Tasauf dan Hakikat / Hakekat

1.4 Tasauf dan Hakikat

1. Pengertian
“Hakikat” menurut bahasa artinya kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah inti dan jiwa dari suatu syariat itu sendiri. Di kalangan tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya. Karena itu muncul kata- kata ‘diri mencari sebenar-benar diri’, mencari diri terperi, diri yang diberikan, diri yang sebenarnya diri dan diri terjali. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa dan rahasia. Jika diteruskan pertanyaan akan timbul pertanyaan siapa yang mencari, siapa yang dicari dan bagaimana cara mencarinya. Di sinilah letaknya ketinggian dan kehalusan Ilmu Tasawuf. Yang bermain disini lebih banyak peran rasa. Para sufi yang telah ‘arif billah menyebutnya dengan istilah amrun zauqiyyun ( ).
Dalam Ensiklopedi Islam jilid 2, diuraikan bahwa hakikat secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam filsafat inti dari sesuatu, yang meskipun sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-rubah, namun inti tersebut tetap lestari. Sebagai contoh, dalam filsafat Yunani terdapat nama Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segala-galanya. Semua barang meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun intinya adalah satu, yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali pada air.
Mengingat bahwa hakikat segala sesuatu itu senantiasa ada, maka kalangan filsuf Islam ada yang memandang bahwa alam ini adalah kekal. Yang berubah pada alam ini hanyalah bentuk dan sifatnya, sedangkan intinya tetap lestari. Hakikat yang universal seperti ini disebut oleh Al Kindi dengan haqiqah kulliyah ( ) atau bisa juga disebut mahiyah ( ).
Disamping hakikat yang universal tersebut ada lagi hakikat yang terdapat pada masing-masing benda atau pada sesuatu yang ada. Hakikat yang demikian dinamakan haqiqah juz’iyah ( ) atau bisa juga disebut aniyah ( ).
Bagi Ibnu Sina, hakikat dapat juga disebut sebagai haqiqah kulliyah dan haqiqah juz’iyah itu hanya ada dalam benak manusia, sedangkan yang tampak pada kenyataan adalah wujud hakikat tersebut. Jadi yang paling berperan bagi Ibnu Sina pada segala sesuatu adalah wujudnya. (Ensiklopedia Islam 2, 1994 : 68-69).
2. Hubungan Tasawuf Dengan Hakikat
Istilah “hakikat” juga dipergunakan dalam tasawuf sebagai imbangan kata syariat. Kata hakikat di sini identik dengan aspek kerohanian dari ajaran Islam. Karena itu kajian tentang hakikat dimulai dengan aspek moral yang dibarengi dengan aspek ibadat. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keihklasan, akan meningkatlah kondisi mental seseorang, dari satu tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi secara bertahap. Suatu saat, ketika kondisi mental seseorang telah sampai pada tingkat tertinggi, Tuhan akan menerangi hati sanubari orang tersebut dengan nur-Nya, sehingga pada waktu itu dia betul-betul dekat dengan Tuhan, dapat mengenal Tuhan, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatinya. Orang yang telah sampai ke tingkat ini di kalangan sufi dinamai ahli hakikat.
Lebih jauh bila kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya menurut kajian tasawuf ialah sifat-sifat Allah SWT. Adapun zat Allah SWT sendiri disebut dengan Al-Haqq. Kajian tentang hakikat dan Al Haqq ini pertama kali dikembangkan oleh Al-Hallaj, kemudian disempurnakan oleh Ibnu Arabi.
Bagi Al-Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak, sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi antara dua hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian bila kesamaan itu telah semakin mendekat, maka jadi kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah persatuan (hulul) antara al-haqq dan manusia.
Menurut Ibnu Arabi, segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Oleh sebab itu dia bergabung pada wujud Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak ada, maka segala yang ada (mawjud) ini tidak pula akan ada. Karena itu ia menyimpulkan, bahwa segala yang ada ini sebenarnya tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia baru berwujud setelah ada wujud lain yang menyebabkan adanya. Dengan demikian, wujud sebenarnya ialah wujud yang ada dengan sendirinya, tanpa bergantung pada wujud lain. Itulah wujud Tuhan. Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau hakikat dari segala-galanya, yang disebut oleh Ibnu Arabi dengan Al-Haqq atau Haqqul-Haqa’iq. Adapun wujud-wujud yang lain hanya berupa pengejawantahan (tajali) dari wujud al-haqq tersebut. Wujud al-haqq tersebut tidak dapat menampakkan diri-Nya pada alam empiris yang serba terbatas ini, kecuali melalui penampakan sifat-       sifat-Nya. Dengan sifat-sifat serta asma-Nya itu dia bertajali dalam alam yang terbatas ini.
Alam sebagai wadah dari tajali Tuhan disebut dengan Al-Khalq (Makhluk) atau hakikat (realitas). Wadah tajli Tuhan yang paling sempurna adalah pada Nabi Muhammad SAW, karena itu dia disebut Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah (Hakikat Muhammad/Nur Muhammad). Yang dimaksud dengan al-haqiqah al-muhammadiyah tersebut bukanlah diri Nabi Muhammad SAW yang lahir dari Aminah dan kemudian meninggal dunia di Madinah, tetapi al-haqiqah al-muhammadiyah itu adalah asal segala yang ada, yang bersifat kadim dan azali. Nur tersebut berpindah dari satu generasi ke generasi sesudahnya dalam bentuk para Nabi, wali, imam-imam Syiah, dan berakhir pada Khatim Al-Auliya (Penutup para Wali), yakni Nabi Isa a.s. yang akan turun pada akhir zaman.
Kata “hakikat” dipergunakan juga dalam Ilmu Balagah, sebagai lawan dari majaz (metafora). Yang dimaksud dengan hakikat dalam Ilmu Balagah ialah lafal atau ungkapan yang dipergunakan sesuai dengan pengertian aslinya. Misalnya kata “tangan” biasanya dipakai untuk tangan yang menjadi salah satu anggota tubuh manusia, tetapi dapat pula diartikan dengan arti “kekuasaan”, seperti dalam ungkapan “raja itu bertangan besi”. (Ensiklopedi Islam 2, 1994 : 68 – 70).
Syekh Amin Al Kurdi mengatakan ada tiga tingkat/macam hakikat :
a. Terbukanya hijab bagi hamba/salik dengan apa yang dia imani tentang zat Allah, sifat-Nya, keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya. Terbukanya hijab bagi hamba/salik tentang hakekat kenabian, kesempurnaan para sahabatnya, lebih-lebih tentang keagungan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Terbukanya hijab tentang apa yang disabdakan oleh Rasul mengenai nikmat dan azab kubur, kiamat, dan keadaannya, neraka dengan segala azabnya, surga dengan kenikmatannya dan lain-lain seolah-olah hamba menyaksikan itu semua dengan mata kepalanya.
b. Bersih dan kosongnya nafsu (hawa nafsu) si hamba/salik dari semua akhlak yang tercela dan dihiasinya nafsu dengan segala sifat yang diridlai Allah dan berakhlaknya seseorang itu dengan akhlak sunnah Rasul, yang itu semua dihayatinya seperti telah menjadi darah daging baginya.
c. Bagi hamba/salik menjadi mudah dan gampang melaksanakan amal-amal saleh dan amal-amal kebaikan, sehingga dia tidak merasakan padanya kesulitan dan keberatan, bahkan dirasakan sulit dan berat kalau dia bermaksud meninggalkannya.
Itulah orang yang telah dibukakan dadanya, untuk menerima Islam ini secara utuh dan sempurna seolah-olah hamba/salik yang demikian adalah malaikat yang berbentuk manusia.
Hakikat itu adalah buah atau hasil tarikat. Karena itu seorang hamba/salik untuk berhasil menuju akhirat mendapat ridla Allah SWT harus melaksanakan ketiga-tiganya. Yaitu : Syariat, tarikat dan hakikat itu, harus dilaksanakan sekaligus. Kata beliau “tarikat adalah jalan memperoleh hakikat, hakikat tanpa syariat batal, dan syariat tanpa hakikat kosong.” (Amin Al Kurdi 1994 : 364-365).