Pengamalan Tharekat 2 : Suluk

JANGAN BURU2 MENYESATKAN ORANG!!!

Hati keras, ibadah tidak khusu’, doa tidak makbul, menganggap orang lain bodoh, sombong, hati tidak mereakan kemanisan dalam beribadah…..coba pelajari tasauf”

Hadits nabi : “barangsiapa menghukumi perkara agama tanpa ada ilmu, maka ia akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya…( HR imam suyuti)

sebelum membaca risalah ini sebaiknya membaca artikel :
Pengamalan tharekat 1 : Taubat
https://salafytobat.wordpress.com/category/pengamalan-tharekat-i-taubat/

SULUK

fADHILAT DZIKIR :

Allah SWT berfirman : “Dan sebutlah (dengan lidah dan hatimu) akan nama Tuhanmu (teru menerus siang dan malam), serta tumpukanlah (amal ibadatnu) kepadanya dengan sebulat-bulat tumpuan” (Al-Muzammil ayat 8)

AllahSWT berfirman : “Ketahuilah!!! Dengan dzikrullah itu, tenang dan tentramlah hati manusia” (Ar’ad : 28)

DARIPADA ZUBAIR BIN ABDULLAH RA meriwayatkan bahwa baginda saw bersabda : ” Tiada satu amal yang lebih menyelamatkan manusia dari azab Allah yang lebih dari dzikurullah
ketika ditanya : Walaupun jihad fiisabilillah?
Nabi bersabda : “walaupun jihad fii sabilillah tidak dapat menandingi dzikrullah, kecuali dia berjuang dengan berani memukul pedangnya kesana kemari hingga pedangnya patah (HR atharani dalam al austh dan jami’ushoghir,hadits shohih, majmu’zawaid 71/1)

Dari abdullah bin busrin ra meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada baginda
nabi Rasulullah saw : Ya rasulullah, sesungguhnya hukum-hukum islam telah banyak (yang semestinya kami amalkan tetapi) berikan kepadaku satu amal supaya tetap menjadi amalanku
Baginda SAW bersabda : Janganlah putus-putus lidah kamu basah dari mengingati Allah” (HR Tirmidzi, mutakhab 75/368)

a. Pengertian
Suluk yang berarti menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah SWT. Suluk juga disebut khalwat, yaitu berada ditempat yang sunyi sepi, agar dapat beribadat dengan khusuk dan sempurna. Suluk ini juga disebut iktikaf. Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu dilaksanakan 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah pimpinan seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh Mursyid.
Pengertian suluk adalah ikhtiar menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah, semata-mata untuk mencari keridlaan-Nya. Hakikat suluk adalah usaha, ikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan diri rohani maupun jasmani, dengan bertobat dan mengosongkan diri pribadi dari sifat-sifat buruk (maksiat lahir maupun batin), dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, taat lahir maupun batin. Setiap orang yang suluk meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya.
Syekh Amin Al Kurdi mengatakan, tidak mungkin seseorang itu sampai kepada makrifatullah dan hatinya bersih serta bercahaya, sehingga dapat musyahadah kepada yang mahbub, yang dicintai yaitu Allah SWT, kecuali dengan jalan suluk atau berkhalwat. Dengan cara inilah seseorang salik yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT semata-mata, bisa sampai kepada yang dimaksud (Amin Al Kurdi 1994 : 430).
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menegaskan lima hal pokok yang harus dijaga dan dilestarikan pelaksanaannya oleh pengamal (murid) tarikatullah Naqsyabandiyah :
a. Melaksanakan zikir sendiri-sendiri, sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Syekh Mursyid kepadanya.
b. Melaksanakan Khatam Tawajuh bersama-sama, di Alkah-alkah atau Surau-surau pada malam yang ditetapkan.
c. Melaksanakan Suluk, bagi orang yang mempunyai kelapangan dan waktu, di tempat-tempat yang telah ditentukan.
d. Melaksanakan penghidmatan, dalam pembinaan dan peningkatan peramalan ini.
e. Melaksanakan dan memelihara adab terhadap mursyid, adab terhadap sesama murid dan adab terhadap diri sendiri.
Tentu saja penjagaan dan pelestarian kelima hal tersebut, harus dilandasi dengan pelaksanaan syariat yang kuat terutama melaksanakan kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji, serta kewajiban-kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Syarak, seperti berbuat baik kepada orang tua (ibu,bapak), hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, hak dan kewajiban sebagai warga negara dan sebagainya. Dengan kata lain seseorang murid itu baru bisa berhasil dengan baik untuk meningkatkan kualitas Iman dan Takwanya, bertaqarrub kepada Allah, manakala melaksanakan ibadat uluhiyah (hablumminallah) dan ibadat muamalah (hablumminannas) dengan baik dan sempurna. Demikian fatwa Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya yang disampaikan beliau berulangkali.

b. Dasar Hukum
Bersuluk, berkhalwat atau beriktikaf dalam pengertian di atas, mempunyai dasar hukum naqli Al Quran maupun Al Hadis.
Firman Allah SWT,

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. Al Baqarah 2 : 222).

Firman Allah SWT,

Artinya : Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Q.S. Al Kahfi 18 : 110).

Firman Allah SWT,

Artinya : Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu 30 malam dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya 40 malam (Q.S. Al Araf 7 : 142).

Firman Allah SWT,

Artinya : Maka tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu (Q.S. An Nahl 16 : 69).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barangsiapa menempuh jalan untuk menggali ilmu (termasuk dengan beramal), Allah akan memudahkan baginya jalan ke Syurga.
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dengan tegas Allah menyukai dan mencintai orang yang selalu bertobat dari dosa lahir maupun dosa batin, yang dia ketahui ataupun yang dia tidak ketahui. Demikian juga Allah menyukai dan mencintai orang-orang yang selalu mensucikan dirinya dengan berwuduk secara syariah, dan mengisi batin rohaninya dengan Allah SWT secara hakikat. Orang yang bertobat dan mensucikan dirinya, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh dan tidak menserikatkan-Nya dengan sesuatu pun, Allah menjanjikan akan ada perjumpaan dengan-Nya nanti.
Untuk melaksanakan isi kandungan ayat-ayat tersebut, maka Nabi-Nabi sebelum Rasul Muhammad SAW seperti Nabi Musa a.s telah melaksanakan khalwat di bukit Tursina. Nabi Muhammad SAW sendiri melaksanakannya di gua Hira’.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Nabi Muhammad diberi kesenangan menjalankan khalwat di gua Hira’, dengan tujuan beribadat kepada Allah SWT pada beberapa malam yang tidak sebentar (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barang siapa beramal dengan ikhlas karena Allah SWT selama 40 hari, niscaya terpancarlah sumber-sumber hikmah dari hatinya ke lidahnya. (H.R. Ahmad).

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya :Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Adalah Nabi SAW melaksanakan iktikaf dalam sepuluh hari akhir Ramadhan, lalu saya buatkan kelambu untuk beliau, lalu Rasul shalat Shubuh, kemudian Rasul memasukinya. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Gua Hira’ terletak di Jabal Nur beberapa kilometer di luar kota Mekkah. Gua Hira’ adalah gua yang tidak luas (sempit) yang cukup untuk satu orang saja kalau berkhalwat di dalamnya. Adalah sulit di beberapa tempat, apalagi di masa kini untuk berkhalwat di gua semacam itu, sedangkan yang ingin berkhalwat itu tidak hanya ratusan jumlahnya, tapi ribuan orang. Karena itu para Syekh Mursyid memodifikasikannya dengan memakai kelambu. Kelambu ini berfungsi tidak hanya bebas dari ganggguan orang, tetapi juga bebas dari gangguan nyamuk, sekaligus juga menjaga temperatur udara yang dingin. Empat puluh hari adalah masa maksimal satu suluk, tapi oleh sebab pertimbangan kesempatan, biaya, tugas dan sebagainya, maka waktu itu dapat dibagi atau dicicil menjadi beberapa hari.
Selanjutnya apabila mengkaji lebih dalam lima ayat yang pertama turun dalam surat Al Alaq, kita jumpai di sana ada dua kalimat iqra’. Sudah pasti iqra’ pertama berbeda dengan kandungan iqra’ kedua.
Firman Allah SWT,

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (Q.S. Al Alaq 96 : 1-2).

Iqra pertama ini berarti kita disuruh berzikir dengan menyebut nama Allah Ismuz Zat atau Nafi Isbat, sebagai suatu metode untuk membersihkan diri rohani kita yang menjadi landasan, fondamen dan memberi jiwa keikhlasan terhadap ibadat yang zahiriahnya dilakukan oleh jasmani. Karena itulah kita melihat dengan waktu yang cukup lama, antara turunnya surat Al Alaq ini dengan turun ayat berikutnya, Rasulullah berkhalwat di gua Hira sebagai realisasi pelaksanaan kandungan Iqra pertama ini.
Firman Allah SWT,

Artinya : Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S.Al Alaq 96: 3-5).

Iqra kedua ini berarti kita disuruh bekerja dan beramal dengan ketentuan dan peraturan syariat Allah SWT. Berbuat dan beramal itu harus dengan ilmu pengetahuan yang melandasinya, baik untuk amalan syariat yang akan meningkatkan kualitas Iman dan Takwa (imtak), maupun berbuat dan beramal untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) yang canggih.
Pelaksanaan kandungan Iqra’ kedua ini setelah turun surat Al Muddatstsir yang mengandung perintah supaya Rasul mulai berdakwah. Secara historis periode Mekkah adalah periode memantapkan Iman dan Takwa melalui zikrullah, seperti yang terkandung dalam Iqra pertama, dilanjutkan periode Madinah melaksanakan syariat, baik Ubudiyah Uluhiyah maupun Ubudiyah Muamalah, seperti yang terkandung dalam Iqra kedua. Kedua-dua kandungan Iqra itu harus dikerjakan dan diamalkan dengan utuh, selaras, serasi dan seimbang.
Dari penjelasan di atas yang didasarkan kepada Al Quran dan Al Hadis, dapat kita simpulkan bahwa suluk atau berkhalwat adalah meneruskan sunnah Rasul yaitu Nabi Musa a.s berkhalwat di bukit Tursina dan Nabi Muhammmad SAW berkhalwat di gua Hira’.

c. Persiapan Suluk
Seseorang yang akan melaksanakan suluk, harus siap fisik dan mental. Secara fisik orang yang akan suluk harus menyelesaikan dahulu segala sesuatu urusan duniawiyahnya, misalnya membayar utang piutangnya kalau dia berhutang, menyerahkan kegiatan usahanya kepada orang lain, minta ma’af kepada orang tua, sanak famili dan handai taulan, sebab orang yang suluk itu bertekad seolah-olah dia menuju kepada zikrul maut (ingat kepada mati). Jadi kalau ingat kepada mati, dia harus melupakan dan menyelesaikan segala urusan dunianya terlebih dahulu. Kalau seorang anak minta izin orang tuanya, bila istri minta izin suaminya dan seterusnya.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Rasakanlah mati sebelum engkau mati.

Secara mental seseorang yang akan suluk, harus terlebih dahulu bertobat dari segala dosa lahir dan dosa batin, serta mengakui bahwa dia mempunyai banyak dosa. Karena itu dia harus berniat dengan ikhlas untuk melaksanakan suluk semata-mata karena Allah, semata-mata mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mengikuti petunjuk-petunjuk Syekh Syekh Mursyidnya.
Sebelum pelaksanaan suluk, seseorang itu harus mandi taubat dengan air yang bersih dengan niat, bahwa dia mandi taubat dari dosa lahir maupun batin karena Allah SWT. Setelah mandi taubat barulah dia melaksanakan beberapa shalat sunat, yaitu shalat sunat wudlu 2 rakaat, shalat sunat taubat 2 rakaat, dan shalat hajat untuk melaksanakan suluk 2 rakaat. Setelah itu dia berniat suluk menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah dengan melaksanakan ‘akmalush shalihat, amal-amal ibadat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para ahli silsilah Tarikat Naqsyabandiyah.
Menurut DR. Mustafa Zahri setelah itu dia berdo’a dengan do’a sebagai berikut :
– “Ya Tuhan, jadikanlah hatiku berjalan kepada-Mu, sehingga aku memperoleh keridlaan-Mu yang aku cari.”
– “Ya Tuhan, hilangkanlah hijab dalam hatiku dan bukakanlah hijab yang menutupi aku untuk menemukan Engkau.”
– “Ya Tuhan, limpahkan kepadaku Nur Makrifat-Mu dalam hatiku, supaya aku melihat wajah- Mu.”
– “Ya Tuhan, kembalikanlah aku kepada kudrat-Mu dan iradat-Mu.”
– “Ya Tuhan, berikanlah aku keridlaan-Mu dan janganlah aku disiksa di hari kemudian.” (Mustafa Zahri 1991 : 257).

d. Syarat Suluk
Syekh Amin Al Kurdi dalam bukunya “Tanwirul Qulub” mengatakan ada 20 syarat suluk:
1). Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah lahir dan batin.
2). Mohon ijin dan do’a dari syekh mursyidnya, dan seorang salik tidak memasuki rumah suluk sebelum ada ijin dari syekh selama dia dalam pengawasan dan pendidikan.
3). ‘Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluk.
4). Melangkah dengan kaki kanan pada waktu masuk rumah suluk. Waktu masuk seorang salik mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan dan membaca basmalah, setelah itu dia membaca surat An Nas tiga kali, kemudian melangkah kaki kiri dengan berdo’a,

Artinya : Ya Allah, yang menjadi pelindung di dunia dan akhirat, jadikanlah aku sebagaimana Engkau telah menjadikan penghulu kami Muhammad SAW dan berilah aku kurnia, rizki mencintai-Mu. Berilah aku kurnia, rizki mencintai kekasih-Mu. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan kecantikan-Mu dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang ikhlas. Ya Allah hapuskanlah diriku dengan tarikan zat-Mu, wahai Yang Maha Peramah yang tidak ada orang peramah bagi-Nya. Ya Tuhan, janganlah Engkau biarkan aku tinggal sendirian, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik orang yang mewarisi.

Setelah itu dia masuk ke Musholla lalu mengucapkan,

Artinya : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan hanif/lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kalimat itu dibaca 21 kali. Setelah itu baru melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Setelah membaca Al Fatihah di rakaat pertama, dibaca ayat kursi (Al Baqarah 2 : 255) dan di rakaat kedua setelah membaca Al Fatihah, dibaca Amanar Rasul (AlBaqarah 2 : 285). Dan setelah salam membaca Ya Fatah ( ) 500 kali.

Artinya : Seseorang itu memohon kepada Allah agar dibukakan makrifat-Nya.
5). Berkekalan wudlu atau senantiasa berwudlu.
6). Jangan berangan-angan untuk memperoleh keramat.
7). Jangan menyandarkan punggungnya ke dinding.
8). Senantiasa menghadirkan musyid.
9). Berpuasa.
10). Diam, tidak berkata-kata kecuali berzikir atau terpaksa mengatakan sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah syariat. Berkata-kata yang tidak perlu akan menyia-nyiakan nilai khalwat dan akan melenyapkan cahaya hati.
11). Tetap waspada terhadap musuh yang empat, yaitu syetan, dunia, hawa nafsu dan syahwat.
12). Hendaklah jauh dari gangguan suara-suara yang membisingkan.
13). Tetap menjaga shalat jum’at dan shalat berjama’ah karena sesungguhnya tujuan pokok dari khalwat adalah mengikuti Nabi SAW.
14). Jika terpaksa keluar haruslah menutupi kepala sampai dengan leher dengan memandang ke tanah.
15). Jangan tidur, kecuali sudah sangat mengantuk dan harus berwudlu. Jangan karena hendak istirahat badan, bahkan jika sanggup, jangan meletakkan rusuk ke lantai/berbaring dan tidurlah dalam keadaan duduk.
16). Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang.
17). Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkat kepadanya, kalau meminta berkat hanya kepada Syekh-Syekh Mursyid.
18). Semua nikmat yang diperolehnya harus dianggapnya berasal dari Syekh-Syekh Mursyid, sedangkan Syekh-Syekh Mursyid memperolehnya dari Nabi Muhammad SAW.
19). Meniadakan getaran dan lintasan dalam hati, baik yang buruk maupun yang baik, karena lintasan-lintasan itu akan membuyarkan konsentrasi munajat kepada Allah SWT sebagai hasil dari zikir.
20). Senantiasa berzikir dengan kaifiat yang telah ditetapkan oleh syekh Syekh Mursyid baginya, hingga sampai dengan dia diperkenankan atau dinyatakan selesai dan boleh keluar (Amin Al Kurdi 1994 : 430-431).
Pelaksanaan suluk pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya disamping memenuhi syarat suluk tersebut, adalagi ketentuan adab suluk yang pada prinsipnya sama dengan syarat suluk yang 20 tadi. Ada 21 adab suluk yang inti pokoknya mengatur ketentuan-ketentuan orang yang suluk itu supaya mendapatkan hasil maksimal dalam suluknya. Ada lagi 9 (sembilan) adab setelah keluar dari suluk, yang harus diperhatikan dan dipedomani agar hasil Ubudiyah suluk itu dapat dipertahankan dan bahkan dapat lebih ditingkatkan lagi.

e. Zikrullah
Orang dalam suluk seluruh hidup dan kehidupannya harus bernilai ibadat dan tidak boleh ada padanya yang bernilai sia-sia. Karena itu ibadat-ibadat yang dilakukan baik yang wajib maupun yang sunat, sama saja dengan ibadat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suluk, sesuai dengan ketentuan syariat. Orang dalam suluk berusaha bermujahadah, bersungguh-sungguh melaksanakan itu semua dengan lebih intensif, dengan konsentrasi penuh, dengan khusuk lillahi ta’ala. Tidak ada sedikit pun peramalan itu yang menyimpang, apalagi keluar dari ketentuan syariat. Tidak ada peramalan bid’ah, apalagi menjurus kepada khurafat dan syirik, bahkan orang suluk berusaha untuk mendapatkan tauhid yang semurni-murninya, tidak hanya dalam bentuk ilmul yakin atau ‘ainul yakin tapi dalam bentuk hakkul yakin.
Untuk mendapatkan itu tidak mungkin dengan metode belajar saja, tapi harus dengan beramal dengan metodenya yang benar dan tahkik. Beramal dengan metode yang benar dan tahkik inilah, pengamal Tarikat Naqsyabandiyah sebagaimana halnya pengamal-pengamal tarikat lainnya, wajib memerlukan seorang Syekh Mursyid dalam arti sesungguhnya (memenuhi kriteria Mursyid) sebagai pembimbing rohani dalam beramal. Syekh-Syekh Mursyid itu telah menerima bimbingan rohani dari Syekh-Syekh Mursyidnya, dan begitulah seterusnya sambung bersambung (silsilah) sampai dengan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang beliau juga menerima bimbingan itu dari Jibril a.s. Menurunkan silsilah atau mengijazahkan peramalan kepada muridnya dengan statuta yang sah. Dengan demikian tidak semua murid Syekh Mursyid itu nantinya berhak menjadi Syekh Mursyid pula, paling-paling dia berstatus sebagai khalifah atau pembantu Syekh Mursyid.
Disamping ibadat wajib dan sunat sesuai dengan ketentuan syariat, orang dalam suluk peramalan utamanya adalah zikrullah. Peramalan zikrullah bagi setiap murid, dilaksanakan sesuai dengan ketetapan Syekh Mursyid terhadapnya. Mengamalkan zikrullah harus sesuai dengan tatacara dan kaifiat yang telah ditetapkan pada masing-masing tarikat.

1). Adab Zikir
Untuk mendapatkan kualitas zikir yang tinggi dan dampak yang maksimal, seseorang yang berzikir itu harus melaksanakan adab zikir. Syekh Amin Al Kurdi mengatakan ada 11 adab zikir, yaitu :
(1). Suci dari hadas kecil atau seseorang itu dalam keadaan berwudlu.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Wudlu itu menghapus dosa-dosa. (H.R. Ahmad).
(2). Shalat sunat dua rakaat.
(3). Menghadap kiblat di tempat yang sunyi.

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sebaik-baik majlis ialah menghadap kiblat. (H.R. Thabrani).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Tujuh orang yang mendapat perlindungan Allah pada suatu hari yang tidak ada perlindungan kecuali daripada-Nya. Di dalam hadis itu disebutkan antara lain : Dan seorang laki-laki berzikir di tempat yang sunyi kemudian dia menangis dengan mengeluarkan air matanya. (H.R. Bukhari Muslim).

(4). Duduk tawarruk, yaitu kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat. Sebagaimana duduknya para sahabat di hadapan Rasulullah SAW. Duduk tawarruk seperti itu memudahkan seseorang untuk mendapatkan tawaduk dan konsentrasi.
(5). Istighfar atau minta ampun dari semua maksiat dan kesalahan yang telah lalu. Dalam mengucapkan istighfar itu, dia membayangkan semua maksiat dan kesalahan-kesalahannya secara keseluruhan, sambil dia percaya dan membayangkan Allah melihatnya sekarang ini. Karena itu dia meninggalkan semua kesibukan dan fikiran duniawiyah. Yang dibayangkannya, hanyalah kebesaran dan keagungan Allah SWT yang hadir pada saat ini, yang bersifat Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.

Setelah itu dia mengucapkan Astaghfirullah ( ) 5 kali atau 15 kali atau 25 kali. Yang terbaik adalah 25 kali.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barang siapa yang lestari terus menerus mengucapkan istighfar, niscaya Allah memberikan jalan keluar baginya dari segala kesempitan dan menghilangkan segala yang menggelisahkan dan memberikan rezki dari sumber yang tidak dia duga sebelumnya. (H.R. Ahmad dan Hakim).

(6). Membaca surat Al Fatihah satu kali dan surat Al Ikhlas tiga kali dan menghadiahkan pahalanya kepada roh Nabi Muhammad SAW dan kepada arwah sekalian Syekh ahli silsilah Tarikat Naqsyabandiyah, terutama kepada Syekh Mursyid.
(7). Memejamkan kedua mata dan menutup mulut dan menongkatkan lidah ke langit-langit. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan kekhusukan yang sempurna dan lebih memastikan lintasan- lintasan hati yang harus diperhatikan.
(8). Rabithah Kubur, artinya seseorang yang berzikir itu membayangkan seolah-olah dirinya sudah mati. Karena itu dia membayangkan dirinya dimandikan, dikafankan, dishalatkan, diusung ke kubur dan akhirnya dimakamkan (dikebumikan). Semua keluarga dan sahabat handai taulan meninggalkan kita sendirian dalam kubur. Pada waktu itu ingatlah kita bahwa segala sesuatu tidak berguna lagi kecuali amal saleh.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau sedang dalam perjalanan dan karena itu persiapkanlah dirimu untuk pada suatu saat menjadi penghuni kubur (H.R. Tarmizi).

(9). Rabithah Mursyid, artinya murid merabithahkan atau menghubungkan rohaniahnya kepada rohaniah mursyid yang akan membimbingnya atau bersama-sama menuju kehadirat Allah SWT. Rohaniah mursyid itu dalam kajian orang tasawuf, ibarat corong atau pancuran untuk mendapatkan limpahan kurnia dan berkah dari Allah SWT.
Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya pasti kamu mendapat keberuntungan (sukses). (Q.S. Al Maidah 5 : 35).

Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (Q.S. At Taubah 9 : 120).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Seseorang itu akan selalu bersama dengan orang yang dia kasihi. (H.R. Bukhari Muslim).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Abu Sofyan bin Waki’ menceritakan kepada kami dari Ashim bin Ubaidillah dari Salim dari Ibnu Umar dari Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khatab minta izin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat umrah, maka Nabi bersabda, “Wahai saudaraku, ikut sertakan kami (ingatkan kami) pada waktu engkau berdo’a nanti dan jangan sekali-kali engkau melupakan kami.” (H.R. Abu Daud dan Tarmizi).

Sabda Rasulullah,

Artinya : Besertalah kamu dengan Allah, tapi kalau belum sanggup, maka hendaklah kamu beserta dengan orang-orang yang telah beserta dengan Allah, karena sesungguhnya bersama- sama orang itulah kamu akan sampai kepada Allah SWT.(H.R Abu Dawud).

Kata orang-orang arif,

Artinya : Fana pada syekh adalah mukaddimah untuk fana kepada Allah SWT.

(10). Mengkonsentrasikan semua panca indera dan memutuskan hubungan dengan semua yang membimbangkan untuk ingat kepada Allah. Konsentrasi hanya ditujukan kepada Allah saja lalu mengucapkan,

Artinya : Wahai Tuhanku, Engkaulah yang kumaksud dan keridhoan-Mulah yang aku tuntut (dibaca tiga kali).

Sesudah itu barulah mulai berzikir ismus zat dalam hati dengan meresapkan perhatian ismus zat itu yakni : Dialah zat yang tiada sesuatu pun setara dengan Dia. Dia hadir, memperhatikan semua hal, sesuai dengan sabda Rasul dalam menafsirkan makna Al Ikhsan,

Artinya : Hendaklah engkau beribadat kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jikalau engkau tidak melihat-Nya maka yakinilah bahwa sesungguhnya Allah SWT melihat engkau (H.R. Bukhari Muslim).

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Iman yang paling baik adalah anda mengetahui / merasakan bahwa sesungguhnya Allah menyaksikan anda di mana pun anda berada (H.R. Thabrani).

(11). Menunggu sebentar datangnya sesuatu yang akan muncul pada waktu berzikir hampir berakhir sebelum membuka dua mata. Apabila datang sesuatu yang ghaib, maka hendaklah waspada dan berhati-hati karena cahaya hati akan berpancar.

Demikian Amin Al Kurdi menjelaskan tentang adab zikir. (Amin Al Kurdi 1994 : 443 – 444).

Fitnah wahabi thd Sholawat Nariyah dan sholawat ahli sufi

Fitnah wahabi pada solawat nariyah dsb. :

Membongkar Kedok Sufi : Tasawuf & Sholawat Nabi
Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 50/II/IV/142
Firqoh-Firqoh, 05 Juni 2005, 13:56:11

jawaban saya :

Begitulah cara wahabi menebar fitnah, hanya orang-orang yang dangkal aqidahnya, kurang perbendaharaan ilmu dan hadits sajalah yang membenarkannya dan mengikuti doktrin2 sesatnya…..

wahabi/ salapy / darul hadits banyak lagi jenisnya, di Indonesia saja ada LDII, salapi, wahdahislamiyah, persis, muhammadiyah dsb……na’udzubillah!! dan mereka pun saling kafir-mengkafirkan/sesat-menyesatkan diantara mereka sendiri….

untuk menjawab masalah ini, kita harus tau dahulu apa itu sholawat’
1. Sholawat adalah doa keselamatan, kesejahteraan
Dengan bahasa apapun atau orang yg tak hafal salawat yg panjang2 kalau dia mendoakan keselamatan pada nabi maka itu pun dikatakan solawat dan mendapat fadhilah sholawat. Jadi Mendoakan keselamatan kepada nabi dengan doa versi kita, dgn bahasa kita sendiri (tapi tidak menyalahi syar’i) maka tetap itu dihitung sebagai sholawat dan berhak mendapat fadhilah, seperti hadits :

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni)

tau ga sholawatnya Allah kepada kita? jadi solawat itu artinya doa keselamatan baik didunia/ahirat…
..ga tau bahasa arab siih…

untuk ini kita lihat fatwa ulama :
Dari sinilah Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya- menyimpulkan:

“الْ  محدثَات من اْلأُمورِ ضربان: أَح  د  هما: ما أُحدثَ
مِما يخالِ  ف كتابا أَو سنةً أَو أَثرا أَو إِجماعا، فهذه
اْلبِدعُة الضلاَلَة، والثَّانِيُة: ما أُحدثَ من الْخيرِ لاَ
خلاَف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثٌَة غَير
مذْمومة” (رواه الحافظ البيهقي في كتاب مناقب الشافعي)
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
“من سن فيِ اْلإِسلاَمِ سنةً حسنَةً فَلَه أَجرها
وأَجر من عملَ بِها بعده من غَيرِ أَنْ ينُقص من
أُ  جورِهم شىءٌ” (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Sahabat Umar ibn al Khaththab setelah mengumpulkan para sahabat dalam shalat tarawih dengan bermakmum kepada satu
imam mengatakan:
” نِعم الْبِدعُة هذه ” (رواه الإمام البخاري في صحيحه)

Maknanya: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (H.R.
al Bukhari dalam Shahih-nya)

2. Apakah hukum memanggil (Nida’) seorang nabi atau seorang wali, meski tidak di hadapan keduanya, dan apa hukum meminta kepada nabi atau wali sesuatu yang biasanya tidak pernah diminta oleh umat manusia ?
Jawab: Itu semua boleh dilakukan, karena perbuatan seperti itu tidaklah
dianggap beribadah kepada selain Allah. Ucapan “Wahai Rasulullah” semata bukanlah syirik. Dalam sebuah hadits yang tsabit disebutkan bahwa Bilal ibn alHarits al Muzani (salah seorang sahabat Nabi) mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam saat musim paceklik di masa pemerintahan Umar ibn al Khaththab –semoga Allah meridlainya- lalu Bilal berkata (di depan makam Nabi): “Wahai Rasulullah ! mohonlah (kepada Allah) agar diturunkan air hujan untuk umatmu, karena sungguh mereka telah binasa” (H.R. al Bayhaqi dan lainnya). Apa yang dilakukan sahabat Bilal ini sama sekali tidak diingkari oleh sahabat Umar dan para sahabat lainnya, bahkan mereka menilai perbuatan
tersebut bagus. Allah ta’ala berfirman:
[ ولو أم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما ]
( (سورة النساء : 64
Maknanya: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menzhalimi diri mereka (berbuat maksiat kepada Allah) kemudian datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang” (Q.S. an-Nisa: 64)
Juga dalam hadits yang tsabit telah disebutkan: Bahwa Ibnu Umar mengatakan:
يا محمد
(wahai Muhammad) ketika merasakan semacam kelumpuhan pada kakinya (H.R. al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad)

3. Terangkan tentang tawassul dengan para nabi?
Jawab: Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan para nabi itu boleh. Tawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya, dengan disertai keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki hanyalah Allah semata. Allah ta’ala berfirman:
( [ وابتغوا إليه الوسيلة ] (سورة المائدة : 35
Maknanya: “Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)

Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
mengajarkan kepada seorang yang buta untuk bertawassul dengannya. Lalu orang buta tersebut melaksanakannya di belakang (bukan di hadapan) Nabi, maka Allah mengembalikan penglihatannya (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkannya)
juga hadits qudsi dimana : nabi adam bertawasul dgn nabi muhammad, dan doa dia dikabulkan Allah. Padahal nabi belum lahir.

4. Shalawat Nariyah
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Dengan suatu keyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تآمًا عَلَى سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ الَّذِي تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ عَدَدَ كَلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Nabi Muhammad, yang dengannya terlepas semua ikatan kesusahan dan dibebaskan semua kesulitan. Dan dengannya pula terpenuhi semua kebutuhan, diraih segala keinginan dan kematian yang baik, dan dengan wajahnya yang mulia tercurahkan siraman kebahagiaan kepada orang yang bersedih. Semoga shalawat ini pun tercurahkan kepada keluarganya dan para sahabatnya sejumlah seluruh ilmu yang Engkau miliki.”

untuk faham artinya kita harus tau keutamaan rasulullah, dlm hadis banyak disebutkan :
hadits qudsi Allah berfirman :”Kalau bukan karena kamu wahai muhammad, kami (Allah) tidak ciptakan dunia”
jadi dengan asbab nabi muhammad Allah ciptakan dunia.

jadi Allah jadikan dunia dan segala isinya, juga segala kejadian, kesenangan, kesedihan, sorga, neraka dan semua makhluq ini karena berkat nabi muhammd SAW…. (keberkatan nabi muhammad saw)
jadi kalo lafadz sholawat saya ganti :
““Ya Allah , berikanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Nabi Muhammad, yang dengannya engkau ciptakan dunia, yang dengannya engkau ciptakan kesedihan dankesenangan….dsb…”

maka itu tidak menyalahi aqidah dan syar’i….jadi apa masalahnya?
Hadits nabi : “barangsiapa menghukumi perkara agama tanpa ada ilmu, maka ia akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya…( HR imam suyuti)

4. hadits – hadits shohih tentang amalan yang mendapatkan pahala besar….

contoh : hadits dari abudzar alghifari bahwa nabi saw bersabda : “yaa abudzar, sungguh kamu bepergian pada pagi hari dan kamu mempelajari satu ayat dari kitab Allah maka kamu akan mendapat pahala 100 rekaat sholat, dan sungguh kamu pergi pada pagi hari dan kamu mempelajari satu bab dari ilmu, baik engkau amalkan ilmu itu atau tidak, maka itu lebih baik daripada sholat 1000 reka’at”

jadi ulama tafsirkan : Bahwa lafadz “pahala sholat” yang dimaksud dalam hadits ini adalah pahala sholat sunnah (rujukan kitab fadhoilulqur’an)

Padahal fadhilah dzikir sangat besar!! Dalam hadits shohih dan masyhur disebutkan bahawa dzikir lebih besar pahalanya daripada menyedahkan harta dijalan Allah, lebih besar dari jihad dijalan Allah sekalipun ia membunuh musuh atau terbunuh oleh musuh…

jadi apa yang tidak mungkin bagi Allah utk memberi pahala pada hambanya yg beramal dgn ikhlas…..

kepada para pencari kebenaran !!
ikhlas terbagi menjadi tiga :
1. Niat mencari pahala atau fadhilat dalam amal atau sorga
ini sudah tergolong ikhlas, tapi dalam tahapan yang terendah…
lihat hadits dan kisah2 sahabat…
sahabat anas di targhib oleh rasulullah….
apakah kamu tidak ingin sorga yg seluas langit dan bumi!!
maka sahabat anas maju bertempur hingga sahid…

niat2 yang tidak ikhlas adalah niat utk mencari kemashuran didunia, riya , sum’ah dsb….
mengetahui pahala amal sangat penting utk ihtisab (perhitungan jika ada dua/lebih amalan yg terjadi dalam satu waktu, kita harus pilih salah satu) karena ridho dan cinta Allah terletak pada amal yang paling tinggi fadhilatnya…
2. Niat hanya mencari ridhol Allah….
lihat hadist ttg ikhlas

3. Niat hanya mencari kecintaan Allah
lihat hadis dan kitab tasawuf

dalam tasawuf, tahapan niat ikhlas dinaikan bertahap hingga ke tahap yang ke 3 (tertinggi)

WAHABI RUBAH TEMPAT SA’I, HAJI SYAH??

Isu Besar Tempat Sa’ie

(Pasal) Haji Dan Sa’i
Kewajiban haji dan umrah adalah sekali seumur hidup bagi seorang muslim, merdeka,
mukallaf, yang memiliki harta yang cukup untuk perjalanan ke sana dan kembali lagi ke tanah airnya, lebih dari kebutuhannya untuk membayar hutang,kebutuhan tempat tinggal, pakaian yang layak dan nafkah bagi yang wajib dia nafkahi, selama
kepergiannya sampai kepulangannya dari tanah suci.

Rukun haji ada enam:
1. Ihram, yaitu berniat dalam hati dengan mengatakan:
”Saya berniat (mulai) melaksanakan ibadah haji atau umrah”.

2. Wuquf di Arafah, (waktunya adalah antara tergelincirnya matahari pada hari Arafah yaitu pada tanggal 9 dzulhijjah sampai terbitnya fajar malam
hari raya idul adlha).
3. Thawaf di baitullah.
4. Sa’i antara bukit Shofa dan bukit Marwa tujuh kali dari ‘aqd ke ‘aqd.
5. Memotong sebagian atau seluruh rambut.
6. Tertib dalam sebagian besar rukunnya.

Adapun yang merupakan rukun ibadah umrah adalah yang tersebut di atas kecuali wukuf di Arafah. Dan tiap-tiap rukun ini mempunyai tuntunan; kewajiban dan syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi.

Dalam pelaksanaan thawaf disyaratkan menempuh jarak yang di mulai dari hajar aswad menuju kembali ke hajar aswad sebanyak tujuh kali putaran, dan disyaratkan pula untuk menutup aurat, suci dari hadats besar dan hadats kecil, serta
menempatkan ka’bah di sebelah kiri kita, tidak menghadap atau membelakanginya.
Diharamkan bagi orang yang sedang ihram:
1. Memakai wewangian.
2. Meminyaki rambut atau janggut dengan minyak, lemak (yang sudah mencair) atau lilin yang berasal dari sarang lebah madu yang sudah cair.
3. Memotong kuku atau rambut.
4. Jima’ (termasuk pula hal-hal yang merupakan permulaan jima’, seperti berciuman).
5. Melakukan aqad nikah.
6. Berburu binatang darat yang boleh dimakan dan
buas.
7. Bagi lelaki dilarang menutup kepalanya atau
memakai pakaian yang menutupi sepeti yang
dijahit atau sejenisnya.
8. Bagi wanita dilarang menutup muka dan memakai
sarung tangan.
Barang siapa mengerjakan salah satu dari halhal yang diharamkan ini maka dia berdosa dan harus membayar fidyah. Adapun orang yang merusak ibadah hajinya dengan jima’, maka selain berdosa dan membayar fidyah hajinya rusak dan dia wajib mengqadla sesegera mungkin dan menyempurnakan (menuntaskan sampai selesai) ibadah hajinya (yang rusak tersebut). Jadi orang yang merusak hajinya
dengan jima’ dia harus tetap meneruskan ibadahnya (tidak boleh memutuskannya) dan pada tahun berikutnya dia mempunyai kewajiban untuk mengqadla’nya kembali.

Wajib haji adalah:
1. Ihram dari miqot; yaitu tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah untuk memulai ihram, seperti tempat yang bernama Dzul hulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah dan orang–orang yang melewati daerah ini.
2. Bermalam di Muzdalifah ketika haji menurut satu pendapat, dalam pendapat yang lain tidak wajib.
3. Bermalam di Mina menurut satu pendapat, dalam pendapat yang lain tidak wajib.
4. Melempar jumrah aqabah pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah).
5. Melempar tiga jumrah (Jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah Aqabah) pada hari tasyriq (11,12, 13 Dzulhijjah).
6. Thawaf wada’ menurut satu pendapat dalam madzhab Syafi’i.

Orang yang tidak melaksanakan keenam perkara ini (wajib haji), tidak rusak ibadah hajinya, tetapi dia berdosa dan harus membayar fidyah. Berbeda dengan rukun–rukun yang telah disebutkan sebelumnya, orang yang tidak melaksanakannya (sekalipun satu rukun) maka hajinya tidak sah dan orang yang meninggalkannya tidak bisa menggantinya dengan dam; denda berupa menyembelih kambing.

Diharamkan berburu binatang dan memotong pepohonan di dua tanah haram baik bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau tidak. Jika hal ini dilakukan di Mekah maka wajib membayar fidyah, berbeda jika dilakukan di Madinah maka tidak wajib membayar fidyah. Tanah haram-nya Madinah adalah yang ada di antara bukit ‘Ayr dan bukit Tsawr.

Silahkan Download Tarjamah Mukhtasar Harary (Fiqh madzad syafei) ,42 halaman:
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Mukhtassar_Al-Harari.pdf

Untuk sahnya sa’i ini syaratnya ini disyaratkan beberapa hal yaitu :

1. Hendaklah dilakukan setelah thawaf

2. Hendaklah tujuh kali putaran.

3. Dimulai Shafa dan akhiri di marwa (jaraknya kurang lebih 420 m).

4. Hendaklah sa’i dilakukan ditempatnya -mas’a- yaitu jalan yang terbentang diantara Shafa dengan marwa.

Semua itu berdasarkan perbuatan Rasulullah saw yang melakukannya seperti tersebut, sedang ia bersabda : “Contohlah kepadaku mengenai tatacara hajimu”

Maka seandainya seseorang sa’i bukan pada tempat yang telah ditentukan, maka sa’inya batal.

DALIL SA’I WAJIB DALAM HAJI DAN WAJIB DILAKUKAN ANTARA BUKIT SHAFA – MARWA :

DALIL-dalilnya :

1. Diriwayatkan oleh bukhari dari ibnu abbas ra., katanya: Ibrahimas. dan dengan putranya bersama siti hajar datang ke baitullah, dekat sepohon kayu besar diatas zam-zam. Mereka letakan ismail dibawah pohon itu, sedang dimakkah tidak ada manusiapun dan tidak ada pula air. Kemudian Ibrahim berjalan lagi yang disusul oleh bunda ismail, tanyanya :”hai ibrahim, hendak kemana anda dan meninggalkan kami di lembah yang sunyi, tidak ada teman dan suatu apapun ini?”

Pertanyaan itu diucapkannya berkali-kali, tetapi Ibrahim sengaja tidak menoleh kepada Isterinya itu. Tanya Hajar pula :”Apakah Allah yang Menyuruhmu melakukan ini?”.”Betul!” ujar Ibrahim as..”Kalau Begitu”kata Hajar pula, “Ia (Allah) tidak akan menyianyiakan kami!”

Menurut riwayat lain ditanyakannya :”Kepada siapa kami ditinggalkan?” “Kepada Allah” ujar Ibrahim as.”Kalau begitu, aku rela” ujar Hajar dan ia pun kembali.

Ibrahim pun berajalan, hingga ketika ia sampai belokan dan tidak kelihatan oleh mereka, Dihadapkannya wajahnya ke baitullah, lalu mengucapkan do’a-doanya itu, katanya : ” YA Tuhan kami! aku telah menempatkan keturunanku dilembah yang kosong tanpa tumbuh-tumbuhan, yakni dekat rumahMu yang suci. Ya Tuhan kami! agar mereka menegakan sholat, jadikanlah hati manusia rindu kepada mereka dan berilah mereka rezeki buah-buahan semog mereka bersyukur dan berterima kasih” (Ibrahim : 37)

Dan Ibunda Ismailpun duduk di bawah pohon besar itu. Ditaruhnya puteranya disisinya dan digantungkan digeribanya agar dapat minum isinya, lalu diminumkan isinya, lalu disusukannya bayinya hingga akhirnya air itu habis dan air susunya terputus. Bayi itupun kehausan, makin lama makin menjadi, dan sang ibu pun memandang puteranya dengan terharu.

Dan karena tidak terpandanginya lebih lama ia pun pergi berdiri di bukit Shafa (iaitu bukit yang berada didekatnya) lalu melayangkan pandang ke arah lembah, kalau-kalau tampak manusia. Tetapi tidak seorang pun tampak olehnya manusia. Ia pun turun dari bukit Shafa, hingga sampai di lembah diangkatnya ujung kainnya, lalu berlari seperti halnya orang yang letih-lesu hingga melewati lembah dan tiba di marwa. Ia pun berdiri tegak pula disana dan melihat-lihat kalau-kalau ada manusia. Rupanya tak seorangpun tampak, hingga ahirnya kembalilah ia ke Shafa dan dilakukannya hal itu sampai tujuh kali”.

Ibnu Abbas mangatakan : “Sabda Nabi SAW. : Itulah sebabnya orang melakukan SA’i antara keduanya (bukit shafa-marwa)”

2. Ibnu ‘umar, jabir dan aisyah serta golongan besar sahabat ra.hum dan begitupun imam Malik, Syafe’i dan Ahmad berpendapat bahwa sa’i adalah salahsatu rukun haji dalam arti seseorang yang menunaikan haji tidak melakukan sa’i di antara shafa dan marwa, maka hajinya batal dan tidak bisa diimbali dengan menyembelih hewan ataupun lainnya.

3. Diriwayatkan dari zuhri bahwa Urwah bercerita katanya :Saya bertanya kepada ‘aisyah ra., kataku : “Bagaimana pendapat anda tentang firman Allah ta’ala :” Sesungguhnya Shafa dan marwa itu sebagian dari syi’ar Allah. Maka siapa yang naik haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada salahnya ia thawaf diantara keduanya” (al-Baqarah : 158).

“Demi Allah kalau begitu, tidak ada salahnya orang tidak thawaf diantara shafa dan marwa!”

Ujar ‘aisyah :”Alangkah salahnya apa yang kau katakan itu, wahai anak saudaraku! Jika makna ayat tersebut benar sebagaimana yang engkau tafsirkan, memang tidak apa apabila seseorang tidak sa’i diantara keduanya (shafa dan mawa). Tetapi ayat itu turun mengenai kaum anshar. Sebelum islam mereka memuja Berhala yang terdapat di Musylil. Itulah sebabnya mereka keberatan melakukan sya’i diantara Shafa dan Marwa, setelah mereka memeluk islam. Mereka tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW., kata mereka: “Wahai rasulullah, kami merasa keberatan untuk sa’i diantara shafa dan marwa. Maka Allahpun menurunkan ayat “Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian syi’ar Allah……ila akhirihi)”

Kata ‘Aisyah r.ha. pula :”Rasulullah saw. telah menetapkan sa’i diantara keduanya sebagai sunnah, hingga tak boleh seorangpun meninggalkannya!”

4. Diriwayatkan oleh imam muslim dari ‘aisyah r.ha. Katanya :”Rasulullah saw. melakukan thawaf, dan kaum muslimin juga melakukan thawaf itu (maksudnya sa’i antara shafa -marwa) maka ia sunnah (perintah Allah, yang dicontohkan nabi) dan sungguh Allah tidak memandang sempurna ibadah haji seseorang yang tidak thawaf antara shafa dengan marwa!!!!”

5. Diterima dari habibah binti Abi tajrah – yakni salah seorang wanita Bani ‘abiddar – katanya :

“Bersama beberapa orang wanita quraisy saya masuk rumah keluarga Abu Husein melihat Rasullah saw. melakukan sa’i diantara shafa dengan marwa. Ketika itu sarungnya terbelit seluruhnya ke pinggangnya disebabkan cepat jalannya, hingga sampai mengatakan : Tampak olehku kedua lututnya” Dan dengar pula ia bersabda: “Kerjakanlah olehmu sa’i, karena Allah telah mewajibkan sa’i itu atasmu!” (Dalam alfath jalan-jalan periwayatan jika disatukan maka hadits ini kuat)

6. Hadits tentang do’a -doa2 sa’i: Doa tatkala didekat shafa, doa ketika diantara shaf dan marwa, sangat banyak haditsnya. ini menunjukan Rasulullah menunjukan sa’i di bukit shafa dan marwa bukan diantara bukit qobes dan qararah.

rujukan :

1. Shohih Bukhari

2. Shohih muslim

3. Fathul mu’in

4. Fiqh sunnah

JADI SA’I ADALAH RUKUN HAJi (rukun KE 4)……SA’I TIDAK SYAH MAKA HAJI PUN TIDAK SYAH!!!

TEMPAT SA’I SUDAH JELAS YAITU ANTARA BUKIT SHAFA – MARWA (TANDANYA SUDAH DIBUAT OLEH KHALIFAH2 HIJAZ,)KALAU TEMPAT TIDAK MENCUKUPI KARENA BANYAKNYA JAMAAH HAJI MAKA TIDAK BOLEH DILUAR AREA SA’I (SHAFA MARWA) TAPI BOLEH DITINGAKAT (SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH KHALIFAH2 HIJAZ)

TAPI SEKARANG (TAHUN 2008 M) REZIM BADUI-YAHUDI WAHABI SAUDI ARABIA MERUBAH TEMPAT SA’I YAITU DIANTARA BUKIT QOBES AND QARARAH ,bUKAN DIANTARA BUKIT SAFA DAN MARWA!!!

lIHAT FOTONYA DI BAWAH INI :




Disusun oleh: Abu Syafiq ( 012-2850578 )

JOM PAKAT-PAKAT BANTAH WAHHABI KERANA TUKAR TEMPAT SA’I SOFA & MARWAH

Saban hari umat Islam kini pergi menunaikan Umrah. Tetapi kerana kejahatan Wahhabi pengkhianat agama Allah waktu yang sama melakukan amalan bid’ah yang paling besar iaitu menukar tempat Nabi melakukan sa’i antara bukit Sofa dan Bukit Marwah ke tempat yang lain.

Sekiranya amalan sambutan Maulid dianggap bid’ah sampai beria-ria mengedarkan risalah yang lama lagi kuno kononnya membantah amalan Maulid tapi yang sekarang ini Wahhabi TUKAR tempat sa’i kepada tempat & kawasan lain tanpa berdalilkan sehuruf nas pun dari mana-mana dalil Al-Quran mahupun Hadith adakah ia bukan bid’ah?!

Nah! sekalipun Wahhabi tidak menganggap perbuatan menukar tempat sa’i itu adalah bid’ah maka mana nas yang kata harus?! adakah dari kenyataan orang Barat kafir yang Wahhabi berkerjasama menjatuhkan kerajaan Islam dahulu dan membunuh ribuan umat Islam bersama kafir Barat?!
atau berdalilkan dari ruh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjelma hidup semula menjadi ” NABI ” memberi sabda?!

Inilah Wahhabi..pengkhianat agama Allah…pencetus hura-hara..tanduk fitnah..
tidak cukup aqidah sesat Wahhabi ” Allah Letih Duduk Atas Kerusi” disebarkan dikampung2 kini tempat ibadah (sa’i) yang tetap pula telahpun diubah.

Ketahuilah bahawa Wahhabi sekarang telah melakukan sekurang-kurangnya 5 perkara bid’ah pada tempat sa’i :

1- Wahhabi robohkan tempat sa’i yang asal sehingga orang yang buat umrah sekarang melakukan sa’i BUKAN lagi di kawasan Bukit Sofa dan Marwah tetapi dikawasan yang baru luar dari kawasan sa’i yang disahkan oleh Nabi Muhammad. Dan ketahuilah bahawa sesiapa yang melakukan sa’i di tempat yang baru tersebut maka sa’i nya tidak sah dan tidak harus disisi Islam kerana Nabi Muhammad tidak pernah melakukan sa’i disitu.

2- Wahhabi membina kawasan baru yang kononnya dianggap tempat sa’i di luar kawasan Ziqoq Al-‘Attorain iaitu tempat yang telah di naskan sebagai tidak sah sekalipun melakukan sa’i di situ ( Ziqoq Al-‘Attoroin ) . Malangnya Wahhabi membina tempat sa’i yang baru luar dan jauh sama sekali dari tempat tersebut.

3- Wahhabi melebarkan tanpa dalil syara’ ukuran lebar Bukit Sofa yang ke arah luar kawasan asal sehingga membawa ke kawasan berhampiran hotel-hotel dan kedai-kedai bersebelahan disebelah Timur sehingga kawasan itu pula dijadikan tempat sa’i sedangkan ianya telah terkeluar jauh dari kawasan lebar Bukit Sofa yang asal.

4- Wahhabi tidak ada amanah bila mana dalam kerja mengorek kawasan baru tersebut mereka sendiri dapati bahawa Bukit Sofa & Marwah tidaklah selebar yang mereka sangkakan dan (terbaru) mereka sendiri dapati tempat sa’i yang baru mereka bina itu tidak termasuk dalam kawasan lebar Bukit Sofa & Marwah.
Tetapi cinta dunia dan benci agama menyebabkan lidah terkelu membicarakan kebenaran dek billion Dollar & Riyal telah mengaburi mata mereka.Subhanallah…..

5- Wahhabi akan menyiapkan bentuk tempat sa’i nanti (bulan Ramadhan) dengan bentuk one way iaitu orang ramai akan diarah melakukan sa’i antara Sofa ke Marwah dalam kawasan yang SAH tetapi dari Bukit Marwah ke Sofa pula mereka akan diarah mengunakan kawasan sa’i yang baru yang TIDAK SAH. Ini menjadikan sesiapa yang melakukan sa’i tersebut hukum sa’i nya adalah tidak sah bahkan masih dalam keadaaan Ihram selama-lamanya(sampai buat cara yang betul di tempat yang betul).

* KESEMUA WAHHABI DAN WEBSITE-WEBSITE WAHHABI SERTA MUFTI WAHHABI MALAYSIA MEMPERSETUJUI PERUBAHAN TEMPAT SA’I TERSEBUT BERSELARI DENGAN IDEA WAHHABI YANG MEROBOH DAN MENUKAR TEMPAT SA’I YANG ASAL.

Semoga Allah membantu hamba-hambaNya yang berakidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah dan memberi hidayah iman kepada hamba-hambaNya yang beraqidah Wahhabi.

http://www.abu-syafiq.blogspot.com

Pengamalan Tharekat I : Taubat

3.2.1 Taubat

a. Pengertian
Bagi seseorang pengamal tasawuf/tarikat, taubat adalah dasar utama untuk membersihkan diri dari dosa lahir maupun batin. Taubat sama dengan fondamen untuk suatu bangunan dan sama dengan akar bagi suatu pohon. Karena itu taubat harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya yaitu taubatan nashuha, yakni seseorang bertaubat lahir bathin dan ber’azam (bertekad bulat) untuk tidak melakukan dosa lagi.
Orang yang tidak bertaubat dengan taubat nashuha, adalah sulit baginya untuk meningkatkan kualitas Iman dan Takwa atau untuk meningkatkan kebersihan rohaniahnya pada tingkat- tingkat atau makam-makam dalam pengamalan tasawuf dan tarikat selanjutnya. Karena itu dikatakan bahwa orang yang tidak bertaubat, maka tidak ada makam baginya, sebagaimana halnya orang yang tidak punya tanah, tentunya tidak bisa membuat pondasi dan tidak bisa membangun.
Hakikat taubat ialah kembali dari sifat-sifat tercela kepada sifat-sifat terpuji. Yang demikian ini karena takut ancaman azab Allah SWT, atau malu dilihat Allah atau menghormati kebesaran Allah SWT, supaya tidak terjerumus ke dalam murka Allah SWT, seraya mengharapkan keselamatan dengan dekat kepada Allah, sehingga mendapatkan rahmat dan ridlo-Nya.
Seorang sufi terkenal yaitu Ibrahim bin Adham mengatakan hati seseorang mukmin itu laksana cermin. Kalau cermin itu bersih, maka dia akan melihat dan menerima cahaya ke-Tuhanan yang memancarkan Iman dan Takwa. Hati yang bersih itu juga melihat bahaya-bahaya perbuatan mungkar, termasuk juga mengetahui bahaya-bahaya yang dibisikkan oleh syetan. Kalau seseorang berbuat dosa, maka pada cermin hati itu tertutup oleh suatu bintik hitam, dan bintik hitam ini akan hilang dengan sendirinya manakala seseorang itu taubat. Manakala seseorang itu tidak taubat dan mengulangi perbuatan maksiat terus menerus, maka tertutuplah seluruh hati itu dengan bintik-bintik hitam, dan pada saat itu hati tersebut tidak sanggup lagi menerima nasehat kebaikan, bahkan menjadi butalah hatinya untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan agama, dan menganggap enteng seluruh urusan akhirat. Orang tersebut bergelimang selalu dengan kebesaran dan kemegahan dunia. Apabila dibicarakan kepadanya masalah agama dan akhirat dengan segala akibatnya, semuanya itu masuk dari telinga kanan dan keluar ke telinga kiri, serta tidak sedikitpun tergerak dalam hatinya untuk bertaubat. Kondisi yang demikian ini sama dengan seorang sakit parah, tidak bermanfaat lagi makanan baginya, sebagaimana halnya hati yang telah berkecimpung dengan cinta dalam kemegahan dunia dan tidak bermanfaat lagi baginya semua nasehat dan peringatan. Maka menjadilah dia seperti yang dikisahkan dalam Al Quran surat Al Mumtahanah 60 : 13,

Artinya : Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap hari akhirat, sebagaimana orang- orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.

Atau seperti dalam firman Allah SWT,

Artinya : Pada hari datangnya beberapa ayat Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah,”Tunggulah olehmu, sesungguhnya kamipun menunggu pula” (Q.S. Al An’am 6 : 158).

b. Kapan Taubat Itu Dilaksanakan
Taubat seseorang itu diterima oleh Allah SWT sebelum ajal (sakaratul maut) tiba. Karena salah satu syarat taubat itu ialah tekad bulat seseorang untuk meninggalkan maksiat dan tidak akan mengulanginya lagi untuk selama-lamanya. Bagi seorang yang sudah sekarat, tidak mungkin persyaratan ini terpenuhi. Seorang yang berbuat maksiat, yang maksiat itu menutup mata hati dan merusak iman, harus segera taubat. Mengulur-ngulurkan taubat, berarti memperbesar penutup mata hati, yang kalau berlarut-larut akan lebih sulit lagi untuk membersihkannya.
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan tiadalah taubat itu diterima oleh Allah SWT dari orang-orang yang mengajarkan kejahatan, yang apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka barulah ia mengatakan,”Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” (Q.S. An Nisa 4 : 18).

Firman Allah SWT,

Artinya : Sesungguhnya taubat disisi Allah SWT hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan (tidak tahu) kemudian mereka bertaubat dengan segera (Q.S. An Nisa 4 : 17).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sesungguhnya kebanyakan teriakan penghuni neraka itu adalah dari penundaan- penundaan. (H.R. )

Rasulullah SAW bersabda,

Artinya : Ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kejahatan itu. (H.R. )

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu membersihkan kejahatan-kejahatan sebagaimana air membersihkan kotoran (H.R. Abu Na’im).

Orang yang bertaubat itu dikasihi dan disukai Allah SWT.
Firman Allah SWT,

Artinya : Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang- orang yang mensucikan diri (Q.S.Al Baqarah 2 : 222).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Orang yang bertaubat itu kekasih Allah SWT dan orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak mempunyai dosa (H.R. Ibnu Majah dari hadis Ibnu Mas’ud).

Syarat orang bertaubat untuk menjadi kekasih Allah SWT manakala terpenuhi ketentuan. Seperti dalam firman Allah SWT,
Artinya : Mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan untuk memelihara hukum-hukum Allah SWT (Q.S. At Taubah 9 : 112).
Sebaliknya orang yang bertaubat tapi masih bergelimang dengan maksiat, samalah dengan orang itu mempermainkan ayat-ayat Allah.
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan adapula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka tetapi mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. (Q.S. At Taubah 9 : 102).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Orang yang memohon ampun dari dosa, sedangkan dia masih terus menerus mengerjakannya adalah seperti orang yang mengejek ayat-ayat Allah (H.R. Ibnu Abid Dunya dari hadis Ibnu Abbas).

c. Dasar Hukum
Hukum taubat itu wajib berdasarkan Al Quran dan As Sunnah.
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (Q.S. An Nuur 24 : 31).

Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat nashuha (Q.S. At Tahrim 66 : 8).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk jasmani kamu dan tidak pula kepada harta kamu, tetapi Allah melihat kepada hati kamu (H.R. Muslim).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sesungguhnya Allah membuka tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat dari kejahatan di siang hari dan membuka tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat kejahatan di malam hari sampai matahari terbit dari sebelah barat (H.R. Muslim dan An Nasai).

Dari penjelasan ayat dan hadis tersebut, maka para ulama muhaqqiqin mengatakan bahwa bertobat itu hukumnya wajib. Allah akan menerima taubat seseorang dan karenanya seseorang itu tidak boleh berputus asa, sebab Allah itu Maha Penerima Taubat.
Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang mengerjakan sesuatu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa, sesungguhnya Allah SWT mengampuni dosa-dosa semuanya.” (Q.S. Az Zumar 39 : 53).
d. Syarat-syarat Taubat
Syarat taubat itu adalah :
a. mohon ampun atau bertaubat dan menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang telah lalu.
b. ber’azam atau bertekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya.
c. mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya kepada yang berhak menerimanya.
Bila perbuatan itu berkenaan dengan orang, hendaklah dia mendatangi orang itu, berbuat baik kepada mereka dan menghilangkan dendam kesumat kepada mereka.
Sewajarnyalah orang yang telah bertaubat berlatih untuk menjadi orang taat, sehingga dia merasakan manisnya taat lebih dari manisnya maksiat. Seseorang itu memulai dengan pencaharian yang halal, bekerja dengan tuntunan hukum syariat Allah SWT sehingga tidak ada terkesan lagi bahwa dia adalah sebagai orang yang jahat atau ‘ashi, tapi terkesan sebagai orang yang shaleh. Allah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s.,

Artinya : “Wahai Daud, pengaduan orang yang berdosa lalu dia bertaubat dengan taubat nashuha lebih Aku sukai dari teriakan orang yang beribadat”. (Amin Kurdi 1994 :376)

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Ada dua titik yang sangat disukai oleh Allah SWT, yaitu titik air mata dari tangisnya orang yang takut kepada Allah dan titik darah yang tertumpah dalam perang sabilillah (H.R. Tarmizi).
e. Tanda-tanda Diterimanya Taubat
Ada 8 macam tanda-tanda diterimanya taubat :
a. Seseorang itu takut dalam urusan lidahnya supaya jangan berbicara tentang hal-hal yang tidak baik, apalagi yang mendatangkan dosa yang dilarang dalam agama. Umpamanya : berdusta, menggunjing, dan perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat. Lidahnya ingin disibukkan dengan zikrullah dan membaca Al Quran.
b. Seseorang itu takut dalam urusan perutnya jangan termakan sesuatu yang haram dan karenanya dia tidak memasukkan kedalam perutnya itu kecuali yang halal.
c. Seseorang itu takut dalam urusan penglihatannya, jangan terlihat yang haram. Dan kalaupun dia memandang masalah dunia, pandangannya itu adalah pandangan yang memberi ibarat atau iktibar.
d. Seseorang itu takut dalam urusan tangannya, janganlah terambil sesuatu yang haram. Dan kalaupun tangannya mengambil, tentunya sesuatu yang diambil itu membawa kepada taat.
e. Seseorang itu takut dalam urusan kakinya, jangan berjalan kepada tempat maksiat. Dan kalaupun kakiknya berjalan tentu menuju taat kepada Allah SWT.
f. Seseorang itu takut dalam urusan hatinya, jangan terpetik urusan permusuhan, benci dan dengki, dan hendaklah hatinya itu penuh dengan nasehat dan memberi syafa’at kepada sesama muslim.
g. Seseorang itu takut dalam urusan pendengarannya, supaya tidak mendengar sesuatu, kecuali sesuatu itu adalah yang hak.
h. Seseorang itu takut dalam urusan taatnya kepada Allah, jangan sedikitpun terpetik ria, pamer dan nifaq (munafiq), kecuali taat itu hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT (Amin Al Kurdi 1994 : 377 – 378).
Itulah tanda-tanda taubat yang tuntas dari seseorang yang diterima oleh Allah SWT.
Dalam pengamalan Tarikat Naqsyabandiyah dianjurkan pengamalnya melaksanakan mandi taubat, dan melaksanakan shalat sunat wudhu dua rakaat setiap sesudah berwudhu, dilanjutkan dengan shalat sunat taubat dua rakaat pula.
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Dari Qais bin Ashim, ketika dia masuk Islam, Rasulullah menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara. (Q.R. Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Nasai).
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Siapa yang berwudhu dengan cara sebaik-baiknya, kemudiam dia shalat sunat wudhu dua raka’at dengan khusuk, maka Allah akan mengampuni segala dosanya yang telah lalu. (H.R. Bukhari Muslim).

Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Tidak ada seorang hambapun yang telah melakukan dosa, kemudian dia bangun dan berwudhu lalu shalat sunat taubat dua rakaat seraya memohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya. (H.R. Abu Daud dan At Tarmizi).
Begitu pentingnya masalah melaksanakan taubat, yang setelah itu harus ditindaklanjuti lagi dengan akmalush-shalihat, maka tentu saja tanda-tanda yang tuntas tersebut di atas adalah bagi orang-orang khusus yang berkualitas siddiqin dan wali-wali Allah SWT. Bagi kita yang berkualitas umum dan sebagai murid pengamal tarikat, harus mujahadah, bersungguh-sungguh dan terus menerus agar kualitas itu meningkat dan akhirnya menjadi tuntas. Kita tidak boleh berputus asa, oleh sebab makam yang masih rendah, dan kalau Nur Ilahi telah menyinari hati sanubari, maka zulmah atau kegelapan akan menjadi hilang dan sirna, sebagaimana halnya sinar matahari melenyapkan awan yang menggelapkan dunia.

DAFTAR HUJJAH AHLUSUNNAH ATAS KESESATAN WAHABI(PENTING!!!)

DAFTAR HUJJAH AHLUSUNNAH ATAS KESESATAN WAHABI ATAU DARUL HADITS ATAU SALAFY

SILAHKAN DOWNLOAD :

http://darulfatwa.org.au/languages/Malaysian/Ahlussunah.pdf

Juga Download kitab2 aqidah ahlusunnah lainnya (dalam bahasa indonesia) :

http://darulfatwa.org.au/content/category/4/14/153/

TUBBA’ AL AWWAL Beriman kepada nabi Muhammad seribu tahun sebelum munculnya

TUBBA’ AL AWWAL Beriman kepada nabi Muhammad seribu tahun sebelum munculnya

Posted by dibyochemeng on June 10, 2008

TUBBA’ AL AWWAL
Beriman kepada nabi Muhammad seribu tahun sebelum munculny
a

TUBBA’ adalah sebutan bagi raja-raja Yaman pada masa dahulu kala. Mereka yang bergelar
Tubba’ ini banyak dan mereka adalah orang Arab. Nama Muhammad yang akan menjadi penutup para nabi dan rasul sudah sangat populer dikalangan para nabi terdahulu. Keberadaannya sebagai nabi penutup tercatat dalam kitab-kitab lama. Tubba’ (raja Yaman) yang pertama memiliki kisah menarik untuk kita simak dan kita jadikan pelajaran tentang perkenalannya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Suatu ketika Tubba’ keluar dari negerinya dengan membawa ratusan ribu perajurit dan didampingi perdana menterinya menuju kota Makkah al Mukarramah, di samping ratusan ribu perajurit ia juga membawa seratus ribu orang alim dan bijak yang ia pilih dari beberapa negara bagian
yang berada di bawah kekuasaannya. Ketika Tubba’ dan pasukannya tiba di kota Makkah ia
bertanya tentang penduduk Makkah, lalu dikatakan kepadanya bahwa penduduk Makkah
menyembah berhala (Pagan) dan mereka memiliki ka’bah yang sangat mereka cintai.
Ketika mendengar itu, Tubba’ bertekad dalam hatinya untuk menghancurkan ka’bah dan membunuh penduduk Makkah yang tidak menyambut kedatangannya dan ia tidak
memberitahukan niat jahatnya ini kepada siapapun. Tiba-tiba ia merasakan pusing yang
sangat menyakitkan, dan dari kedua matanya, telinganya, hidungnya dan mulutnya tiba-tiba
keluar air yang berbau sangat busuk. Karena bau yang begitu busuk ini semua perajuritnya lari menjauhinya. Akhirnya sang perdana menteri mengumpulkan para dokter untuk mengobatinya namun tidak satu dokterpun yang sanggup mendekatinya apalagi mengobatinya. Pada suatu malam ada seorang ulama datang menghampiri
perdana menteri, ia mengaku mungkin bisa mengetahui sebab penyakit yang diderita sang raja dan ia tahu cara mengobatinya. Kemudian sang perdana menteri gembira dan langsung membawa orang alim tersebut menemui sang raja dan mengobatinya. Orang alim itu berkata kepada sang raja: Berkatalah jujur kepadaku! Apakah engkau punya niat jelek terhadap Ka’bah ini?, sang raja menjawab: “ya, saya punya niat merobohkan ka’bah ini dan membunuh penduduknya”. Orang alim itu berkata lagi: Sesungguhnya penyakit yang
menimpa kamu ini berasal dari niat jelek kamu terhadap ka’bah, ketahuilah bahwa ka’bah ini ada penguasanya, Ia maha kuat dan maha tahu atas segala sesuatu yang tersembunyi dan rahasia”. Kemudian orang alim –yang merupakan pengikut Nabi Ibrahim- itu mengajarinya agama Islam. Sang rajapun mengimaninya seketika itu dan seketika
itu juga ia sembuh dari penyakitnya dan ia-pun memuliakan penduduk Makkah.

Kemudian ia menuju Madinah –Yatsrib- dan sesampainya ia di kota tersebut empat ratus orang alim yang ikut dengannya berniat untuk tetap tinggal di kota Madinah. Sang raja bertanya kepada mereka: “Kenapa kalian ingin tinggal dikota ini?”, mereka  menjawab: “Kota inilah tempat hijrahnya Nabi akhir zaman yaitu Muhammad
shallallahu ‘alayhi wasallam” dan mereka menjelaskan kepada sang raja sosok Muhammad
yang akan menjadi nabi akhir zaman tersebut sebagaimana mereka dapatkan ciri-cirinya dalam kitab-kitab terdahulu. Setelah mendengar cerita tentang Muhammad sang rajapun berminat tinggal bersama mereka di Madinah selama satu tahun dengan harapan ia bisa berjumpa dengan Muhammad. Ia membangun empat ratus rumah yang diperuntukkan bagi masing-masing orang alim yang tinggal di sana bahkan sang raja mengawinkan mereka. Setelah satu tahun berlalu sang nabi yang ia tunggu-tunggu belum juga muncul, ia menulis sebuah kitab yang disebutkan di dalamnya bahwa ia beriman kepada sang nabi
sebelum melihatnya dan ia memeluk agama yang dibawa oleh sang nabi dan beriman kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan tiada sesuatu-pun
yang menyerupai-Nya. Lalu ia cap kitab itu dengan emas dan dititipkan kepada orang-orang
alim yang tinggal di kota itu untuk selamanya. Sang raja kemudian meninggalkan Madinah
menuju India dan meninggal di sana. Kitab yang ia tulis setelah penantiannya terhadap nabi yang mulia di kota Madinah tersebut tetap terpelihara meskipun berpindah-pindah tangan sampai kemudian muncul nabi Muhammad setelah seribu tahun dari ditulisnya kitab tersebut. Dikatakan bahwa kitab itu sampai ke tangan Nabi ketika
beliau menempati rumah Abu Ayyub al Anshari radhiyallahu ‘anhu saat permulaan hijrah beliau ke Madinah.
download bukunya :
http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Islam_Deenul_Anbiya2.pdf
http://darulfatwa.org.au/content/category/4/14/153/

SEJARAH PEMBERIAN NAMA THARIQAH (TARIKAT)

A. PEMBERIAN NAMA THARIQAH (TARIKAT)
Silsilah Tarikat Naqsyabandiyah bersambung mulai dari Rasulullah kemudian turun kepada Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a., lalu diturunkan kepada Sayyidina Salman Al Farisi r.a., dan seterusnya sampai dengan ahli silsilah yang terakhir. Walaupun inti ajaran pokoknya adalah sama, yaitu dzikrullah, namun nama-nama tarikatnya berbeda antara satu periode ke periode selanjutnya. Nama-nama itu adalah sebagai berikut :
1). Pada masa periode Rasulullah SAW dinamakan dengan Thariqatus Sirriyah, karena halus dan tingginya peramalan ini.
2). Pada masa periode Abu Bakar Siddiq r.a. dinamakan dengan Thariqatul Ubudiyah, karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW sepenuhnya kepada Allah SWT dan untuk-Nya baik lahir maupun batin.
3). Pada masa periode Salman al Farisi r.a. sampai dengan periode Syekh Thaifur Abu Yazid Al Busthami q.s. dinamakan dengan Thariqatus Shiddiqiyah, karena kebenarannya dan kesempurnaan Saidina Abu Bakar Siddiq r.a., mengikuti jejak Rasulullah SAW lahir maupun batin.
4). Pada masa periode Abu Yazid Al Busthami sampai dengan periode Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. dinamakan dengan Thariqatuth Thaifuriyah, mengambil nama asli dari Syekh Tahifur bin Isa bin Adam bin Sarusyan.
5). Pada masa periode syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s. sampai dengan periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s dinamakan dengan Thariqatul Khawajakaniyah, mengambil nama khawajah Syekh Abdul Khaliq Al Fajduwani q.s.
6). Pada masa periode Syekh Bahauddin Naqsyabandi q.s. sampai dengan periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s. dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah. mengambil nama dari Syekh Bahauddin Naqsyaband.
7). Pada masa periode Syekh Nashiruddin Ubaidullah al Ahrar q.s sampai dengan periode Syekh Ahmad al Faruqi q.s. dinamakan dengan Thariqatul Naqsyabandiyah Al Ahrariyah. Mengambil nama dari Nashiruddin Ubaidullah Al Ahrar q.s.
8). Pada masa periode Syekh Akhmad al Faruqi q.s. sampai dengan periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid Al Ustmani Al Kurdi q.s. dinamakan dengan periode Thariqatun Naqsyabandiyah Al Mujaddidiyah.
9). Pada masa periode Maulana Asy Syekh Dhiyauddin Khalid al Ustmani Al Kurdi q.s sampai dengan sekarang dinamakan dengan Thariqatun Naqsyabandiyah Al Mujaddidiyah Al Khalidiyah.
Nama-nama itu diberikan oleh murid- murid setelah masa hidup Syekh Mursyidnya. Umpamanya nama Thariqatul Ubudiyah diberikan oleh Abu Bakar Siddiq r.a, karena beliau melihat kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW. Nama Thariqatus Siddiqiyah diberikan oleh Saidina Salman Al Farisi r.a, karena kebenarannya dan kesempurnaan Sayyidina Abu Bakar Siddiq r.a. Demikianlah seterusnya.
B. TARIKAT NAQSYABANDIYAH
Tarikat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi q.s. (silsilah ke- 15). Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syek AS Samasi) wafat. Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi, Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Amir Kulal q.s. ( 772 H / 1371 M) adalah salah seorang khalifah Syekh Muhammad Baba As Samasi. Dari Syekh Amir Kulal inilah Naqsyabandi menerima statuta sebagai Ahli Silsilah, sebagai Syekh Mursyid tarikat yang dikembangkannya.
Meskipun Naqsyabandi belajar tasawuf dari Syekh Muhammad Baba As Samasi, dan tarikat yang diperolehnya dari Syekh Amir Kulal juga berasal dari Syekh As Samasi, namun Tarikat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan tarikat As Samasi. Zikir Syekh Muhammad Baba As Samasi diucapkan dengan suara keras bila dilaksanakan pada waktu zikir berjamaah, namun bila sendiri- sendiri tetap zikir qalbi, sedangkan zikir Tarikat Naqsyabandiyah adalah zikir kalbi, yaitu diucapkan tanpa suara, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah. Zikir Syekh Naqsyabandi sama dengan zikir Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. (silsilah ke- 9), salah seorang khalifah Syekh Abu Yacub Yusuf al Hamadani (silsilah ke- 8). Menurut salah satu riwayat, Syekh Abdul Khalik Fajduwani mengamalkan pendidikan Uwais Al Qarni yang melaksanakan zikir qalbi tanpa suara.
Sesungguhnya zikir Tarikat Naqsyabandiyah ini pada awalnya dikembangkan oleh Syekh Abu Yacub Yusuf Al Hamadani q.s. (silsilah ke-8), wafat 353 h / 1140 M. Al Hamadani adalah seorang sufi yang hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani q.s. (470 – 561 H / 1077 – 1166 M), seorang tokoh sufi dan wali besar. Syekh Al Hamadani mempunyai dua orang khalifah utama yaitu Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. (silsilah ke- 9) wafat 1220 M dan Syekh Ahmad Al Yasawi (w 562 H / 1169 M). Syekh Abdul Khalik Fajduani q.s. inilah yang meneruskan silsilah tarikat ini sampai dengan Syekh Bahauddin Naqsyabandi. Adapun Syekh Ahmad Al Yasawi kemudian mendirikan Tarikat Yasawiyah di Asia Tengah yang kemudian menyebar ke daerah Turki dan di daerah Anatolia Asia Kecil.
Abdul Khalik Fajduani q.s. menyebarluaskan ajaran tarikat ini ke daerah Transoksania di Asia Tengah. Abdul Khalik Fajduani yang tarikatnya bernama Tarikat Khwajagan menetapkan 8 (delapan) ajaran dasar tarikatnya, yang kemudian ditambah 3 (tiga) ajaran dasar lagi oleh Syekh Bahauddin Naqsyabandi.
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pokok Tarikat Naqsyabandiyah ini dapat ditemui dalam ajaran dasar, enam pokok pembinaan, enam rukun, enam pegangan dan enam kewajiban, yang akan dijelaskan rinciannya pada uraiannya selanjutnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Syekh Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand dan memberikan andil yang besar sekali dalam membina masyarakat menjadi makmur sehingga pemerintahan Sultan Khalil menjadi terkenal. Setelah Sultan Khalil wafat (1347 Masehi ) Naqsyabandi pergi ke Zerwatun (Khurasan) dan hidup sebagai sufi yang zuhud, sambil melakukan amal kebaikan untuk umat manusia dan binatang selama 7 tahun.
Pencatatan segala perbuatan dan amalnya dilakukan dengan baik oleh Saleh bin al- Mubarak, salah seorang muridnya yang setia. Himpunan catatan tersebut dimuat dalam sebuah karya berjudul “Maqamaat Sayyidina Syah Naqsyaband”.
Pusat perkembangan Tarikat Naqsyabandiyah ini pertama kali berada di daerah Asia Tengah. Ketika tarikat ini dipimpin oleh Syekh Ubaidullah Al Ahrar q.s. (silsilah ke-18) hampir seluruh wilayah Asia Tengah mengikuti Tarikat Naqsyabandiyah. Atas hasil usaha keras dari Syekh Al Ahrar, tarikat ini berkembang meluas sampai ke Turki dan India, sehingga pusat- pusat tarikat ini berdiri di kota maupun daerah, seperti di Samarkand, Merv, Chiva, Tashkent, Harrat, Bukhara, Cina, Turkestan, Khokand, Afghanistan, Iran, Baluchistan dan India.
Syekh Muhammad Baqi Billah q.s. (silsilah ke- 22) yang bermukim di Delhi India, sangat berjasa dalam mengembangkan dan membina tarikat ini. Sejumlah murid Syekh Baqi Billah seperti Syekh Murad bin Ali Bukhari mengembangkan tarikat ini ke wilayah Suria dan Anatolia pada abad ke-17. Muridnya yang lain yaitu Syekh Tajuddin bin Zakaria menyebarkan tarikat ini ke Makkatul Mukarramah, sedangkan Syekh Ahmad Abu Al Wafah bin Ujail ke daerah Yaman dan Syekh Ahmad bin Muhammad Dimyati ke daerah Mesir.
Sekitar tahun 1937, Tarikat Naqsyabandiyah pun berkembang di Saudi Arabia dan berpusat di Jabal Qubais Mekkah. Dari Jabal Qubais inilah mulai dari Saidi Syekh Sulaiman Zuhdi q.s. (silsilah ke- 32), dilanjutkan Saidi Syekh Ali ar Ridla q.s. (silsilah ke- 33), kemudian ketika sampai pada Saidi Syekh Muhammad Hasyim al Khalidi q.s (silsilah ke- 34) masuk ke Indonesia. Dari Saidi Syekh Muhammad Hasyim turun statuta Ahli Silsilah Syekh Mursyid kepada Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin al Khalidi q.s. (silsilah ke- 35).
Sesungguhnya seluruh Ahli Silsilah, Syekh- Syekh Mursyid itu menyebarluaskan Tarikat Naqsyabandiyah ini pada masa dan wilayahnya masing- masing. Khusus di Indonesia Tarikat Naqsyabandiyah ini berkembang dalam beberapa bentuk, yaitu Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah bersumber dari Syekh Ismail al Khalidi yang berasal dari Simabur Batu Sangkar Sumatera Barat. Tarikat ini akhirnya berkembang dan disebarluaskan ke daerah Riau, Kesultanan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kesultanan Johor.
Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayyid Muhammad Saleh as Zawawi yang kemudian menyebarluaskan tarikatnya ke daerah Pontianak, Madura dan Jawa Timur. Penyebaran Tarikat Naqsyabandiyah Muzhariyah ini dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi, yaitu syekh Abdul Aziz Muhammad Nur, Sayyid Ja’far bin Muhammad, dan Sayyid Ja’far bin Abdurrahman Qadri untuk daerah Pontianak, Syekh Abdul Azim Manduri untuk daerah Madura dan Jawa Timur.
Adapun Tarikat Kadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan penggabungan Tarikat Qadiriyah dan Tarikat Naqsyabandiyah. Tarikat ini bersumber dari Syekh Akhmad Khatib Sambassi (w Mekkah 1875) yang berasal dari daerah Sambas, Kalimantan Barat. Beliau adalah ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram Mekkah, dan banyak mempunyai murid terkenal, antara lain, Syekh Nawawi al Bantani atau Nawawi Al Jawi yang terkenal dengan karya tulisnya yang cukup banyak.
Pengembangan Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini di Indonesia pada pertengahan Abad ke-19, disebarluaskan oleh murid- murid Ahmad Khatib Sambassi yang pulang ke Indonesia dari tanah suci Mekkah. Tarikat ini berkembang pesat terutama di pulau Jawa dan banyak juga tersebar di negara-negara Asean, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Di Pulau Jawa ada beberapa pondok pesantren yang berpengaruh dan banyak menganut Tarikat Kadiriyah wa Naqsyabandiyah ini, antara lain pesantren Pegantungan di Bogor, pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, pesantren Meranggen di Semarang, pesantren Rejoso di Jombang dan pesantren Tebu Ireng juga di Jombang. (Ensiklopedi Islam 4, 1994 : 4 – 12).

FADHILAH WUDHU (MEMBASUH ANGGOTA WUDHU TIGA KALI)

Bismillahirrahmanirrahiim…

FADHILAH WUDHU (MEMBASUH ANGGOTA WUDHU TIGA KALI)

Dari utsman ibn affan ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Mana-mana hamba yang berwudhu dgn sempurna yakni membasuh smua anggota wudhu tigakali – tiga kali dengan baik, Allah SWT mengampunkan baginya dosa-dosa terdahulu dan akan datang (rawahulbazaru warijaluhu mautsiquuna wa haditsu hasan)

Dari ibn ‘umar ra meriwayatkan bahwa nabi SAW bersabda “barangsiapa berwudhu dgn membasuh sekali saja pada tiap-tiap anggota wudhu, maka dia telah menyempurnakan perkara yang wajib keatasnya. Barangsiapa yang membasuh dua kali- dua kali pada setiap anggota wudhunya, dia mendapat bagian pahala ganjarannya. Barangsiapa yang membasuh tiga kali-tiga kali pada setiap wudhunya, maka ini adalah wudhu’ku dan wudhu’ para ambiya sebelumku (HR musnad ahmad 2/97)

MADZB SYAFEI : MEMBASUH KEPALA DAN TELINGA DENGAN AIR YANG BARU (BI MAA-IN JADIIDIN

Kesaksian Ulama Fiqh (Pentingnya Tasawwuf)

Kesaksian Ulama Fiqh (Pentingnya Tasawwuf)

Imam ABU HANIFA (81-150 H./700-767 M)
Imam Abu Hanifa (r) (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43 bahwa Ibn ‘Abideen said, “Abi Ali Dakkak, seorang sufi, dari Abul Qassim an-Nasarabadi, dari ash-Shibli, dari Sariyy as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawad at-Ta’i, yang mendapatkan ilmu lahir dan batin dari Imam Abu Hanifa (r), yang mendukung jalan Sufi.” Imam Hanifa berkata sebelum meninggal: lawla sanatan lahalaka Nu’man, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man (saya) telah celaka.” Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq

Imam MALIK (94-179 H./716-795 M)
Imam Malik (r): “man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195

Imam SHAFI’I (150-205 H./767-820 M)
Imam Shafi’i: “Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu:
mereka mengajariku bagaimana berbicara
mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut
mereka membimbingku ke dalam jalan tasauf
[Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, p. 341.]

Imam AHMAD BIN HAMBALI (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad (r): “Ya walladee ‘alayka bi-jallassati ha’ula’i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu ‘alayna bikathuratil ‘ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa ‘uluwal himmat (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, maka mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” –Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)
Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al- Albab, vol. 1, p. 120)

Imam AL MUHASIBI (d. 243 H./857 M)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa itu adalah Golongan orang tasauf. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya p. 27-32.

Imam AL QUSHAYRI (d. 465 H./1072 M)
Imam al-Qushayri tentang Tasauf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali-wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyf). Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyya, p. 2]

Imam GHAZALI (450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali, hujjat ul-Islam, tentang tasauf: “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, p. 131].

Imam NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)
Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri
mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
menghindari ketergantungan kepada orang lain
bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit
selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, p. 20]
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi (544-606 H./1149-1209 CE)
Imam Fakhr ad-Din ar-Razi: “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan diri mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri mereka agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah, pada seluruh tindakan dan perilaku” .” [Ictiqadat Furaq al- Musliman, p. 72, 73]

IBNU KHALDUN (733-808 H./1332-1406 M)
Ibn Khaldun: “Jalan sufi adalah jalan salaf, ulama-ulama di antara Sahabat, Tabi’een, and Tabi’ at-Tabi’een. Asalnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan dan kesenangan dunia” [Muqaddimat ibn Khaldan, p. 328]
TAJUDDIN AS SUBKI
Mu’eed an-Na’eem, p. 190, dalam tasauf: “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”
Dia berkata: “Mereka dalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia.

JALALUDDIN AS SUYUTI
Dalam Ta’yad al-haqiqat al-‘Aliyya, p. 57: “tasauf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”

IBNU ‘ABIDIN
Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

Shaikh Rashad Rida
Dia berkata,”tasauf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, 1st year, p. 726].

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah”
“Di Calcutta, India, lebih dari 1000 orang mengambil inisiasi (baiat) ke dalam Tasauf”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuham merka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

ABU ‘ALA AL MAUDUDI
Dalam Mabadi’ al-Islam (p. 17), “Tasauf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul”
“Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”
Ringkasnya, tasauf, dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagian dan kedamaian. Dengan itu manusia dapat menemukan diri sendiri, dan dengan demikian, menemukan Tuhannya. Dengan itu manusia dapat meningkatkan, merubah dan menaikan diri sendiri dan mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia dan dari godaan keindahan materi. Dan Allah yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya.

thAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH INDONESIA (THAREKAT TERTUA DI INDONESIA) :
http://www.naqsyabandi.org

Mereka Yang Membenci Tharekat / Tasawwuf / Dunia Sufi

Syekh Naqsybandi QS, pilar utama Tarekat Naqsybandi memberi nasihat kepada khalifahnya, Syekh Ala’ud-Din al-Bukhari QS, “Jangan dengarkan orang terpelajar yang menyangkal tarekat. Jika engkau mendengarnya, maka selama tiga hari Setan akan mengendalikan dirimu. Jika engkau tidak bertobat dalam tiga hari, dia akan menguasai orang itu selama 40 hari, dan jika tidak bertobat dalam 40 hari, engkau akan menerima kutukan selama 1 tahun.”

Kini di masa kita, banyak sekali orang yang menyangkal tarekat. Tinggalkan mereka, jangan berargumen dengan mereka. Mereka seperti Abu Jahal, Rasulullah SAW berkata kepadanya, tetapi ia tidak menerimanya. Kita tidak lebih kuat daripada Rasulullah SAW. (Syekh ‘Abdullah Fa’iz ad-Daghestani QS)

Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.


Kelompok Pertama:

Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.


Mohammad Asad, salah satu orientalis yang masuk Islam telah membuka kedok mereka dalam bukunya, al-Islam fi Muftariqit Thuruq, ketika membicarakan pengaruh perang Salib.

“Mereka memiliki semangat besar untuk meneliti Islam dalam rangka mengetahui rahasia kekuatannya, agar mereka tahu dari mana pintu-pintu masuknya, dan dari gerbang mana jalan menuju umat Islam untuk merobohkan dan merekayasa keburukannya. Diantara para orientalis itu, yang paling berpengaruh adalah RA Nicholson dari Inggris, Goldziher Yahudi, Louis Massignon dari Perancis dan lainnya.

Di satu sisi mereka menebar racun dalam madu, dan memuji Islam dalam sebagian buku-bukunya agar menarik respon pembaca. Ketika mulai tertarik, mereka membuat pengaruh pada akidahnya, lalu menebar kebatilan dalam hatinya untuk ditaburkan pada Islam, dengan berbagai dosa dan dusta.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.
Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.


Namun yang memprihatinkan kita adalah mereka yang mengaku sebagai tokoh Islam, tetapi mereka mengadopsi pandangan-pandangan musuh Islam itu untuk dijadikan pegangan demi menusuk Islam dari dalam, yaitu Ruhul Islam dan Mutiara Islam, yang tidak lain adalah Tasawuf. Apakah dibenarkan bagi seorang muslim yang berakal, mengambil pandangan dari musuh-musuh Islam yang kafir demi menusuk sesama saudaranya yang muslim? Maha Suci Allah, sungguh sebuah kebohongan besar.


Kalau saja para orientalis itu benar-benar membela Islam, benar-benar tulus dalam tesis mereka dengan keinginannya memurnikan Islam dari kotoran, kenapa mereka juga tidak memeluk Islam?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?

Kelompok Kedua

Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:

  1. Mereka mengambil pandangan Sufi dari kalangan yang mengamalkan tasawuf secara menyimpang yang mengaku sebagai gerakan Tasawuf, tanpa membedakan antara hakikat Tasawuf yang terang dengan peristiwa-peristiwa penyimpangan tasawuf.
  2. Ada kalangan yang terpeleset karena sesuatu yang ditemukan dalam kitab-kitab Tasawuf, sebagai rahasia tersembunyi, lantas menafsirkan menurut selera mereka tanpa adanya pendalaman hakikatnya, bahkan mereka memahami menurut perspektif mereka sendiri, menurut pengetahuan mereka yang terbatas dan dangkal. Tanpa mereka mau merujuk pada wacana dunia Tasawuf yang terang dan jelas yang tidak melanggar syariat. Mereka tidak menerjemahkan melalui pandangan kaum Sufi sendiri terhadap hal-hal yang tersembunyi itu.

Mereka ini semisal orang yang dalam qalbunya ada penyimpangan dan penyakit jiwa, lalu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutasyabihat dengan penafsiran dangkal mereka yang menyimpang, tanpa mereka memahami ayat-ayat Muhkamat (tegas) dan jelas makna dan tujuannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”


Karena itu agar tidak disalahpahami, sejumlah Ulama Sufi menjelaskan berbagai rahasia Tasawuf dalam kitab-kitabnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah dan Ar-Risalah oleh al-Qusyairy.

Sumber : http://www.sufinews.com