit camera, mercilessly beating his Sex Slave Bandar Abdulaziz in a London Hotel elevator.

The Sex Slave had so many internal injuries, including bleeding on the brain and a fractured larynx, that pathologists could not pinpoint the precise cause of death after his body was found in the posh Landmark Hotel.

Prince Saud Abdulaziz bin Nasser Al-Saud is not an stray case of Saudi Royals’ homosexuality. It is reported that there is a huge majority of Princes who opt for young boys.
Read full Report
Watch Shocking Video

It is not just the Royals, vibrant communities of men who enjoy sex with other men can be found in cosmopolitan cities like Jeddah and Riyadh. They meet in schools, in cafés, in the streets, and on the Internet.

“You can be cruised anywhere in Saudi Arabia, any time of the day,” said Radwan, a 42-year-old gay Saudi American who grew up in various Western cities and now lives in Jeddah.

“They’re quite shameless about it.” Talal, a Syrian who moved to Riyadh in 2000, calls the Saudi capital a ” Gay Heaven.”

Read detailed Report
Watch Shocking Video – Gay Party at Royal Palace Jeddah

Sex Slaves from Philippines for Saudi Royals – Kanlungan Center Foundation, Inc. and the ‘Coalition Against Trafficking in Women – Asia Pacific’ (CATW-AP) reported that a large number of Philippine girls are trafficked to Saudi Arabia as Royal family’s Sex Slaves.

Read Full Report

In 1982, a Miami judge issued a warrant to search Prince Turki Bin Abdul Aziz’s 24th-floor penthouse to determine if he was holding an Egyptian woman, Nadia Lutefi Mustafa, as sex slave, against her will. Prince Turki and his French bodyguards prevented a search from taking place, then won retroactive diplomatic immunity to forestall any legal unpleasantness.

The London Times reported: “The Philippines Government, responding to dozens of tragic cases of maltreatment, has warned young women going to work as maids in Saudi Arabia that they will be sexually harassed by Saudi men and slapped and tortured by their Saudi mistresses… “You have to ward off advances by your master, his brother, son and other male members of the household…” “The Philippines labor ministry has also told young male workers heading to Saudi Arabia that they must expect to be at risk of rape.”

There is a thriving industry of international child sex slavery within the United States and it has gone unabated for decades covered up by the assertiveness of Washington lobbyists representing the perpetrating countries, particularly Saudi Arabia. Saudi princes are the high end buyers in the US child sex slave market and demand the best product.

Time and again, the US media reports scandals when slaves of Saudi princes and their procurers brought into the United States, try to escape.

People in US initially came to know of non-parental child abductions when a US citizen enslaved and tortured by late King Fahd’s nephews was told by a guard in their palace prison the last person to inhabit his cell was a “US girl child whore slave”.
Soon, the extensive nature of abductions of US children living with their parents, for the purpose of sale to Saudi Princes, came to light in US media.How does the US Sex Slave Trade operate?

The National Center for Missing & Exploited children reports: “Child pornographers (and pimps), like other sex offenders, look for victims in places where youth gather: shopping malls, fast food establishments, non-alcoholic clubs, video game arcades, bus stations and through unethical ‘modeling’ agencies. The fact that juveniles are being recruited from the community both for pornography and prostitution is most disturbing … runaways were spotted by pimps loitering in bus stations who approached the teenagers almost as they exited the buses… A primary method of procuring a juvenile for prostitution is through the use of feigned friendship and love. … They (procurers) evaluate what the young woman needed, created the dependency, and then took advantage of that dependency…. if a teenager was a runaway the pimp would find shelter for her… Through practice, many child molesters have developed a real knack for spotting vulnerable victims.”

The above is a favored recruitment method commonly used by procurers to obtain children of both sexes for sale. As the most prominent high end purchasers within the international child sex industry are Saudi princes, their demands are met in many ways.

Saudi princes are also reported to place “special order for children” through a picture of the child in a media or give a description of a desired child. In these cases the child is “snatched” from their parents or escorts in front of their houses; coming from school or at a store. It is believed that the child reaches Saudi Arabia before the local police develops a search procedure.

Saudi special orders for Child Slaves are placed in various cities with their local procurers from the barrios of Brazil, London’s Leicester Square, Paris’s Place de Pompidou and many such posh areas in the world. Due to the recent lax border regulations in Scandinavia, the Princes now get their fair haired child sex slaves from immigrant procurers. In the United States shopping malls, amusement parks and video parlors are prowled by procurers. The Princes not only do not like dealing with regular elements of the international child sex industry such as the street procurers but see the danger of the media picking their activities up, hence they started their own modeling agencies. The Saudi modeling ring recruit male and female models for some shoot in a distant land never to be heard of again.

The Pedophile Princes

Many of the Saudi Princes would definitely be considered pedophiles and child molesters if subject to the laws of the United States. Within their own country they would probably not be prosecuted as pedophiles. When a Saudi Prince abducts a child from the US, once in Saudi Arabia the child is considered his total responsibility to do with what he may.

The National Center for Missing & Exploited Children further reports; “Pimps placed legitimate advertisements in newspapers and interviewed women for secretarial positions. They told female applicants that no job was available or that it had already been filled. They, then attempted to date the applicants. With continued contact the pimp worked on the woman’s weaknesses and tried to find out if she needed large sums of money.

The pimps also placed advertisements for dancers, models or escort services. Showcasing was another technique in which applicants performed acts that were videotaped. While videotaping, the pimps try to discover if the young women were interested in making large sums of money. They (procurers) wanted to be identified as mind controllers, experts in understanding the vulnerabilities and dependencies of women and men”.

With quality product in hand, procurers will then send videos to Saudi Princes to meet their purchase orders. Once the Saudi Prince approves the child, he may ask that delivery be made near his plane in order to make a swift exit to Saudi Arabia.

It is alleged that late King Fahd’s sons’ control their child sex ring from their Beverly Hills palaces.

However, they learned from Al-Fassi palace sex scandals in Beverly Hills during the 1980′s and now rent motels away from their palaces to conduct orgies with children procured for them.

Around these motels they have a cordon of US security guards. An inner cordon is made up of the princes’ body guards, usually foreign. The younger the child the more desirable. These children are brought up through the sex ring channel to the point of purchase under the modeling or acting ruses of going to a shoot or set in Saudi Arabia. Upon purchase, children are then taken by limousine directly to the Saudi prince’s plane at Los Angeles airport. Using their diplomatic immunity, they manage to circumvent customs and immigration which allows them to ship their child sex slaves out of the US without the need of the customary passport. The children are then escorted directly onto the Saudi prince’s plane and flown to Saudi Arabia never to be seen again.

What happens to these large number of Child Sex Slaves in Saudi Arabia? Once they are used up and their short shelf life is over, they are disposed off mysteriously. Some people say they are helicoptered and dumped in desolate places in Rubal Khali Desert.

Life Magazine reports; “former Miss USA Shannon Marketic, in a recent lawsuit, claims she was imprisoned. She had gone there for what she believed was legitimate modeling work paying $3,000 per day … she tried to leave and was forbidden.”

In Miss USA’s law suite, she said, upon arriving, she was given a physical exam by a doctor ostensibly for country health regulations. Soon after, she was given clothes to wear for the evening. She said she was escorted to a room where she, all of a sudden felt drowsy and fell asleep. She awoke to find her clothes rearranged upon her body, like somebody had removed them and then redressed her.

We know from the Center for Missing and Abused Children that pedophiles keep photo/video libraries of their victims. It is reasonable to believe there are naked pictures/videos of Miss USA taken without her knowledge while unconscious. Even so, she was one of the lucky girls being high profile and whose parents knew of her whereabouts.

Washington still denies the international child sex rings prey upon US children. US based child abduction organizations funded by Washington will not admit on record to the international child sex rings preying upon US children for fear of loosing their funding. An old Washington maxim is: “He who controls the investigation wins.” Miss USA lost her law suit because the State Department granted Immunity.

The abducted children and their parents always lose out to foreign policy considerations of the politicians and their lobbyist associates who represent countries like Saudi Arabia. When members of an international sex ring are caught, Washington allows them freedom from criminal and civil actions by either giving them diplomatic immunity, retroactive diplomatic immunity or other State Department protection under the Foreign Sovereign Immunity Act.

US Models disappear one after the other

A new model comments: “At first I shared an apartment with two other models, one … I forget what her name was, who was there for three weeks and then she was gone. Disappeared … I know what I was getting myself into. I wasn’t like the naive girl from Podunk that came in and got drugged at a party and sold to the Arabs!

“Another international model disappeared on a (film) shoot with a nonexistent Saudi Arabian magazine, ending up who knows where? Middle East businessmen, and others get into the relatively small-time modeling game where most of the abuse occurs.”

A runway agent at the New York international modeling agency Wilhelmina reports: “A lot of Arabs were storming Europe looking for beautiful young girls”.

Watch shocking Video Clip

THE ORIGIN AND
HISTORICAL BACKGROUND OF
SAUDI ROYAL FAMILY

Historians have traced that the Sauds belonged to Anza tribe who were settled in Najd around 1450 AD. It is said that Sauds were originally Jews and shrewd Feudal Lords.

King Faisal (1906-1975), who ruled the Kingdom between 1964-75, confirmed Jewish ancestry of Saudi Royals. In an interview to Washington post on September 17, 1969, King Faisal is reported to have said “We, the Saudi family are cousins of the Jews. We entirely disagree with any Arab or Muslim Authority which shows any antagonism to the Jews; but we must live together with them in peace. Our country (Arabia) is the Fountain head from where the first Jew sprang, and his descendants spread out all over the world.” Read more…..
At a wider scale, the above statement can also be interpreted that since Jews are the descendants of Prophet Isaac ( علیھ السلا م ) and Arabs are the descendants of Prophet Ismail ( علیھ السلا م ), this way they are cousins.

It is reported that Saudi Royal family trusts Israeli and US mercenaries as their personal body Guards : US and Israeli mercenary security personnel working for private contractors are allegedly used by Saudi Royal family to guard Saud family Princelings. This Praetorian Guards use balaclava (face cover) and other disguises during security operations which allows for anonymity. Read more…..

Saudi Royal’s Jewish ancestry is also confirmed from the fact that they have destroyed and eliminated the entire Islamic Heritage and established Salafism, a new religion in Arabian Peninsula. Read more .

Ibn Abd al-Wahhab

Ibn Abd al-Wahhab (1703-1799), born in Uyayna in Najd, belonged to Banu Tamim Tribe. He studied in his childhood from his father. Later, he spent some time in Basra, Southern Iraq from where he traveled to Makka and Madina. All historians agree that his new thinking of rebellion against Islam was developed when he was in Basra. By the time he returned to his native town Uyayna in 1740 he had completely transformed into a rebel against Islam. He started propagating his new ideology claiming that the entire population of Muslims of Arabian Peninsula and that of the world was Mushrikeen and that what he was preaching was real Islam.

It is reported that initially Abd al-Wahhab managed to convert Uyayna’s Town In-charge Uthman Ibn Mu’ammar into his new religion and with his support started implementing his new ideology in the town by force. The first evil act committed by Ibn Abd al-Wahhab was, by conspiring with Ibn Mu’ammar, one night, he destroyed the Dome and pious grave of Hadhrat Zayd Ibn al-Khattab (رضئ اللہ تعالی عنہ) who was Sahabi of Prophet Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) and brother of Hadhrat Umer Ibn al-Khattab (رضئ اللہ تعالی عنہ), the second Caliph of Islam. Destruction of the Dome and his anti-Islam activities in collusion with local Town In-Charge drew the attention of Sulaiman Ibn Mhammad of Bani Khalid, the Tribal Chief of Al-Hasa who was a good Muslim. He ordered the arrest of Ibn Abd al-Wahhab. The news reached Ibn Abd al-Wahhab in time and he fled from Uyayna. Read more…..

Brief History of Sauds

Mohammad Ibn Saud was a shrewed tribal Lord of neighboring Diriyya, Najd who cared more about power, money and women, as had been the case with most of the feudal lords in medieval times. He gave protection to Ibn Abd al-Wahhab and quickly envisioned the possibility of forming a State in Arabian Peninsula based on Wahhabism, the new religious theory preached Ibn Abd al-Wahhab.

Thus, the first Saudi State came into being in the year 1744 AD (1157 AH) when Ibn Abd al-Wahhab and Mohammad Ibn Saud formed an alliance and hatched a political conspiracy to establish a State based on Wahhabism, away from Islam. To cement the alliance further Ibn Saud’s sister was married to Ibn Abd al-Wahhab. As per the terms of alliance, Ibn Abd al-Wahhab became de facto Minister for Religious Affairs whose job was to convert people into the new religion and create religious fanaticism in masses. The plan was to use newly converted religious fanatics to expand Sauds’ territory and eventually form a large Saudi State in Arabian Peninsula.

The following 190 years, between 1744-1932, Sauds fought wars with all Muslim rulers of Arabian Peninsula and were finally successful in wiping out Islam and Muslims from Arabian Peninsula in 1932 when Abdul Aziz declared himself as King of the newly formed state of ‘Saudi Arabia’.

Currently Sauds are planning to expand their territory into major part of the Globe using religious fanaticism of their scholars, particularly Dr. Zakir Naik. Read more ……

It is in Hadith – ‘A person with eyes protruding, with a long beard and head clean-shaven (named Zul-Khawaisara who was from the tribe of Banu Tamim) came to the Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) and declared: ‘O Muhammad! (صلى الله عليه و آله وسلم) fear Allah (سبحانہ و تعا لی). ‘ The Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) replied: ‘If I disobey Allah (سبحانہ و تعا لی) then who else will obey Him? I am obedient to Allah (سبحانہ و تعا لی) at all times and never disobedient. Allah (سبحانہ و تعا لی) has sent me as Amin (Honest for the entire world, but you don’t accept me as an honest man? A Sahabi (Hadhrat Umer – رضئ اللہ تعالی عنہ ) became infuriated and sought permission to remove him from the presence of the Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم). The Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) prevented him from doing so. After the person had left, the Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) said: ‘From his progeny (descendants) will rise a Group who will recite the Holy Quran but it will not go below their throats. They will leave the Deen (Islam) just as an arrow leaves the bowstring. They will kill Muslims but spare the idolaters. If I ever confronted these people I would slaughter them just as the people of Aad had been destroyed’. (Mishkat, pp – 535).

Since Ibn Abd al-Wahhab also belonged to Banu Tamim, therefore, as per the above Hadith, he is indeed from the direct descendants of Zul Khawaisara. There cannot be two opinions in this context.

Imam Bukhari has quoted this Hadith from Abdullah Ibn Umar (رضئ اللہ تعالی عنہ) that Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) once prayed for Syria and Yemen. It is narrated that there were some people of Najd also present in the gathering and they requested the Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) to make supplication (du’a) for Najd also. Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) continued saying: ‘O! Allah, Shower Blessings on Syria and Yemen’. The people of Najd again requested the Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) to offer prayers for Najd. The Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) said: ‘It is a place of tremor and mischief (Fitna) and the Horn of Shaitaan will rise from there.’ (Bukhari, Vol – ii, P – 1050).

The above Hadith clearly specifies following conclusive points.
It is abundantly clear that the place called Najd is not blessed from Islamic point of view as Prophet Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) called it a place of Fitna and Evil.
When we look at the geographical position of Najd, it lies to the East of Madina. In other Ahadith, it is mentioned that Prophet Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) pointed his hand towards the East and said, ‘there, that is the direction from where Fitna will emerge.
This place is deprived of the prayers of Prophet Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) .
Hoping of any Islamic good coming out of this place is against the Will of Allah (سبحانہ و تعا لی).
In these circumstances, the Wahhabism or Salafism coming out of this place cannot be good or virtuous. As per Prophet’s (صلى الله عليه و آله وسلم) prophecy this religion is tribulation and fitna in Islam. We pray Allah (سبحانہ و تعا لی) to safeguard us from this Fitna.
The Arabic word used in the above Hadith is ‘Qarnush Shaitaan’, (horn of Shaitaan) which indeed refers to Ibn Abd al-Wahhab. However, in Misbahul Lughaat (page 663) (the dictionary used by Salafis/Deobandis, etc.) the meaning of this word is written as ‘One who follows the advice of Satan’. Therefore, as per the Hadith, Ibn Abd al-Wahhab and his devotees (Salafis) are the followers of Satan.
For the past 100 years, this tribulation (Fitna) has gradually swept the entire world. Millions of innocent Muslims have become victims of this movement. Wahhabis /Salafis and their like minded groups have mislead millions of innocent Muslims with the slogans of Shirk, Kufr, Biddah, etc.

Read Prophet’s(صلى الله عليه و آله وسلم) warnings about Salafism

The first Saudi State lasted between 1744 – 1818 AD when their last ruler Abdullah bin Saud was executed by Ottomans ( دَوْلَتِ عَلِيّهٔ عُثمَانِیّه ).

The second Saudi state was established in 1824 AD and lasted till 1890 AD in central Arabia; when its last ruler Abdur Rahman Ibn Faisal Ibn Turki was defeated by Al-Rashids. Read more……

Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Saud (1876-1953) was the founding ruler of third Saudi State in Najd. He had fled and took refuge in Kuwait in 1890 along with his father Abdur Rahman and entire family when Second Saudi State was defeated by Al-Rashids.

In 1901, Abdul Aziz returned to Najd and with the help of Kuwaitis, recaptured Riyadh from Al-Rashids.

Later on, with the help of British Government, he established his hold on entire Arabian Peninsula over a period of 30 years. In 1932 he formally declared himself King.

These 30 years saw several hundred thousands Muslims killed, all traces of traditional Islam erased and over 60,000 sacred graves of Sahabah, members of Prophet’s (صلى الله عليه و آله وسلم) family destroyed and their pious bodies disposed off mysteriously by Abdul Aziz forces. In a nutshell, Islam was completely wiped out, Muslims totally vanished and Islamic Arabia was renamed as “Kingdom Saudi Arabia ( المملكة العربية السعودية‎)”. Read more ……..

Saudis did not stop at that. They gradually changed Ahadith books, misinterpreted Quranic verses and started massive Salafi Da’wa campaign in the world to legitimize their rule in the Arabian Peninsula. People say that the current plight of Muslims and their innumerable divisions in the world is mainly because of Salafi Da’wa carried out by the Kingdom spending billions of Petro-dollars wealth. Read more ……

The actual number of Princes and Princesses King Abdulaziz fathered are not known. Some historians say he fathered 37 or 40 princes and around equal number of princesses while some others say he fathered more than one hundred children. Among the women who gave birth to his children, 22 have been identified by historians who say that the number could be much higher than that. Read more…..

Historians have also mentioned that the personal life of the King was full of vice, with women, wine and wealth. He had unknown number of beautiful young women in his Harem and a large nursery of Princes and Princesses born to these women.

Be it King or pauper, Islam allows only 4 wives, that too on certain conditions. The children born to women used by the King for sex are known, in Islamic Law, as illegitimate forbidden children. There is harsh punishment for fornication in Islam. We all know, everyone has to pay for his evil deeds. There is no escape in Hereafter.

The King consolidated his authority ruthlessly, killing every Muslim who did not convert to Salafism and destroying the entire Islamic heritage kept intact for 1300 years by successive Muslim Governments. His forces wiped out the entire geography of Seeratun Nabi ( صلى الله عليه و آله وسلم). Read more …….

As an alternative to Islamic heritage, the National Museum at Riyadh built an elaborate pre-Islamic “art rock” helicoptered from Najd sands. In addition, many plush museum complexes such as Dar al-Malik Abdul Aziz, dedicated to the founding fathers of Saudi Kingdom, have now risen everywhere in the Kingdom. The Sauds’ goal is to erect gleaming, high-tech relics commemorating King Abdul Aziz and the ancestors of Saudi Royal family.

The other important goal of the Saud family is to eliminate the last remaining trace of Islam from Arabia, ie., the Green Dome of Prophet Mohammad ( صلى الله عليه و آله وسلم) along with his pious grave . Read more ……

It is reported that, during the last expansion of Prophet’s ( صلى الله عليه و آله وسلم) mosque in late 1980s, Saudis have structurally partitioned the Green Dome from the rest of the Mosque in preparation for razing it into rubble by a powerful dynamite.

A pamphlet published in 2007 by the Ministry of Islamic Affairs, Kingdom of Saudi Arabia and endorsed by their Grand Mufti reads: “The green dome shall be demolished and the three graves flattened in the Prophet’s ( صلى الله عليه و آله وسلم) Mosque.” The demolition of the Green Dome has already been checked off “to-do list”. Even the pious body of Prophet Mohammad ( صلى الله عليه و آله وسلم), who is ‘Rahmtul lil Aalameen for the worlds, along with the pious bodies of his two prominent companions is now slated to disappear under the rubble and dust. Allahu Akbar, Allahu Akbar.

We pray for Allah’s (سبحانہ و تعا لی) help to stop Saudis from eliminating Islam and humiliating Prophet Mohammad ( صلى الله عليه و آله وسلم) in this manner.

We hope followers of Salafism in the world will think about these undeniable facts and come back to the straight path of Islam for their own good in this life and in Hereafter. Read more ….

Income and Privileges of Saudi Princes

In late 1960s King Faisal issued a decree that every inch of the country that was not officially registered to a private individual belonged to the Saudi royal family. Thus the entire country is treated as private property of the Royal family.

The King distributed much of the land to royal family members. Princes sold some of the land back to the state and some to the public, but most they kept for themselves. Inside major cities or out in the remote desert, the country’s vast landmass remains private property of the Princes now numbering over 5000. They also treat entire Saudi oil revenues as their private wealth.

Watch this Video Clip
Every Prince is entitled to a monthly salary starting the date of his birth. The closer the relation to Late King Abdul Aziz, the higher is the salary. Like, immediate descendants of late King Abdul Aziz receive a 7 digit (millions) salary each month. The Princes are paid separate Salary for each of their official position. Like Prince Sultan bin Abdul Aziz, reportedly holds over 60 separate positions in addition to chairing dozens committees, entitling him to separate salary for every position. Governors are entitled to a special additional payment of SR 1 billion annually to be used at their discretion. In addition, every Prince is entitled to a Luxurious Private Palace or money to build the Palace of his choice, as well as cash from birth to buy expensive cars and other luxuries. Literally every thing is supplied to the Prince free from the State, like electricity, water, medical, security, education, etc. All State developmental contracts are essentially awarded to the companies owned by the Princes. Similarly, their business establishments and other incomes are free from State control and taxes. Anything coming into Saudi Arabia under the name of a Prince via Air or Sea is not checked by any Government Agency. Read more……

Daily Reckoning reports: “Not many people know that over 90% of Saudi oil comes from six oilfields discovered before 1970′s. Experts argue that these oilfields are now well past their prime. Ghawar oil field is the super giant and has provided 55-60% of Saudi oil over the past five decades! According to experts like Matthew Simmons, Ghawar is past its peak already and likely to enter into a major decline.” Rude Awakening comments: “Even the world’s largest oil producer may be running low on cheap oil”. Matthew Simmons, Chairman of Simmons and Company International, an investment bank specializing in oil industry says that “Saudi fields are aging much faster”. According to Simmons, “the Saudis need to strip water out of nearly every well and this is a sign that Saudi fields are aging much faster than the industry has planned for”.

Once Saudi oil reserves get more noticeably depleted the Saudi Royal family members have their pre-arranged asylum in the United States. Read more ……

Further Reading

Disturbing facts about Peace TV

Hadits Hadits : Sunnah Dzikir & Doa Setelah Sholat

Sunnah Dzikir Setelah Sholat


Masjid Jamek Sri Petaling, Bandar Baru Sri Petaling, Kuala Lumpur


Madrasah Miftahul Ulum Tahfidul qur’an dan ‘alim, Masjid Jamek Sri Petaling, Bandar Baru Sri Petaling, Kuala Lumpur


Majelis Khatam Bukhary 2006 – Madrasah Miftahul Ulum, Masjid Jamek Sri Petaling, Bandar Baru Sri Petaling, Kuala Lumpur

Para ulama sedunia telah sepakat bahwa sunnat hukumnya bagi kaum muslimin untuk melakukan dzikir setelah selesai sholat fardhu lima waktu. Bahkan, juga disunnatkan membaca dzikir-dzikir setelah selesai melakukan sholat-sholat sunnat. Ada banyak sekali hadis-hadis Nabi yang shahih berkenaan dengan dzikir setelah selesai melaksanakan sholat. Sedangkan lafazh-lafazh (bacaan-bacaan) dzikir yang diajarkan pun berbeda-beda satu dengan lainnya.

Dalil yang masyhur tentang dzikir dan doa setelah selesai sholat adalah hadis dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan: “Telah ditanyai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kapankah doa didengar (dimustajabkan) oleh Allah?” Rasul menjawab: “Doa yang dilakukan di tengah malam dan setelah selesai melaksanakan sholat fardhu lima waktu” (Hadis Riwayat Imam Turmidzi, hasan shahih).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menunjukkan kepada kita bahwa dzikir setelah selesai sholat itu sunnat hukumnya dan dilakukan dengan mengeraskan suara. Nabi dan para Sahabat melakukan dzikir dengan suara keras ini pada zaman Nabi masih hidup. Dengan demikian tuduhan bahwa berdzikir dengan suara keras adalah perbuatan bid’ah sama sekali tidak ada dasarnya. Malah perbuatan yang sunnah adalah mengeraskan suara saat berdzikir setelah selesai sholat lima waktu itu.

Ada juga sebahagian kecil kaum muslimin yang mengatakan bahwa jika selesai sholat fardhu orang-orang melakukan dzikir bersuara, maka hal ini akan mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang ingin melaksanakan sholat sunnat. Perkataan mereka itu hanya pendapat akal semata, dan tidak ada landasan hadisnya sama sekali. Sayangnya, meskipun hanya berdasarkan pendapat akal saja, mereka berani melarang orang untuk berdzikir dengan bersuara keras di masjid-masjid. Padahal kalau dilihat pada hadis Nabi, melarang orang melakukan dzikir dengan bersuara di masjid justru merupakan perbuatan yang melanggar sunnah Nabi, karena tidak didapati sepotong hadis pun yang Nabi melarang umat melakukan dzikir bersuara itu.

Perkataan mereka yang mengatakan dzikir itu mengganggu orang sholat sunnat juga keliru, sebab Nabi telah mengajarkan agar setelah selesai sholat fardhu, afdholnya kaum muslimin berdzikir terlebih dahulu, bukan langsung buru-buru melakukan sholat sunnat tanpa berdzikir terlebih dahulu. Tegasnya, dzikir setelah selesai sholat adalah perintah Nabi! Lantas bagaimana perbuatan yang hanya didasarkan pada pendapat akal dapat diterima, sampai dipakai pula untuk tmenggusur sunnah Nabi yang ada dalam hadis-hadis shahih…..?

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, saudara sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menceritakan sebuah hadis yang shahih. Hadis itu berbunyi, “Kami mengetahui Nabi dan para Sahabatnya telah selesai mengerjakan sholat fardhu di masjid dengan mendengar suara takbir mereka……”(Hadis Riwayat Bukhari Muslim). Dalam hadis yang lain, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Adalah berdzikir dengan mengeraskan suara setelah selesai mengerjakan sholat fardhu telah dilakukan pada zaman Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan aku mengetahui mereka telah selesai mengerjakan sholat fardhu itu karena mendengar suara dzikirnya itu.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim, Lihat kitab Al Adzkar Imam Nawawi, halaman 77).

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar suara Nabi dan Sahabat berdzikir sampai terdengar ke rumah beliau tentu karena suara dzikir itu keras. Jika dzikirnya tidak bersuara, bagaimana mungkin beliau mendengar suara dzikir tersebut? Saat mendengarkan suara dzikir Nabi dan para Sahabat, diyakini Abdullah bin Abbas saat itu masih kecil dan belum ikut sholat berjama’ah ke Masjid Nabawi.

Keterangan dalil berdzikir bersuara ini telah dibahas secara panjang lebar oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, dalam Kitab Fathul Bari, Syarah Hadis Bukhari, Jilid II, halaman 591-610. Dan seorang ulama salafy, Syekh Utsaimin pun sudah mengakui sunnah hukumnya berdzikir bersuara itu dalam kitab Ensiklopedi Bid’ah. Namun, meskipun demikian, jika ada yang mau mengerjakan dzikir itu tanpa bersuara, menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah masih merupakan amalan sunnah juga.

Beberapa bacaan-bacaan dzikir dan doa yang telah dibuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa hidup beliau, antara lain:

1. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan bahwa Rasulullah beristighfar (membaca astaghfirullahal ‘azhim) tiga kali setiap selesai sholat. Kemudian Nabi membaca doa, “Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya dzaljalali wal Ikram.” (Ya Allah Engkaulah Assalam, dan dari Engkaulah segala Keselamatan, Maha Mulia Engkau Wahai Yang Memiliki Keperkasaan dan Kemuliaan). (Hadis Riwayat Imam Muslim).
2. Dari Al Harits at Tamimi radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullah telah mengajarkan kepadanya secara diam-diam (berbisik): “Apabila engkau telah selesai mengerjakan sholat magrib, maka bacalah olehmu, “Allahumma ajjirni minannaar” (Ya Allah selamatkan aku daripada azab neraka) sebanyak 7 kali, karena apabila engkau mati pada malam itu ketika engkau telah membaca doa tadi, maka wajib atasmu apa yang kau minta itu. Apabila engkau selesai sholat subuh maka bacalah doa yang sama sebanyak 7 kali, karena sesungguhnya jika engkau mati di siang harinya, maka wajiblah atasmu apa yang engkau minta (yakni kebebasan dari neraka).” (Hadis Riwayat Muslim dan Abu Dawud).
3. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila telah selesai mengerjakan sholat dan memberi salam maka Beliau berdoa: “Laa ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa ‘ala kulli sya-in qadir.” (Tiada Tuhan yang disembah selain Allah, Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nyalah segala kekuasaan, dan bagiNyalah segala Pujian, dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa). (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Tetapi ada tambahan kalimat yuhyi wa yumit (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan), setelah kata wa lahulhamdu. Bacaan ini sudah biasa diamalkan oleh kaum muslimin di Indonesia selama ratusan tahun pula. Amalan dan tambahan kalimat itu dikutip dari Hadis Riwayat Imam Turmudzi, Hasan Shohih. Hal ini penting kami tuliskan karena ada segelintir umat Islam yang rajin menuduh bid’ah kepada orang yang menambahkan kalimat yuhyi wa yumit itu, padahal sebenarnya tambahan kalimat ini justru sunnah Nabi, bukan bid’ah!
4. Kemudian Nabi membaca doa: “Allahumma laa mani’a lima a’thaita, wa laa mu’thiya lima mana’ta wa laa yanfa’ul jad minkal jad.” (Ya Allah,tiada yang dapat mencegah akan apa yang telah Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi akan apa yang telah Engkau cegah. Dan tidak memberi manfaa orang yang memiliki kesungguhan, karena kesungguhan adalah dari Engkau. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
5. Kemudian Nabi juga ada membaca doa: ”La hawla wala quwwata illa billahi, la ilaha illah wa la na’budu illa iyyahu, lahunni’matul walfadhlu walahutstsina-ul hasanu, La ilaha illah mukhlishina lahuddina, walaukarihal kafirun.” (Hadis Riwayat Muslim). Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi menyuarakan takbir ini setiap selesai sholat lima waktu. Ini juga merupakan salah satu lagi dalil berdzikir bersuara (jahar) setelah sholat fardhu. (Lihat Al-Adzkar, Imam Nawawi halaman 77).
6. Rasulullah ada mengajarkan para shahabat yang miskin-miskin untuk melakukan dzikir setelah sholat fardhu: “Ucapkanlah olehmu, “Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar setelah selesai sholat fardhu sebanyak 33 kali”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadis ini lebih dijelaskan lagi dalam syarah hadis Abu Sholih yakni orang yang meriwayatkan hadis ini langsung dari Abu Hurairah bahwa cara mengerjakannya adalah sekaligus digabungkan/disatukan seperti ini: “Subhanallah…walhamdulillah…wallahu Akbar…semuanya total berjumlah 33 kali. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi telah bersabda: “Senantiasa tidak kecewa orang yang membaca dzikir setelah sholat fardhu dengan kalimat; Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali.” (Hadis Riwayat Muslim). Dzikir ini dibuat secara terpisah, tidak bergabung menjadi satu seperti amalan hadis yang sebelumnya.” Meskipun cara ini sedikit berbeda, namun tetap sunnah dan telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam hadis yang lain dikatakan setelah membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, maka hendaklah disempurnakan menjadi seratus kali dengan kalimat, ; “La ilaha illallah wahdahu laa syarikalah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir”. Maka siapa yang melakukan hal ini akan diampunkan Allah seluruh dosa-dosanya walau dosanya sebanyak buih di lautan. (Hadis Riwayat Muslim).
7. Dan diriwayatkan dalam kitab Ibnu Sunni oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu telah berkata dia: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai mengerjakan sholatnya, maka Beliau mengusap keningnya dengan tangan kanannya kemudian beliau membaca, “Asyhadu anlaa ilaaha illallah, arrahmaanurrahim, Allahummadz hib ‘annil hamma wal hazan.” (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani, Ya Allah buanglah daripadaku kegunda-gulanaan dan kesedihan).
8. Dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Nasai dari Mu’adz bin radhiyallahu ‘anhu: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memegang tanganku seraya Nabi bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Kemudian Beliau menyambung ucapannya lagi, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, janganlah engkau meninggalkan bacaan dzikir ini setelah selesai melakukan sholat. Ucapkanlah olehmu, “Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.” (Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingatMu dan bersyukur kepadaMu dan beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya).

Dalil alqur’an : 3 kerja Nabi ( Dakwah – Tazkiyatul qulub/Mensucikan Hati – Ta’lim/Mengajarkan ilmu & Hikmah)

A. Dalil alqur’an : 3 kerja Nabi ( Dakwah – Tazkiyatul qulub/Mensucikan Hati – Ta’lim/Mengajarkan ilmu & Hikmah)

kerja Nabi ada 3 :
1. Dakwah (menyampaikan ayat atau maksud dari ayat alqur’an)
2. Tazkiyatul qulub/Mensucikan Hati (dengan dzikir dan ibadat serta usaha khidmad (melayani dengan baik kepada diri sendiri, memuliakan ulama, menghormati orang lain dan mahluq Allah yang lain)
3. Ta’lim/Mengajarkan ilmu & Hikmah)

Dalil dalam alqur’an:

Al-Baqarah (2) : 129

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ

2.129. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan MEMBACAKAN kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Al-Baqarah (2) : 151

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ

2.151. Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang MEMBACAKAN ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Al-‘Imran (3) : 164

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

3.164. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang MEMBACAKAN kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Al-Jumu’ah (62) : 2

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

62.2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang MEMBACAKAN ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

Keterangan : Dalam kitab Muntakhab al hadits (Syaikhul Hadits Maulana Yusuf Rah.) mengatakan :

lafadz “yang MEMBACAKAN ayat-ayat-Nya kepada mereka” = maksudnya adalah para rasul mendakwahkan maksud dari ayat-ayat alqur’an dan mendakwahkan/metablighkan ayat-ayat alqur’an itu sendiri. ini disebut “kerja dakwah”

lafadz “mensucikan mereka” = disebut kerja tazkiyatul qulub (Mensucikan Hati (dengan dzikir dan ibadat serta usaha khidmad (melayani dengan baik kepada diri sendiri, memuliakan ulama, menghormati orang lain dan mahluq Allah yang lain))

lafadz “mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah” = usaha ta’im / belajar dan mengajar.

B. Tanggung Jawab/medan Dakwah Ummat Muhammad

1. Dakwah pada diri sendiri dan keluarga

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

[[66:6] Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS Attahrim ayat 6)

2. Dakwah kepada Jiran/tetangga, sahabat dan orang-orang dekat/kerabat

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

[26:214] Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (QS Asysu’ara 214)

3. Dakwah kepada Umat didaerah sendiri dan daerah lain

وَهَـذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ يُحَافِظُونَ

[6:92] Dan ini (Al Quraan) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quraan) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. (QS Al an’am 92).

4. Dakwah kepada Ummat diseluruh dunia

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

[3:110] Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali imran 110).

PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN DUA KALIMAH SYAHADAH – MURTAD : HUKUM – SEBAB DAN AKIBATNYA

BAB 2
PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN DUA KALIMAH SYAHADAH

FASAL PERTAMA: PENGENALAN

Barangsiapa yang berlaku kepadanya perkara yang membatalkan Dua Kalimah Syahadah, maka dia telah murtad iaitu keluar dari agama Islam atau putus dari ikatan agama Islam. Murtad termasuk dosa kufur yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah taala dan tidak ada lagi dosa yang lebih besar dari dosa kufur.

Bagi menyelesaikan masalah murtad tidak dapat tidak kita mesti mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan murtad. Oleh itu, seseorang yang mukallaf itu wajib mempelajari perkara yang boleh membatalkan Dua Kalimah Syahadah supaya dia tidak terjerumus ke dalam kancah murtad dan supaya dapat mengislamkan kembali mereka yang telah murtad. Ini kerana orang yang tidak mengetahui sesuatu kemudaratan tidak dapat menyelamatkan dirinya dan orang lain dari kemudaratan tersebut.

FASAL KEDUA: SEBAB-SEBAB MURTAD

Tiga perkara yang boleh menyebabkan seseorang itu murtad seperti yang telah diterangkan oleh para ulama di kalangan empat mazhab, iaitu: kufur i^tiqadiyy, kufur fi^liyy, kufur qawliyy.

Kufur I^tiqadiyy
Kufur i^tiqadiyy ialah kekufuran dengan sebab niat, pegangan, kepercayaan atau keyakinan dalam hati. Antara contoh kufur i^tiqadiyy ialah:
1) Ragu-ragu atau syak terhadap Allah dan rasul-Nya atau al-Quran atau hari Akhirat atau syurga atau neraka atau ganjaran-Nya atau balasan-Nya atau hukum-Nya atau syiar-Nya atau perkara yang telah diijmakkan (disepakati) oleh para ulama mujtahidin.
2) Kepercayaan bahawa alam ini azali pada jisim dan unsurnya atau unsurnya sahaja.
3) Menafikan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang telah diijmakkan seperti sifat Maha Mengetahui segalanya.
4) Mensifatkan Allah dengan suatu sifat yang tidak layak bagi-Nya seperti mensifatkan-Nya mempunyai jasad, bertempat, berakal dan seumpamanya.
5) Menghalalkan perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai halal dengan ijmak seperti zina, liwat, membunuh, mencuri, merompak, menyamun, arak, pergaulan bebas, pendedahan aurat dan seumpamanya.
6) Mengharamkan perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai halal dengan ijmak seperti berjual beli, nikah dan seumpamanya.
7) Menafikan kefarduan pada perkara yang diketahui di kalangan umat Islam sebagai wajib atau fardu hukumnya dengan ijmak seperti solat fardu atau salah satu daripada rukun-rukun solat (seperti sujud), zakat, puasa, haji, wuduk, menutup aurat dan seumpamanya.
8) Berniat atau berazam mahu menganut agama bukan Islam pada masa akan datang.

Perhatian: Lintasan hati tidak menyebabkan murtad kerana ia muncul di dalam hati tanpa kehendak seseorang.

Kufur Fi^liyy
Kufur fi^liyy ialah kekufuran dengan sebab perbuatan yang zahir meskipun tanpa niat untuk murtad, atau tanpa pegangan kufur di dalam hati. Antara contoh kufur fi^liyy ialah:
1) Sujud kepada berhala atau matahari atau bulan atau sesuatu selain Allah yang dianggap sebagai tuhan.
2) Sujud kepada manusia dengan tujuan menyembahnya.
3) Perbuatan menghina hukum atau syiar Islam seperti melempar mushaf al-Quran, kitab atau helaian yang mengandungi ayat al-Quran, hadis atau hukum-hukum agama Islam ke tempat yang jijik atau kotor.
4) Memakai syiar agama bukan Islam dengan tujuan berbangga atau kagum dengan agama bukan Islam tersebut seperti memakai rantai salib dan baju yang ada salib.

Kufur Qawliyy
Kufur qawliyy ialah kekufuran dengan sebab perkataan kufur yang diugkap dengan sengaja meskipun tanpa niat untuk murtad, atau tanpa pegangan kufur di dalam hati. Antara contoh kufur qawliyy ialah:
1) Memanggil seorang muslim yang lain: “Wahai kafir!” atau “Wahai Yahudi!” atau “Wahai Kristian!” atau “Wahai orang yang tiada agama” dengan maksud agama Islam yang dianut oleh muslim itu sebagai agama yang bersifat kufur, atau sebagai agama Yahudi, atau sebagai agama Kristian, atau sebagai bukan agama. Jika panggilan tersebut dengan maksud untuk menyamakan perbuatan jahat muslim tersebut dengan perbuatan orang kafir, atau orang Yahudi, atau orang Kristian, atau orang yang tiada agama, maka itu bukan suatu kekufuran.
2) Menghina, memperlekeh, merendah-rendah atau mempersenda-sendakan salah satu daripada sifat-sifat, nama-nama Allah, janji-Nya, ancaman-Nya, kitab-Nya, nabi-nabi-Nya, para malaikat-Nya, hukum-hukum-Nya, syiar-Nya dan seumpamanya.
3) Menafikan salah satu daripada sifat-sifat wajib bagi Allah dan para nabi-Nya.
4) Mensifatkan dengan sifat mustahil kepada Allah dan para nabi-Nya.

Perhatian: Lima keadaan perkataan kufur dikecualikan dari dihukumkan sebagai murtad, iaitu;
1) Keadaan tersasul: iaitu perkataan yang terluncur di lidah tanpa sengaja atau tanpa kehendak.
2) Keadaan hilang akal atau belum baligh. Namun, wajib ke atas kita menegah atau melarang orang yang hilang akal atau kanak-kanak tersebut dari mengungkapkan perkataan kufur.
3) Keadaan dipaksa dengan ugutan bunuh atau seumpama bunuh, iaitu dengan syarat; orang yang dipaksa itu masih lagi beriman di dalam hatinya, tidak meredai dan tidak beriktikad dengan perkataan kufur tersebut.
4) Keadaan menghikayatkan atau menceritakan perkataan kufur sama ada memulakan dengan menyatakan pihak yang berkata dengan perkataan kufur tersebut iaitu sebelum perkataan kufur, contohnya: “Golongan Wahhabi berkata: “Allah duduk di atas Arasy”, atau dengan menyatakan pihak yang berkata tersebut selepas perkataan kufur iaitu dengan berniat terlebih dahulu sebelum bercerita bahawa akan menyatakan pihak yang berkata itu selepas perkataan kufur tersebut, contohnya: “[Berniat bahawa akan menyatakan bahawa puak Wahhabi mengungkapkan perkataan kufur ini] Allah duduk di atas Arasy”. Kata puak Wahhabi”.
5) Keadaan seseorang yang mentakwil dengan ijtihadnya dalam memahami hukum syarak dalam perkara yang bukan qat^iyy. Contohnya golongan yang enggan membayar zakat pada zaman pemerintahan Sayyidina Abu Bakr dengan takwilan mereka bahawa zakat wajib dibayar pada zaman hayat Nabi Muhammad sallaLlahu ^alayhi wa-sallam kerana doa keampunan baginda buat mereka ketika membayar zakat adalah suatu ketenangan dan penyucian dari dosa buat mereka berdasarkan ayat 103 surah al-Tawbah.

Kaedah: Setiap pegangan, perbuatan atau perkataan yang menunjukkan penghinaan terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, para malaikat-Nya, hukum-Nya, syiar-Nya, janji-Nya atau ancaman-Nya adalah suatu kekufuran.

BAB 3
BERTAUBAT DARI DOSA MURTAD DAN
HUKUM BERKAITAN DENGAN MURTAD

PASAL PERTAMA: PENGENALAN

Bertaubat dari dosa adalah wajib ke atas setiap mukallaf, sama ada bertaubat dari dosa kecil dan dosa besar.

Riddah atau murtad adalah dosa besar yang sangat buruk dan amat keji. Kekejian dosa murtad ini dipandang dari sudut bahawa lantaran murtad maka segala pahala amal soleh yang pernah dilakukan sewaktu Islam dihapuskan, dan segala dosa yang pernah dilakukan pula masih kekal. Bahkan, selepas bertaubat dari dosa murtad segala pahala tersebut tidak dikembalikan semula dan dosa semasa sebelum murtad dan semasa murtad masih kekal.

PASAL KEDUA: TAUBAT DARI RIDDAH

Wajib ke atas sesiapa yang murtad untuk kembali segera kepada Islam dengan:
(1) mengucap Dua Kalimah Syahadah,
(2) meninggalkan sebab murtad tersebut,
(3) menyesal di atas dosa murtad, dan
(4) berazam tidak kembali kepada dosa murtad.

Syarat sah kembali kepada Islam ialah:
(1) tidak berazam untuk kufur pada masa mendatang, dan
(2) tidak ragu-ragu berkenaan azam tersebut.

FASAL KETIGA: HUKUM MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAH DAN PERKARA-PERKARA YANG BERKAITAN

*
Jika seruan asas Islam iaitu Dua Kalimah Syahadah sampai kepada sesiapa yang mukallaf, maka wajib ke atasnya menganut agama Islam, tetap dalam agama Islam dan beramal dengan syariat Islam.
*
Untuk menganut agama Islam, seseorang yang kafir wajib mengucap Dua Kalimah Syahadah berserta dengan iktikad yang benar lagi utuh.
*
Lafaz Dua Kalimah Syahadah tidak disyaratkan dengan lafaz yang dimulakan dengan lafaz ashhadu (أشهد) untuk mengesahkan kemasukan seseorang ke dalam agama Islam. Bahkan, boleh dilafazkan dengan ungkapan lain yang semakna dengannya meskipun bukan dalam bahasa Arab.
*
Kefarduan melafazkan Dua Kalimah Syahadah ke atas seluruh umat Islam kekal dalam setiap solat supaya solat menjadi sah menurut mazhab al-Shafi^i.
*
Orang yang membesar dalam Islam dan beriktikad dengan Dua Kalimah Syahadah tidak disyaratkan mengucap dua kalimah syahadah untuk menjadi orang Islam. Bahkan dia sebenarnya sudah menjadi orang Islam kerana dia telahpun dididik dan diasuh dengan aqidah tauhid.
*
Menurut ulama dalam mazhab Maliki bahawa Dua Kalimah Syahadah wajib diucapkan sekali seumur hidup ke atas setiap mukallaf setelah dia baligh dengan niat fardu. Ini kerana mereka tidak mewajibkan bacaan tahiyyat dalam solat, bahkan mereka menganggapnya sebagai sunat. Sedangkan menurut ulama dalam mazhab-mazhab yang lain seperti ulama mazhab Shafi^i dan mazhab Hanbali, dua kalimah syahadah diwajibkan dalam setiap solat supaya solat menjadi sah.
*
Iman dan Islam seseorang itu tidak sah dan segala amalan kebajikannya tidak diterima tanpa dua kalimah syahadah yakni tanpa iman yang benar.
*
Ucapan syahadah pertama wajib diiringi dengan ucapan syahadah kedua bagi mengesahkan keislaman seseorang yang mahu memeluk agama Islam. Itulah kadar minima untuk selamat dari kekal abadi di dalam api neraka.

PASAL KETIGA: HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN MURTAD

Hukuman Ke Atas Orang Murtad
Jika seseorang yang murtad itu tidak mahu kembali kepada Islam, maka:
(1) wajib memintanya bertaubat dari dosa murtad tersebut dan tidak diterima daripadanya melainkan Islam, atau
(2) wajib hukuman bunuh yang dilaksanakan oleh khalifah setelah ditawarkan untuk kembali kepada Islam.

Khalifah memuktamadkan hukum murtad dengan salah satu daripada dua perkara, iaitu sama ada:
(1) dengan pengakuan si murtad, atau
(2) dengan kesaksian dua lelaki yang adil.

Kesan Murtad Dari Sudut Hukum
(1) Puasa, tayammum dan nikah seseorang murtad itu adalah batal.
(2) Pernikahan seseorang yang murtad tidak sah meskipun dengan pasangan yang murtad sepertinya. Demikian juga pernikahannya juga tidak sah dengan pasangannya yang muslim, atau beragama Yahudi, atau beragama Kristian atau beragama berhala.
(3) Sembelihan orang murtad menjadi haram.
(4) Orang murtad tidak boleh mewariskan harta pusakanya dan tidak boleh menerima warisan daripada harta pusaka.
(5) Haram menyembahyangkan mayat orang murtad dan mengebumikannya di tanah perkuburan orang-orang Islam, serta tidak wajib memandikan dan mengkafankannya.
(6) Harta orang murtad yang telah mati menjadi fay’ iaitu menjadi milik Baytul-Mal untuk maslahah orang-orang Islam.

والله أعلم

Dengan pertolongan Allah risalah ini selesai disusun oleh al-Faqir ilaLlah Abu Nur al-Dununiyy
al-Muwariyy al-Ash^ariyy al-Shafi^iyy pada 1 Rabi^ul-Thani 1431 H (secara hisab tanpa ru’yah) bersamaan 17 Mac 2010 R di daerah Dungun, Terengganu Darul Iman.
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى ءاله وصحبه أجمعين
والحمد لله ربّ العالمين
http://al-masabihul-munawwirah.blogspot.com/

Fatwa Mufti Mesir: Hukum Menggantung Foto

Hukum Menggantung Foto

Menggantung gambar-gambar foto adalah satu kelaziman dalam masyarakat kita. Barang mana tempat kita pergi, baik pejabat, sekolah maupun rumah kediaman, kita akan melihat foto-foto digantung atau diletak di sana sini, baik foto para pemimpin negara atau foto-foto ahli keluarga. Jadi perbuatan menggantungkan gambar-gambar fotografi ini telah diterima oleh masyarakat kita, tanpa menafikan wujudnya perselisihan pendapat mengenainya. Apa yang zahir bahawa kebanyakan umat Islam di negara ini menerima pendapat yang mengharuskan gambar-gambar fotografi yang munasabah dan yang tidak menimbulkan fitnah. Pendapat yang mengharamkan secara mutlak akan gambar-gambar fotografi nampaknya tidak diikuti oleh masyarakat kita.

Di antara ulama yang memfatwakan keharusan memotret atau merakam gambar-gambar fotografi adalah mantan mufti Mesir, al-‘Alim al-‘Allaamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi`ie rahimahUllah dan pandangan beliau ini diutarakannya dalam karyanya berjodol “al-Jawaabul Kaafi fi ibahaatit tashwiiril futughafi.” Fatwa beliau juga diikuti oleh ramai ulama terbilang dahulu dan sekarang termasuklah Dr. Yusuf al-Qardhawi hafizahUllah. Sebaliknya, fatwa yang mengharamkannya pula juga didukung oleh sekelompok ulama dari berbagai aliran mazhab, baik dari benua kecil IndoPak maupun dari Timur Tengah. Setiap pihak mempunyai dalil dan hujjah masing-masing.

Oleh itu jika dihukumkan gambar foto itu harus dan bukannya haram, maka menggantungkannya pun diharuskan pada hukum asal. Namun jika ianya digantung untuk dipuja – umpamanya:- gantung pastu letak kalung bunga pastu kasi colok pastu mengadap simayang – pasti tiada kesangsian pada kejinya perbuatan tersebut dan haramnya, bahkan suatu kesyirikan atau yang menjurus kepada syirik. Namun kalau semata-mata menggantung, bukan dengan niat memuja atau memuliakannya, sebab yang menggantungnya itu orang Islam yang beriman, yang tidak sewajarnya kita berprasangka buruk kepadanya, kenapa harus ada prasangka jahat dalam benak kita untuk menuduh bahawa saudara kita yang beriman ini memuja gambar???? Jika begitu, apakah harus kita berprasangka bahawa setiap mukmin yang menggantung gambar pemimpin, baik pemimpin negara maupun parti, akan dianggap sebagai memuja-muja mereka melebihi Allah dan rasulNya? Sebenarnya, ia terpulanglah dengan niat dan tujuan masing-masing, jika baik niatnya maka baiklah balasannya dan jika jahat maka jahatlah pula jadinya, dengan mengambilkira keadaan foto tersebut juga.

Shohibus Samahah, Dr. ‘Ali Jum`ah hafizahUllah, mufti Mesir ditanyai mengenai hukum bagi seseorang menggantung foto ayah ibunya yang sudah wafat di tempat masuk apartment kediamannya agar sesiapa memasuki kediamannya dan melihat gambar tersebut akan mendoakan kedua mereka. Untuk melihat kepada pertanyaan dan fatwa tersebut silalah layari Darul Ifta` Mishriyyah di mana ianya telah dijawab oleh Shahibus Samahah Mufti dengan:-
Link

Tidak mengapa (yakni HARUS) hukumnya mengedar gambar-gambar fotografi atau menggantungkannya, samada gambar manusia maupun haiwan. Ini adalah kerana gambar fotografi hanyalah suatu upaya penahanan atau perakaman imej (yakni imej sesuatu itu ditangkap atau hanya dirakam dengan sejenis alat seperti kamera umpamanya). Maka tidaklah ada padanya usaha untuk menyaingi penciptaan Allah yang mana warid amaran bagi orang yang membuat lukisan (yakni imej yang ditahan atau dirakam itu tetap imej ciptaan Allah dan bukannya sesuatu yang dibuat oleh seseorang. Maka tidak timbul rekayasa si pelukis untuk mencipta sesuatu seolah-olah hendak menyaingi ciptaan Allah SWT). Ini adalah apabila foto tersebut bukannya foto bogel atau foto yang boleh menimbulkan fitnah. Yang dimaksudkan dengan “tashwir @ membuat gambar” yang diancam dalam hadits adalah pembuatan patung-patung yang sempurna bentuknya, di mana terdapat padanya upaya untuk seolah-olah menyaingi ciptaan Allah ta`ala. Oleh itu merakam gambar secara fotografi walaupun juga dinamakan sebagai “tashwir” tidaklah haram kerana tidak wujud `illah tersebut padanya dan sesuatu hukum itu bersama dengan illahnya sama ada wujud atau tidak. Merakam gambar fotografi pada hakikatnya hanyalah penahanan @ rakaman imej dan ianya tidaklah dinamakan sebagai “tashwir” melainkan secara majaz sahaja. Ketetapan bagi sesuatu hukum adalah berdasarkan kepada yang dinamakan dan bukannya pada namanya.

Dibina atas yang sedemikian dan sebagaimana yang ditanya, maka sesungguhnya perbuatan menggantung foto ayah dan ibumu tersebut menurut Hukum Syarak adalah HARUS kerana tujuan yang murni tersebut selagi mana foto ibumu itu layak dan sopan (yakni tidak mendedahkan aurat). Tidak menjadi masalah sama ada foto tersebut, foto imej yang sempurna ataupun tidak. Yang sedemikian itu bukanlah sesuatu yang diharamkan, jadi ianya tidaklah sebagaimana dikhabarkan sebahagian orang kepadamu.

Mudah-mudahan kita dapat faedah daripada fatwa Shohibus Samahah Mufti hafizahUllah. Kepada yang merasakan ianya tidak sebagaimana difatwakan, maka mereka berhak dengan pendapat mereka sebagaimana kita juga berhak untuk mengikut pendapat mana yang hendak kita jadikan pegangan kerana persoalan ini hanyalah berkaitan isu furu` fiqhiyyah yang tidak lepas daripada khilaf. Berlapang dadalah wahai saudara-saudara seagama, moga kita semua dirahmatiNya dan dapat beramal sholeh dengan aman tanpa gangguan suara-suara sumbang.

Bukti Kedustaan wahabi – wahabi bukanlah Salafi tapi penentang salafusshalih

Selain menimbulkan polemik tentang definisi bid’ah dan pembagian tauhid, golongan wahabi memang dikenal dengan sifat plin-plan dan kontradiksinya. Ini karena mereka seringkali tidak konsisten dalam mengambil sumber hukum. Walaupun mereka selalu berkata bahwa mereka mengambil dan mengikuti pemahaman manhaj salaf dalam masalah Aqidah dan Syari’at. Karena pada faktanya ketika ada fatwa seorang sahabat yang berbeda dengan “pemaham akal” seorang ulama wahabi, maka mereka cenderung mengambil pendapatnya sendiri dengan ‘mencampakkan’ fatwa sahabat tersebut, seperti pada kasus Ibn Baz dibawah ini. (beberapa contoh kasus ini diambil dari beberapa dialog antar golongan wahabi yang berbantahan dengan sebuah partai politik yang berideologi Islam di Indonesia dan ini merupakan gambaran berikutnya bahwa wahabi tak pernah harmonis dengan siapapun atau golongan apapun bahkan dengan sekte-sekte salafynya sekalipun).

Seseorang pernah menyusun buku tentang memelihara janggut. Didalamnya dia menyebutkan pendapat Ibn Hurairah, ibn Umar, maupun sahabat-sahabat lainnya tentang kebolehan memotong sebagian janggut jika panjangnya melebihi satu genggam. Maka Ibn Baz berkomentar : “Walaupun ini pendapat Abu Hurairah dan pendapat Ibn Umar, hanya saja yang didahulukan adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW” !! (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Jika seperti itu kenyatannya, lalu mana slogan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf Ash-Sholeh (Sahabat, tabi’in dan Tabi’ut tabi’in) ? Golongan wahabi ini dengan berani mengklaim’ bahwa ‘pemahaman Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk lebih baik dari pendapat dan fatwa para sahabat yang mulia ini ! Dan menyatakan bahwa mereka (para ulama salafi palsu) lebih mengetahui hadis Rasul SAW dibandingkan para sahabat yang mulia ini, yang senantiasa menemani, melihat dan mendengar perkataan, perbuatan, serta taqrir Rasul SAW !! Lalu dengan beraninya, ia berkilah lagi bahwa hadis itu belum sampai kepada Sahabat tersebut. Tapi malah sudah sampai pada Albani, Utsaimin, Ibn Baz dkk ? Seakan-akan golongan wahabi menyatakan bahwa para ulama salafi palsu ini mengklaim diri merekalah yang ‘lebih nyalaf’ dibandingkan para Salaf As-Sholeh itu sendiri !

Dan banyak lagi kasus ulama wahabi yang lebih mengunggulkan pendapatnya sendiri, ketika pada saat yang bersamaan terdapat pendapat dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in yang berbeda dengan pendapat mereka. Sebagaimana contoh berikut :

“ Pada suatu pelajaran, Abdullah Ibn Baz pernah menyatakan bahwa membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab dengan persyaratan. Sebagian mahasiswa yang mengikuti pelajaran itu berkata : “Wahai Syeikh, sebagaian Sahabat melarang hal itu !”. Beliau menoleh kepada Mahasiswa itu, lalu berkata : “Apakah perkataan Sahabat menentang Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Tidak berlaku pendapat siapapun setelah firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya“ (Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Lalu bagaimana bisa, golongan wahabi ini mengklaim mengambil manhaj Salaf dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman sahabat, sementara pada saat yang bersamaan menolak dan mencampakkan pendapat mereka ? Seraya melontarkan kata-kata keji yang menodai kemulian para Sahabat ini yang telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, dengan ucapan : “Hadis shahih ini belum sampai pada mereka’, atau ‘apakah anda akan memilih pendapat sahabat atau hadis Rasul SAW’ “!! Sehingga menurut orang-orang salafi palsu ini, seakan-akan mereka para sahabat ini adalah orang awam yang tidak pernah mendengar apalagi mendapat hadis dari Rasul SAW !

Cukuplah hadis Rasulullah SAW untuk menghakimi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka : “Jika anda melihat orang-orang yang mecela sahabatku, maka katakanlah; Laknat Allah atas keburukanmu” (HR. AT-Tirmidzi) !!!

Lalu bagaimana juga dibisa katakan bahwa hasil pemahaman akal Ibn Baz, Utsaimin, Albani dkk atas nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah selalu mewakili pendapat dan pemahaman Salaf atau dikatakan sebagaimana pemahaman para sahabat ?!, seperti yang dilakukan oleh Ibn Baz ketika ia mengomentari banyak persolan yang diulas oleh seseorang dengan menyebutkan , menurut madzhab ini begini dan menurut madzhab itu begitu. Lalu dia berkomentar : “Bagi kami tidak berpendapat berdasarkan madzhab ini dan madzhab itu. Kami berpendapat dengan firman Allah SWT dan sabda rasul SAW “(Majalah Hidayatullah edisi 03\\XVII\\Juli 2004; hal. 40-41).

Apakah para wahabiyyun itu tidak mengetahui, dari mana para ulama ahlussunnah ini mengambil pendapat madzhabnya ? Mereka mengambil pendapatnya dari Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll ! Kitab Al-Muwatho karya Imam Malik (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah, lalu Fathur Rabani-nya – Imam Ahmad Ibn Hambal yang berisi ribuan hadis nabi SAW, bahkan ketika beliau ditanya apakah seorang yg hafal 100 ribu hadis boleh berijtihad sendiri, Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Lalu beliau ditanya lagi : ‘apakah seorang yg hafal 200 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , Imam Ahmad menjawab : ‘Belum boleh’. Ketika beliau ditanya kembali : ‘apakah seorang yg hafal 400 ribu hadis boleh berijtihad sendiri’ , lalu Imam Ahmad menjawab : ‘boleh’. Bahkan Imam Abu Hatim sampai menyatakan bahwa mencintai Imam Ahmad adalah pengikut Sunnah. Abu Hatim berkata : “Jika anda lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As-Siyar A’lam An- Nubala’ 11/198).

Lalu apakah tidak boleh seseorang yang mengambil pendapat Imam Malik (yang menjadi pewaris madzhab Sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in); lalu Imam Ahmad (yang hafal 400 ribu hadis), imam syafii yg menulis kitab Al-Umm, Ar-Risalah (yang juga berisi ribuan hadis); dan Imam Abu Hanifah yg menulis kitab Al-Mabsuth dll (yang berisi juga hadis-hadis dan fatwa Salaf Ash-Sholeh) dan Ulama Mujtahid lainnya ?

Apakah ketika ada seseorang mengambil salah satu pendapat Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll dikatakan sebagai Ahlut Taqlid, sedang ketika wahabiyyun mengambil Albani, Ibn Baz, Utsaimin dll, disebut sebagai muttabi (pengikut) Manhaj Salaf ?! Lalu adakah salah satu ulama wahabi yang punya karya melebihi al-Muwatho Imam Malik, atau yg hafal hadis lebih dari 400 ribu seperti Imam Ahmad, atau kitab fiqh sunnah seperti Al-Umm atau Al-Mabsuth !!! Tidak ada !!! Lantas bagaimana kelompok sempalan ini bisa mengatakan hal seperti itu ? Sungguh ucapan seperti ini merupakan bentuk kekurang ajaran kepada para Ulama Mujtahid yg dilontarkan dari generasi terakhir yang sama sekali tidak mencapai barang secuilpun dari ilmu para Imam Mujtahid (yang sering sok tahu dengan mengklaim paling berpegang dengan madzhab Salaf !!!), dan pada saat bersamaan menuduh para ulama alussunnah yang mengambil pendapat para Imam Mujtahid sabagai Ahlut Taqlid. Padahal sebenarnya Imam Mujtahid inilah yang paling layak disebut sebagai pewaris madzhab Salaf dalam Aqidah dan fiqh karena dekatnya mereka dengan masa Sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin dan banyak ahli ilmu pada masa itu !

Tidak cukup sampai disini tatkala ada seseorang atau kelompok menukil atau mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hambal dll, yang berbeda dengan pemahaman seorang tokoh wahabi, maka serta merta kelompok sempalan ini biasanya akan mengatakan : “tinggalkan pendapat Syafi’i atau Hanafi, dan ambilah hadis shohih ini yang telah ditakhrij oleh Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah atau Adh-Dhoifah !” . Lalu seakan-akan wahabi menuduh Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali adalah ‘anak kemarin sore’ yang tidak tahu dalil, apalagi hadis shohih dan dhoif, lalu untuk memperkuat argumentasinya biasanya dinukil ucapan Para Imam Ini; spt Imam Syafi’i : “ Jika ada hadis shohih, maka tinggalkan pendapatku” atau ucapan Imam Hanafi atau Maliki yang serupa – (tentunya dengan pemahaman yang tidak pada mestinya dan merasa ‘ke pe-de-an’) !

Padahal, sebenarnya para Imam ini tetap berhujjah dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis, dimana yang membuat pendapat mereka berbeda bisa karena : perbedaan metode Ushul Fiqh untuk istimbath (mengekstaksi hukum-hukum dari dalil-dali syara), atau mereka berbeda dalam menghukumi apakah nash ini apakah sudah mansukh dan hukum yang baru ditentukan dengan nash yang lain, atau mereka berbeda tentang status keshahihan sebuah hadis atau sebab lain. Itupun jika wahabiyyun memang mau mencari Al-Haq dangan hujjah yang terkuat dan melepaskan ‘ruh ta’asub !!

Disisi lain, ulama wahabiyyun ini juga kadang melakukan penukilan ‘khianat’ dari para ulama tentang keharusan ‘mentahdzir’ (memberi hukuman) ahlul bid’ah yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya atau cara pemahaman mereka yang tekstual, padahal para ulama yang dinukil qaul-nya tadi, juga sebagian besar divonis sesat oleh ulama wahabiyyun !!! Imam Qurthubi, Imam Nawawi, AL-Hafidz Ibn Hajar, Imam Al-Hakim dll divonis menyimpang aqidahnya karena mereka asy’ari, tapi kitab mereka seperti tafsir al-qurthubi, Syarh shohih muslim, al-mustadrak, fathul bari dan karya Ibn Hajar yang lain tentang manakibur rijal al-hadis (biografi para perawi hadis), masih sering dinukil bahkan tidak jarang digunakan unutk menjustifikasi ‘pendapat mereka’ dan digunakan untuk ‘ menohok’ saudara sesama muslim. Apa itu bukan asal comot namanya ?! Seharusnya, ketika mereka sudah memvonis bahwa ulama tersebut berbeda aqidah dengan aqidah yang mereka peluk, mereka sudah tidak berhak lagi menukil dari karya-karya mereka !!! (tidak konsisten dan standard ganda seperti orang ‘bokek’, maka sepertinya wajar saja ada yang menyebut golongan ini sebagai ‘madzhab plin-plan’ !!!)

Bahkan jika memang kelompok salafi palsu ini berisi oleh ulama yang ‘pilih tanding’, buat saja tafsir yang selevel dengan milik AL-Qurtubi atau Ibn Katsier; atau buat kitab Jarh Wa Ta’dil atau Manakib Ar-rijal Al-hadis yang lebih baik dari karya Al-Hafidz Ibn Hajar atau Al-Hafidz Ibn Asakir dll; atau buatlah kitab hadis yang jauh lebih shohih dari Al-Mustadraknya Al-Hakim atau Kitab Shohihnya Ibnu Hibban, Mu’jamnya Ibn Hajar Al-Asqolani. Itupun kalau wahabi mampu !!!

Lalu siapakah Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk, jika dibandingkan dengan Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali ?! Padahal kepada mereka inilah (yaitu Imam Syafi’i dkk) para ‘warasatul anbiya’ kita mengkaji dan mengambil Al-Islam ini ! Ditambah lagi dengan mudahnya kelompok sempalan ini menuduh para ulama pengikut Madzhab Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi sebagai Ahlul bid’ah karena punya hasil ijtihad yang berbeda dengan kelompok mereka dalam memahami nash-nash syara’ atau bahkan dicap sesat bahkan disamakan dengan Mu’tazilah atau Jabariyah ketika mereka punya penafsiran yang berbeda terutama dalam masalah aqidah (biasanya dalam masalah Asma dan Sifat) . Padahal pada hakikatnya yang lebih pantas disebut sebagai penerus madzhab Salaf Ash-Sholeh adalah para Imam ini, seperti Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi, Al-Auzai, Hasan Al-Bashri dll dari para Mujtahid umat ini, karena dekatnya mereka dengan masa para Salaf Ash-Shalih dan telah terbukti mereka punya metode ushul fiqh; yang dengan metode itu mereka berijtihad dan melakukan istimbath untuk menjawab problematika umat pada masanya, sehingga umat Islam senantiasa terikat dengan hukum syara’ bukan dengan hukum yang lainnya ! Dan bukannya Albani, Utsaimin, dan Ibn Baz atau selain mereka, kecuali mereka bisa menunjukkan metode Ushul Fiqh yang jauh lebih unggul dari para Imam Mujtahid ini !!!

Klaim bahwa wahabiyyun mengikuti pemahaman para sahabat itu terbukti kelemahannya, karena tidak ada satu riwayatpun yang shahih – yang menceritakan kepada kita bahwa para sahabat atau salah seorang diantara mereka membukukan metode mereka dalam memahami nash-nash syara’ (metode Ushul Fiqh), kecuali sebagian riwayat yang menjelaskan tentang fatwa sahabat dan tabi’in dalam beberapa masalah seperti yang banyak dicantumkan oleh Imam Malik dalam Kitabnya ‘Al-Muwatho’. Malah ternyata mereka hanya mengikuti pemahaman Albani, Ibn Baz, Utsaimin dkk. Bukannya ini taqlid buta ?! Atau ‘memaksakan’ berijtihad sendiri ?!

Pertanyaannya adalah : dari mana kelompok salafi palsu ini mengklaim mengetahui cara para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin ini memahami Al-Quran dan As-Sunnah, padahal mereka (para Sahabat) tidak pernah membukukan metode tersebut ?!!

Jawabnya mudah; baca kitab Ar-Risalah dan Al-Umm-nya Imam Asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali (menurut sebagian Ulama dan sejarawan Islam) yang membukukan metode tersebut (yang kemudian dikenal dengan metode Ushul Fiqh) !!! Yang selanjutnya digunakan ulama-ulama sesudahnya sebagai patokan dan pedoman untuk memahami nash-nash syara dari Al-Kitab dan As-Sunnah !!! Hal sama juga akan kita dapati jika kita mengkaji kitab Fiqh Al-Akbar-nya Imam Abu Hanifah, Al-Muwatho-nya Imam Malik, Fathur Rabani-nya Imam Ahmad Ibn Hambal dll ? Jadi, bukan atas fatwa Albani, Ibn Baz dan Utsaimin !!! Dan ternyata para wahabiyyun banyak terpengaruh kitab-kitab karangan ulama wahabi ini serta ulasan-ulasan mereka mengenai kitab-kitab karangan para Imam madzhab sebagaimana pemikirannya sendiri bahkan dengan kebusukan mereka memalsukan isi-isi kitab klasik karangan para ulama salaf !!!

Lalu dari mana para Imam ini merumuskan metode Ushul Fiqh, kalau tidak dari pendahulu mereka yang mulia, mengingat masih dekatnya masa mereka dengan masa para Salaf Ash-Sholeh tersebut (banyak yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik masih termasuk Tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan banyaknya Ahli Ilmu pada masa itu ?! Apalagi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karya-karya mereka seperti Al-Umm, Ar-Risalah atau Fathur rabbani – Musnad Imam Ahmad diakui oleh jumhur ulama pada masa itu. Bahkan Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’ tabi’in di Madinah.

Walhasil, yang pantas disebut sebagai penerus Salaf Ash-Sholeh dan berjalan diatas manhaj salaf serta mengerti pemahaman para sahabat adalah mereka yang mengikuti metode Ushul Fiqh yang telah dirumuskan oleh Para Imam Mujtahid ini, untuk menggali hukum dari nash-nash syara’ guna menjawab problematika kontemporer umat saat ini, agar seperti pendahulunya mereka senantiasa terikat dengan Syari’at Islam.

Lalu sekarang darimana wahabiyyun bisa buktikan, bahwa metode yang mereka gunakan itu adalah metode yang sama dengan yang digunakan para salaf ini ? Sedangkan wahabiyyun tidak punya metode ushul fiqh baku yang di-ikuti dalam berijtihad, apalagi membuktikan kalau metode itu berasal dari para Salaf Ash-Sholeh ini !

Selanjutnya, tentang ulama-ulama wahabi yang diaku sebagai Ulama Hadis, apakah memang benar realitanya seperti itu ? Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu !!!

Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis.

Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, lalu berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan perhiasan lu’lu dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni), dan ia hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan, maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas dan jauh dari menyandang gelar seorang Muhaddis. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al- Sakhowi, juz 1\\hal. 40-41). Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk ghuluw) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk) dengan syeikh-syeikh wahabi yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih ?

Sekarang kita tinggal tanya saja pada pengikut, simpatisan, dan korban doktrin wahabi ini; apakah masih menganggap Albani sebagai muhaddits, atau utsaimin telah keluar dari kontradiksinya tentang bid’ah, atau masih mengikuti ulama-ulama mereka yang selalu mengeluarkan fatwa-fatwa nyeleneh yang membuat kemarahan muslim sedunia ? Atau hanyalah pentaqlid buta ulama wahabi yang berlindung dibalik ketiak raja saudi ?! Jika pernyataan-pernyataan diatas ini masih dianggap kurang, padahal sudah jelas pengungkapan faktanya, jangan-jangan mata hati dan pikiran kalian sudah tertutup untuk melihat kebenaran (al-haq) diluar kelompok kalian karena ‘ruh ta’ashub’ sudah mengalir dalam urat nadi kalian !!! Namun jika kalian berusaha untuk mencari kebenaran yang haq tanpa menafikan informasi dan ilmu dari luar (objektif), tanpa adanya syak prasangka yang jelek (su’udzon), tanpa rasa benci pada seseorang apalagi ia seorang ulama, insyaAllah hidayah menuju pintu kebenaran akan terbuka.