Dalil Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita

Dalil Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita

Bismillah …

A. Dalil Dalam Al quran
dalilnya adalah QS Annisa 43, dan QS Al Maidah 6.

1.  An Nisa(4):43

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Arti An Nisa(4):43 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari  buang air (al-ghaith) atau kamu telah sentuh-menyentuh perempuan (al-mulamasah), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Keterangan :

Lihat bagaimana pentafsiran imam Asy-syafei dalam Kitab Al-Umm  bab wuddlu bagian :  “wudlu dari al mulamasah (sentuh-menyentuh) dan air besar (al ghaith)”
….. (An Nisa(4):43 ).
Maka serupalah bahwa Ia (Allah)  mewajibkannya wudlu dari al- ghaith (air besar atu berak) dan Ia (Allah) mewajibkannya dari sentuh -menyentuh ( al -mulamasah).
Allah ta’ala menyebutkan al-mulamasah itu bersambaung dengan al- ghaith, sesudah menyebutkan al-janabah (junub). Maka serupalah al-mulamasah bahwa adalah dia itu sentuhan dengan tangan. Dan Pelukan itu bukan al-janabah.

Dikabarkan kepada kami oleh malik dari ibnu syihab, dari salim bin Abdullah, dari ayahnya, yang mengatakan : “Pelukan lelaki akan isterinya dan menyentuhkannya dengan tangannya itu termasuk al-mulamasah. Mka siapa yang memeluk isterinya atau menyentuhkannya dengan tangannya, maka haruslah ia berwudhu kembali”

Telah sampai kepada kami dari ibnu mas’ud, yang mendekati dengan makana ucapan ibnu umar : ” Apabila seorang lelaki membawa tangannya kepada isterinya atau sebagahian tubuhnya kepada isterinya, yang tiada berlapik di antara dia dan isterinya, dengan nafsu berahi atau tiada dengan nafsu birahi, niscaya wajiblah ia berwudlu dan juga isterinya berwudlu kembali.

Demikian juga, kalau  isterinya menyentuhkannya. Maka wajiblah ia berwudlu kembali dan juga isterinya berwudlu kembali. Samalah pada demikian itu semua.
Artinya :
Mana saja dari badan keduanya tersentuh kepada yang lain, apabila yang lelaki menyentuh kepada kulit yang wanita atau wanita menyentuh kepada kulit lelaki, dengan sesuatu dari kulitnya.
Apabila lelaki menyentuh dengan tangannya kepada rambut wanita dan tidak menyentuh kulitnya, maka tidaklah wudlu atas lelaki itu. Adalah ia dengan nafsu birahi atau tidak dengan nafsu birahi, sebagai mana ia bernafsu kepada isterinya dan ia tidak menyentuhkannya. Maka todak wajib ia berwudlu kembali. Tidak ada makana nafsu birahi itu, karena dia itu didalam hati. Hanya baru bermakna, bila dengan perbuatan. Dan rambut itu berbeda dengan kulit.
Kalau orang itu lebih menjaga, lalu berwudlu kembali apabila ia menyentuh rambut wanita, niscaya adalah yang demikan itu lebih aku sukai (memandangnya sebagai sunat).

Kalau ia menyentuh dengan tangannya, akan apa yang dikehendakinya di atas badan wanita, dari kain yang tipis, yang belum diapa-apakan lagi atau sudah dipotong atau lainnya atau kain yang tebal tenunannya, dengan pmerasa kelazatan atau tidak ada kelazatan dengan sentuhan itu dan diperbuat juga oleh wanita yang demikian, niscaya tiaaklah wajib atas salah seorang daripada keduanya berwudlu kembali. Karena Masing-masing dari keduanya tidak menyentuh temannya. Hanya ia menyentuh kain temannya.

Rabi Berkata : “Aku mendengar Asy-syafi’i berkata : “Menyentuh itu dengan tapak tangan. Tidaklah engkau melihat, bahwa Rasulullah SAW melarang dari al-mulamasah?”.
Berkata Penyair :
Aku sentuhkan tapak tanganku dengan tapak tangannya.
Aku mencari kekayaan.
Aku tidak tahu, bahwa kemurahan dari tapak-tangannya,
adalah mendatangkan kesakitan.

Maka tiadalah aku memperoleh faidah daripadanya.
Dan tiada orang yang kaya itu memberi faidah.
Ia menjangkitkan penyakit kepadaku.
Lalu aku menaburkan, yang ada padaku.

(Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur, 1989)

2. Almaidah (5) ayat 6 :

6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur…..

Keterangan Tafsir ayat diatas :

– ayat itu merupakan dalil bahwa bersentuhan dg kaum nisa mestilah berwudhu atau bertayammum bila tak ada air, cuma para Imam berikhtilaf dalam makna ayat : “jika kalian menyentuh kaum wanita”, :
Imam syafii berpendapat yg dimaksud menyentuh ini ya menyentuh kulitnya,

Imam Ahmad bin hanbal berpendapat yg dimaksud adalah “menyentuh” adalah Jimak,
dan Imam Ahmad bin hanbal berhujjahkan dengan hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)

– Imam Syafii tetap berpendapat bahwa bersentuhan itu adalah bersentuhan kulit, dan hadits Aisyah ra itu dhoif dan tak bisa dijadikan dalil, pun bila itu dijadikan dalil maka hal itu adalah kekhususan bagi nabi saw.

– Imam Ahmad bin hanbal dan Imam malik berpendapat bahwa bersentuhan dg wanita bukan muhrim bila tanpa syahwat tidak batal wudhu dan menjadikan hadits dhoif diatas sebagai sandaran dalil.

– Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat menyentuh wanita tak membatalkan wudhu. (Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maraam Juz 1 hal 129)

B. Hadits Rasululloh SAW yang mendukung pendapat imam syafei, yakni


1) “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)

2) Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil)

3) Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’

4) Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Semua pihak, terutama 4 imam besar, mendukung hal ini tanpa penolakan sedikitpun.
Pada umumnya, yg memegang pendapat ini adalah mazhab Syafei, mazhab Az-Zuhri, ‘Ata’ bin As-Sa’ib, Al-Auza’ie.

C. Hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits diatas dan penjelasannya

1) Aisyah istri Nabi saw. berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah dengan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, beliau mendorongku. Lalu, aku menarik kedua kakiku. Apabia beliau berdiri, aku memanjangkan kembali kedua kakiku.” Aisyah menambahkan, “Pada waktu itu tidak ada lampu di rumah.” (Hadits dhoif)

keterangan :
hadits itu dhoif, dan sebagian pendapat menafsirkan bahwa saat itu Rasul saw menyingkirkan kaki Aisyah ra dengan menyentuh bajunya dan bukan kulit terbuka,

2) hadits Aisyah ra yg mengatakan bahwa nabi saw mencium diantara istrinya lalu keluar menuju shalat tanpa berwudhu lagi”. (Tapi Hadits ini dhoif, hadis ini didhoifkan oleh Imam Bukhari, dan hadits lainnya yg riwayat Attaimiy adalah mursal, ia telah tertolak untuk dijadikan hujjah.)

keterangan :
ada pula yang menshahihkan hadits ini mengatakan bahwa Rasul saw mencium istrinya, tetapi penafsiran para Muhaddits berbeda beda, sebagian pendapat mengatakan itu adalah kekhususan Rasul saw sebagaimana beberapa kekhususan Nabi saw yg boleh menikah hungga 9 istri, karena beliau saw ma;shum, dan tidak diizinkan bagi selain beliau saw,

pendapat lainnya bahwa hal itu untuk umum, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, pendapat lainnya mengatakan bahwa bersentuhan dg syahwat membatalkan wudhu jika tidak maka tidak,. pendapat lain mengatakan bahwa jika menyentuh maka batal, jika disentuh (bukan kemauannya atau tanpa sengaja) maka tidak batal.

namun Madzhab Syafii mengatakan bersentuhannya pria dan wanita yg bukan muhrimnya dan keduanya dewasa dan sentuhan itu tanpa penghalang berupa kain atau lainnya maka membatalkan wudhu, bersentuhan suami dan istri batal wudhu, demikian dalam madzhab kita.

D. Catatan

– jangankan menyentuh wanita yang halal dinikahi (termasuk istri) tanpa ada pembatas… akan membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan (farji) dan dubur sendiri dengan menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih) tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fathul qarib, fiqh madzab syafei)


– juga menyentuh kemaluan/dubur binatang/anak kecil/mayat manusia menggunakan bagian depan telapak tangan (yang berwarna putih) tanpa ada pembatas ………juga membatalkan wudhu (kitab fthul qarib, fiqh madzab syafei).

– Dalam Madzab syafei, khusus  pada saat haji di masjidil haram menyentuh wanita tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu (pengecualian).

– wanita menyentuh sesama wanita tanpa pembatas, tidak membatalkan wudhu (karena satu jenis) . lelaki menyentuh sesama lelaki tanpa pembatas juga tidak membatalkan wudhu

– mari ngaji fiqh sunni madzab syafei….jgn ngaji haidts tanpa dasar fiqh “imam mujtahid” bisa-bisa ente jadi “mujtahid mutlak yang sbenarnya belum layak jadi mutjahid” yang ahirnya sesat dan mnyesatkan seperti JIL dan wahaby

wallahu a’lam
wajib bagi yang belum mujtahid….mengikut pada imam mujtahid

Abu Haidar

Alumni Ponpes Darussa’adah – Jl Punawirwan 7 Bandar Lampung – Indonesia
https://salafytobat.wordpress.com/


Rujukan :

– Jawaban Syaikh Habib Munzir Al-Musawa, Majelis Rasulullah http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=10739&catid=8

– (Kitab Al-umm (kitab induk), Al- imam Asya-syafi’i R.A., Jilid I Halaman 54-55, Penerbit Victory Agencie Kula Lumpur, 1989)

– Kitab shahih Bukhari

– Kitab Shahih Muslim

– Tafsir jalalain, Beirut

*Sifat wudhu Nabi Vs Sifat wudhu wahaby/salafy

Sifat wudhu Nabi Vs Sifat wudhu wahaby/salafy

Oleh : Abu Haidar

https://salafytobat.wordpress.com

Dalam risalah ini akan dibahas sifat wudhu Nabi menurut imam para mujtahid ahlusunnah waljamaah yang mereka berguru langsung dengan murid-murid terbaik para sahabat nabi (tabi’in) yaitu imam 4 madzab ahlusunnah yang masyhur. JIka kita gali fatwa-fatwa mereka maka akan kita dapati ayat , hadits dan dasar-dasar hukum islam yang menyokong fatwa imam 4 madzab ini.

Ahlusunnah palsu (yang mengaku mengikut Nabi langsung tanpa ada sanad) yang sanad ilmu mereka sama sekali tidak bersambung sampai Nabi dan Sahabat. Ahlusunnah palsu yang ilmu mereka tidak bersanad ini bahkan mengaku-ngaku sahabat Nabi atau kaum salafy, padahal salafy adalah kurun/zaman para sahabat bukan madzab ataupun manhaj. Manhaj ini adalah buatan badwi najd yang hidup lebih dari 13-14 abad dari masa sahabat. Mengaku bermadzab/bermanhaj salafy adalah bid’ah ahir zaman yang belum pernah ada sebelumnya!!!.

Ini adalah kesesatan wudhu wahaby/salafy menurut ahlusunnah, jika anda lebih teliti lagi maka mungkin akan mendapati kesesatan yanmg lebih banyak….wallahu a’lam.

(Pasal)

Di antara syarat-syarat shalat adalah wudlu [1].

Rukun-rukun wudlu ada 6 menurut ahlusunnah

1. Niat bersuci

untuk shalat atau selain shalat –dari niat-niat yang mencukupi- ketika membasuh muka (dalam madzhab Syafi’i niat ini diucapkan bersamaan dengan saat membasuh muka tersebut, sementara dalam madzhab Malik niat tersebut dapat mencukupi walau diucapkan sesaat sebelum membasuh muka).

_______________

Kesesatan wudhu wahaby :

Wahaby Tidak memasukan niat dalam rukun wudhu [2].

Adapun sebagian mereka yang beniat tapi tidak bersamaan dengan membasuh muka. Padahal imam syafei dan imam malik mengatakan bahwa niat harus bersamaan dengan amal (mu’tarinan bil ‘amal). Imam maliki memberikan kelonggaran bahwa niat masih mencukupi walau sesaat sebelum membasuh muka, tapi kaum wahaby menentang pendapat imam ahlusunnah tersebut!!

___________________________

2. Membasuh seluruh wajah,

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

Artinya : “Maka basuhlah mukamu.” (Al-Maidah-6).

Yang termasuk wajah dari tempat tumbuh rambut (bagian atas) hingga ke dagu dan dari anak telinga (kanan) nya hingga ke anak telinga (kiri) nya, baik kulit maupun rambutnya (yang ada pada wajahnya), dan tidak (wajib) membasuh bagian dalam jenggot dan jambang yang lebat (sampai tidak terlihat kulitnya).

-Sedangkan Berkumur atau beristinsyaq adalah sunnah bukan termasuk rukun wajib dalam wudhu, sehingga berwudhu dengan Berkumur atau beristinsyaq pada waktu berpuasa adalah makruh (lebih baik ditinggalkan jika sedang berpuasa).
__________________
Kesesatan wudhu wahaby :

– Wahaby menjadikan Berkumur atau beristinsyaq adalah rukun wajib dalam wudhu sekalipun ia sedang berpuasa wajib. Dan Tidak syah jika tidak berkumur atau beristinsyaq karena mereka menganggap bagian Dalam (rongga) hidung dan mulut termasuk bagian dari muka[2].

________________

3. 3. Membasuh kedua tangan beserta kedua sikunya dan segala apa yang ada di atas keduanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”(Q.S Al-Maidah:6).

4. 4. Mengusap kepala atau sebagiannya sekalipun satu rambut yang berada di bagian kepalanya [1].

Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

Artinya : “Dan sapulah kepalamu.” (Al-Maidah-6)

– Membasuh kepala dan telinga menurut imam syafei adalah dengan menggunakan air yang baru (bi maa-in jadidin), tidak sekaligus membasuh kepala dgn membasuh telinga dalam satu usapan.

– Imam syafei dan imam lainnya disunnahkan membasuh semua anggota wudhu tiga kali termasuk membasuh kepala dan telinga, sebagai mana dalam hadits :

Dari utsman ibn affan ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Mana-mana hamba yang berwudhu dgn sempurna yakni membasuh smua anggota wudhu tigakali – tiga kali dengan baik, Allah SWT mengampunkan baginya dosa-dosa terdahulu dan akan datang (rawahulbazaru warijaluhu mautsiquuna wa haditsu hasan)

Dari ibn ‘umar ra meriwayatkan bahwa nabi SAW bersabda “barangsiapa berwudhu dgn membasuh sekali saja pada tiap-tiap anggota wudhu, maka dia telah menyempurnakan perkara yang wajib keatasnya. Barangsiapa yang membasuh dua kali- dua kali pada setiap anggota wudhunya, dia mendapat bagian pahala ganjarannya. Barangsiapa yang membasuh tiga kali-tiga kali pada setiap wudhunya, maka ini adalah wudhu’ku dan wudhu’ para ambiya sebelumku (HR musnad ahmad 2/97). [3].

__________________

Kesesatan wahaby/salafy :

Wahaby Membasuh kepala dan telinga langsung (membasuh kepala dilanjutkan dengan mengusap telinga dalam satu kali basuhan) [2] .

padahal menurut imam syafei : membasuh kepala dan telinga adalah dipisahkan dan dengan air yang baru (bukan mengusap kepala dan telinga sekaligus dalam satu basuhan).

Wahaby Mengharamkan membasuh kepala dan telinga tiga kali [2], jadi bertentangan dengan pendapat imam madzab dan hadits nabi yang disebutkan diatas.

_________________

5. Membasuh dua kaki dan mata kakinya atau mengusap khuffi apabila telah sempurna syaratsyaratnya.

berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya : “ Dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (Al-Maidah-6).

6. Mengerjakannya dengan susunan di atas atau tertib [1].

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”(Q.S Al-Maidah:6)

Dan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam mengurutkan wudhu beliau sebagaimana cara ini dan beliau bersabda :

(Yang) Artinya : “ Ini adalah wudhu yang Allah tidak akan menerima shalat kecuali dengannya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan lainnya) (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar (419)[1/250];Abu Ya’la didalam Al Musnad nomor (5598); dan Ad Daruqutni (257)[1/83].

Sunah-sunah wuduk menurut ahlusunnah seperti telah difatwakan oleh imam syafei dalam kitab ‘iyanauthalibin :

1. Membaca basmalah

2. Membasuh kedua-dua tangan hingga pergelangan tangan.

3. Berkumur-kumur

4. Memasukan air ke dalam hidung (istinshaq).

hadits dalil bahwa rongga hidung dan mulut bukan anggota wajib wudhu tapi hanya sunnah dalam wudhu :

Diterima dari Laqith bin shabrah bahwa Nabi SAW bersabda : ” Jika engkau istinsyaq – membersihkan rongga hidung- maka sampaikanlah sedalam-dalamnya kecuali engkau berpuasa” (HR ash-habus Sunan dan menurut Tirmidzi Hadist ini Hasan lagi Shahih)
5. Menyapu air pada seluruh kewasan kepala.

6. Menyapu air pada kedua belah telinga (dengan air yang baru).

7. Menyelati janggut dengan anak jari.

8. Menyelati semua anak jari tangan dan kaki.

9. Mendahulukan basuhan dgn anggota sebelah kanan.

10. Membasuh angota wudhuk 3 kali.

11. Melebihi had basuh ketika membasuh muka, kaki dan tangan.

12. Membaca doa selepas berwudhuk.

(Pasal)

Hal-hal yang membatalkan wudlu:

1. Sesuatu yang keluar melalui qubul dan dubur selain mani (sperma).

2. Menyentuh qubul manusia atau lubang dubur dengan telapak tangan tanpa kain (penghalang).

3. Menyentuh kulit wanita lain (wanita yang boleh dinikahi) [1].

_________________

Kesesatan wahaby/salafy :

Wahaby menyatakan menyentuh kulit wanita (yang boleh dinikahi) tidak batal, bahkan menyentuh kulit atau mencium pelacur atau wanita yang belum syah menjadi istri pun tidak batal

_______________

4. Hilang akal, tidak termasuk tidur dalam keadaan duduk yang tetap di tempatnya [1].

(Pasal )

Alat Untuk Bersuci

Jelasnya, alat–alat untuk bersuci itu ialah:

1. 1. Air mutlaq, iaitu air semata-mata tanpa disertakan dengan sesuatu tambahan atau sesuatu sifat. – Ahli fiqh bersepakat mengatakan harus bersuci dengan air yang suci (mutlaq) sebagaimana firman Allah:

025.048 وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Maksudnya :
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa khabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih “.

Air mutlaq ini terbahagi kepada beberapa bahagian:

o Air yang turun daripada langit. Ia terbahagi kepada tiga, iaitu air hujan, air salji yang menjadi cair dan air embun.

o Air yang terbit daripada bumi. Ia terbahagi kepada empat, iaitu air yang terbit daripada mata air, air perigi, air sungai dan air laut[ 4,5,6].

Pengertian Air Mutlak dalam mukhtasar Harari :

Air yang digunakan harus suci dan mensucikan atau disebut air mutlak

yaitu air yang tidak tercabut namanya (dari status air mutlak) disebabkan tercampur dengan benda suci lain yang semestinya dapat dihindarkan darinya seperti : susu, tinta, dan yang serupa

dengan keduanya. Kalau air yang tercampur itu berubah sehingga tidak lagi disebut air mutlak

(dengan adanya keterangan khusus di bagian belakang seperti air susu misalnya) maka tidak sah

untuk bersuci. Adapun jika air berubah karena sesuatu yang tidak memungkinkan (sulit) untuk

dihindarkan darinya seperti berubahnya air karena sesuatu yang ada di tempat air tersebut atau

tempat mengalirnya atau yang semacamnya yang sulit menjauhkan air tersebut darinya maka tidak apa-apa (boleh digunakan) dan air tersebut tetap suci. Disyaratkan juga air yang digunakan untuk bersuci tidak berubah disebabkan najis walaupun perubahannya hanya sedikit. Jika kadar (volume) air tersebut kurang dari dua qullah, maka disyaratkan tidak terkena najis yang tidak

dimaafkan, dan syarat kedua air tersebut tidak musta’mal (telah digunakan) untuk mengangkathadats atau menghilangkan najis [1,7].

Dalam kitab kumpulan fatwa imam nawawi (majmu’) menyebutkan bahwa : Air yang telah digunakan pada basuhan wudhu yang pertama adalah musta’mal dan tidak boleh digunakan untuk berwudhu kembali!. Sedangkan air musta’mal ini jika bercampur dengan air yang jumlahnya kurang dari dua kullah maka tidak boleh digunakan untuk bersuci (air berubah jadi musta’mal) [8].

_________________________

Kesesatan wahaby/salafy/darul hadits :

– Mereka tidak bahkan menyesatkan pembagian air semacam ini

sehingga tidak heran kalau mereka berwudhu dalam air satu gayung/ember kecil yang volumenya tidak sampai 2 kulah pun, (mengkobok atau memasukan tangan untuk membasuh anggota wudhu, air sehingga pada basuhan wudhu petama ikut jatuh dan terambil kembali dalam basuhan berikutnya), maka menurut ahlusunnah wudhu dengan cara mnegkobok air yang jumlahnya tidak sampai 2 kullah tersebut adalah tidak syah!.

______________________

2. 2. Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu [4,5,6, & 7]. Firman Allah:

004.043 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
(Surah Al-Nisa’, 4:43)

Rujukan Kitab :

[1] Kitab Tarjamah Mukhtashar ‘Abdillah al Harari al Kafil bi ‘Ilmad-Din ad-Dlaruri, Syaikh ‘Abdillah al Harari, syahamah press,www.darulfatwa.org.au , Oktober 2008.

[2] Buku “Ringkasan Fiqih Islami” Terbitan Pustaka Salafiyyah, kitab wahaby.

[3] Muntahob ahadits, syaikh maulana sa’ad, pustaka ramadhan, Bandung, 2006.

[4] Kitab Mattlaal Badrain oleh Syeikh Muhammad bin Daud Al-Fatani
[5] Ringkasan Ibadah oleh Ibnu Rahmat .
[6] Kitab Minhajul Muslim oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi .

[7] Fiqh Syafii oleh Hj.Idris Ahmad S.H.

[8] Majmu’ Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa Iimam nawawi), Imam Nawawi.

Lampiran : Fiqh Air Menurut Ahlusunnah :

A. Sejarah Kitab Bulughul Maram

Perlu diketahui Bahwa Kitab Bulughul Maram adalah kitab yang ditulis oleh Hujatul islam (orang yang hafal 300.0000 matan hadits dgn sanadnya) Ibnu Hajar atsqalani yang bermadzab syafii. Kitab bulugul maram ini dihadiahkan oleh beliau kepada putranya yang juga seorang ulama bermadzab syafii.

Anak dari Ibnu hajar faham tentang kaidah fiqh ahlusunnah dimana salah satu kaidahnya:
“Jika makna hadits lebih memungkinkan untuk digabungkan maka itu lebih baik, dari pada meniadakan/menolak yang selainnya”

sedangkan golongan anti madzab (wahaby) sekarang lebih “suka menolak semua hadits dan mengambil yang paling shahih menurut mereka”, padahal hadits yang ditolak itu tidaklah mencapai derajat dhoif. Padahal jika digabungkan adalah sangat memungkinkan. Seperti yang dilakukan oleh Mujtahid Mutlak imam As-Syafii rah.

B. Kitab Bulughul Maram Bab Air

saya nukilkan ahadits dari kitab bulughul maram Kitab Thaharah Bab Air, saya ambil pada pasal kesucian air laut dan kesucian air:

Kesucian air laut

I . Dari Abu Huroirah ra. berkata: Rosululloh SAW bersabda tentang laut, “Airnya mensucikan dan halal bangkainya.” Dikeluarkan oleh imam yang empat (at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Abu Dawud), lbnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazh miliknya. Dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan at Tirmidzi. Juga diriwayatkan oleh Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.’

Kesucian Air
2. Dari Abu Sa’id al-Khudri Ra., ia berkata: Rosululloh SAW bersabda,”Sesungguhnya air itu mensucikan
tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu pun.” Dikeluarkan oleh imam yang tiga (Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i) dan dishohihkan oleh Ahmad.

3. Dari Abu Umamaha ) Bahirr odhil.allohu anh,u,iab erkata:” Rosulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya
air itu tidak dapat dinajiskan oleh sesuatupun kecuali apabila berubah baunya. rasanya dan warnanya.” Dikeluarkan oleh lbnu Majah dan didho’ifkan oleh Abu Hatim.

4. Dan diriwayatkan Baihaqi: “Air itu suci kecuali bila berubah baunya, rasanya dan warnanya karena najis yang menimpanya.”

5. Dan dari ‘Abdulloh bin Umar rA., Ia berkata:Rosululloh SAW bersabda”, Apabila air telah sampai dua qullah, maka ia tidak membawa akhobats (najis).” Dalam lafazh lain. “Tidak najis” Dikeluarkan oleh imam yang empat dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al Hakim, dan Ibnu Hibban.

Keterangan : Saya nukilkan pembahasan Hadits ini pada kitab Ihya ulumuddin jilid I (Halaman 463-464, Pustaka nasional Singapore 1988)

Lafadz “maka ia (air) tidak membawa akhobats (najis)” maksudnya dibatasi:

– Tetapi  apabila air itu berobah karena Najis, maka air itu membawa najis

– Tetapi apabila najis itu banyak, niscaya najis itu dibawa oleh air

– Lafadz Hadits ini makna dhahirnya ialah air tidak membawa najis. Artinya membalikan najis kepada sifat air itu sendiri (tidak  menukar najis menjadi sifat air).

6. Dari Abu hurairah ra. , ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah kalian mandi dalam keadaan junub di air yang diam”. Dikeluarkan oleh muslim

7. Dan riwayat Imam Bukhary : “Janganlah kalian kencing air yang diam yang tidak mengalir, kemudian mandi didalamnya”

8. dan Riwayat Imam Muslim “(Mandi) darinya ” Dan riwayat Abu Dawud : “Dan janganlah mandi didalamnya karena janabah”

C. Keterangan  dan Cara Menyikapi Hadits Diatas


Berdasarkan beberapa Hadits yang mencapai derajat shahih yang disebutkan, kemudian dengan kaidah fiqh ahlusunnah waljamaah : “Jika makna hadits lebih memungkinkan untuk digabungkan maka itu lebih baik, dari pada meniadakan/menolak yang selainnya”

Berdasarkan hadits-hadits tersebut, sehingga menurut ahlusunnah nadzab syafii di tetapkan (Saya ambil dari kitab fiqh irsyadul anam):

Pasal Ke enam
Air Suci Menyucikan

– Artinya Air yang suci menyucikan yaitu air yang belum pernah terkena najis dan yang belum Musta’mal (dipakai untuk berwudhu).

– Jikalau air itu sedikit yaitu kurang dari 2 (dua) kullah, maka jika hendak bersuci daripadanya maka jangan dikobok (dicelup) dalam menyuci atau mengambil air wudhu atau mandi, melainkan dengan gayung.
Sebab jika dikobok (dicelup) dengan barang yang ada najisnya kedalam air itu niscaya air itu menjadi najis sekalipun tidak berubah rupanya atau rasanya atau baunya.

– Adapun jika dimasukkan tangan didalam air itu oleh yang mengambil wudhu, sesungguhnya membasuh mukanya dengan tidak niat membasuh tangannya diluar tempat air itu, niscaya jadilah air itu Musta’mal.

-Adapun jikalau air yang banyak, yaitu sekedar banyaknya tigaratus lima kati atau yang disebut dua qullah (dalam ukuran liter +/- 216 liter atau perbandingan panjang x lebar x tingginya =60 Cm x 60 Cm x 60 Cm), maka tidak menjadi suatu apa-apa jika dikobok didalamnya, melainkan jika berubah air itu dengan najis maka jadilah air itu najis. Adapun apabila hilang berubahnya itu maka jadilah air itu suci kembali.

Pasal Ke tujuh
Istinja’ dengan Air

Syarat Istinja’ (bersuci) dengan air ialah menghilangkan bau, rupa dan rasa dengan air yang suci mensucikan, demikian pula syarat membasuh tiap-tiap najis yang pertengahan (najis mutawassithah).

Pasal Ke delapan
Istinja’ dengan Batu

Syarat Istinja’ (bersuci) dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah Thahir dan kasat lagi bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan pada Syara’ dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya, dan wajib dengan 3 (tiga) kali sapunya.
Adapun afdhalnya adalah istinja’ itu lebih dahulu dengan seumpama batu kemudian dibasuh dengan air.

wallahu a’lam