Manaqib Imam Syafii (albaihaqi) : Imam Syafi’i Tentang Hadits Jariyah

Apa Kata i?

Inilah fakta bahwa Tauhid Salafi Wahabi sangat menyimpang dari Tauhid Ahlus Sunnah Waljama’ah umum nya dan bahkan menyimpang dari Manhaj Salafkhususnya, Hadits Jariyah yang sering dijadikan alat pembenaran Salafi Wahabi atas akidah sesat mereka yaitu menduga Allah bersemayam di atas ‘Arasy, ataubertempat di atas ‘Arasy, atau berada tinggi di atas langit, bahkan mereka bicara akidah ini atas nama Al-Quran dan As-Sunnah, dan atas nama Manhaj Salaf, dan atas nama Ahlus Sunnah Waljama’ah, tapi kenyataan nya mereka hanyalah mendustai Allah dan Rasul dan Sahabat dan Salafus sholih, karena faktanya pemahaman mereka bertolak-belakang dengan pemahaman Salafus Sholih khususnya, mereka hanya pandai berteori dan menggoda ummat dengan mengajak kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf, tapi fakta nya tidak sama sekali, mereka menggoda ummat mengajak bertauhid dengan Tauhid nya Salaful ummah, tapi nyata nya tidak sama sekali, berikut ini adalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang membungkam kelancangan Salafi Wahabi, bahwa akidah yang benar yaitu akidah Rasulullah dan para Sahabat, dan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah baik Salaf ataupun Khalaf adalah “Allah ada tanpa arah dan tanpatempat” dan bahwa Hadits Jariyah bukan dalil bahwa “Allah berada di atas” dan pemahaman Salafi Wahabi tentang Hadits Jariyah telah menyimpang dengan pemahaman ulama Salaful ummah.

Inilah pemahaman Imam Syafi’i tentang Hadits Jariyah :

Berkata Imam asy-Syafi’i –rahimahullah- :

واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون فيالأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب.

“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Haditstersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurutkadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, merekameyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabimengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahuibahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan dilangit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datangdalam Al-Quran”.

[Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’i pada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ -] dan [Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan Imam Baihaqqi, pada Bab -ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصول الكلام وصحة اعتقاده فيها- ]

PERHATIKAN SCAN KITAB MANAQIB IMAM SYAFI’I DI BAWAH INI :

واختلف عليه في إسناده ومتنه

“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya”

Maksudnya : Pada Hadits Jariyah telah banyak terjadi perbedaan pendapat ulama Hadits, baik dalam keshohihan sanad nya atau dalam matan nya, sepantasnya Hadits ini ditinggalkan bagi orang yang ingin beraqidah dengan aqidah yang selamat, karena ketidak-jelasan status Hadits ini.

وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها

“dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya”

Maksudnya : Bila ternyata Hadits Jariyah itu benar Hadits Shohih, atau bagi orang yang menganggapnya sebagai Hadits Shohih, maka jangan di telan mentah-mentah, pahami dulu bagaimana maksud Nabi sesungguhnya dalam Hadits tersebut, Imam Syafi’i mengatakan bahwa maksud Nabi bertanya kepada hamba itu dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah bertanya menurut kemampuan kepahaman hamba tersebut, artinya Nabi bertanya “Siapa Tuhan nya” sebagaimana didukung oleh sanad dan matan dalam riwayat yang lain, Nabi tidak bermaksud menanyakan arah atau tempat keberadaan Allah.

فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون في الأوثان أنها آلهة في الأرض

“karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi”

Maksudnya : Cara Rasulullah bertanya untuk mengetahui status nya muslim atau non muslim dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah menyesuaikan dan mempertimbangkan keadaan hamba tersebut yang masih awam, karena mereka sebelum datang Islam, mereka menyembah dan meyakini bahwa berhala yang bertempat di bumi adalah Tuhan mereka, maka sesuailah keadaan tersebut dengan pertanyaan Nabi “Dimana Allah”. Sementara Allah tidak seperti Tuhan-Tuhan mereka yang bertempat.

فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟

“maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya, maka Nabi bertanya : Dimana Allah ?”

Maksudnya : Nabi bertanya “Dimana Allah” untuk mengetahui status keimanan hamba tersebut, artinya Rasul bertanya siapa Tuhan yang ia imani, Nabi tidak bermaksud bertanya dimana tempat berhala nya berada bila hamba itu seorang penyembah berhala, dan tidak bermaksud menanyakan dimana tempat Allah berada bila hamba tersebut percaya kepada Allah, tapi hanya menanyakan apakah ia beriman kepada Allah atau bukan.

حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة

“sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam”

Maksudnya : Mempertimbangkan keadaan orang-orang dimasa itu yang masih banyak menyembah berhala, maka ketika Rasul ingin mengetahui status hamba tersebut, Rasul bertanya dengan pertanyaan “Dimana Allah” agar muduh bagi nya menjawab bila ia penyembah berhala, maka ia menunjukkan tempat berhala yang ia sembah, dan otomatis diketahui bahwa ia bukan orang yang percaya kepada Allah.

فلما قالت: في السماء، عرف أنها برئت من الأوثان

“maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala”

Maksudnya : Ketika hamba itu menjawab “Di atas langit” maka Nabi mengetahui bahwa ia adalah bukan penyembah berhala, jawaban hamba ini juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa Nabi mengakui “Allah bersemayam di atas langit” karena tidak ada hubungan antara jawaban dan pertanyaan Nabi, seperti dijelaskan di atas bahwa maksud Nabi bertanya demikian adalah ingin mengetahui status hamba muslim atau non muslim, maka jawaban hamba ini dipahami sesuai dengan maksud dari pertanyaan, Nabi tidak menanyakan apakah ia berakidah “Allah ada tanpa arah dan tempat” atau “Allah ada di mana-mana” atau “Allah bersemayam di atas langit” atau lain nya, bukan itu masalah nya di sini.

وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله

“dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”

Maksudnya : Dan dari jawaban hamba tersebut dapat diketahui bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, ini poin penting yang harus digaris-bawahi oleh para Salafi Wahabi yang menduga “Allah bersemayam di atas ‘Arasy”. Imam Syafi’i membungkam akidah sesat Salafi Wahabi dengan pernyataan beliau “Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”. Allah di langit bukan berarti Allah berada atau bersemayam di langit, dan Allah di bumi bukan berarti Allah berada di bumi atau di mana-mana, tapi Allah adalah Tuhan sekalian alam, baik di langit atau di bumi, makhluk di langit bertuhankan Allah, dan makhluk di bumi juga bertuhankan Allah, inilah akidah Imam Syafi’i bahwa “Allah ada tanpa arah dan tempat” sebagaimana akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah Salaf dan Khalaf, pernyataan Imam Syafi’i ini menepis semua pemahaman salah dari Hadits Jariyah tersebut.

أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب

“atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”

Maksudnya : Bahkan Imam Syafi’i berkata kemungkinan tanya-jawab Nabi dan hamba di atas tidak pernah ada, Nabi hanya mengisyarah tidak bertanya dengan kata-kata, dan hamba juga menjawab nya dengan isyarah tanpa kata, dan kata-kata di atas hanya berasal dari perawi atau pemilik hamba yang menceritakan kejadian tersebut, maka tidak mungkin sama sekali menjadikan Hadits Jariyah ini sebagai bukti kebenaran akidah Wahabi.

Fakta ini masih juga dipungkiri oleh Salafi Wahabi, semoga mereka mendapat hidayah Allah, sangat jelas sekalipenyimpangan akidah Salafi Wahabi dengan akidah Imam Syafi’i, dan ulama Salaf lain nya, dan dengan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah pada umum nya, Manhaj Salaf yang didakwahkan oleh Salafi Wahabi sangat jauh menyimpang dari hakikat Manhaj Salaf para ulama Salaf, maha suci Allah dari segala sangkaan Salafi Wahabi.

Maha suci Allah dari arah dan tempat

Imam Abu Hanifah (imam Hanafi) ternyata seorang tabiin yang bertemu dengan 16 shahabat

Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di KufahIrak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dariMadzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.

Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin AnasImam Syafi’i,Abu DawudBukhariMuslim dan lainnya.

[sunting]Referensi

  1. ^Imaam Abu Hanifa (R.A.), Biography of One of The Four Great Imaams- I
  2. ^ The Conclusive Argument from God:Shah Wali Allah of Delhi’s Hujjat Allah Al-baligha, pg 425
  3. ^Imam-ul-A’zam Abu Hanifa, The Theologian

 

Upholding the Opinion that Imam Abu Hanifa was One of the Tabi`in


[Source: Dr. `Inayatullah Iblagh al-Afghanistani, Doctorate thesis: al-Imam al-A`zam Abu Hanifa al-Mutakallim (The Greatest Imam: Abu Hanifa, The Theologian), 2nd edition, with supervision of Dr. Muhammad Ali Mahjub, Minister of Awqaf and President of the Supreme Council for Religious Affairs, Cairo, 1987.]

Some counted his teachers as four thousand within the ranks of the Tabi`in. Among them al-Laith ibn Sa`d and Malik ibn Anas, the Imam of Dar al-Hijra as mentioned by Daraqutni [al-Khairat al-Hisan, 23].

The author of al-Khairat al-Hisan collected information from books of biographies and cited the names of the Sahaba whom it is reported that the Imam has transmitted ahadith from. He counted them as sixteen of the Sahaba. They are:

1. Anas ibn Malik

2. Abdullah ibn Anis al-Juhani

3. Abdullah ibn al-Harith ibn Juz’ al-Zabidi

4. Jabir ibn Abdullah

5. Abdullah ibn Abi Awfa

6. Wa’ila ibn al-Asqa`

7. Ma`qal ibn Yasar

8. Abu Tufail `Amir ibn Wa’ila

9. `A’isha bint Hajrad

10. Sahl ibn Sa`d

11. al-Tha’ib ibn Khallad ibn Suwaid

12. al-Tha’ib ibn Yazid ibn Sa`id

13. Abdullah ibn Samra

14. Mahmud ibn al-Rabi`

15. Abdullah ibn Ja`far

16. Abu Umama

Many disagreements exist regarding his reporting of Ahadith from some of these Sahaba. His reporting from Anas is supported by most of the biographers. The following are some of the Ahadith believed to be reported by the Imam directly from the Sahaba. Many biographers list them in their books:

First Hadith:

“Seeking of knowledge is an obligation on each and every Muslim.” Reported by Abu Hanifa upon the authority of Anas ibn Malik. Many books of biography mention two chains of transmition for this Hadith.

Arabic transliteration: (“Talabu al-`ilmi fariDaatun `ala kulli muslim”)

Second Hadith:

Abu Hanifa reported upon the authority of Jabir ibn Abdullah, said, “A man from the Ansar came to the Prophet Muhammad (saw) and said, ‘O Messenger of Allah! I never was gifted a son and a son was never born to me.’ So he (saw) said, ‘And where are you from the abundance of zikr and istighfar? Allah provides, by them, the children.” He said, “So, the man used to increase his charity and his asking for forgiveness.” Then Jabir, said “nine sons were born to him.”

Some argued, though, that Jabir died in the year 79 A.H. while Abu Hanifa was born, most probably, in the year 80 A.H., so how can this report be true?

Arabic transliteration: (“Ja’a rajulun min al-anSar ila al-nabi – Salla allahu `alaihi wa sallam – fa qala lahu, ‘ya rasulallahi ma ruziqtu waladan qaTT wa la wulida li,’ faqala, ‘wa aina anta min kathrat al-istighfar wa al-Sadaqa, yarzuqu Allahu biha al-walad.’ Qal, “fa kana al-Rajul yukthiru min al-Sadaqa wa al-istighfar.” Wa qala jabir – radiya allahu `anh – “fa wulida lahu tis`atun mina al-dhukur”).

Third Hadith:

The Greatest Imam said, “I heard Abdullah ibn Juz’ al-Zabidi, the companion of the Prophet (saw), saying, “Whoever learned the knowledge of religion, Allah will protect him from worries and will provide him with sustenance from where he does not expect.”

Arabic transliteration: (“Man tafaqqaha fi al-din kafahu Allahu hammahu wa razaqahu min Haythu la yaHtasib”).

Fourth Hadith:

Reported from Abu Hanifa, said, “I heard Abdullah ibn Abi Awfa saing, “I heard the Prophet (saw) saying, “Whoever built a mosque, even if it be like a nest of a sand-grouse, Allah will build him a house in Paradise.”

Arabic transliteration: (“Man bana lillahi baitan wa law ka mafHaSi qaTa, bana Allahu lahu baitan fi al-janna”).

Fifth Hadith:

Reported from Abu Hanifa, said, “I was born in the year eighty, and Abdullah ibn Anis came to Kufa in the year ninety-four, and I heard from him while I was fourteen years old. I heard him saying, ‘Your loving the thing causes blindness and deafness.’”

Arabic transliteration: (“Wulidtu sanata thamanin, wa qadima Abdullah ibn Anis al-Kufa sanata arba`in wa tis`in, wa sami`tu minhu wa ana ibnu arba`a `ashrata sana. Sami`tuhu yaqul, ‘Hubbuka al-shay’a yu`mi wa yuSimm’”).

Sixth Hadith:

Reported by Abu Hanifa, said I heard Wa’ila ibn al-Asqa` saying, “I heard the Messenger of Allah (saw) saying, ‘Do not display your rejoicing at your brother [‘s misfortune], so that Allah might remedy him and inflict it upon you.’”

Arabic transliteration: (“La tuZhiranna shamatataka li akhika fa yu`afiahu Allahu wa yabtalika”).

Seventh Hadith:

Reported from Abu Hanifa, said, “Wa’ila ibn al-Asqa` told me, from the Messenger of Allah (saw), said, ‘Leave what causes you doubt and head towards what does not cause you doubt.’”

Arabic transliteration: (“Da` ma yuribuk ila ma la uribuk”).

[al-Manaqib, al-Muwaffaq al-Makki, Vol. 1, 27; al-Manaqib, al-Kurdari, Vol. 1, 5]

And from what is agreed upon among many of the authors is that the Imam saw Anas ibn Malik. [Even] al-Khatib al-Baghdadi, despite his advocacy of a negative image for the Imam, does support the fact of his seeing of Anas ibn Malik with his saying, “Abu Hanifa saw Anas ibn Malik and heard from `Ata’ ibn Abi Rabah” [Tarikh Baghdad, Vol. 13, 324].

Ibn `Abd al-Barr mentions in his Jami` Bayan al-`Ilm [Vol. 1, 35], after he mentioned, alongside its sanad, a piece of news which Imam Abu Hanifa heard from Abdullah ibn al-Harith ibn al-Juz’, the Sahabi, “Ibn Sa`d, author of al-Waqidi, mentioned that Abu Hanifa saw Anas ibn Malik and Abdullah ibn al-Harith ibn al-Juz’.” Counting on this, Ibn al-Juz’ is considered to have died late, and in priority, that Abu Hanifa saw Abdullah ibn Abi Awfa since he was Kufi with regards to his residence and place of death.

Furthermore, Abu Nu`aim al-Asfahani mentioned among the Sahaba, whom Abu Hanifa saw, Anas, Abdullah ibn al-Harith, and Ibn Abi Awfa. The same is reported by Sibt ibn al-Jawzi upon the authority of Dhakir ibn Kamil from Abu `Ali al-Haddad from his book al-Intisar wa’l-Tarjih. This, considering the birth date of Abu Hanifa in the year 80 A.H., but if his birth date was in the year 61 A.H., or in the year 70 A.H., as in the reports of Ibn Zawad and Ibn Hayyan, the possibility of his seeing of the Sahaba would be bigger. Abu al-Qasim ibn Abi al-`Awam expanded on clarifying who was comtemporary of him relying on the first report in his book Fazail Abi Hanifa wa Ashabih (The Virtues of Abu Hanifa and His Followers).

Among what was altered by means of tampering in [the process of] copying what was mentioned is that Daraqutni was asked about Abu Hanifa’s hearing from Anas, is it considered correct? He said “la wa la ru’ytuh” (No, niether his seening). But the original statement is “la illa ru’yatuh” (No, except his seeing). As an evidence on this is what Suyuti mentioned in the beginning of his book Tabiyd al-Sahifa with his saying “Hamza al-Sahmi said, ‘I heard Daraqutni saying Abu Hanifa did not meet any of the Sahaba except that he saw Anas with his eyes but did not hear from him.’” And from the ones who professed his seeing Anas are: Ibn Sa`d, al-Daraqutni, Abu Nu`aim al-Asfahani, Ibn `Abd al-Barr, al-Khatib [al-Baghdadi], Ibn al-Jawzi, al-Sam`ani, `Abd al-Ghani al-Maqdisi, Sibt ibn al-Jawzi, Fazl Allah al-Turishty, Nawawi, Yafi`i, Dhahabi, Zain al-Din al-`Iraqi, al-Wali al-`Iraqi, Ibn al-Wazir, al-Badr al-`Ayni, Ibn Hajar [al-`Asqalani], Shihab al-Din al-Qastalani, Suyuti, and Ibn Hajar al-Makki, among others. [Ta’nib al-Khatib fi ma Saqahu fi al-Imam Abi Hanifa min al-Akadhib, Kawthari, 15].


References the Author Relied On:

 

1. al-Haytami, al-Khairat al-Hisan. For al-`Allama, Mufti al-Hijaz Ibn Hajar (d.943 A.H.).

2. Manaqib al-Imam Abi Hanifa. For Abu al-Mu’ayyid al-Muwaffaq al-Makki (d.568).

3. Manaqib Abi Hanifa. For Ibn al-Bazzaz al-Kurdari, author of Fatawi al-Bazzaziyya (d. 827).

4. al-Durr al-Munazzam fi Manaqib al-Imam al-A`zam: a manuscript kept in the library of al-Azhar al-Sharif (#238). For Noah Afandi (d. 1070, Cairo).

5. al-`Uqud al-Jiman fi Manaqib Abi Hanifa al-Nu`man: also a manuscript in al-Azhar. For al-Salih al-Dimashqi.

Rabbi yahudi = ulama wahabi : memakai ghurtah /kain penutup kepala (tapi bukan sorban/turban)

dajjal followers :

A rabbi wearing a prayer shawl Stock Photo - Royalty-Freenull, Code: 614-02764107

A rabbi wearing a prayer shawl


^Rabbi Yahudi
 Rabbi wahabi
Green Shawls wahabi”
 
Jewish GREEN Tallit Talit Talis Prayer Shawl
” Mishkat that followers of Dajjal will have green shawls ontheir heads.”
Quote:
 shalat yahudi
shalat wahabi
yahudi
wahabi
This word in the hadith is Tayalisa’h which means a Cloth [chadar] which is put over like this one below:
^Jewish Rabbi wearing Talith (prayer shawl)

Sunnah Nabi, malaikat dan sahabat : memakai sorban (warna putih – hitam – hijau – Merah – Kuning) dan keutamaanya

SORBAN ADALAH PAKAIAN ORANG ISLAM !

 

Sorban Rasulullah masih utuh

HADITS TTG SORBAN

  1. 1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).
  2. 2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)
  3. 3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).
  4. 4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)
  1. 5. Hadhrat Anas R.a. meriwayatkan:

“Saya melihat Sallallahu alayhi wa sallam sedang berwudhu. Dia memakai sorban Qitri…” (Abû Dawûd Hal.19)

  1. 6. Sulaiman R.a.mengatakan: ”saya melihat Para Sahabat dari kalangan Awwalun Muhajirin(mereka yang pertama kali hijrah ke Madinah) memakai sorban berbahan dari katun.” (Mussanaf Ibn Abi Shaibah Vol.8 Hal.241)
  1. 7. Abu Dawud telah menyebutkan dalam kitab sunannya, bahwa Nabi SAW telah bersabda :”Perbedaan kita dengan orang musyrik adalah memakai sorban diatas kopiah.”
  1. 8. Abu Dawud dan Imam Ahmad Bin Hanbal, bahsawanya Ibn `Umar r.a. telah berkata, Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) telah bersabda yang mahfumnya bahwa Barang-siapa yang meniru-niru suatu kaum (dalam penampilan), maka dia termasuk dari mereka.

9. Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) telah bersabda yang mahfumnya : Pakailah sorban karena itu adalah tanda dari malaikat. Juga biarkan ujung sorban bergantung di pundak. (Baihaqi)

10. Pakailah sorban, karena itu akan menambah kesabaranmu. (Mustadrak of Hâkim)

11. “Beberapa malaikat Allah akan berdiri di depan pintu mesjid dan memintakan ampun bagi mereka yang memakai SORBAN BERWARNA PUTIH.” (AlMaqaasidul Hasanah Hal.466)

12. “Memakai sorban akan membedakan seorang muslim dengan kaum musryikin.(Ibid)

“Allah Ta’âla menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang memakai sorban pada hari Jum’at dan para malaikat akan mendo’akan mereka.” (Dailami)

  1. 13. “Semoga dengan penjelasan ini,para Fuqaha akan menerima fakta bahwa pahala shalat dengan memakai sorban adalah lebih besar daripada shalat tanpa memakai sorban”

(Fatawa Rashidia Hal.326; Fatâwa Rahimia Vol. 4 Hal.359).

  1. 14. Moulana Rashid Ahmed Gangohi telah menulis seperti berikut ini ketika menjawab satu pertanyaan tentang sorban;

“Membolehkan seorang Imam (dalam shalat) tanpa memakai sorban adalah sama sekali diizinkan tanpa suatu celaan. ………Namun kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa dengan memakai sorban, pahala akan meningkat.”

(Fatâwa Rashidia Hal.326)

  1. 15. Allamah Anwar Shah Kashmiri telah menulis; “dari pandangan para fuqaha (ahli fiqgih), kami menemukan bahwa adalah mustahab (sangat disukai) jika sholat dilaksanakan dengan memakai 3 macam pakaian, satu siantaranya adalah sorban.” (Faizul Bari Vol.2 Hal.8)
  1. 16. Moulana Mohammed Zakariya Khandalwi telah menulis dalam ‘Khasâil-e-Nabawi’ (Penjelasan Kitab Shamâil Tirmizi): Memakai sorban adalah Sunnat-Mustamirrah’ (terus–menerus dilakukan oleh Nabi Sallallahu alayhi wa sallam). Nabi Sallallahu alayhi wa sallam sangat menganurkan kita untuk memakai sorban. Telah diriwayatkan dalam mahfum hadits: “Pakailah sorban. Karena itu akan membuatmu sabar” (Fathul Baari) Juga telah diriwayatkan bahwa that seseorang bertanya kepada Hadhrat Ibn Umar R.a. :”apakah memakai sorban itu adalah sunnah atau bukan?” Beliau menjawab bahwa itu adalah sunnah.
  1. 17. Shaikh Muhammad Ibn Jameel Zino (Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University) dalam bukunya (Al-Shamail Al-Muhammadiyyah , hal. 106):

Ayat Al Qur’an , “ Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang MEMAKAI TANDA. (S. Al Imran : 125)

Ibn ‘Abbas r.hum , Ulama terbesar di awal Islam, berkata: ”Tanda itu maksudnya adalah MEREKA MEMAKAI SORBAN.”
(Note : Betapa agungnya sorban, sampai para malaikat juga memakainya)

  1. 18. Topi/kopiah/songkok adalah merupakan ciri suatu bangsa dan banyak kaum muslim yang meniru-niru mereka dengan memakai topi mereka. kenyataannya, menutup kepala dengan sorban, adalah lebih baik bagi mereka, untuk membedakan dari orang-orang kafir (Al-Shamail Al-Muhammadiyyah, Hal.106)

ULAMA MEMAKAI SORBAN

Dalam kitab tentang biografi pendiri mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah (terkenal karena pemikirannya yang intelek ), Imam al-Suyuti and al-Haytami meriwayatkan bahwa beliau (Imam Hanafi) memiliki tujuh buah sorban, mungkin beliau memakai satu sorban untuk satu hari dalam seminggu.

Imam Syafi’I selalu memakai sorban yang besar, seolah-olah beliau adalah orang Arab di tengah padang pasir.” Seperti juga dengan muridnya, Pendiri mazhab Hambali, Ahmad ibn Hanbal selalu memakai sorban dengan melilitkan sebagian ekornya dibawah dagu. Banyak kaum muslimin di Afrika Utara dan di Sudan meniru cara beliau dalam memakai sorban

Telah disebutkan juga bahwa Imam Bukhari Rahmatullah alayhi ketika mempersiapkan perjalanannya ke Samarqand, beliau memakai sorban dan memakai kaos kaki dari kulit. (Muqadama Fathul Bari Hal.493)
Juga telah diriwayatkan bahwa Imâm Muslim Rahmatullah alayhi suatu ketika pernah meletakkan cadarnya (selendangnya) pada sorbannya didepan gurunya lalu meninggalkan ruangan kelas. (Muqadama Fathul Bari Hal.491)

Ini membuktikan bahwa Imam Muslim Rahmatullah alayhi ketika mempelajari hadits selalu dalam keadaan memakai sorban.

Ibn Hajar Al-Asqalani (Rahimahullah) telah menyebutkan di dalam kitab Fathul Baari hal. 491 dan 493, bahwasanya Imam Bukhari dan Imam Muslim keduanya selalu memakai sorban.

Catatan : Walaupun mereka bukan orang Arab tapi mengamalkan hal ini (memakai sorban) untuk mengikuti Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) .

Ibn Al-Jawzi dan Ibn Al-Qayyim (dalam kitab Rawdat al-muhibbin hal. 225.) mengatakan bahwaHasan al-Basri (Rahimahullah) selalu memakai sorban hitam

Seorang ulama mengutip dari biografi Imam nawawi, bahwasanya Imam Nawawi seumur hidupnya hanya memakai baju panjang dan sebuah sorban.

SAHABAT MEMAKAI SORBAN

Abu Umar R.a.meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Hadhrat Ibn Umar R.a. membeli sebuah sorban yang memiliki hiasan padanya Ia meminta sebuah gunting lalu memotong hiasan itu. (Ibn Majah Hal.26)

Nafi’ Rahmatullah alayhi mengatakan: ”Saya melihat Ibn Umar R.a. memakai sorban yang mana ekornya bergantung di antara kedua punggungnya.”( Ibn Majah Vol.8 Hal.2)

SORBAN HITAM

Hadhrat Huraith R.a.meriwayatkan that Nabi Sallallahu alayhi wa sallam menjumpai manusia sedang beliau memakai sorban hitam

Hadhrat Jaabir R.a.meriwayatkan bahwa pada saat Fathul Makkah (Penaklukan kota Makkah) , Nabi Sallallahu alayhi wa sallam memasuki kota Makkah Mukarramah dengan memakai sorban hitam. (Sahih Muslim Vol.1 Pg439)

Ibn Abbas (Radhiallaahu Án) meriwayatkan bahwa Rasulullah (Sallallaahu Álayhi Wasallam) menemui para sahabat sedang beliau memakai sorban hitam.

Hadhrat Ibn Abbas R.a.meriwayatkan selama Nabi Sallallahu alayhi wa sallam sakit yang menjadi asbab wafatnya, Nabi Sallallahu alayhi wa sallam menjumpai Para Sahabat Radhiallahu anhum dengan menggunakan sorban hitam. (Sahih Bukhari Vol.1 Hal. 536)

Hazrat Jaabir (Radiallahu Anhu) meriwayatkan bahwa pada saat Fathul Makkah, Nabi (SallallahuAlaihi Wasallam) memasuki kota Makkah Mukarramah dengan memakai sorban berwarna hitam.

(Shamaail Tirmizi Hal. 8; Ibn Majah Hal.256)

Dalam riwayat lain : “Saya melihat Nabi Sallallahu alayhi wa sallam memakai sorban hitam.”

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata, أَ

“Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam”. [HR. Muslim (1359), Abu Dawud (4077), Ibnu Majah (1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,

“Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) , Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,

SORBAN HIJAU

Sulaiman bin Abi Abdullah mengatakan, bahwa beliau melihat Sahabat dari kalangan kaum Muhajirin, mereka memakai sorban berwarna hitam, putih, merah, hijau dan kuning. (Musannaf-e-ibn Abi Shaiba, Vol 8, Hal. 241)

حدّثنا أبو بكر قال حدثنا سليمٰن بن حرب قال: حدثنا جرير بن حازم عن يعلى بن حكيم عن سليمٰن بن أبي عبدالله قال: أدركت المهاجرين الأولين يعتمون بعمائم كرابيس سود وبيض وحمر وخضر

Sulaiman bin Abi Abdullah (ra) berkata bahwa pada saat ia berjumpa “Muhajirina awwalun” (Para Sahabat dari kalangan Muhajirin yang paling awal berhijrah) mereka memakai sorban tebal, ada yang berwarna hitam, putih, merah and HIJAU” [Musannaf Ibn Abi Shaybah (6/48)]
FATWA ULAMA TENTANG SORBAN HIJAU

“Bagaimanapun, beberapa Sahabat [radhiallaahu anhum] memakai sorban hijau.” (Musannaf ibn Abi Shaybah).

Green Garments

Shaykh Nazim Al-Haqqani
Aĥmed ibn Yūnus reports from Ubaydullāh – that is ibn Iyād – from Iyād from abū Rimthah: ‘I went with my father to RasūlAllāh šallAllāhu álayhi wa sallam and i saw that he had on him, two green cloaks”. [fa ra’aytu álayhi burdayni akhĎarayn / Abū Dāwūd:4605]
Imām an-Nasāyī reports a ĥadīth under the title: ‘adornment for the preacher on the two ýīds’Muĥammad ibn Bash’shār said: Abdu’r Raĥmān reports: narrated úbaydullāh ibn Iyād from his father who reports fromAbū Rimthah: ‘I saw Nabiyy šallAllāhu álayhi wa sallam giving a sermon, and he was wearing two green cloaks. [wa álayhi burdāni akhĎarān / nasāyī: 1568]

Shaykh Muhammad al Yaqoubi
Imām an-Nasāyī repeated this ĥadīth under a separate title:‘concerning reports on wearing green clothes’.
Abu Rimthah at-Taymiyy reports: RasūlAllāh šallAllāhu álayhi wa sallam, came out [to us] and he was wearing two green robes.[wa álayhi thawbān akhĎarān / nasāyī: 5329]The same ĥadīth reported by Abū Rimthah, is found in Mishkāh from Tirmidhī

[álayhi burdān akhĎarān / mishkātu’l mašābīĥ:4359]

Muĥammad ibn kathīr reports that he was told by sufyān from ibn jurayj from ibn yaálā from yaálā said he:
RasûlAllâh SallAllâhu `alayhi wa sallam did the Ťawāf of kaábahwearing a green cloak passing under his right arm.
[Ťāfa’n Nabiyyu šallAllāhu álayhi wa sallam muĎŤabián bi burdin akhĎar / abū dāwūd: 1883.]
Abu Ramthah said: “I saw the Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) wearing two green garments.” (Reported by al-Tirmidhi, who said, this is a ghareeb hasan hadeeth, and by al-Nisaa’i, 5224).


Shaykh GF Haddad


The Holy prophetPBUH) is reported to have said: “Hold on to the turban as it is a sign of the angels. Also let the loose end hang from the back.” (Baihaqi)

“Adopt the turban as it will increase your forbearance.” (Mustadrak of Hâkim)
Shaykh Pir Syed Naseer-ud-Din Naseer (RA)

“Some of Allah Ta’âla’s angels stand at the door of the Musjid and seek repentance on behalf of those wearing white turbans.” (Al Maqaasidul Hasanah pg.466)

“The turban distinguishes the Muslims from the Mushriks (polytheists). (Ibid)

“Allah Ta’âla causes his mercy to descend on the people wearing turbans on the day of Jummah and his Angels make du’â for such people.” (Dailami)

Sayyidina Abu Rimthah (RA) reported that he observed Allah’s Messenger (صلى الله عليه و آله وسلم in a pair of green garments[Dawud Book 9 Hadith 1678 ]
Sheikh Abul Haq Muhadith Dehalvi writes that
The Holy Prophet (صلى الله عليه و آله وسلم) also used Green Ammama Sharif”
[in his book in his book Zia’ul-Qaloub fi Libass-e-Mahboub]
Shaykh Hisham Kabbani
The mere fact that the wearing of the turban is proven to be Sunnat is in itself a sufficient and complete appraisal of its virtue and should provide the necessary impetus towards its adoption.
——————

Bukti mufti saudi wahabi (Ibnu Baz) : Halalkan kawin kontrak atau “KAWIN DENGAN NIAT AKAN DI TALAQ (di cerai)”

Mungkin banyak wahabi-salafy di negeri kita ini tidak tau, atau malu-malu kucing menyebutkan bahwa Mufti mereka almarhum Syekh Bin Baz pernah mengeluarkan fatwa tentang kawin kontrak yang diperbolehkan bagi para musafir/atau pelajar di rant…au. Tentunya fatwa tersebut tidak memakai bahasa kawin kontrak, tapi istilah yang dipakai adalah “KAWIN DENGAN NIAT AKAN DI TALAQ (di cerai)”. [silahkan merujuk fatwa tersebut di]:

“Majmuk Fatawa oleh Ibin Baz, Jilid 4, hal 29-30 cetakan Riyadh – Saudi Arabia, Tahun 1411/1990″

Makanya nggak heran jika para turis wahabi-salafy dari Arab Saudi datang ke Indonesia atau negara-negara asia lainnya, mereka sibuk mencari gadis-gadis untuk dinikah lalu ditalak atau dicerai setelah mereka kembali pulang ke negeri asal mereka. dan diantara yang mereka kawin tersebut adalah para pelacur.

Sekarang pemerintah Saudi agak resah karena para pelancong/wisatawan Saudi tersebut pulang membawa oleh-oleh yaitu penyakit kotor seperti HIV/AIDS, Hepatitis dll

scan fatwa wahabi tetang kawin kontrak

scan fatwa wahabi tetang kawin kontrak

scan fatwa wahabi tetang kawin kontrak
Dalil ahlusunnah melarang kawin kontrak :

Hukum Kawin Kontrak

Kawin kontrak apapun alasannya tetap aja haram. Dalilnya pun jelas. Memang berapa kali Mut’ah pernah diperbolehkan kemudian di larang lagi. Sampai pada akhirnya dilarang secara tegas sampai Hari Kiamat. Dalilnya pun banyak. Baik dari Al-Quran ataupun Sunnah.

Para Ulama pun sepakat bahwasanya nikah kontrak ini haram hukumnya kecuali golongan syiah Rafidah. Berikut ini diantara dalil pengharamannya:

1. “Dan orang-orang yang menjaga kiemaluannya.” (QS. al-Mu’minuun (23) : 5)

2. Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib ra ia berkata, ” Rasulullah Saw melarang nikah mut’ah daging keledai jinak ketika Khaibar.” (HR. Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah)

3. Diriwayatkan dari Sibrah al Juhni ra ia berkata, “Rasulullah Saw memerintahkan kita mut’ah ketika penaklukkan Mekah kemudian beliau melarang setelah itu.” (HR. Muslim)

Lho bukannya menurut Ibnu Abbas nikah mut’ah diperbolehkan? Tentu pendapat ini perlu dikaji ulang, agar tidak ditelan mentah-mentah.

Memang Ibnu Abbas pernah berpendapat mut’ah diperbolehkan, hanya saja harus dibatasi dan cuma diperuntukkan untuk orang ketika dalam kondisi terpaksa.

Perihal hal ini dalam kitabnya al-Manhal, al-Khuttobi menjelaskan bahwa Ibnu Jabir berkata, “Aku katakan pada Ibnu Abbas, tahukah engkau apa yang engkau perbuat dengan fatwamu?, orang orang menggunakan fatwamu.” Ia pun menjawab, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, bukan begini fatwaku, aku pun tidak menginginkan ataupun menghalalkannya, sebagaimana bangkai, darah dan daging babi yang diperbolehkan dalam kondisi terpaksa.”

Tetapi, Ibnu Qayyim menjelaskan, Ibnu Abbas menarik pendapatnya itu sewaktu mengetahui bahwasanya hukum nikah mut’ah telah digantikan menjadi haram.Di balik pelarangan nikah mut’ah terdapat hikmah dan faedah yang agung. Diantaranya ialah, perlindungan hak serta penghormatan terhadap wanita dan mencegah kerusakan.

Bahkan beberapa hukum yang dihasilkan dari adanya pernikahan yang sah pun tidak berlaku dalam nikah mut’ah. Berikut ini beberapa hukum yang dilanggar dalam nikah mut’ah:

  1. Wanita ibarat barang kontrakan
  2. Tidak berhak atas warisan
  3. Talak tiga secara otamatis dengan habisnya waktu kontrak
  4. Tidak wajib idah, baik bagi yang dimut’ah atau si pelakunya sendiri
  5. Tidak wajib nafkah lahir, dan tempat tinggal
  6. Tidak berlaku khulu’
  7. Boleh mut’ah lebih dari empat

Legalitas Tawassul dalam kitab adabul mufrad (imam bukhary) dan kitab kalimuthayyid (ibnu taymiyah) : Tawasul Nida “Yaa muhammad”

al Hamdu Lillah, wa ash Shalat Wa as Salam Ala Rasulillah Muhammad,

Penulis : al Mujassim Ahmad Ibn Taimiyah (w 728 H);

Kitab : “al Kalim ath Thayyib”(“KATA-KATA YANG BAIK”)

Penerbit :  Dar al Kutub al Ilmiyyah )Bairut Lebanon, t. 1417, h. 123,

Ibn Taimiyah menuliskan riwayat sebagai berikut:

“Dari al Haitsam ibn Hanasy, berkata: “Dahulu, ketika kami duduk di -majelis- sahabat Abdullah ibn Umar ibn al-Khath-thab (semoga ridla Allah selalu tercurah baginya), tiba-tiba kaki beliau terkena “kahdir”; yaitu semacam lumpuh tapi sesaat (tidak permanen), lalu ada seseorang berkata kepadanya: “Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai?? Maka sahabat Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad….”. Kemudian saat itu pula beliau langsung sembuh dari sakitnya tersebut; seakan ia telah terlepas dari ikatan”.

Perhatikan, Ibn Taimiyah meriwayatkan hadits tersebut dalam karyanya, lalu ia menamakan karyanya tersebut dengan judul “al Kalim ath Thayyib”; dengan demikian artinya ia menganggap kata-kata “yaa Muhammad…” sebagai kata-kata yang baik. Padahal saat itu Rasulullah telah lama meninggal, dan Abdullah ibn Umar memanggil (nida’) nama Rasulullah yang jelas-jelas tidak hadir (berada) di hadapannya. Kata “Yaa Muhammad…” adalah istighatasah atau tawassul; sahabat Abdullah ibn Umar meminta kepada Allah dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilahnya.

kitab kalimutayyib cetakan penerbit yang lain: page 88

Hadits tentang sahabat Abdullah ibn Umar di atas juga telah dikutip oleh al Imam al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad. lihat scan ini; bukti kuat menohok wahabi:

Manuskrip asli kitab adabul mufrad imam bukhary:

 
[Imam Bukhari, Kitab ul Adab ul Mufrad, Page No. 404, Hadith # 964]

Kita katakan kepada orang-orang Wahabi: “Apakah kalian akan mengkafirkan Imam al Bukhari?????”, ataukah kalian akan melepaskan ajaran sesat kalian???? bila kalian tetap menganggap kata “yaa Muhammad” sebagai kekufuran dan syirik; maka berarti kalian telah mengkafirkan Imam al Bukhari, dan berarti juga kalian telah mengkafirkan setiap para ahli hadits dan para ulama terkemuka yang telah meriwayatkan hadits tersebut; termasuk sahabat Abdullah ibn Umar di atas. Na’udzu Billah…..

Semoga kita terhindar dari ajaran sesat Wahabi…

Amin.. Bi Jah an-Nabiyy Muhammad Thaha al Amin…

 

Ya Muhammad
To enlarge scan click:

 dari abu hurairah : Saya mendengar Nabi (saw) mengatakan: “demi dzat yg jiwa Abu al-Qasim dalam kekuasaanNYA, ‘Isa bin Maryam akan turun sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapuskan perselisihan dan dendam. , dan uang akan ditawarkan kepadanya tetapi dia tidak akan menerimanya Lalu ia akan berdiri di sisi kuburan dan berkata:.! Ya Muhammad dan Aku akan menjawab dia
From Abu Hurayra:

I heard the Prophet (s) say: “By the one in Whose hand is Abu al-Qasim’s soul, `Isa ibn Maryam shall descend as a just and wise ruler. He shall destroy the cross, slay the swine, eradicate discord and grudges, and money shall be offered to him but he will not accept it. Then he shall stand at my graveside and say: Ya Muhammad! and I will answer him.”

Abu Ya`la relates it with a sound chain in his Musnad (Dar al-Ma’mun ed. 1407/1987) 11:462; Ibn Hajar cites it in al-matalib al-`aliya (Kuwait, 1393/1973) 4:23, chapter entitled: “The Prophet’s life in his grave” and #4574; Haythami says in Majma` al-zawa’id (8:5), chapter entitled: “`Isa ibn Maryam’s Descent”: “Its sub-narrators are the men of sound (sahih) hadith.”

Bukhari in his Adab al-mufrad, Nawawi in his Adhkar, and Shawkani in Tuhfat al-dhakirin all relate the narrations of Ibn `Umar and Ibn `Abbas whereby they would call out Ya Muhammad whenever they had a cramp in their leg (Chapters entitled: “What one says if he feels a cramp in his leg“).

Regardless of the grade of these narrations, it is significant that Bukhari, Nawawi, and Shawkani never raised such a disturbing notion as to say that calling out “O Muhammad” amounted to shirk.

See the following editions:
Nawawi’s Adhkar:

1970 Riyadh edition: p. 271

1988 Ta’if edition: p. 383

1992 Mecca edition: p. 370

Bukhari’s Adab al-mufrad:

1990 `Abd al-Baqi Beirut edition: p. 286

1994 Albani edition entitled Da`if al-adab al-mufrad: p. 87

The latter gives as a reference: Takhrij al-kalim al-tayyib (235)”

date? Beirut: `Alam al-kitab: p. 324

date? Beirut: Dar al-kutub al-`ilmiyya: p.142.

Shawkani’s Tuhfat al-dhakirin:

1970 Beirut: Dar al-kutub al-`ilmiyya: p. 206-207.

 

Hadits Nabi Adam bertawasul dengan Nabi Muhammad (Ibnu Hjar atsqalani)

 

Hadith of Adam
Imam al-Qastallani (rah) and Imam az-Zarqani (rah) showed the hadith of Adam (alaih salam)’s Tawassul as “AUTHENTIC”
———————
Imam al-Qasttalani (rah) authenticating hadith of Adam (a.s)’s Tawassul in this passage it starts from previous Page # 219 which states: The Tawasssul, Seeking help, Shaf’at, Tawajju is “PROVEN IN ALL CONDITIONS, WHETHER BEFORE YOUR CREATION OR AFTER IT” as is mentioned in Tehqeeq al-nasra and also Masabah al-Zalam
Then on Page # 220 Imam al-Qastalani (rah) brings the hadith of Adam (alaih salam) as: “IT HAS COME IN SAHIH (HADITH) FROM PROPHET (PEACE BE UPON HIM)” that the Prophet (Peace be upon him) said: When Adam (a.s) made the mistake he said: O my Lord, I am asking you to forgive me for the sake of Muhammad (Peace be upon him)… (till the end of Hadith) Below even Imam al-Zarqani kept the authentication of Imam al-Qastallani (rah) “INTACT”… then on Page # 222 Imam al-Qastallani (rah) mentions his own practice that he called asked Prophet (Peace be upo him) “FOR HELP FROM MAKKAH”
Yes hear it again Makkah not Madina … Allah hu Akbar!

[Refer to Sharh ala Muwahib (12/220-222)]

Sharh ala Muwahib al-Luduniya written by Imam az-Zarqani (rah)

Bukti Scan Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin: Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat

Aqidah Imam Syafi’i -Allah Tidak Bertempat

By T. MUHAMMAD SYUHADA –

Semua Ulama Salaf mendapat fitnah dari Salafi Wahabi terhadap aqidah mereka, disebabkan oleh kesalah-pahaman Wahabi memahami hakikat Manhaj Salaf, betapa sedih ketika membaca buku atau artikel yang memuat aqidah Imam Syafi’i yang di tulis oleh para Wahabi, sadar atau tidak, tulisan mereka tentang aqidah Imam Syafi’ijustru menjadi fitnah terhadap Imam Syafi’i, yang menyedihkan lagi ketika mereka menulis biografi Imam Syafi’i, di awal tulisan mereka memuji kehebatan Imam Syafi’i setinggi langit, tapi di ujung tulisan mereka selipkan aqidah mereka yang mereka nisbahkan kepada Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i terlepas dari aqidah mereka, trik ini mereka gunakan agar terkesan bahwa aqidah mereka sama persis dengan Imam Syafi’i dan para ulama salaf lain nya, padahal aqidah mereka sangat jauh berbeda dari aqidah ulama salaf, bagaikan perbedaan langit dan bumi, sebagai bukti lihat perkataan Imam Syafi’i yang termaktub dalam kitab Ithaf as-Sadati al-Muttaqin,lihat scan kitab di bawah ini :

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].

إنه تعالى كان ولا مكان
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
Maksudnya : Allah telah ada tanpa permulaan atau di sebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya, Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya, sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya.

فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية
“maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
Maksudnya : kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya yang di sangka itu adalah tempat Allah oleh orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Allah, tetapi Imam Syafi’i menepis prasangka tersebut, beliau berkata allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya, tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya, karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk itu juga termasuk makhluk.

كما كان قبل خلقه الـمكان
“sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
Maksudnya : Sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, adanya makhluk tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.

لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
Maksudnya : tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah, tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna, berubah dari sempurna tentu dapat kekurangan bagi-Nya, dan setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.

Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i bahwaImam Syafi’i meniadakan tempat bagi dzat AllahAllah ada tanpa arah dan tempatinilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah Salafi-Wahabi, yang menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya, dan sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.

Maha suci Allah dari Arah dan tempat.

Bukti scan kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar atsqalani) – Mustahil Sifat Arah Pada Allah

Ibnu Hajar – Mustahil Arah Pada Allah

By T. MUHAMMAD SYUHADA –

Setiap yang mengaku muslim, pasti mengakui dan yakin bahwa Allah maha tinggi, tidak ada seorang muslim pun yang mengingkari ketinggian-Nya, namum sebagian yang mengaku muslim salah dalam memahami maksud sifat maha tinggi Allah, mereka menyangka maha tinggi artinya Allah berada di arah atas paling tinggi, dan tanpa sadar telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mereka menyangka hakikat sifat Allah dengan hakikat sifat makhluk sama saja, cuma berbeda kaifiyat nya, seakan yang tidak boleh sama Allah dan makhluk-Nya hanya dalam kaifiyat nya saja, sementara aqidah Ahlus sunnah waljama’ah tidak hanya membedakan dalam kaifiyat nya tapi juga membedakan dalam hakikat sifat nya, dzat dan sifat Allah sangat berbeda dengan dzat dan sifat makhluk-Nya, bukan bereda kaifiyat saja, oleh karena itu, Allah bersifat dengan maha tinggi, tapi bukan berarti Allah berada di arah atas, berada di arah atas adalah sesuatu yang tidak mungkin pada Allah (mustahil), karena dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah dan keserupaan sifat dengan makhluk.

Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :

ولا يلزم من كون جهتي العلو والسفل مُحالاً على الله أن لا يوصف بالعلو ، لأن وصفه بالعلو من جهة الـمعنى ، والـمستحيل كون ذلك من جهة الحس، ولذلك ورد في صفته العالي والعلي والـمتعالي ، ولـم يرد ضد ذلك وإن كان قد أحاط بكل شىءٍ علـماً

“Dan tidak melazimi dari keadaan dua arah (jihat) atas dan bawah itu mustahil pada Allah, bahwa Allah tidak disifatkan dengan sifat tinggi (uluw), karena sesungguhnya mensifati-Nya dengan sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, sedangkan yang mustahil adalah keadaan demikian dari segi hissi, dan karena demikian datang pada sifat-Nya Al-‘Aaliy dan Al-‘Aliy dan Al-Muta’aliy, dan tidak datang lawan sifat demikian, sekalipun adalah Allah itu meliputi ilmu dengan setiap sesuatu”.[ Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani Jilid 6 Halaman 136].

Perhatikan scan kitab di bawah ini

ولا يلزم من كون جهتي العلو والسفل مُحالاً على الله أن لا يوصف بالعلو

“Dan tidak melazimi dari keadaan dua arah (jihat) atas dan bawah itu mustahil pada Allah, bahwa Allah tidak disifatkan dengan sifat tinggi (uluw)”

Maksudnya : arah (jihat) atas dan bawah adalah mustahil (tidak mungkin) bagi Allah, maka tidak ada kemungkinan Allah berada di bawah bahkan di atas, baik di atas langit atau di atas ‘Arasy, akan tetapi ketidak-mungkinan ini tidak berarti Allah tidak bersifat dengan sifat tinggi (uluw), artinya Allah bersifat dengan sifat tinggi, tapi ketinggian Allah bukan berada di arah atas, karena arah atas mustahil pada Allah sebagaimana mustahil arah bawah pada-Nya.

لأن وصفه بالعلو من جهة الـمعنى ، والـمستحيل كون ذلك من جهة الحس

“karena sesungguhnya mensifati-Nya dengan sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, sedangkan yang mustahil adalah keadaan demikian dari segi hissi”

Maksudnya : ketika arah atas itu mustahil pada Allah tapi tidak otomatis Allah tidak bersifat dengan maha tinggi, karena tidak ada pertentangan antara sifat maha tinggi dengan kemustahilan arah atas pada-Nya, karena sifat tinggi (uluw) itu dari segi maknawi, tinggi dalam artian keagungan dan keluhuran-Nya, sementara yang mustahil itu adalah keberadaan dzat-Nya di arah atas, Allah bersifat dengan tinggi maknawi bukan dengan tinggi hissi, tinggi yang hissi inilah yang mustahil pada Allah, oleh karena itu, sekalipun arah atas mustahil pada Allah tapi Allah bersifat dengan sifat tinggi dalam artian tinggi martabat, yakni maha agung lagi maha luhur.

ولذلك ورد في صفته العالي والعلي والـمتعالي ، ولـم يرد ضد ذلك وإن كان قد أحاط بكل شىءٍ علـماً

“dan karena demikian datang pada sifat-Nya Al-‘Aaliy dan Al-‘Aliy dan Al-Muta’aliy, dan tidak datang lawan sifat demikian, sekalipun adalah Allah itu meliputi ilmu dengan setiap sesuatu”

Maksudnya : karena tidak ada pertentangan antara mustahil arah atas dengan sifat tinggi Allah, maka diperdapatkan dalam Al-Quran dan Hadits sifat-sifat Allah seperti Al-‘Aaliy, Al-‘Aliy, Al-Muta’aliy dan sifat-sifat yang menunjuki kepada ketinggian dan keluhuran-Nya, dan tidak didapati lawan dari sifat tersebut, karena mustahil Allah bersifat dengan lawan sifat tersebut, sekalipun Allah mengetahui setiap sesuatu, baik dilangit atau dibumi, bahkan di dasar bumi sekalipun, tapi Allah tidak harus berada dilangit atau dibumi atau dimanapun.

Itulah cuplikan pernyataan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar secara jelas mengatakan bahwa arah atas adalah mustahil pada Allah. maha suci Allah dari arah dan tempat

Wallahu a’lam

Bukti Bin Baz & Wahhabi Kafirkan Ibnu Hajar & Imam Nawawi (1 & 2)

Ibnu Hajar BERAQIDAH SESAT- Bin Baz & Wahhabi (berbukti)

 

IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY DIHUKUM OLEH KESEMUA WAHHABI SEBAGAI BERAQIDAH SESAT

Bukan anda sahaja yang dikafirkan oleh Wahhabi. Imam yang agong dan hebat pengarang kitab Fathul Bari Syarh Sohih Bukhari yang terkenal ini juga tidak terlepas dihukum sebagai sesat aqidahnya.

Buktinya dalam kitab Wahhabi berjudul: ” At-Tanbih ‘Ala Al-Mukhalafaat Al-’Aqdiyah Fi Fathil Bary ” tajuk buku yang bermaksud Peringatan Ke Atas Penyelewengan Aqidah Dalam Kitab Fathul Bary (karangan Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany)” yang mana buku ini telah mendapat kata-kata aluan dan pujian oleh tokoh-tokoh Wahhabi setelah mereka menelitinya isi kandungannya.

Tajuk buku Wahhabi itu: At-Tanbih ‘Ala Al-Mukhalafaat Al-’Aqdiyah Fi Fathil Bary

Dikumpulkan oleh Wahhabi bernama: Ali Bin Abdul Aziz Bin Ali Asy-Syibil.

Buku itu telah diteliti dan diperakui benar dan betul belaka oleh tokoh-tokoh Wahhabi:

1- Abdul Aziz Bin Baz.
2- Soleh Al-Fauzan.
3- Abdullah Bin ‘Aqil.
4- Abdul Bin Muni’.
5- Abdullah Al-Ghonimaan.

* Kenyataan Bin Baz Mufti Wahhabi mengatakan: ” Kerja menghukum sesat aqidah Ibnu Hajar Al-Asqolany dari bukunya Fathul Bary adalah amalan yang TERBAIK “. Lihat Taqriz dalam kitab di atas.

Lihat bagaimana Bin Baz dan Wahhabi memuliakan amalan menghukum sesat terhadap aqidah ulama Islam.
APA WAHHABI KATA DALAM BUKU ITU?

Dalam kitab Wahhabi tadi mereka telah bersepakat menghukum Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany pengarang kitab Fathul Bary Syarah Sohih Al-Bukhari sebagai:-

1- Tidak beraqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

2- Pembasmi aqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

3- Menafikan sifat Allah (nufaat).

4- Suka ta’wil yang sesat.

5- Ikut Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah yang sesat.

6- Suka bawa bid’ah.

7- Mangharuskan tawassuk syirik.

8- Mengharuskan tabarruk syirik.

9- Sesat.

10- Kafir. (itulah hakikat Wahhabi ingin nyatakan tetapi mereka BERTAQIYYAH).

Demikianlah penghukuman Wahhabi terhadap Imam Ibnu Hajar Al-Aqolany dalam kitab mereka tadi. Ada lagi banyak kenyataan yang jelek dan keji Wahhabi luahkan kepada Imam Ibnu Hajar ini.

* P/S: Wahhabi suka bertaqiyyah iaitu bercakap bohong dan bersumpah bohong. Contoh. Jika anda tanya mereka berdepan perihal Imam Ibnu Hajar dihadapan khalayak ramai Wahhabi akan menjawab Beliau bagus…beliau ok. tapi Wahhabi MENGKAFIRKAN Imam Ibnu Hajar pada hakikatnya. JANGAN TERTIPU DENGAN TAQIYYAH WAHHABI. WAHHABI TURUT MENGHUKUM IMAM NAWAWI SEBAGAI SESAT KEKAL DALAM NERAKA. AWAS!

 

IMAM NAWAWI & IBNU HAJAR PUN KAFIR?!

Assalamualaikum.
Oleh: abu_syafiq 

Islam dan ulamanya tidak harus dikafirkan seperti yang dilakukan oleh Wahhabi..habis dikafirkan semua.
Mungkin sekiranya Nabi Muhammad masih hidup dimuka bumi ini pun baginda tidak akan terlepas dari dikafiran oleh golongan Wahhabiyah ini.
Tidak mustahil pada suatu hari nanti Allah pun Wahhabi kafirkan…wal iyazubillah.
Wahhabi bukan sahaja mengkafirkan Sultan Solahuddin Al-Ayyubi.
tetapi…. WAHHABI TURUT MENGKAFIRKAN IMAM NAWAWI DAN IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY!

Saudara seislam sekali….. Apa dah jadi dengan Wahhabi ni?!!!
aduiii..pesal Wahhabi benci sangat dgn ajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah dan ulamanya?! tengok dibawah ini seorang lagi ulama Wahhabi yang menjadi rujukan utama oleh Wahhabi dan kitab2 nya diberi secara percuma ketika kita semua pergi menunaikan umrah dan haji…Wahhabi ini yg bernama Muhammad Soleh Uthaimien menyatakan bahawa :
“IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY ( PENGARANG FATHUL BARI SYARAH SOHIH BUKHARY) DAN JUGA IMAM NAWAWI ( PENGARANG SYARAH SOHIH MUSLIM) KATA WAHHABI : NAWAWI DAN IBNU HAJAR ADALAH PEMBUAT KESESATAN DAN NAWAWI SERTA IBNU HAJAR BERAQIDAH SESAT DAN MEREKA BERDUA ADALAH KAFIR”!!.
Inilah makna dakwaan Wahhabi.

BUKTI ; Lihat buktinyapada line yg telah dikuningkan:

Fatwa sesat wahabi/ SALAFI: LARANG MAKAN TOMAT

SALAFIS LARANG MAKAN TOMAT

Posted By mbahlalar

 Salafy larang makan tomat

Sebuah kelompok Salafi yang menyebut diri mereka sebagai Asosiasi Islam Populer Mesir mendapat kecaman setelah mengirimkan peringatan di Facebook mendesak pengikutnya untuktidak makan tomat karena buah itu adalah buah kristiani…

Kelompok ini memposting foto tomat terbelah tengah dan menunjukkan bentuk salib bersamaan dengan sebuah pesan: “Makan tomat dilarang karena tomat itu Kristiani.memuji salib selain Allah dan mengatakan bahwa Allah ada tiga (referensi ke Trinitas)”

Statemen di atas merupakan pembodohan yang luar biasa, bukankah kita tahu bahwa setiap benda di muka bumi dan di langit itu bertasbih pada Allah dengan cara masing masing. Seperti yang dituturkan dalam surat aljumu’ah ayat satu. Nah dari situ kita tahu bahwa keislaman atau kekristenan seseorang tidak melibatkan pada buah-buahan atau binatang.

Pada berita itu juga ada sebuah harapan dari Kelompok tersebut dengan ungkapan sebagai berikut:

“ Semoga Allah membantu kita. Saya mohon Anda untuk menyebarkan foto ini karena ada saudara dari Palestina yang melihat nabi Allah [Muhammad] dalam mimpi danBeliau menangis, memperingatkan ummatnya untuk tidak makan tomat. Jika Anda tidak menyebarkan pesan ini, ketahuilah bahwa itu adalah iblis yang melarang”

Ya .atau.. tidak.????

Bisa ditebak, pengguna Facebook menyatakan kemarahan atas postingan berita itu, yang mendorong kelompok untuk menjelaskan sikapnya yang menuai kritikan tajam itu,

“Kami tidak mengatakan Anda tidak boleh makan tomat. Kami mengatakan tidak memotong dengan sedemikian rupa sehingga tampak kelihatan tanda salib. ” aneh banget

Salah satu komentator dengan nama akun Zzz yang membaca berita ini di situs http://www.nowlebanon.com mengecam berita itu dengan komentar semacam ini:

omong kosong, ini pemikiran bodoh, agama bukan lah buath, muslim yang berfikir bahwa tomat adalah buah kristen adalah muslim yang tidak tau realita agama islam, menurut pendapat saya, tidak ada buah islam dan buah kristen, buah adalah buah, agama adalah aagama, untuk penulis, ku harap jangan kau pos pemikiran bodoh ini mengatasnamakan islam, karena alquran dan hadits tak pernah menyebutkan pemikiran yang salah (seperti itu) untuk kita…

sumber berita:

http://www.nowlebanon.com/BlogDetails.aspx?TID=2451&FID=6

Bukti scan kitab: Imam Bukhari Menta’wil Tertawa Dengan Rahmat

Benarkah Salafi Wahabi bermanhaj salaf ? atau cuma Manhaj Salaf Bid’ah yang baru ada sejak masa Ibnu Taymiyah ? ini satu bukti bahwa Salafi Wahabi tidak bermanhaj ulama Salaf, tapi hanya Manhaj Salaf versi baru, sementara hakikat Manhaj Salaf sangat berbeda dengan Manhaj Salaf versi mereka, sudah bukan rahasia lagi bahwa Wahabi sangat anti dengan Ta’wil, semua nash-nash tentang sifat Allah mereka artikan serampangan, tidak peduli adanya pertentangan atau tidak, mereka boleh saja menganggap merekalah yang bertauhid sesuai dengan tauhid para Salafus Sholeh, tapi apakah Ulama Salaf bertauhid seperti tauhid mereka ?

Imam Bukhari yang juga bermanhaj Salaf, tapi tidak sejalan dengan Manhaj Wahabi yakni Manhaj Salaf versi Wahabi, Imam Bukhari sama sekali tidak anti Ta’wil, pertanda bahwa Ta’wil sudah ada sejak Ulama Salaf, dan Ta’wil tidak otomatis telah bertentangan dengan Manhaj Salaf, sehingga harus mengecam Ta’wil secara mutlak.

Berikut bukti Ta’wil dari Imam Bukhari yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqqi dalamkitab al-Asma’ was-Sifat Halaman 459, lihat scan kitab di bawah ini :

 

 

Imam Baihaqqi menuliskan :

قال البخاري معنى الضحك الرحمة

“Berkata Imam Bukhari : Makna Al-Dhahak adalah Rahmat”.

Maksudnya : الضحك yang seharusnya bermakna “tertawa” tapi ketika kalimat tersebut disandarkan kepada Allah maka makna nya tidak boleh bermakna dhohir karena dapat terbawa kepada menyerupakan Allah dengan makhluk, Allah tidak bersifat dengan tertawa, maka nya Imam Bukhari menta’wil dari makna tertawa kepada makna yang pantas bagi Allah yaitu Rahmat, maka dapatlah kita pahami bahwa pada kalimat yang mutasyabihat tidak boleh diartikan secara dhohiriyah, oleh karena itu timbullah dua Manhaj Tafwidh dan Ta’wil, seandainya makna dhohiriyah itu tidak bermasalah, maka sungguh tidak akan diperdapatkan metode Ta’wil dari para ulama, karena tidak punya hajat kepada demikian,  dan dapat pula kita pahami bahwa metode Tafwidh dari sebagian Ulama Salaf bukan maksudnya beriman dengan makna dhohiriyah lalu mentafwidh kaifiyat, akan tetapi ketika makna dhohir tidak boleh bagi Allah, maka sebagian ulama Salaf mentafwidh makna nya kepada Allah, bukan tafwidh kaifiyat, dan dengan tanpa Ta’wil, baik atas metode Tafwidh atau pun metode Ta’wil sepakat bahwa makna dhohiriyah tidak boleh dan tidak sah bagi Allah, maka Tafwidh dan Ta’wil tidak bertentangan, justru metode Tafwidh sangat bertentangan dengan metode Wahabi yang menetapkan makna dhohir, dan dapatlah dipastikan bahwaManhaj Salaf versi Salafi Wahabi sangat bertentangan dengan Manhaj Salaf Ahlus Sunnah Waljama’ah.

Wallahul muwaffiq.

Kitab Tafsir mu’tabar Sunni (Allah ada tanpa tempat dan arah) : Tafsir Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir – Tafsir Annasafi – Imam qurtubi

Istawa Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Tulisan ini kami persembahkan buat mereka yang tiap minggu Dauroh kajian Tafsir Ibnu Katsir, tapi pemahaman mereka justru berbeda dengan kajian-kajian mereka, parah nya penyakit Tasybih yang sudah mendarah daging dalam keras nya hati mereka, membuat mereka sulit menerima fakta kebenaran nya, dan membuat mereka tidak bisa menyadari bahaya besar yang sedang menjerat akidah mereka, hendak nya tulisan ini menjadi semangat baru bagi mereka agar kembali membuka kembali kajian mereka dan semoga tulisan ini menjadi pertimbangan dalam kajian ulangan nanti nya. Kesalahan mereka dalam memahami hakikat Manhaj Salaf telah menjadikan mereka sebagai fitnah agama ini, sebagai bukti mari lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang “Istawa”atau tentang bab Mutasyabihat umum nya, dan bagaimana hakikat Manhaj Salaf versi Ibnu Katsir akan kita pahami di sini. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54 sebagai berikut :

وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنمايُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل،وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولاتعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌوَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقدكفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت للهتعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالىالنقائص، فقد سلك سبيل الهدى.

Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :

“Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]

Perhatikan scan kitab di bawah :

Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :

فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بنسعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا

“maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”

Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.

وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله

“dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan)  dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”

Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran, artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna, dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran, sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah, otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin” kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.

فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

“karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11]”

Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.

بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”

“bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”.

Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari  sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf, sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.

وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه

“Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”

Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada nya terdapat keserupaan.

فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيلالهدى.

“maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.

Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.

Wallahu a’lam

Istawa Dalam Tafsir An-Nasafi

Dalam Tafsir an-Nasafi terbukti bahwa Salafi Wahabi adalah pendusta agama yang berdusta atas nama Al-Quran dan as-Sunnah, dan memfitnah para ulama Salaf atas nama Manhaj Salaf, mereka dalam bab Mutasyabihat mentafwidh kaifyat dan mentafsirkan dengan makna dhohir, mereka sangat anti dengan Ta’wil dan mengkafirkan aqidah Ta’wil, mereka sangan anti dengan Ta’wil Istawa dengan Istaula, sementara dakwaan mereka sebalik dengan hakikat Manhaj Salaf sesungguhnya, sebagai bukti mari buka Tafsir an-Nasafi, dan lihat apa kata Imam an-Nasafi sebagai berikut :

{ استوى } استولى . عن الزجاج ، ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره . وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً ، والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان .

“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H), dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk, dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul, dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul, dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat, maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Perhatikan scan kitab berikut

{ استوى } استولى . عن الزجاج

“Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H)”

Maksudnya : Imam an-Nasafi merujuk ke Tafsir Imam az-Zajjaj as-Salafi, dalam Tafsirnya az-Zajjaj menta’wil Istawa dengan Istaula, inilah bukti bahwa Ta’wil juga berasal dari Manhaj Salaf, karena sebagian ulama Salaf melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, Cuma kebanyakan ulama Salaf lebih memilih Tafwidh makna dan tidak mengkafirkan ulama yang bermanhaj Ta’wil, dua manhaj Ta’wil dan Tafwidh adalah metode agar tidak terjebak dengan Tasybih dalam makna dhohir nya, lain hal nya dengan Salafi Wahabi yang tidak melakukan Tafwidh seperti Tafwidh nya Salaf, dan juga mengkafirkan orang yang bermanhaj Ta’wil, dan mereka justru mentafsirkan nya dengan makna dhohir yang terdapat Tasybih dan Tajsim pada nya.

ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره

“dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk”

Maksudnya : kenapa disebutkan ‘Arasy bila Istawa bermakna Istaula, padahal Allah menguasai semua makhluk-Nya, bukan hanya ‘Arasy, maka jawabnya dengan penyebutan ‘Arasy maka termasuklah semua makhluk lain, karena ‘Arasy adalah makhluk yang paling besar.

وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك

“dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik”

Maksudnya : Sebagian ulama mentafsirkan Istawa dengan makna memiliki, karena punya hubungan antara makna Istiwa’ dan makna milik, karena tertegah memaknai nya dengan makna dhohir Istawa, maka kata Istawa adalah kinayah dari memiliki.

فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً

“maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya”

Maksudnya : ketika dikatakan bahwa “si fulan bersemayam /beristiwa’ atas singgasana, maka artinya si fulan memiliki singgasana tersebut walaupun ia tidak berada /bersemayam di atas nya, demikian juga seperti dikatakan “Tangan si fulan luas” maka artinya si fulan adalah seorang yang pemurah, sekalipun ia tidak punya tangan sama sekali, karena kata tangan adalah kiasan dari pemurah, sebagaimana Istawa adalah kiasan dari memiliki.

والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول

“Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul”

Maksudnya : Pendapat kuat dalam masalah makna ayat Mutasyabihat adalah sebagaimana Manhaj kebanyakan ulama Salaf yaitu pernyataan Sayyidina Ali –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Istawa tidak majhul artinya telah dimaklumi kata Istawa dari Al-Quran dan dimaklumi makna dhohirnya, tapi tidak dimaklumi makna maksud darinya. Dapatlah diketahui bahwa tentang masalah makna nash Mutasyabihat adalah masalah khilafiyah, ketika makna dhohirnya tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, maka boleh memaknainya dengan makna apa saja yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, sehingga lahirlah bermacam ta’wil dengan makna yang layak dengan Allah, sementara kebanyakan ulama Salaf lebih memilih tidak menentukan satu makna tertentu untuk kata tersebut, karena apapun makna yang dipakai, semua makna itu tidak akan mampu mewakili kata yang telah dipilih oleh Allah untuk diri-Nya.

والتكييف غير معقول

“menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul”

Maksudnya : berbicara tentang kaifiyat nya adalah tidak masuk akal (mustahil), bagaimana pun mengurai kaifiyat nya, namun yakinlah bahwa Allah tidak seperti demikian.

والإيمان به واجب

“dan beriman dengan nya wajib”

Maksudnya : Wajib beriman dengan kata Istawa karena jelas penyebutan nya dalam Al-Quran, bukan beriman dengan makna dhohir, sementara beriman dengan makna dhohir adalah tidak boleh karena terdapat Tasybih padanya, maka mengingkari makna dhohir tidak menjadi kafir karena nya, tapi kafir bila ingkar kata Istawa, maka termasuk dalam orang yang beriman di sini adalah orang yang bermanhaj Ta’wil.

والسؤال عنه بدعة

“dan bertanya tentang nya Bid’ah”

Maksudnya : Bertanya tentang Istawa Bid’ah dan bahkan membicarakan dan menguraikan ini adalah Bid’ah, tapi mudah-mudahan ini Bid’ah hasanah, karena para ulama telah menguraikan nya, selama tidak membicarakan kaifiyat nya.

لأنه تعالى كان ولا مكان

“karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat”

Maksudnya : Ini poin penting, apa hubungan nya dengan Istawa, seandainya makna dhohir Istawa yaitubersemayam itu layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, maka tidak ada hubungan Istawa dengan pernyataan Sayyidina Ali ini, tapi Sayyidina Ali mengatakan Allah telah ada dan tidak ada tempat, artinya sebelum ada ‘Arasy Allah tidak bersifat dengan bertempat/bersemayam, maka setelah menciptakan ‘Arasy juga demikian, maka makna dhohir yang dipahami bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas ‘Arasy setelah menciptakan ‘Arasy adalah tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, karena terdapat Tasybih di dalam nya, inilah hubungan antara pernyataan ini dengan Istawa.

فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان

“maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Maksudnya : Dzat Allah dan sifat-sifat Allah tidak berubah atau bertambah, sebagaimana Allah ada sebelum menciptakan apapun, begitu juga Allah setelah menciptakan makhluk-Nya dan selama nya, sementara Salafi Wahabi percaya dan sangat yakin bahwa Allah berubah dan bertambah sifat-Nya ketika menciptakan ‘Arasy dan langit. Na’uzubillah

Kesimpulan dari Tafsir an-Nasafi adalah :

·         Sepakat ulama Salaf tidak memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir, dengan dua metode Tafwidh makna dan Ta’wil makna.

·         Kebanyakan ulama Salaf memilih Tafwidh dan sebagian ulama Salaf memilih Ta’wil.

·         Ta’wil Istawa dengan Istaula adalah Ta’wil dari Manhaj sebagian Salaf.

·         Ulama Salaf tidak anti Ta’wil.

·         Manhaj Salaf bukan mentafwidh kaifiyat, tapi mentafwidh makna maksud kepada Allah.

Wallahu a’lam

Istawa Dalam Tafsir Imam al-Qurthubi

Mulia dengan Manhaj Salaf adalah selogan yang agung dan benar adanya, namun ketika fakta nya mereka yang mereka yang selalu mengagung-agungkan manhaj Salaf, pada kenyataan nya mereka sendiri sangat bertentangan dan jauh menyimpang dari Manhaj Salaf, mereka hanya membanggakan diri, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan dari mereka, tidak mungkin ada kemuliaan pada dua sisi yang saling bertentangan, itulah gambaran bagi para pengikut Manhaj Wahabi, Manhaj Salaf versi mereka adalah Manhaj mereka sendiri, tidak ada hubungan dengan Manhaj Salaf nya para ulama Salaf, ini salah satu buktinya :

Imam al-Qurthubi menuliskan dalam Tafsir nya sebagai berikut :

وهذه الآية من المشكلات، والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه، قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها؛ وذهب إليه كثير من الأئمة، وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة. وهذا قول المشبّهة. وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها

“Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”.[Tafsir al-Qurthubi. Surat al-Baqarah ayat 29]

Perhatikan scan kitab di bawah ini

Imam al-Qurthubi sangat shorih dalam menafsirkan ayat tersebut, dan beliau juga sangat telilti dalam menjelaskanmetode dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, dan kita tahu bagaimana aqidah Imam al-Qurthubi, mari kita pahami syarahan dari Imam al-Qurthubi di atas.

وهذه الآية من المشكلات

“Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit”

Maksudnya : Ayat tersebut termasuk dalam bagian ayat-ayat yang sulit, yaitu yang sering disebut dengan ayat-ayat Mutasyabihat, memahami ayat ini tidak segampang memahami ayat lain, menandakan ada “sesuatu” pada ayat tersebut, karena memahami ayat ini dengan metode yang sama dengan ayat lain, akan membuat seseorang terjebak dalam aqidah Tasybih, maka nya Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat tersebut termasuk dalam ayat yang sulit, dan tertolaklah anggapan sebagian orang yang menyangka semua ayat mudah dan ditafsirkan dengan cara yang sama.

والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه

“Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat”

Maksudnya : Setelah melakukan penelitian, Imam al-Qurthubi mendapati ada tiga macam pendapat atau metode dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat, tiga pendapat ini masih secara keseluruhan, mana yang benar dan mana yang sesat, insyaallah akan kita pahami nantinya.

قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن بها ولا نفسرها

“Sebagian mereka berkata : kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut”

Maksudnya : Pendapat pertama adalah mereka yang membaca dan beriman dengan kata yang datang dari Al-Quran dengan tidak mentafsifkan nya, mereka memperlakukan kata tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama artinya, metode mereka adalah tidak mentafsirkan baik denganmakna dhohir atau makna Ta’wil, baik dalam membaca atau mengungkapkan nya atau pun dalam mengimani nya, mereka bukan mengimani makna nya karena mereka tidak mentafsirkan nya, inilah yang disebut Tafwidh atau Ta’wil Ijmali, maka disini jelas kesalahan orang yang mengatakan bahwa Tafwidh adalah Tafwidh kaifiyat bukan Tafwidh makna maksud.

وذهب إليه كثير من الأئمة

“pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam”

Maksudnya : Metode di atas adalah metode mayoritas Ulama, yaitu metode Tafwidh makna maksud, dan beriman dengan mengungkapkan dengan kata yang datang dari Al-Quran tanpa mentafsirkan nya dengan kata lain yang sama makna nya. Dan Imam al-Qurthubi tidak membedakan antara Ulama Salaf dan Ulama Khalaf, artinya metode tersebut bukan hanya metode Ulama Salaf, karena Ulama Khalaf pun ada yang berpegang dengan metode ini, dan Ulama Salaf pun ada yang tidak tetap atas metode ini pada sebagian ayat Mutasyabihat.

وهذا كما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاً سأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَى

”dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa)”

Maksudnya : Imam al-Qurthubi memahami metode ini dari sebuah riwayat bahwa Imam Malik ditanyakan oleh seseorang tentang ayat (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), dari jawaban Imam Malik terhadap orang itu, Imam al-Qurthubi memahami bahwa Imam Malik dalam bab Mutasyabihat bermanhaj Tafwidh, yaitu tidak mentafsirkan  atau tidak menterjemahkan kapada satu makna tertentu, tapi menetapkan kata tersebut sebagaimana adanya, baik dalam bacaan atau ungkapan atau pun dalam mengimani nya. Lihatlah bagaimana perbedaan mendasar antara apa yang dipahami oleh Imam al-Qurthubi dan apa yang dipahami oleh kaum Salafi Wahabi, lebih celakanya lagi Salafi Wahabi menyandarkan pemahaman mereka yang sangat jauh melenceng itu kepada Imam Malik dan para ulama Salaf lain nya.

قال مالك : الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وأراك رجل سَوْء! أخرجوه

“Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”

Maksudnya : Imam Malik menjawab bahwa lafadz Istiwa’ tidak majhul, ada dua versi dalam memahami perkataan ini, pertama : Tidak majhul artinya lafadh Istawa ma’lum karena telah datang dalam Al-Quran, kedua : Tidak majhul artinya makna lughat Istawa ma’lum dari bahasa Arab, namun kedua versi tersebut tidak saling bertentangan karena sepakat bahwa Imam Malik tidak mentafsirkan nya kedalam makna lughat atau makna dhohir, sebagaimana Imam al-Qurthubi dan Imam Ahlus Sunnah lain nya, memahami dari pernyataan Imam Malik ini bahwa Imam Malik memberlakukan lafadh tersebut sebagaimana datang nya tanpa mentafsirkan nya dengan satu makna maksud, jadi jelaslah bahwa maksud “tidak majhul” adalah bukan maklum makna maksud (makna murad). Selanjutnya Imam Malik berkata : dan kaifiyat nya tidak ma’qul, artinya kaifiyat nya mustahil pada Allah, bukan hanya sebatas tidak diketahui oleh manusia, artinya Allah taala tidak bersifat dengan kaifiyat, sementara Salafi Wahabi meyakini Allah bersifat dengan kaifiyat tapi tidak ada dalil, dan mereka mentafwidh kaifiyat nya, bukan meniadakan kaifiyat nya sebagaimana aqidah ahlus sunnah waljama’ah. Selanjutnya Imam Malik berkata : danberiman dengan nya wajib, artinya beriman dengan kata Istawa wajib hukum nya, dan kafirlah siapa pun yangmengingkari Istawa, tapi bukan beriman dengan “Bersemayam” atau dengan makna lughat Istawa lain nya, karena tidak pernah mentafsirkan kata Istawa, jadi di sini pun maksudnya adalah beriman dengan kata Istawa bukan dengan makna lughat Istawa. Selanjutnya Imam Malik berkata : dan bertanya tentang nya adalah Bid’ah, menunjukkan ini adalah pembahasan baru yang tidak ada dimasa Rasulullah, lalu Imam Malik meminta agar orang tersebut dikeluarkan karena beliau melihat ia tidak bermaksud baik.

وقال بعضهم : نقرؤها ونفسّرها على ما يحتمله ظاهر اللغة

“Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”

Maksudnya : Pendapat kedua adalah sebagian orang dalam bab Mutasyabihat memilih metode membaca lalumentafsirkan atau menterjemahkan ke dalam arti bahasa, inilah hakikat Manhaj Salafi Wahabi, tentunya sangat jelas perbedaan metode mereka dengan metode Imam malik di atas, walau pun mereka sandarkan metode mereka kepada metode Ulama Salaf, mereka tidak menyadari ada bahaya besar di balik metode mereka, dan mereka tidak akan pernah sadar telah berpaling dari aqidah Salaf, selama mereka menyangka bahwa metode mereka sama dengan metode Salaf.

وهذا قول المشبّهة

“pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”

Maksudnya : Metode menterjemahkan ayat-ayat Mutasyabihat ke dalam arti lughat adalah metode kaum Musyabbihah dulu, artinya dengan berpegang dengan metode ini maka dengan sendiri nya sudah termasuk dalam Musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), karena dalam metode tersebut tersimpan Tasybih. Manhaj inilah yang didakwahkan oleh Salafi Wahabi atas nama Tauhid, tapi ternyata Tauhid yang mereka tegakkan hanyalah Tauhid Musyabbihah. Dan dari pernyataan ini dapatlah diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak setuju dengan metode ini, dan dari tiga macam metode yang ada hanya metode ini yang tidak berjalan atas Manhaj Ahlus Sunnah Waljama’ah.

وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلها على ظاهرها

“Dan sebagian mereka berkata : kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir”

Maksudnya : Pendapat ketiga adalah sebagian orang yang memilih metode membaca lalu menta’wil  atau mentafsirkan nya dengan makna yang layak dengan kesempurnaan Allah, bukan dengan makna lughat, dan dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Imam al-Qurthubi tidak mencela metode ini, dan menghargainya selayak nya sebuah khilafiyah, dan Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa metode ini bukan Manhaj Salaf atau bahkan bertentangan dengan Manhaj Salaf, karena sebagian Salaf juga melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, cuma mayoritas Ulama lebih memilih metode pertama di atas dari metode ini.

Hasbunallah wa ni’mal wakil, semoga Salafi Wahabi segera kembali ke Hakikat Manhaj Salaf di atas, bukan hanya di bibir saja tapi mati-matian membela Manhaj Musyabbihah Mujassimah, sementara Manhaj Salaf terlepas dari mereka. Wallahu a’lam.