Sunnahnya Membaca Qunut Subuh

Sunnahnya Membaca Qunut Subuh

A. Hukum Membaca Qunut Subuh

Di dalam madzab syafii sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua adalah sunnah ab’ad. Sunnah Ab’ad artinya diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bagi yang lupa mengerjakannya disunnahkan menambalnya dengan sujud  syahwi.

Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :

“Dalam madzab syafei disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”

Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata :

“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :

“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.

Demikian keputusan hokum tentang qunut subuh dalam madzab syafii.

B. Dalil-Dalil Kesunattan qunut subuh

Berikut ini dikemukakan dalil dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Hadits dari Anas ra.

“Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”

Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut meriwayatkannya dan mereka juga ikut menshahihkannya. Diantara ulama yang mengakui keshahihan hadis ini adalah Hafidz Abu Abdillah Muhammad ali al-balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga turut di riwayatkan oleh Darulquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih.
حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت (1) النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات قالوا : فالقنوت في صلاة الصبح لم يزل من عمل النبي صلى الله عليه وسلم حتى فارق الدنيا ، قالوا : والذي روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قنت شهرا ثم تركه ، إنما كان قنوته على من روي عنه أنه دعا عليه من قتلة أصحاب بئر معونة ، من رعل وذكوان وعصية وأشباههم ، فإنه قنت يدعو عليهم في كل صلاة ، ثم ترك القنوت عليهم ، فأما في الفجر ، فإنه لم يتركه حتى فارق الدنيا ، كما روى أنس بن مالك عنه صلى الله عليه وسلم في ذلك وقال آخرون : لا قنوت في شيء من الصلوات المكتوبات ، وإنما القنوت في الوتر

Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi).

2. Hadits dari Awam Bin Hamzah dimana beliau berkata :

“Aku bertanya kepada Utsman –semoga Allah meridhoinya-  tentang qunut pada Subuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku. Aku bertanya :” Fatwa siapa?”, Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum”.

Hadits ini riwayat imam Baihaqi dan beliau berkata : “Isnadnya Hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar Ra. Dari beberapa jalan.

3.  Hadits  dari Abdullah bin Ma’qil at-Tabi’i

“Ali Ra. Qunut pada shalat subuh”.

Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali Ra. Ini shahih lagi masyhur.

4. Hadits dari Barra’ Ra. :

“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib”. (HR. Muslim).

5.   Hadits dari Barra’ Ra. :

“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh”. (HR. Muslim).

Hadits no. 4  diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib. Imam Nawawi dalam Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma ulama menunjukan bahwa qunut pada shalat maghrib sudah mansukh hukumnya”.

6.  Hadits dari Abi rofi’

“Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya  serta membaca doa dengn bersuara”. (HR Baihaqi dan ia mengatakan hadis ini shahih).

7.  Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :

  1. “Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).

8.  Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :

“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).

9.   Hadits dari  Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :

“Aku diajari oleh rasulullah Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir yakni :  Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang shahih)

10.  Hadits  dari Ibnu Ali bin  Thalib ra. (Berkaitan dengan hadist no. 8)

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin  Thalib ra. Beliau berkata :

“Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).

11.  Hadist doa qunut subuh dari Ibnu Abbas ra. :

Tentang doa qunut subuh ini, Imam baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni ibnu abbas dan selainnya:

“Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya) kepada para shahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).

Demikianlah Beberapa Dalil yang dipakai para ulama-ulama shlusunnah dari madzab syafiiyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh.

Dari sini dapat dilihat keshahihan hadis-hadisnya karena dishahihkan oleh Imam-imam hadits ahlusunnah yang terpercaya. Hati-hati dengan orang-orang khalaf akhir zaman yang lemah hafalan hadisnya tetapi mengaku ahli hadis dan banyak mengacaukan hadis-hadis seperti mendoifkan hadis shahih  dan sebaliknya.

C. Tempat Qunut Subuh dan nazilah adalah Sesudah ruku rekaat terakhir.

Tersebut dalam Al-majmu Jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku. Ini adalah ucapan Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali ra.hum.

Mengenai Dalil-dalil qunut sesudah ruku :

  1. Hadits dari Abu Hurairah :

“Bahwa Nabi Qunut sesungguhnya sesudah ruku” (HR. Bukhary muslim).

2.  Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :

“Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).

3.   Hadis dari Anas Ra.

“Bahwa Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku pada subuh sambil mendoakan kecelakaan keatas bani ‘ushayyah” (HR. Bukhary Muslim).

4. Hadits Dari Awam Bin hamzah dan Rofi yang sudah disebutkan pada dalil 4 dan 5 tentang kesunnatan qunut subuh.

5.  Riwayat Dari Ashim al-ahwal dari Anas Ra. :

“Bahwa Anas Ra. Berfatwa tentang qunut sesudah ruku”.

6.  Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :

“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).

7.  Hadits Riwayat dari Salim dari Ibnu umar ra.

“Bahwasanya ibnu umar mendengar rasulullah SAW apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat terakhir shalat subuh, beliau berkata : “Ya Allah laknatlah sifulan dan si fulan”, sesudah beliau menucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka Allah menurunkan Ayat: “Tidak ada bagimu sesuatu pun urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang dzalim “ (HR Bukhary).

Terlihat jelas Bahwa pada qunut nazilah maupun qunut subuh, dilakukan setalah ruku. Adapun ada riwayat yang menyatakan sebelum ruku, Imam Baihaqi mengatkan dalam kita Al-majmu :

“Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadis, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalanya para khalifah yang memperoleh petunjuk – radhiyallahu ‘anhum- pada sebagian besar riwayat mereka, wallahu a’lam”.

D. Jawaban untuk orang-orang yang membantah sunnahnya qunut subuh

  1. Ada yang mendatangkan Hadits bahwa  Ummu salamah  berkata :

“Bahwa Nabi Saw. melarang qunut pada waktu subuh “ (Hadis ini Dhoif).

Jawaban : Hadist ini dhaif karena periwayatan dari Muhammad bin ya’la dari Anbasah bin Abdurahman dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari ummu salamah. Berkata darulqutni :”Ketiga-tiga orang itu adalah lemah dan tidak benar jika Nafi’ mendengar hadis itu dari ummu salamah”. Tersebut dalam mizanul I’tidal “Muhammad bin Ya’la’ diperkatakan oleh Imam Bukhary bahwa ia banyak menhilangkan hadis. Abu hatim mengatakan ianya matruk” (Mizanul I’tidal IV/70).

Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Baihaqi hadisnya matruk. Sedangkan Abdullah adalah orang banyak meriwayatkan hadis mungkar. (Mizanul I’tidal II/422).

2.   Ada yang mengajukan Hadis bahwa  Ibnu Abbas ra.  Berkata :

“Qunut pada shalat subuh adalah Bid’ah”

Jawaban : Hadis ini dhaif sekali (daoif jiddan) karena imam Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila al-kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada hadits yang lain Ibnu abbas sendiri mengatakan :

“Bahwasanya Ibnu abbas melakukan qunut subuh”.

3.   Ada juga yang mengetangahkan riwayat Ibnu mas’ud yang mengatakan :

“Rasulullah tidak pernah qunut didalam shalat apapun”.

Jawaban : Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al majmu sangatlah dhoif karena perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadis. Tersebut dalam mizanul I’tidal karangan az-zahaby bahwa Muhammad bin jabir as-suahaimi adalah orang yang dhoif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasa’i. Imam Bukhary mengatakan:  “ia tidak kuat”. Imam Ibnu Hatim mengatakan : “Ia dalam waktu akhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang”. (Mizanul I’tidal III/492).

Dan juga kita dapat menjawab dengan jawaban terdahulu bahwa orang yang mengatakan “ada” lebih didahulukan daripada yang mengatakan “tidak ada” berdasarkan kaidah “Al-mutsbit muqaddam alan naafi”.

4.  Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut satu bulan shj berdasarkan hadith Anas ra, maksudnya:

“Bahawasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah rukuk sambil mendoakan kecelakaan ke atas beberapa puak Arab kemudian baginda meninggalkannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Jawaban : Hadith daripada Anas tersebut kita akui sebagi hadith yg sahih kerana terdapat dlm kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yg menjadi permasalahan sekarang adalah kata:(thumma tarakahu= Kemudian Nabi meninggalkannya).

Apakah yg ditinggalkan oleh Nabi itu?

Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yg mengandungi kecelakaan ke atas puak-puak Arab?

Untuk menjawab permasalahan ini lah kita perhatikan baik2 penjelasan Imam Nawawi dlm Al-Majmu’jil.3,hlm.505 maksudnya:

“Adapun jawapan terhadap hadith Anas dan Abi Hurairah r.a dlm ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang2 kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka shj. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran spt ini mesti dilakukan kerana hadith Anas di dlm ucapannya ’sentiasa Nabi qunut di dlm solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’
adalah sahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”

Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahawasanya beliau berkata, maksudnya:

“Hanyalah yg ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.”

Tambahan lagi pentafsiran spt ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yg berbunyi, maksudnya:

“Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”

Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahawa qunut Nabi yg satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu solat subuh.

5.  Ada juga orang-orang yg tidak menyukai qunut mengemukakan dalil hadith Saad bin Thariq yg juga bernama Abu Malik Al-Asja’i, maksudnya:

“Dari Abu Malik Al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kpd bapaku, wahai bapa! sesungguhnya engkau pernah solat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Usman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kufah selama kurang lebih dari lima tahun. Adakah mereka melakukan qunut?. Dijawab oleh bapanya:”Wahai anakku, itu adalah bid’ah.” Diriwayatkan oleh Tirmizi.

Jawaban :

Kalau benar Saad bin Thariq berkata begini maka sungguh menghairankan kerana hadith2 tentang Nabi dan para Khulafa Rasyidun yg melakukan qunut banyak sangat sama ada di dlm kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi.

Oleh itu ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan terpakai di dalam mazhab Syafie dan juga mazhab Maliki.

Hal ini disebabkan oleh kerana beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula sahabat baginda. Manakala hanya Thariq seorang shj yg mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah.

Maka dalam masalah ini berlakulah kaedah usul fiqh iaitu:

“Almuthbitu muqaddimun a’la annafi”

Maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.

Tambahan lagi orang yg mengatakan ADA jauh lebih banyak drpd orang yg mengatakan TIDAK ADA.

Seperti inilah jawapan Imam Nawawi didlm Al-Majmu’ jil.3,hlm.505, maksudnya:

“Dan jawapan kita terhadap hadith Saad bin Thariq adalah bahawa riwayat orang2 yg menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh itu wajiblah mendahulukan mereka”

Pensyarah hadith Turmizi yakni Ibnul ‘Arabi juga memberikan komen yang sama terhadap hadith Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan:”Telah sah dan tetap bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut dlm solat subuh, telah tetap pula bahawa Nabi ada qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk, telah tetap pula bahawa Nabi ada melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta Sayyidina Umar mengatakan bahawa qunut itu sunat, telah pula diamalkan di Masjid Madinah. Oleh itu janganlah kamu tengok dan jgn pula ambil perhatian terhadap ucapan yg lain daripada itu.”

Bahkan ulamak ahli fiqh dari Jakarta yakni Kiyai Haji Muhammad Syafie Hazami di dalam kitabnya Taudhihul Adillah ketika memberi komen terhadap hadith Saad bin Thariq itu berkata:

“Sudah terang qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yg ada maka yg bid’ah itu adalah meragukan kesunatannya sehingga masih bertanya-tanya pula. Sudah gaharu cendana pula, sudahh tahu bertanya pula”

Dgn demikian dapatlah kita fahami ketegasan Imam Uqaili yg mengatakan bahawa Abu Malik itu jangan diikuti hadithnya dlm masalah qunut.(Mizanul I’tidal jil.2,hlm.122).

6. Kelompok anti madzab katakan : Dalam hadis-hadis yang disebutkan diatas, qunut bermakna tumaninah/khusu’?

Jawab : Dalam hadis2 yang ada dlm artikel salafytobat smuanya berarti seperti dalam topik yang dibicarakan “qunut” = berdoa pada waktu berdiri (setelah ruku)…
qunut dalam hadis-hadis tersebut  bukan berati tumaninah atau ruku.!!!

Mengenai hadis “qunut” yang bermakna tumaninah/khusu/dsb

Diriwayatkan dari Jabir Ra. katanya Rasulullah saw. bersabda :  afdlalu shshalah thuululqunuut
artinya : “shalah yg paling baik ialah yang paling panjang qunutnya “
Dalam menjelaskan ayat alqur’an :
“Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dalam keadaan “qanitiin” (al-baqarah 238) (HR Ibnu abi syaibah, muslim, tirmidzi, Ibnu Majah seperti dalam kitan Duurul mantsur).

Mujtahid Rah. maksud qanitiin disini termasuklah ruku, khusyu, rekaat yang panjang/lama berdiri, mata tunduk kebawah, takut kepada Allah swt.

Makna qanitiin juga berarti diam atau senyap. Sebelum turun ayat ini , masih dibolehkan  berbicara dalam shalat, melihat keatas, kebawah, kesana-kemari, dsb…(lihat hadist bukhary muslim). Setelah turun ayat ini, perkara-perkara tersebut tidak dibolehkan. (Duurul mantsur)

E. Pendapat Imam Madzab tentang qunut

1. Madzab Hanafi :

Disunatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sebelum ruku. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunatkan. Sedangkan qunut Nazilah disunatkan tetapi ada shalat jahriyah saja.

2. Madzab Maliki :

Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku, tetapi boleh juga dilakukan setelah ruku. Adapun qunut selain subuh yakni qunut witir dan  Nazilah, maka keduanya dimakruhkan.

3. Madzab Syafii

Disunnatkan qunut pada waktu subuh dan tempatnya sesudah ruku. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan.

4. Madzab Hambali

Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku. Adapun qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan qunut nazilah disunatkan dan dilakukan diwaktu subuh saja.

Semoga kita dijadikan oleh Allah asbab hidayah bagi kita dan ummat seluruh alam.

https://salafytobat.wordpress.com/

melafazkan niat shalat (sebelum Takbir) dan Niat (bersamaan dgn Takbir)

Melafazkan Niat Shalat (Sebelum Takbir) Dan Niat (Bersamaan Dgn Takbir ula)

A. Hukum Dalam Shalat

Melafazdkan Niat dengan lisan (Sebelum Takbir= sebelum shalat) adalah sunnah (tidak wajib) menurut madzab syafei, hambali dan habafi.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri).

Niat (dalam hati bersamaan dengan takiratul ula) adalah wajib.

B. Tujuan melafadzkan niat

Tujuan dari talafudz binniyah menurut kitab-kitab fiqh ahlusunnah adalah :

1. Liyusaa’idallisaanul qalbu (“ Agar lidah menolong hati”)

2. Agar menjauhkan dari was-was

3. Keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya

C. Ayat – ayat Al-qur’an Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)

Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (Al-qaf : 18).

Dengan demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal kebaikan.

Kepada Allah jualah naiknya kalimat yang baik (Al-fathir : 10).

Malsudnya segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).

D. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)

1. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ

يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.

”. (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216)).

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.

Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.

2. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)

Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.

3. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :

“Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).

Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.

4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :

“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud dan turmudzi)

Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah diketika beliau menyembelih qurban.

E. Pendapat Imam-Imam ahlu sunnah (sunni) mengenai melafadzkan niat

1. Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :

“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa sunnat melafadzkan niat (ushalli) itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.

Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas Ra. Beliau berkata :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ

يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”.

Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.

Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash juga bias tetap dengan qiyas.”

2. Berkata Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12

“Dan disunnahkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”.

3. Berkata Imam ramli dalam Nihayatul Muhtaj Jilid I/437 :

“Dan disunnatkan melafadzkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dank arena pelafadzan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya.”

4. DR. Wahbah zuhaili dalam kitab Al-fiqhul islam I/767 :

“Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki.”

Adapun menurut madzab maliki  diterangkan dalam kitab yang sama jilid I/214 bahwa :

“Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan”.

F. Niat sebagai Rukun syahnya  Shalat

Rukun-rukun Shalat 13 (tiga belas) perkara dengan menjadikan segala thuma’ninah yang di empat rukun itu lazimnya satu rukun, adapun jikalau dijadikan tiap-tiap thuma’ninah yang di empat rukun itu bahwa ia rukun sendiri-sendiri, maka jadilah bilangan rukun Shalat itu 17 (tujuhbelas) perkara, yaitu:

  1. Niat di dalam hati ketika mengucapkan takbiratul ihram (اَللهُ اَكْبَرُ)

Apabila Shalat Fardhu maka:

  1. wajib qashad, artinya “sajahku Shalat”.
  2. wajib ta’ridh lilfardhiyah, artinya menyebut kata “fardhu”
  3. wajib ta’yin, artinya menentukan waktu “Zhuhur” atau “Ashar” atau lainnya.

Adapun jikalau Shalat Sunnat yang ada waktunya atau ada sebabnya, maka wajib qashad dan wajib ta’yin saja. Sedangkan jikalau Shalat Sunnat yang tidak ada waktu dan tidak ada sebabnya, yaitu nafal muthlaq maka wajib qashad saja, sebagian lagi mengatakan wajib maqarinah ‘arfiyah yaitu wajib mengadakan qashad ta’ridh ta’yin di dalam hati ketika mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ (takbiratul ihram).

Artinya maqarinah ‘arfiyah yakni dengan mengucapkan ketiga-tiganya itu di dalam hati seluruhnya, atau beraturan maka jangan ada yang keluar daripada masa mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ.

Adapun jikalau Shalat berjama’ah maka wajib hukumnya atas ma’mum menambah lagi niat مَأْمُوْمًا (artinya mengikuti imam)

Adapun jikalau Shalat Jum’at maka wajib hukumnya atas imam menambah niat اِمَامًا artinya menjadi imam.

Sedangkan pada Shalat yang lain seperti Shalat Zhuhur atau Ashar atau lainnya, maka hukumnya Sunnah bagi imam niat اِمَامًا.

G. Kesimpulan

Lihatlah bagaimana fatwa dari imam mujtahid dari madzab syafei, hambali dan hanafi bahwa melafadzkan niat adalah sunnah. Sedangkan menurut madzab maliki disunnahkan bagi orang yang berpenyakit was-was.

Hati-hati dengan ucapan fitnah pemecah barisan sunni yakni golongan anti madzab wahhaby yang menebarkan isu khilafiah dan mereka mengambil fatwa bertentangan dengan pegangan majority ummat sunni agar ummat terjauh dari mengikuti ulama yang haq dan terjauh dari kitab imam –imam sunni.

Rujukan :

Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafei’yah terhadap tuduhan bid’ah, mutiara ilmu Surabaya.

DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/214

DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam,  Jilid I/767

Imam ramli,  KitabNihayatul Muhtaj,  Jilid I/437

Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12

Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302

Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189

Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216

Abu Haidar, Alumni Ponpes Darussa’adah, Gunung Terang, Bandar Lampung

https://salafytobat.wordpress.com

Sunnah menyapu muka setelah shalat

Mengenai amalan setelah shalat (setelah mengucapkan salam berarti shalat sudah selesai) diantaranya yang menjadi amalan umat muslim ialah sunah menyapu muka, mengenai hal akan saya jelaskan sebagai berikut :

Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathoni, yang menyebut dalam kitabnya “Munyatul Musholli” halaman 18, antara lain:-

…Adapun sunnat yang dikerjakan kemudian daripada sembahyang, maka adalah Nabi s.a.w. apabila selesai daripada sembahyang menyapu dengan tangannya di atas kepalanya dan dibacanya: “Dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kebingungan (stress) dan kedukaan.”

( بسم الله الذي لا إله إلا هو الرحمن الرحيم. اللهم اذهب عني الهم و الحزن )

Alangkah indahnya amalan ini, di mana kita memohon kepada Allah agar segala yang merunsingkan kita, yang membingungkan kita, yang menggundahkan hati sanubari kita, yang bikin kita stress, yang membuat kita berdukacita, sama ada ianya kedukaan dunia lebih-lebih lagi di akhirat nanti, biarlah dihilangkan oleh Allah s.w.t. segala kerunsingan dan kedukaan tersebut daripada kita. Amalan ini bukanlah memandai para ulama membuatnya tetapi ada sandarannya daripada hadits Junjungan Nabi s.a.w., dan jika pun hadits – hadits ini tidak shohih (yakni dhoif) maka kaedah yang digunapakai oleh ulama kita ialah hadits dhoif itu adalah hujjah untuk fadhoilul a’maal. Antara haditsnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnus Sunni, al-Bazzar dan Ibnu ‘Adi. Di sini aku nukilkan riwayat Ibnus Sunni dalam “‘Amalul Yawm wal Lailah” halaman 35, yang meriwayatkan bahawa Sayyidina Anas bin Malik r.a. berkata:-
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم
إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى

ثم قال: أشهد أن لاإله إلا الله الرحمن الرحيم،
اللهم أذهب عني الهم و الحزن

Adalah Junjungan Rasulullah s.a.w. apabila selesai daripada sholat, baginda menyapu dahinya dengan tangan kanan sambil mengucapkan: “Aku naik saksi bahawasanya tiada tuhan yang disembah selain Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan dan kedukaan.”

Dalam “Bughyatul Mustarsyidin“, kitab masyhur himpunan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi, Mufti negeri-negeri Hadhramaut, pada halaman 49 dinyatakan:

(Faedah) Ibnu Manshur telah meriwayatkan bahawasanya adalah Junjungan Nabi s.a.w. apabila selesai sholatnya, baginda menyapu dahinya dengan tapak tangan kanannya, kemudian melalukannya ke wajah baginda sehingga sampai ke janggut baginda yang mulia, sambil membaca:

بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب و الشهادة الرحمن الرحيم
اللهم أذهب عني الهم و الحزن و الغم
اللهم بحمدك انصرفت و بذنبي اعترفت
أعوذ بك من شر ما اقترفت
و أعوذ بك من جهد بلاء الدنيا و عذاب الآخرة

“Dengan nama Allah yang tiada tuhan selainNya, yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Maha Pemurah, Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan, kesedihan dan kekesalan. Ya Allah, dengan pujianMu aku berpaling dan dengan dosaku aku mengaku. Aku berlindung denganMu dari kejahatan apa yang aku lakukan dan aku berlindung denganMu dari kepayahan bala` dunia dan azab akhirat.

Begitulah, wahai ikhwah sandaran kita untuk beramal dengan menyapu muka selepas salam sholat. Oleh itu jangan mudah gusar melihat yang melakukannya. Kalau kita tidak suka, maka bagi kita amalan kita dan bagi mereka amalan mereka.

***Penulis : Abu Haidar ( Pulau Pinang – Malaysia, https://salafytobat.wordpress.com )

Alumni Pondok Pesantren Darussa’adah (Jl. Purnawirawan 7 -Gunung Terang – Bandar Lampung)***

Lampiran

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu ‘Asakir (7/12/2).

2. ‘Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya.

3. ”Jika kamu berdo’a kepada Allah,kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya,dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (m/s. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’)

4. Hadits dari Ibnu Abbas diatas juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut :

”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu,dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.
5. Menerima pakai hadis Dhoif  dalam segala jenis amalan yang berbentuk menggemar dan menakutkan (Fadhilah), dalam soal adab, sejarah, ketatasusilaan, kisah tauladan, manaqib (biodata seseorang), sejarah peperangan, dan seumpamanya adalah diHaruskan (dibolehkan). Perkara ini telah disepakati (Ijmak) oleh para ulamak seperti yang dinukilkan oleh Imam al-Nawawi, Ibn Abdul Barr dan selain mereka. Malah Imam al-Nawawi menukilkan pandangan ulamak bahawa dalam hal-hal tersebut disunatkan beramal dengan hadis Dhoif. Semua Mursal yang berada didalam al-Muwata telah diwasalkan oleh Imam-imam hadis dalam karangan-karangan mereka dari thuruq yang lain dan hadis dhoif dalam musnad Ahmad (Imam Hambali) adalah hasan.

6. Abu al-Syeikh Ibn Hibban dalam kitabnya al-Nawa’ib meriwayatkan secara Marfu’ hadis Jabir r.a yang menyebutkan:


(( من بلغه عن اللّه عز وجل شيء فيه فضيلة , فأخذ به ايمانا به , ورجاء لثوابه ,

أعطاه اللّه ذلك , وان لم يكن كذلك )).

“Barang siapa yang sampai kepadanya sesuatu daripada Allah yang memuatkan sesuatu fadhilat, lalu dia beramal dengannya kerana percaya terhadapnya dan mengharapkan ganjaran pahalanya maka Allah memberikan yang demikian itu, sekalipun sebenarnya bukan begitu”.4

Hadis ini merupakan punca asas yang besar dalam membincangkan hukum-hukum berkaitan hadis Dhoif, kerana tidak mungkin sabdaan ini terbit daripada fikiran semata-mata tanpa Masmu’ (didengari dari Nabi s.a.w), bahkan ia sebenarnya merupakan dalil bahwa bagi hadis-hadis Dhoif mempunyai asal dan tanda  pengesahan makbul (diterima).

Sesungguhnya para Ulama menukilkan daripada Imam Ahmad bin Hanbal bahawa dalam soal hukum-hakam, beliau berpegang dengan hadis yang Dhoif (jika ditampung keDhoifan tersebut dengan kemasyhuran hadis terbabit). Beliau juga mengutamakan hadis Dhoif dari pandangan akal. Beliau mengambil hadis-hadis Dhoif pada perkara-perkara halus (seperti akhlak) dan fadhoil. Seperti itu juga Ibnu Mubarak, al-Anbari, Sufiyan al-Thawri dan di kalangan pemuka-pemuka umat  r.ahum.

Rujukan :

AL Majmu’ Juz 4 hal 81

Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 318

Al Mughniy Juz 1 hal 278

Bughyatul Mustarsyidin“, kitab masyhur himpunan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi, Mufti negeri-negeri Hadhramaut (yaman) , halaman 49.

Fathul Mu’in

Fathul Bari

Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201

Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki

Jawaban Habib Munzir Almusawa tentang Fiqh Shalat

Munyatul Musholli, halaman 18, Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathoni

Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17

Shahih muslim

Shahih Bukhari

Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut

Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41

Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi

Syarah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal 424

Syarah Safinatunnajah

Sifat salat nabi, syaikh nasiruddin albany

Download kitab fiqh ahlusunnah “memuat ibadah-ibadah yang utama” Klik saja!

Atau download di :

Click to access Mukhtassar_Al-Harari.pdf

*******************************************************************************************

Manaqib (Biografi) Albany

Adalah tukang jam yang bernama Muhammad Nashiruddin berasal dari negara Albania. Cukup sebagai bantahan terhadapnya, pengakuanya bahwa dia dulunya bekerja sebagai tukang jam dan hobinya membaca buku-buku tanpa mendalami ilmu Agama pada para ahlinya dan tidak mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits bahkan sanadnya terputus (tidak bersambung sampai ke Rasulullah), sanadnya kembali kepada buku-buku yang dibacanya sendiri. Dia mengakui bahwa sebenarya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan hawa nafsunya dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadhifkan hadits adalah tugas para. hafiz saja.

Al Albani, sebagaimana kits ketahui telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul “Almukhtasar al Uluww; “, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya “at-Tawassul” . Dia, menganggap Nabi -SAW- seorang yang sesat sebagaimana ia menuduh sesat orang-orang yang bertawassul pads para Nabi dan para Wali dalam kitabnya “Fatawa al Albani”. Dia juga mengkafirkan Ahlussunnah; al Asyairah dan (al Maturidiyah dalam kaset rakaman suaranya yang dibagikan oleh pengikutnya. Dialah yang menyerukan untuk menghancurkan al Qubboh al Khadlra’ dan menyuruh memindahkan makam Nabi ke. luar Masjd sebagaimana dalam kitabnya “Tandzir as-Sajid’ dan dia melarang umat Islam mengucapkan dalam shalat merekaAssalamu ‘alayka ayyuhan-Nabiyy”. Dia berkata: Katakan “Assalamualannabiyy alasannnya karena Nabi telah meninggal, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul “Sifat shalat an-Nabi”. Dia juga memaksa Ummat Islam di Palestine untuk menyerahkan Palestine kepada orang Yahudi sebagaimana dalam kitabnya “Fatawa al Albani”. Dalam kitab yang sama dia juga mengharamkan Ummat Islam untuk mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah mati di makamnya. Dia juga mengharamkan bagi seorang perempuan untuk memakai kalung emas dalam, kitabnya “Adaab az-Zafaaf “, mengharamkan etas Umat Islam berwudlu lebih dan satu mud dan mandi lebih dari lima mud (satu mud takarannya sama dengan dua telapak Langan ukuran sedang), perkataannya ini dikutip oleh “Majattah at¬Tamaddun”, Juga mengharamkan Umat Islam membawa Subhah(Tasbih) untuk berzikir sebagaimana dipaparkannya dalam kitabnya “Silsilah al Ahadits adl-Dha’ifah”, mengharamkan Ummat Islam melaksanakan solat tarawih dua puluh raka’at di bulan Ramadan sebagaimana ia katakan dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan”. Dia juga mengharamkan umat Islam melakukan shalat sunnah qabliyali jum’at sebagaimana disebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al Ajwibah an-Nafah”. sebagaimana umum diketahui, ia juga mengharamkan membaca al-Qur’an untuk orang-orang muslim yang telah meninggal dunia dan juga mengharamkan perayaan maulid Nabi, mengharamkan ziarah ke makam, Nabi Dan melarang mengucapkan lafazh “Sayyidina” untuk Nabi dan menganggapnya bid’ah clan pelakunya seorang mubtadi’.

Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak kesesatannya, kami hanya menyebutkannya secara ringkas karena perkataan-perkataan tersebut jelas-jelas mendustakan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ sehingga tidak memerlukan banyak tambahan penjelasan lagi. Ini adalah bukti bahwa al Albani hanya ingin mengikuti hawa nafsunya pangkat dan harta. Bagi orang yang tahu, jelas bahwa al Albani adalah “” seburuk buruk Wahhabiyah (Wahhabiyah adalah agama yang banyak dibantah oleh ulama mazhab empat) pada masa kini. Alhamdulillah banyak para Ulama dan para ahli hadits yang membantahinya, di antara mereka adalah:

1. Muhaddits Syam Syekh Abd Allah al Harari

2. Muhaddits Maroko Svekh Abd Allah alGhumari
3. Muhaddits India Syekh Habib al-Rahman al Azhami
4. Mantan. Menteri Urusan Agama dan WakafEmiriyah Arab Bersatu Muhammad ibn Ahmed al Khazraji
5. Mantan Ketua MUI Propinsi DKI Jakarta K.H. M. Syafi’i Hadzami
6. dan banyak Ulama ulama lainnya.
Nasihat kami bagi seluruh umat Islam untuk tidak membaca kitab-kitabnya dan tidak merujuk kepada tashih dan tadh`ifnya dalam hadits. Justru kewajiban syar’i adalah melakukan tahzir terhadapnya dan terhadap karangan-karangannya yang mnyesatkan ummat. Mari kita jaga kesatuan aqidah dan ajaran islam serta  membela Islam dan Muslimin.

petikan Tahzir Al Syar`i

Kesalahan Shalat salafy: Menggerak-gerakan Jari Dalam Tasyahud

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT

HUKUM MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK
KETIKA BERTASYAHHUD DALAM SOLAT

1.0 PENDAHULUAN

Kebanyakkan dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam solat. Ternyata terdapat pelbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu ini hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab mahupun dikalangan kita. Ternyata kita masih samar-samar dalam mencari jawapannya. Apakah kedudukan hukum yang sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat dalam masalah ini. Bersama kita lapangkan hati dan minda kita untuk menerokai hakikatnya.

2.0 LATARBELAKANG PERMASALAHAN

Sebenarnya isu ini bertaraf permasalahan ranting feqhiyyah. Iaitu antara afdhal dan tidak afdhal sahaja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan samada untuk menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan mendapat tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai estetika syariat yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.

Tambahan pula, terdapat pelbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita seperti bergerak dalam kehilangan arah tuju.

3.0 PUNCA PERMASALAHAN

Ketahuilah bahawa isu ini merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula dikesan di zaman kita apabila Syeikh Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya SifatusSolah An-Nabi[1] mendakwa disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan sebeginilah yang sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak sunnah.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebahagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dihumban ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajar oleh Rasulullah. Masya Allah. Ekoran itu perlakulah tuduh-menuduh. Dan kita salah bertelingkah dengan isu kecil seperti ini. Dimanakah sikap berlapang dada dan tawaddhuk kita?

Justeru itu, inilah masanya yang sesuai untuk kita menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Kita tidak perlu memerah otak atau bekerja keras untuk menyelesaikannya. Hanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.

4.0 KEDUDUKAN HUKUM

Ketahuilah bahawa Imam Al-Hafiz Mahyiddin An-Nawawi rhm telah ditanya di dalam kitabnya Al-Fatawa tentang isu mengerakkan jari (telunjuk) di dalam solat. Pertanyaan itu berbunyi : “Adakah menggerakkan jari telunjuk pada tangan kanan itu disunatkan.? Bilakah waktu yang sesuai untuk menggerakan jari tersebut? Adakah menggerakkanya secara berterusan itu membatalkan solat?”- hingga tamat soalan.

Maka Imam al-Nawawi rhm menjawab : “Disunatkan mengangkat jari telunjuk dari tangan kanan ketika melafazkan huruf ‘hamzah’ pada kalimah ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ) sekali sahaja[2] tanpa menggerak-gerakkanya[3] Sekiranya seseorang itu mengulangi pergerakannya berkali-kali, maka hukumnya adalah makruh. Hal ini tidak membatalkan solat. Demikian menurut pendapat yang sahih. Dikatakan juga, iaitu menurut pendapat yang lemah batal solatnya”… Tamat Fatwa Al-Nawawi m/s 54

Dalam menyelesaikan masalah ini, kami akan mendedahkan bukti-bukti mereka yang mengatakan bahawa sunat menggerakkan jari telunjuk secara berterusan. Kemudian kita akan membincangkan dalil-dalil tersebut satu persatu. Kami juga akan menjelaskan bahawa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka di atas itu tidak sesuai. Hal ini diperolehi berdasarkan hujah-hujah dan bukti yang terang lagi bersuluh. Insya Allah…

Disamping itu, kita juga akan menjelaskan dalil yang mengatakan bahawa tidak disunatkan mengerakkan jari telunjuk secara berterusan menerusi pandangan para ulamak yang muhaqqiq.

Pendapat para ulamak Mazhab :

1) Di dalam kitab Auni Al-Ma’bud m/s 455 juz 3 dinyatakan bahawa Syeikh Salamullah berkata di dalam Syarah Muwattha dengan katanya “Pada hadis Wail bin Hujr menurut Abu Daud[4] yang berbunyi “Kemudian Baginda mengangkat jari telunjuknya, lalu saya dapati Baginda menggerakkan jari telunjuknya sambil berdoa”.

Hadis ini menjelaskan adanya perbuatan menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud. Inilah pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan kebanyakkan ulamak. Perkara inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan “menggerakkan jari”. Dan maksud yang diputuskan di sini tidak ada percanggahan dengan riwayat yang telah dibawa oleh Imam Muslim daripada Abdullah bin al-Zubair yang bermaksud “Adalah Rasulullah SAW menyisyaratkan jari telunjuknya sambil berdoa tanpa menggerakkannya.”[5] -tamat “Auni Al-Ma’bud”

2) Berkata penulis kitab Ar-Raudh Al-Marba’ Al-Hanbali m/s 59 juz 1 : “Nabi SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya tanpa menggerakkan jari Baginda ketika bertasyahhud dan doanya di dalam solat dan selainnya. Perbuatan ini dilakukan oleh Baginda ketika mana Baginda menyebut lafaz Allah SWT. Ianya sebagai suatu peringatan keatas tauhid”. –tamat dari ‘Ar-Raudh Al-Marba’ – kitab ini merupakan kitab mukhtasar yang muktamad (dipegangi) dikalangan ulamak Al-Hanabilah.

3) Berkata pula Syeikh Al-Mazhab Al-Hanabilah iaitu Ibn Qudamah Al-Hanbali di dalam kitanya “Al-Mugni” m/s 534 juz 1 : “Dan baginda mengisyaratkan dengan jari telunjuk dengan mengangkatnya ketika Baginda menyebut lafaz Allah Taala ketika bertasyahhud. Perkara ini ditentukan berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Zubair yang bermaksud : “Sesungguhnya Nabi SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan Baginda tidak menggerakkannya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. –Tamat.

5.0 MAKSUD ‘MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK’

Ketahuilah (semoga kalian dirahmati Allah) bahawa perkara yang dimaksudkan oleh Sayyidina Wail bin Hujr pada lafaz ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ) itu ialah menggerakkan jari telunjuk sekali sahaja. Ianya merupakan satu isyarat kepada tauhid. Hal ini amat bertepatan sebagaimana yang dilakukan oleh Baginda SAW yang tidak menggerakkan jari telunjuknya daripada awal tahiyyat. Akan tetapi baginda menggerakkannya ketika membaca ( áÇ Åáå ÅáÇ Çááå ).

Adapun hadis Sayyidina Abdullah bin al-Zubair itu adalah menafi perbuatan menggerakkan jari secara berulang-ulang. Maknanya ialah perbuatan menggerakkan jari itu hanya cukup untuk sekali sahaja.

Jadi, kita dapati disini ialah tidak ada pertentangan antara dua hadis. Inilah penjelasan secara ringkas daripada para ulamak didalam menjelaskan masalah ini. Disini kami bawakan penjelasan beberapa orang ulamak yang kami naqalkan daripada kitab-kitab mereka:-

Imam An-Nawawi rhm di dalam “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” m/s 455 juz 3, mengatakan “Ulamak mengatakan…hikmat meletakkan dua telapak tangan di atas dua paha ketika bertasyahhud ialah untuk mencegah daripada melakukan perkara yang sia-sia…”

Pada sudut yang sama, beliau menuqilkan pendapat Imam Al-Baihaqi sebagai berkata : “Sesungguhnya perkara yang dimaksudkan pada hadis riwayat Sayyidina Wail b. Hujr itu dengan lafaz ( íÍÑßåÇ ) iaitu “Dia menggerakkannya” ialah mengangkat jari telunjuk sekali sahaja. Iaitu tanpa menggerakkannya secara berterusan. Maksud ini bertepatan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Abdullah b. al-Zubair dengan Lafaz
( áÇ íÍÑßåÇ ) iaitu “Dia (Nabi) tidak menggerakkannya”. Demikian perkataan Imam Al-Baihaqi yang dinuqilkan oleh Imam An-Nawawi ke dalam kitabnya “Al-Majmu’” daripada Sunan Al-Kubra – Al-Baihaqi m/s 132 juz 2. Kami bawakannya disini secara ringkas.

Dan sesungguhnya kami telah membawakan fatwa Imam Al-Nawawi yang mengatakan bahawa dimakruhkan menggerakkan jari secara berterusan di dalam solat. Turut menguatkan pendapat kami ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya dengan sanad yang sahih daripada Numair Al-Khuzai’ie. Numair sebagai berkata : “Aku melihat Nabi SAW meletakkan telapak tangannya di atas paha kanan sambil membengkokkan sedikit jarinya.”[6]

Adapun hadis “menggerakkan jari telunjuk itu terlebih berat keatas Syaitan daripada besi” tidak boleh dijadikan dalil untuk menggerakkan jari secara berterusan. Akan tetapi maksud sebenar hadis ini ialah orang-orang yang bertasyahhud itu apabila mereka mengangkat jari telunjuknya merupakan manifestasi isyarat tauhid, seolah-olah mereka memukul syaitan dengan besi.

Hadis ini bukan bermaksud syaitan itu berada dibawah telunjuk ketika kita menggerakkannya. Andaian yang mengatakan bahawa syaitan berada dibawah telunjuk hanyalah satu kesamaran sahaja. Dan dengan kesamaran inilah orang yang menggerakkannya itu beranggapan bahawa dia sedang memukul syaitan. Pendapat seperti ini tidak diperkatakan oleh orang-orang yang berakal.

Sebagai satu peringatan disini, dinyatakan bahawa hadis “menggerakan telunjuk itu terlebih dahulu berat keatas syaitan daripada besi” adalah dhaif dari sudut sanabnya. Pada sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang dihukum tsiqah (dipercayai) oleh Ibn Hibban. Akan tetapi perawi itu juga dihukum dhaif oleh jumhur (kebanyakan ulamak)

Imam Al-Hafiz Ibn Hajr Al-Asqolani didalam “At-Taqrib At-Tahzib” menyatakan : “Katsier b. Zaid ialah ialah seorang yang benar. Tapi selalu membuat silap di dalam meriwayatkan hadis. Dia bukanlah perawi daripada Bukhari dan Muslim (Sahihain)”.

6.0 MAKSUD ‘AL-TAHLIQ’

PENJELASAN TERHADAP MAKNA AT-TAHLIQ (MEMBUAT BULATAN MENGGUNAKAN JARI)

Setengah dari kita menyangka bahawa At-Tahliq itu ialah menggerakkan jari telunjuk dengan membuat satu bulatan. Ini adalah sangkaan yang salah. Sebenarnya perkara yang dimaksudkan dengan At-Tahliq itu ialah seseorang yang mengerjakan solat (di dalam tasyahhud) itu menjadikan jari tengah (jari hantu) bertangkup dengan ibu jari diiringi dengan anak-anak jari yang lain. Tangkupan ini menjadikan satu bulatan. Perbuatan ini sebenarnya tidak membawa kepada makna menggerakan jari. Demikianlah mengikut penjelasan daripada kitab-kitab Al-Sunan.

Sesungguhnya Imam Ahmad telah meriwayatkan perihal tahliq ini di dalam Al-Musnad m/s 316 juz 4. Ibn Khuzaimah pula meriwayatkan hadis ini di dalam Sahihnya bernombor 697. Kedua riwayat ini melalui Wail b. Hujr r.a yang berbunyi : “Saya melihat Nabi SAW membuat bulatan antara jari tengah dengan ibu jarinya dengan mengangkat jari telunjuknya sambil berdoa (menyeru) ketika bertasyahhud”.

Hadis ini juga turut diriwayatkan oleh Imam An-Nasaie di dalam Sunannya m/s 35/36 juz 3, akan tetapi dengan lafaz yang berlainan. Riwayat itu berbunyi : “Rasulullah SAW menggenggam kedua jarinya lalu membuat bulatan. Saya melihat Baginda membuatnya sebegini (lalu dia mengisyaratkan dengan telunjuknya dan membuat bulatan melalui jari tengah dengan ibu jarinya)” – Maka berhati-hatilah.

7.0 PERANAN KITA

7.1 Kita perlu memahami sesuatu dari akar umbinya. Maksudnya status permasalahan, punca permasalahan dan menelusuri pendapat para ulamak secara berdisiplin. Di samping mengamati dalil-dalilnya.

7.2 Kita tidak perlu tergesa-gesa dalam mencari kata putus terhadap sesuatu permasalahan. Kelak nanti, apa yang kita pegangi sebenarnya tidak dituntut. Manakala apa yang kita tinggalkan itu sebenarnya satu tuntutan.

7.3 Perasaan insaf, sedar diri dan tawaddhuk perlu ada pada kita walau apa jua status dan kedudukan kita.

7.4 Kita hendaklah menyampaikan sesuatu dengan penuh releven dan hikmah agar kebenaran mampu terserlah dengan nilainya.

8.0 KESIMPULAN

8.1 Menggerakkan jari merupakan salah satu permasalahan cawangan dari ranting feqhiyyah. Ia melibatkan soal afdhal dan tidak afdhal sahaja. Bukannya antara halal dan haram ataupun sah dan tidak.

8.2 Kita tidak boleh menghukum seseorang dengan ahli bid’ah disebabkan dia tidak melakukan perkara sunnah. Ini kerana kemungkinan sunnah tersebut merupakan khususiyyah atau bermaksud sunnat sahaja. Sedangkan tuduhan sesat dan bid’ah sebenarnya amat berat kerana ia boleh mengeluarkan seseorang dari Islam.

8.3 Kita seharusnya berlapang dada terhadap sesuatu isu yang boleh membawa kesepakatan dan toleransi antara sesama kita.
[1] Buku karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Melayu oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul “Ciri-ciri Solat Nabi SAW.” Sebenarnya intisari buku ini lebih merupakan simpulan pendapat Syeikh al-Baani yang tidak berpegang kepada mana-mana mazhab. Bahkan condong kepada pemikiran Salafiyah al-Wahabiyyah. Dan ketahuilah bahawa pendekatan feqhiyyah yang diutarakan mereka ini jauh berbeza dengan pegangan dan pengamalan rasmi kita di Malaysia . Ternyata, jika cuba diimplimentasi ia sedikit sebanyak mendatangkan kerancuan di kalangan masyarakat. Lantaran itu, Tuan Guru kami Syeikh Hasan al-Saqqaf cuba memperbetulkan beberapa dakwaan Syeikh al-Baani dengan membawa perbincangan feqhiyyah menjurus kepada mazhab al-Syafi’ie untuk disesuaikan dengan realiti pengamalan syar’ie di negara kita khususnya.

[2]Dalil perbuatan ini adalah berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a yang bermaksud : “Adalah Nabi SAW apabila baginda mendirikan solat, Baginda meletakkan tangan kanannya diatas paha kanan dan menggenggam jari jemarinya. Lalu Baginda mengisyaratkan (mengangkat) jari telunjuknya (yang dekat dengan ibu jarinya). Baginda juga telah meletakkan tangan kirinya diatas paha kiri.” –Riwayat Al-Khamsah kecuali Al-Bukhari.

[3] Perbuatan ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Zubair r.a yang bermaksud ; “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuknya tanpa menggerakkannya”. Ini adalah hadis yang sahih yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi. Insya Allah kita akan membuat kupasan secara panjang lebar tentang hadis ini dihadapan.

[4] Sesunggunya Al-Baani telah tertipu dengan nisbah sesetengah yang baru terhadap Abu Daud. Maka, kita katakana bahawa nisbah beliau terhadap Abu Daud ini berdasarkan kepada taklid. Inilah sebahagian daripada dalil-dalil yang banyak yang membuktikan bahawa Al-Baani bukanlah seorang muhaddis. bahkan dia hanya seorang penuqil daripada kitab-kitab hadis sahaja. Maka berhati-hatilah.

[5] Bagi saya (penulis) : “Hadis ini juga bukan tercatat di dalam Sahih Muslim. Akan tetapi ia wujud di dalam Sunan Abu Daud. Maka berhati-hatilah !!!.

‘Abd Allah bin Jubair radiallahu ‘anhu berkata:

Bahawasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, adalah beliau ketika berdoa (tasyahud), beliau mengisyaratkan dengan jarinya dan tidak mengerak-gerakkannya.
Sanad Sahih: Hadis dikeluarkan oleh Abu ‘Uwanah (2019), Abu Daud (989), al-Nasa’i (al-Sunan al-Kubra 1193 & al-Sunan al-Mujtaba 1243) dan al-Baihaqi (2786). Berkata al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld 3, ms 417: sanadnya sahih. Berkata Syu‘aib al-Arna’uth dalam semakannya ke atas Syarh al-Sunnah al-Baghawi, jld 3, ms 178: Sanadnya kuat.

[6] Hadis ini telah disahkan oleh para Huffaz (Ahli hadis). Malik b. Numair Al-Khuza’ie adalah seorang yang diterima pada sanadnya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibn Hajr di dalam “At Taqrib-At Tahzib”. Tidak ada hadis yang diriwayatkan daripada beliau melainkan seorang perawi sahaja. Dan para huffaz telah mengesahkan hadisnya. Dan kebanyakkan orang-orang yang dipercayai mempercayai riwayatnya kerana hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh beliau seorang sahaja. Mereka seperti Thabit b. Qais Az-Zarqi Al-Madini. Saya telah menjelaskan hal ini satu persatu didalam kitab saya “Imta’ Al-Ilhaz bitausiq Al-Huffaz”. Dan Imam Al-Hafiz Ibn Khuzaimah telah menghukum sahih hadis Malik b. An-Numair Al-Khuza’ie ini didalam “sahih”nya m/s 354 juz . Al Hafiz Ibn Hajr juga turut mengakuinya didalam kitabnya “Al-Isobah” ketika menterjemahkan perawi ini bernombor 8807. Disamping itu, Ibn Hibban juga telah meriwayatkan hadis ini didalam sahihnya m/s 202 juz 3. bernombor 1943. Beliau juaga dengan Abu Daud (tanpa reaksi) didalam sahihnya m/s 260 juz 1 bernombor 911. Saya rasa sudah mencukupi bagi kita untuk menghukum hadis ini dengan sahih. Sayang sekali, Al-Baani telah menghukumnya dhaif (lemah) didalam kitabnya “Taman Al-Minnah”, kemudian saya dapati beliau menghukum sahih pula hadis Malik b. An-Numair Al-Khuza’ie ini didalam kitabnya “Sahih Sunan An Nasaie” m/s 272 juz 1. Dan ternyata ini adalah tanaqudh (berlawanan), Maka berhati-hatilah.
AL-GHARI.

KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY

Kitab ini diperbahaskan mengikut kerangka Mazhab al-Syafi’ie/ Ahli Hadis. Ia merupakan Satu Jawapan Total Terhadap Sifat Solat Nabi al-Albani.

KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY

Tangan dibawah dada bukan di atas dada!

DUA TANGAN DIA TAS RUSUK DADA (SIFAT SOLAT WAHABI) = RITUAL TALMUD YAHUDI

Ini pula Yahudi ajar dalam ‘solat’ boleh jalan-jalan gerak2 banyak kali no porobolum

Ini pula geng2 Wahabi (ularbodo)  ajar orang solat mesti letak dua tangan atas dada dan banyak dalam kitab-kitab ajaran agama Wahabi mewajibkan letakan tangan di atas dada same lika Yahudi Zionis. Begitu juga boleh bersiar2 makan angin berjalan2 ketika solat mcm Yahudi di atas boleh jalan dalam ‘solat’nya.

Yang ini pula cara ‘solat’ Yahudi yang paling ‘best’ boleh baring-baring main tekap2 muka kat lantai

BONGKAR SATU PERSATU KESESATAN SHALAT WAHABY/ALBANY
Hadirkan bukti scan kitab ulama ahlusunnah, bukan hanya ilmiah tapi bukti dan fakta akan kesesatan wahaby/salafy!!
wahaby terlalu sering memalsu pendapat-pendapat ulama ahlusunnah dalam rujukan -rujukan pada tulisan-tulisan mereka…..sekarang kita bongkar semua rujukan palsu tersebut!!!
lanjutan dari “sifat shalat Nabi vs sifat shalat albany/wahaby”
lihat artikel saya : https://salafytobat.wordpress.com/2008/07/18/rukun-shalat/
wahai wahaby!! Rujukan palsu kalian anggap ilmiah???
wahaby badwy cobalah tengok kitab ulama ahlusunnah yg asli!!!
1. DUA TANGAN DIBAWAH DADA BUKAN DIATAS DADA!!

– Menngenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Alhafidh Imam Nawawi : “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yg masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur pada mereka” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114)..

Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan diantara dada dan pusar, walaupun riwayat yg mengatakan diatas dada itu shahih, namun pendapat Ibn Mundzir “bahwa hal itu tak ada kejelasan yg nyata, bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya diatas dada, maka orang boleh memilih” (Aunul Ma’bud Juz 2 hal 323.

mereka itu kebanyakan tidak bermadzhab, entah kemana arahnya, mengikuti pendapat2 yg tak bersanad, cuma nukil
nukil di buku hadits lalu berfatwa,

berkata Imam Nawawi bahwa pendapat yg paling shahih dan merupakan Jumhur (terbanyak dari para Imam), adalah
menaruh tangannya dibawah dadanya, dan diatas pusarnya,

dan pada Madzhab Imam Malik (maliki) melepaskan tangan kebawah seperti orang berdiri. (Ibanatul Ahkam bisyarah
Bulughil maram Juz 1 hal 398).

berikut linknya:

http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=11843&lang=id#11843

Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany mengajarkan satu lagi kesesatan dalam cara shalat yaitu “tangan bersedekap diatas dada (lihat gambar diatas) ”. Sungguh ini adalah perkataan2 yng menyelisihi imam 4 madzab Ahlusunnah!. Baca artikel saya ttg “Kesesatan Syaikh nashiruddin Albani “.

Inilah bukti kitab ulama ahlusunnah yang muktabar !!
Bukan hanya rujukan palsu ustaz-ustaz sesat wahaby/salafy/DDI/wahdah!!!

KENYATAAN IMAM NAWAWI AL-BANTANI DI DALAM KITAB NIHAYAH AL-ZAIN-LETAK TANGAN BAWAH DADA !!!



MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DADA DAN DI ATAS PUSATNYA, DENGAN CONDONG SEDIKIT KE SEBELAH KIRI. 

BUKAN SEBAGAI MANA YANG DI PROMOSIKAN OLEH SET-SET WAHABI YANG KATANYA DI BAWAH DAGU ATAS DADA TIDAK TAQLID.RUPA-RUPANYA TAQLID JUGA MEREKA INI DENGAN PAK ALBANI.SEMUA YANG ALBANI KATA BETUL BELAKA.TAK TAASSUB KER TU??

MENGHINA TAQLID…BERERTI MENGHINA DIRI SENDIRI !!!

LAGI BAHAN BUKTI MELETAK TANGAN BUKAN ATAS DADA SELEPAS TAKBIR



KITAB I’ANAH AL-TALIBIN JUGA MENYATAKAN “…MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DADA ,DI ATAS PUSAT ADALAH ITTIBA’ (MENGIKUT SUNNAH NABI)
YANG DIMAKSUDKAN DENGAN DI BAWAH DADA DAN DIATAS PUSAT IALAH CONDONG KE SEBALAH KIRI, KERANA HATI ITU BERADA DI BAHAGIAN KRI. 

INI DIRIWAYAT DARI IBNU HUZAIMAH DIDALAM SAHIHNYA DARIPADA WAIL IBN HUJR YANG MENYATAKAN ” AKU BERSALAT BERSAMA NABI S.A.W , MAKA NABI S.A.W MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI DI BAWAH DADANYA.

 

LAGI BAHAN BUKTI MELETAK TANGAN BUKAN ATAS DADA SELEPAS TAKBIR


DISUNATKAN MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI , DI BAWAH PUSAT ATAU DI ATAS PUSATNYA. 

AMALAN INI ADALAH SEPAKAT TIGA MAZHAB SEMENTARA MALIKIYYAH MENYEBUTKAN SEBAGAI MANDUB.

MASAALAH MELETAK TANGAN SELEPAS TAKBIRATULIHRAM -KITAB MAZHAB 4 -AL-JUZAIRI


IMAM MALIK : MELETAKKAN TANGAN DI ATAS PUSAT DAN DIBAWAH DADA.
IMAM HANAFI : MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH PUSAT.
IMAMA HAMBALI : MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH PUSAT.
IMAM SYAF’E : MELETAKKAN TANGAN DI ATAS PUSAT DAN DIBAWAH DADA. 

INI LAH PENDAPAT 4 MAZHAB DALAM MASAALAH MELETAKKAN TANGAN SELEPAS TAKBIR DIDALAM SEMBAHYANG.

PENDAPAT YANG MENGATAKAN MELETAKKAN TANGAN DI BAWAH DAGU ,DI ATAS DADA TIADA PENDAPAT MAZHAB YANG MENGATAKAN BEGITU MELAINKAN KEPALA WAHABI ,NASIRUDDIN AL-ALBANI.

AWAS !!!

 

LAGI CONTOH BUKU SEMBAHYANG WAHABI YANG PATUT DIJAUHI..


DALAM GAMBAR DIATAS MEREKA MENGANJURKAN SALAT DENGAN MELETAKKAN TANGAN DIATAS DADA.SEMENTARA GAMBAR YANG KE-2 MENYARANKAN SALAT DENGAN SUJUD DIATAS KAIN SERBANNYA, INI ADALAH MEMBATALKAN SALAT,KERANA SUJUD PADA SEBAGAIAN PAKAIN YANG BERGERAK BERSAMA PERGERAKKAN TUBUH ANGGUTA KITA.

RUJUK KITAB SEPERTI SABILALMUHTADIN,BUGHIAH DAN SEBAGAINYA. 

AWAS !!!

ustadz Mahfuz Muhammad Al-Khalil
http://al-subki.blogspot.com/2008_07_01_archive.html

KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY

Kitab ini diperbahaskan mengikut kerangka Mazhab al-Syafi’ie/ Ahli Hadis. Ia merupakan Satu Jawapan Total Terhadap Sifat Solat Nabi al-Albani.

KITAB SAHIH SIFATUSSOLAH AN-NABIY

____________________________

___________________________________________________________________

Virus wahaby

 

Simpton Wahhabi 1 : Kangkang luah-luah
Simpton ke 2 : Wajibkan Jubah atas buku lali
Simpton ke 3: Wajib letak Tangan ataih dada (letak lain dikira tidak sunnah, bid’ah DLL)
Simpton ke 4 : Hanya serban Mandili sahaja, serban ‘Imamah (putar) dikira tiada hadis sahih. Dianggap bid’ah sesat, tiru singh DLL.
Ada pihak tertanya-tanya. Bagaimana caranya untuk kita mengenali individu atau jamaah yang menganut aliran fahaman Wahhabiy Ghuluw secara paling mudah?. Jawapannya ialah dengan melihat fahaman, pegangan atau amalan individu atau jamaah itu sendiri. Antara simpton Wahhabiy yang termudah dikesan ialah dengan memerhatikan cara mereka mendirikan solat.
Sewaktu hendak melakukan solat, mereka melipat seluar mereka melebihi paras buku lali. Begitu juga bagi mereka yang memakai jubah. Jubah tersebut pasti disingkatkan. Menurut mereka, jika kaki seluar atau jubah berada diparas buku lali dikira bid’ah dholalah.
Sewaktu qiyam, mereka mengangkang agak luas. Bertakbiratul ihram di paras dada dan meletakkan kedua tangan di atas dada menghampiri leher. Lihatlah kedudukan mereka sebagaimana yang disertakan pada paparan di atas. Hairannya, golongan Wahhabiy Ghuluw ini membid’ahkan sesiapa yang meletakkan kedua tangan (lps takbiratul ihram) atas perut bawah dada sebagaimana amalan dalam mazhab al-Syafi’ie kita. Sila lihat anjuran bersolat letak tgn atas dada oleh Syeikh al-Albaani dalam Sifat al-Solat Nabi m/s 88.
Dalam mazhab al-Syafi’ie, Hal ini telah diperjelaskan para ulamak al-Syafi’iyyah. Antaranya, al-Hafiz Ibn Hajr al-Asqalani mengatakan : “Ibn Khuzaimah meriwayatkan hadis dari Wail b Hujr bahawa Nabi SAW meletakkan kedua tangannya pada dadanya (‘ala sadrihi: bukan di atas dadanya). Sedang menurut riwayat al-Bazzar( ‘inda sadrihi), pada dadanya.” (Fath al-Bari m/s 224 juz 2)
Ulasan : Yang dimaksudkan di atas dada bukan secara zahirnya. Tetapi maksudnya ialah berhampiran dada. Kenyataan zahir ini boleh difahami dgn lafaz (‘inda sadrihi) pada riwayat al-Bazzar. Kata ulamak : “Menghimpunkan riwayat lebih baik jika ia memungkinkan.”
Imam al-Tirmidzi menjelaskan ketika membicarakan riwayat Wail bin Hujr, Ghatif al-Harith, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan Sahl bin Saad r.a : “Hadis ini menjadi amalan para ulamak dari kalangan sahabat Nabi SAW, Tabiin dan golongan sesudah mereka. Mereka melihat seseorang melakukan solat dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri semasa (qiyam dlm solat). Sebahagian mereka meletakkan kedua tangannya di atas pusat. (mazhab al-Syafi’ie & Hambali) Manakala sebahagian yang lain meletakkan tangan mereka di bawah pusat. Dan kesemua itu (dilakukan secara) terbuka dikalangan mereka”. (mazhab Hanafi dan Maliki)
Kesimpulannya, Sunat meletakkan tangan kanan atas tangan kiri di atas pusat (melepasai pusat) di bawah dada selepas takbiratul ihram. Ia bukanlah bid’ah dholalah sebagaimana di dakwa pelampau agama. Golongan yang memaksa kita meletakkan kedua tangan di atas dada sebenarnya mengambil pemahaman hadis secara zahir. Dan pemahaman zahir ini keluar dari ketentuan mazhab Empat yang muktabar. Justeru, tidak sepatutnya mereka memaksa kita mengikuti pendapat mereka.
Ternyata, pendapat ini lebih merupakan PENDAPAT BEBAS al-Albaani yang digunapakai secara ghuluw. Sedangkan al-Albaani bukan dari kalangan mujtahid. Dan sesekali tidak berhak untuk membatalkan pandangan Mujtahid Muthlaq.
Akhirnya, ketahuilah bahawa jika tuan-puan melihat petanda seperti di atas, jelaslah bahawa individu atau jamaah tertentu sudah dijangkiti virus Wahhabiy Ghuluw. Awas, Jauhilah.

 

The Feet In Salaat – The Salafi Error

Assalaamualaikum:

Below is a booklet published by the Mujlisul Ulama of South Africa regarding the Feet in Salaat. This booklet along with many other books can also be read on http://www.themajlis.net/Books.html .

The Feet In Salaat – The Salafi Error

Introduction

In this fourteenth century of the Islamic era, a recently mushroomed sect known as the Salafis, has invented some new rules which they believe are the Sunnat teachings of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam). Inspite of their views being in conflict with the teachings of the Salf-e-Saaliheen belonging to the Noblest Ages of Islam (Khairul Quroon), they obstinately cling to their misguided opinions. Their method is to subject the Ahadith to their personal understanding. Inspite of the divergence which this self-opinion produces from the Way of the Ummah inherited from the Sahaabah, the Salafis intransigently cling to their deviation.

A little reflection would convince them that it is not possible that the Aimmah-e-Mujtahideen who were the Students of the Sahaabah would propagate acts which are in conflict with the Sunnah. Any act which has been accepted and practised by the entire Ummah from the earliest era of Islam cannot be deviation. Deviation will be the act which is in conflict with this sacred Unanimity.

One of the erroneous practices of the Salafis is their act of spreading their legs wide apart during Salaat. In the bid to touch the toes of the musalli standing adjacent to them, they disfigure their stance and ruin their composure with the mental preoccupation of touching the toes of the musallis standing on both sides in the Saff during Jamaat Salaat. Even when performing Salaat alone, they stretch the legs hideously apart. But for this innovation they have absolutely no Shar’i evidence. A solitary Hadith which makes reference to ‘foot with foot’ has been grievously misunderstood and misinterpreted by them. Besides their misinterpretation, they have intentionally ignored all the other Shar’i proofs which refute their interpretation.

A perusal of the relevant Ahadith on this subject will convince every unbiased Muslim that the Salafi interpretation of the Hadith is a concoction of the nafs. It is a concoction designed and prepared by shaitaan to create rifts and discord in the Ummah. When people opt to abandon the practices which the Aimmah Mujtahideen have reported on the basis of the authority of the Sahaabah, then shaitaani manipulation is evident.

All four Math-habs of the Ahlus Sunnah Wal Jama’ah unanimously refute the Salafi contention on the position to be adopted when standing for Salaat. None of the Math-habs teaches that the legs should be spread out widely when standing for Salaat nor that the toes of the Musalli alongside should be touched. Some of the Salafis go to great lengths in spreading their legs in the bid to touch the next man’s toes causing annoyance and much irritation.

The Emphasis on Straghtening the Sufoof
(Sufoof is the plural of saff which refers to the row of musallis in a Jamaat)

The Ahadith of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) emphasise the straightening of the sufoof. The emphasis in all the Hadith narrations dealing with this subject is directed to proper saff*-formation, not on the feet of the musallis touching the toes of the musalli standing alongside as the Salafis inordinately and inconsiderately practice.

In the endeavour to sustain the practice of stretching the legs wide open while performing Salaat, the Salafis have gone to the extreme of adopting this ugly stance even when performing Salaat alone. While a man who is uneducated in the laws of the Shariah may misunderstand the solitary Hadith in which reference has been made to “foot with foot”, the same mistake cannot and should not be made in so far as Salaat performed alone because the question of “foot with foot” is not remotely related to infiraadi Salaat, i.e. performing Salaat alone.

The Salafis may abortively argue that the aim of spreading the legs wide apart is to ensure straightness of the sufoof, but what argument do they have for justifying this unbecoming practice when a man is performing Salaat infiraadan(individually)? Furthermore, there is no Hadith narration in this regard which could even be misinterpreted to support the case of a munfarid stretching his legs to the extremities of east and west or north and south, depending on the location of the Qiblah from where he happens to be.

The Salafis claim that it is Sunnah to stretch the legs wide apart and for a musalli’s toes to touch the toes of the musalli standing alongside him in the saff. This ludicrous position is imposed by the Salafis on even women who are obliged to stand with their legs wide open. What an ugly, miserable and immodest stance for a woman to adopt? A woman is an object of concealment according to the statement of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam). When she has to stretch her legs wide open, she adopts the stance of lewd and shameless women. Throughout Salaat, a woman’s postures are to be constricted — made small and drawn in, not asserted like a man asserts and expresses his actions during Salaat.

As far as their stance is concerned for the munfarid, there is not a single Hadith which they can cite in substantiation for their view which anyhow is utterly baseless. All the relevant Ahadith on this topic teach the contrary, namely, that the feet should be held slightly apart — about four to five inches (10 cm). There also exists consensus of the Four Math-habs on this issue.

As far as the feet position for the saff is concerned, the Salafis conveniently overlook all the Ahadith which negate their corrupt view and intransigently cling to a view which they have understood to be the method. In taking to this view, they deliberately cast aside what exactly the Hadith in question says. They took a single word (namely ‘foot with foot’) out of the context of the Hadith and formulated the practice of stretching the legs wide apart and touching the toes of the musallis standing alongside on either side in the saff. For understanding this issue, it is best that we cite all the relevant Ahadith.

The Ahadith

1. Hadhrat Umar (radhiyallahu anhu) narrates that Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) said: “Straighten the sufoof, line up the shoulders, close the gaps and become tender in the hands of your brothers. Do not leave any gaps for shaitaan. Whoever joins the saff, Allah will join him. And whoever cuts the saff Allah will cut him.” (Bukhari & Abu Dawood)

[Become tender: that is to comply when a brother musalli in the saff touches your shoulder indicating that you should bring it in line with the shoulders of the other musallis in the saff.]

2. Hadhrat Baraa’ Bin Aazib (radhiyallahu anhu) narrates that Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) used to enter the saff from end to end, touching our chests and our shoulders. He would say:

“Do not be irregular (in your rows), for then your hearts will become irregular (i.e. discord will overtake you).” He would (also) say:

“ Verily, Allah Azza Wa Jal and His Malaaikah dispatch Salaam on the first sufoof”

[When the word ‘Salaat’ is related to Allah Ta ‘ala, it denotes Rahmat, i.e. He sends down mercy. When it is related to the Malaaikah, it means that they supplicate to Allah Ta`ala to send His mercy upon His servants.]

3. Hadhrat Anas Bin Maalik (radhiyallahu anhu) narrates that the Iqaamah for Salaat was given. Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) turned towards us and said: “Straighten your sufoof and stand close together, for verily I see you from behind.” In a narration of Hadhrat Anas (radhiyallahu anhu) it is mentioned: “Everyone among us would put his shoulder with the shoulder of his companion (alongside) and his foot with his foot.”

4. Hadhrat Anas (radhiyallahu anhu) narrates that Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) said: “Join your sufoof and stand close together, and stand in line with (your) necks. I take oath by The Being in Whose power is my life that most certainly I see shaitaan entering the gaps in the saff as if he is a lamb.” (Abu Dawood)

5. Abul Qaasim Jadli (rahmatullah alayh) said :“I heard Nu’maan Bin Basheer (radhiyallahu anhu) say: ‘Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) turned towards the people (the musallis) and say three times: ‘By Allah! Most certainly, you should straighten your sufoof otherwise Allah will create discord in your hearts.’ Thereafter I saw that a man would attach his shoulder to the shoulder of his companion (the one standing alongside), his knee to the knee of his companion and his ankle to the ankle of his companion.” (Bukhari & Abu Dawood)

6. Nu’maan Bin Basheer (radhiyallahu anhu) narrates: “Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) would arrange (set in order) our sufoof. One day he came out (from his home) and saw a man (in the saff) whose chest was protruding in front of the (chests of) the community (i.e. the musallis). He then commented: ‘Straighten your sufoof otherwise Allah will cast discord in your faces (i.e. in the words coming from your mouths).” (Tirmizi)

7. Maalik Ibn Abi Aamir Ansaari (radhiyallahu anhu) narrates: “Uthmaan Bin Affaan (radhiyallahu anhu) would recite in his Khutbah: ‘When the Salaat is ready, arrange the sufoof properly and line up with the shoulders’ (i.e. the shoulders of the musallis should all be in line and touching).” (Muatta Imaam Muhammad)

8. Hadhrat Anas (radhiyallahu anhu) narrated that Nabi (sallallahu alayhi wasallam) said: “Join your sufoof and draw close among yourselves and line up with the necks.” Reported by Abu Dawood and Nisai. Authenticated by Ibn Hibbaan. (Bulooghul Maraam)–*I’laaus Sunnan

These are about all the narrations pertaining to the manner and style of standing in Jamaat Salaat. Explaining these Ahadith, Imaam Bukhaari (rahmatullah alayh) states in the section captioned:

“JOINING SHOULDER TO SHOULDER”:

“This is what the Jamhoor have said: ‘Verily, the meaning (of joining in this context) is complete nearness and lining up, not actual joining (or touching).’” Al-Haafiz said: “The meaning of this is to emphasise in straightening the saff and closing the gaps.” And Aini too has said so. With this, the indication is towards emphasis in straightening the sufoof and closing the gaps. Qustulaani and others have also said this.”

(Laamiud Duraari—commentary of Bukhari)

In Faidhul Baari it is reported as follows:

“It is stated in Sharhul Wiqaayah: ‘The musalli should stand apart (with his feet) so that there is a distance of four fingers in between them, and that is also the view of Imaam Shaafi (rahmatullah alayh), In another view it is said that the distance (between the feet) should be one hand (i.e. about 10 cm).’ (The author says): I did not find any difference of opinion among the Salf (i.e. Salf-e-Saaliheen) between the stance (of the musalli) in Jama’ah and in infiraad (i.e. performing alone). There is no difference regarding the gap (between the feet). It is not that the spreading of the feet should be more in Jama’ah than when performing Salaat alone.”

The summary of this is: When we do not find the Sahaabah and the Taabi-een differentiating in their standing position between Jama’ah and individual Salaat, then we understand that the only meaning of Rasulullah’s statement of ‘joining the shoulders’ is to line up closely and to abstain from leaving gaps (between the musallis).

The following appears in Laamiud Duraari, Commentary of Saheeh Bukhaari:

“The Authorities (the Fuqaha) stated that it is best for the musalli to keep his feet about four fingers apart. They did not say that the feet should be united in ruku’ or sajdah. Aini says in Binaayah: ‘It is appropriate that there be the distance of four fingers between the feet of the musalli, for verily, this is nearest to khushoo.’”

Ibn Umar (radhiyallahu anhuma) would not spread (widely) his feet nor would the one foot touch the other, but between this there would be neither much closeness nor much distance.

In Raddul Mihtaar it is reported as follows:

“The meaning of joining ankles to ankles is that everyone in the Jama’ah should stand alongside the other (i.e. in a straight line). So is it said in Fataawa Samarqand).” (I’laaus Sunan)

From all the narrations and views of the Muhadditheen and Fuqaha of the Khairul Quroon era it is abundantly clear that the Hadith which mentions joining foot with foot does not have a literal meaning. It simply means that the feet should be all in line, and this is achieved by the heels of the musallis all being in the same line. This will ensure a straight saff on which the emphasis of all the Ahadith is.

The Salafis

The Salafis of this age, while grabbing the words ‘foot with foot’, ignore ‘neck with neck’, ‘shoulder with shoulder’, ‘knee with knee’ and ‘ankle with ankle’. The narrations command joining of the necks just as it instructs joining of the feet. And, in the same way it commands joining of the knees and ankles. How is it possible for the neck of one musalli to touch the neck of the musalli alongside? At most, shoulders can touch. But to achieve the phenomenal act of joining necks, the musallis will have to ruin their Salaat and stand on their toes balancing at a precarious angle to achieve the goal of touching each other’s neck. But no one has ever advocated this ludicrous stance. Similarly, if the literal sense of the ‘ankle with ankle’ has to be accepted, it will place the musallis under great stress to achieve what is not simple because the protruding heels are barriers for this achievement. Also, if ‘knee against knee’ had to be literally considered, the musallis would have to stand with ugly bandied legs, stretching even their thighs hideously in order to join their knees with the knees of their companions? But, not even the Salafis have ventured such ludicrousness.

Why do the Salafis choose only ‘foot with foot’ out of the several instructions pertaining to the joining of various bodily parts? For this choice they have only their intransigent nafsaani desire –no daleel whatsoever. What is the determining factor to choose only feet and to ignore necks, knees, shoulders and ankles? On the other hand, the Ahlus Sunnah Wal Jama’ah — the followers of the Four Math-habs — *have a mass of evidence to support ‘joining of the shoulders’. Furthermore, joining or lining up of the shoulders is simple, rational and fulfills in the best way the instruction of straightening the saff.

It should be noted that the emphasis is on closing the gaps. There should be no gap between two musallis standing in the saff. But, the wider the legs are spread apart, the more the distance between the shoulders will increase. Thus, spreading the legs wide apart defeats the very command issued in the Hadith to close the gaps and straighten the sufoof.

In order to achieve ‘foot with foot’ literally, the Salafis are constrained to turn their feet at angles away from the Qiblah. In this hideous exercise they manage only to touch the toes of the adjacent musalli with much difficulty and irritation to those whose peace of mind is disturbed with the unruly encroachment of his companion’s toes. When the toes are made to touch with the feet in diagonal positions, the shoulders cannot touch, the knees, ankles, necks, etc. are thrown completely out of alignment.

When shoulders are not lined up, it is impossible to achieve straight sufoof. It is for this reason that the Hadith emphasises more on shoulders. Feet are mentioned only once. The Sahaabah and the Taabi-een relate the instruction ‘to line up’ and straighten the saff to the shoulders, necks, knees, ankles and the feet. In other words, all these should be in line, not out of alignment. It is for this reason that the Hadith clearly mentions that the Khulafa-e-Raashideen, in fact Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) himself, would order protruding chests to recede into line. Never did any of the Authorities of the Shariah speak about feet which should touch.

In the adoption of the Salafi mode, the movement is excessive in Salaat. Neither is proper Ruku’ nor proper Sajdah possible if this hideous posture has to be retained throughout Salaat. In fact Sajdah is not at all possible with the feet spread wide apart. Therefore, the Salafis are constrained to shift positions repeatedly when going to ruku’. This excessive movement in Salaat in negatory of khushoo’.

THE FOUR MATH-HABS

While the case of the Four Math-habs is logical, the actual daleel (proof) for our view is not rational interpretation, but is narrational evidence. Such evidence has been transmitted down the centuries from the Sahaabah. It should be understood that the Aimmah-e-*Mujtahideen — the Imaams of the Math-habs — had acquired their knowledge of Islam from either the Sahaabah or the Taabi-een who were the Students of the Sahaabah. Whatever they taught is therefore, what the Sahaabah had instructed. It is the height of folly and deviation to differ with them and to choose a way which is at variance with what they had disseminated.

It is not conceivable that the Salf-e-Saaliheen — all the Imaams of the Math-bas were among them — were in deviation and the present-day Salafis are on Rectitude. This is unacceptable to any Muslim who is prepared to reflect a bit. The greatest daleel for the view of the Math-habs is that whatever they teach has been acquired directly from either the Sahaabah or the Taabi-een.

The Salafi practice of spreading the feet wide apart and the irritating attempt to touch the next man’s toes are in conflict with the Sunnah as the aforegoing Shar’i evidences have established.

Conclusion

1. According to the Hambali Math-hab there should be a ‘small’ gap between the feet of the musalli.

2. According to the Maaliki Math-hab, the distance should be moderate, neither together nor so wide apart which is considered repugnant.

3. According to the Shaafi Math-hab, the gap between the feet should be one hand. It is Makrooh to spread the feet wider than this.

4. According to the Hanafi Math-hab, the distance between the feet should be four fingers.

This is the Sunnah and the Way of the Salf-e-Saaliheen. The Salafis have no authority from the Salf-e-Saaliheen to substantiate its view of bid’ah.

The Feet in Salaat
By Mujlisul Ulama of South Africa
P.O. Box 3393
Port Elizabeth, 6056
South Africa

From: http://themajlis.net/Books.html

Sifat Shalat Nabi Vs Sifat Shalat Albani

Mengenal Sifat Shalat Nabi

Agar shalat kita mengikuti sifat shalat nabi, maka imam-imam ahlusunnah (4 Madzab) telah menyusun kitab-kitab fiqh shalat, dalam kitab2 tersebut telah dibahas dengan lengkap mengenai rukun shalat(juga rukun tiap-tiap rukun shalat tersebut), syarat syahnya shalat , sunah-sunah dalam shalat dsb.. dengan dalil-dalil dan hujjah yg shahih. Fiqh Shalat inilah yg dipegang dan dipelihara oleh ulama-ulama ahlusunnah dan umat muslim diseluruh dunia.

Kebanyakan muslimin sekarang tidak tahu mana yang rukun wajib dalam shalat dan mana yang sunah (tidak wajib) dalam shalat. Musuh-musuh islam dengan berkedok islam/salafy/ahlusunnah telah menyesatkan umat ini dengan membuat cara-cara shalat dengan membuat dusta dengan dalil-dalil yang tidak lengkap. Diantara buku-buku yang menyesatkan ini adalah buku dengn judul “sifat shalat nabi” yang ditulis oleh syaikh nashiruddin Albany, seorang syaikh dari sekte wahabi yang sering mengaku-ngaku dengan nama salafy/darul hadits dsb.

Adapun “rukun shalat” menurut imam ahlusunnah akan dijelaskan secara singkat dibawah ini :

Hadits 1
Sebagaimana yang diambil dari hadits Rasul saw yang diriwayatkan oleh Aby Hurairoh ra sengguhnya Rasullulah saw berkata : “ Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhulah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari AlQur’an, kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut, kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujut, kemudian lakukanlah seperti yang tadi diseluruh shalatmu” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
dalam Riwayat Muslim Rasullulah saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu”

Hadits 2
Riwayat An Ibn Umar ra Rasulullah saw berkata : “ketika duduk untuk berTasyahud menaruh tangan kiri diatas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya diatas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dalam Riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).

Hadits 3
Riwayat An Aby Mashud ra shabat Basyir bin Syaid “Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasul saw terdiam lalu Rasulullah saw menjawab “ katakanlah, Allahumma Shali’alla Muhammadin wa’alla ali Muhammad kama shalaita ala Ibrahimma…” sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah. (HR. Muslim). (Ditambahkan oleh Ibn khuzaimah bagaimana kami bershalawat atasmu jika kami dalam shalat).

Hadits 4
Sabda Rasulullah saw “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR.Imam Bukhari dan Muslim) dan dari Wail bin Hujr ra “aku shalat bersama Rasul saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu)”.( HR. Abu daut dengan sanad sahih )

Rukun shalat ada 17

1. Niat,
sebagaimana hadits 1 diatas “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,” dan Hadits Rasul saw “sesungguhnya amal itu dengan niat”.

Berniat dalam hati untuk melakukan shalat dan menjelaskan sebabnya atau waktunya (kalau memang shalat tersebut memiliki sebab atau waktu tertentu) dan diniatkan fardliyahnya (kewajibannya) pada shalat fardlu (Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17).

Masalah lafadh niat itu adalah demi Ta’kid saja, (penguat dari apa yg diniatkan), itu saja, berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.

Niat shalat dilafadzkan sbelum takbir adalah sunnah, untuk menuntun hati, sebagai mana dalam hadits : “tidak akan lurus iman/yaqin seorang hamba sebelum hatinya betul, tidak akan betul/lurus hati seorang hamba sebelum lisannya lurus”. Tapi karena niat adalah wajib dilakukan pada “saat beramal(mu’tarinan bil’amal). Maka pada saat mengucaplan lafadz Takbir “Allahhu Akbar”, bersamaan ia harus berniat dalam hati, minimum dalam shalat wajib/fardhu ,contohnya : “usholli fardhaddhuhri” (fathul mu’in).

Inilah perkara yang sangat penting dalam rukun niat, tapi kitab sifat shalat karangan Albany tidak menganggap sebagai perkara yang penting. Maka lihat kebanyakan wahabi, jika ia shalatmereka “berniat dalam hati tapi sebelum bertakbir dan tidak bersamaan dengan amal (takbir)” maka tidak syahlah shalat mereka menurut fiqih ahlusunnah yang masyhur.

2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu,
dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir (syarah dari Imam alwi abbas al Maliki kitab Ibanatul ahkam). Berdiri dalam shalat fardlu bagi yang mampu (Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17).

3. Bertakbir,
yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allahhu Akbar’).

Mengucapkan Allahu akbar (takbiratul ihram) sekiranya ia sendiri bisa mendengar suaranya sebagaimana hal ini juga dilakukan pada setiap rukun qauli (Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17).

Jadi tidak syah shalatnya orang yang bertakbiratul ula dalam hati baik ia jadi imam, makmum atu shalat sendirian (munfarid). Lafadz “Allahhu Akbar” harus terdengar ditelinga, dari huruf alif (‘a’) sampai huruf ra (“r”) (syarah safinatunnajah). Inilah perkara yang sangat penting dalam rukun takbir, tapi kitab sifat shalat karangan Albany tidak menganggap sebagai perkara yang penting. Maka lihat kebanyakan wahabi, jika ia shalat sendirian mereka “bertakbir dalam hati” maka tidak syahlah shalat mereka menurut fiqih ahlusunnah yang masyhur.

4. Membaca Alfatihah,
para ulama sepakat Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Alfatihah disetiap rakaatnya. sebagaimana Hadits Rasulullah saw : “ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al Fatihah)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Membaca al Fatihah dengan Basmalah dan semua tasydid-tasydidnya dan disyaratkan muwalah (bersambungan; tidak terputus dengan berhenti/diam yang lama misalnya) dan tartib serta mengeluarkan huruf sesuai makhrajnya dan tidak melakukan kesalahan pada bacaan yang sampai merubah makna seperti mendlammahkan huruf “TA” pada kalimat أنعمت , dan diharamkan salah baca yang tidak merubah makna akan tetapi hal tersebut tidak membatalkan shalat.

Kebanyakan Wahabi, dalam shalat tidak membaca “Basmallah” dalam alfatihah. Maka shalat seperti ini tidaklah syah menurut Ahlusunnah. (Ada yang membaca “basmallah” tapi tidak mengeraskan suaranya tapi ada juga yang tidak membaca “basmallah” sama sekali).

– Menngenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Alhafidh Imam Nawawi : “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yg masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur pada mereka” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 4 hal 114)..

Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan diantara dada dan pusar, walaupun riwayat yg mengatakan diatas dada itu shahih, namun pendapat Ibn Mundzir “bahwa hal itu tak ada kejelasan yg nyata, bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya diatas dada, maka orang boleh memilih” (Aunul Ma’bud Juz 2 hal 323.

Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany mengajarkan satu lagi kesesatan dalam cara shalat yaitu “tangan bersedekap diatas dada”. Sungguh ini adalah perkataan2 yng menyelisihi imam 4 madzab Ahlusunnah!. Baca artikel saya ttg “Kesesatan Syaikh nashiruddin Albani “.

5. Rukuk,
diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah saw Ubbayd assaa’idi ra berkata : “bahwasannya melihat Rasulullah saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika berukuk kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” ( HR. Imam Bukhari dan Muslim)

6. Tuma’ninah dalam berrukuk,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk…”.

Thuma’ninah ketika ruku’ dengan kadar membaca Subhanallah. Thuma’ninah adalah diamnya seluruh
persendian tulang (anggota badan) pada posisinya sekaligus (serentak).

7. I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”

8. Tuma’ninah dalam I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…”

– Mengenai Qunut, memang terdapat Ikhtilaf pada 4 madzhab, masing masing mempunyai pendapat, sebagaimana Imam Syafii mengkhususkannya pada setelah ruku pada rakaat kedua di shalat subuh.., dan Imam Malik mengkhususkannya pada sebelum ruku pada Rakaat kedua di shalat subuh (Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughulmaram Bab I),

mengenai Qunut dengan mengangkat kedua tangan telah dilakukan oleh Rasul saw dan para sahabat, maaf saya tak bisa menyebut satu persatu, namun hal itu teriwayatkan pada : Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi.

Mengenai dalil shahih masalah qunut, sanadnya adalah sebagai berikut :
حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت (1) النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات قالوا : فالقنوت في صلاة الصبح لم يزل من عمل النبي صلى الله عليه وسلم حتى فارق الدنيا ، قالوا : والذي روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قنت شهرا ثم تركه ، إنما كان قنوته على من روي عنه أنه دعا عليه من قتلة أصحاب بئر معونة ، من رعل وذكوان وعصية وأشباههم ، فإنه قنت يدعو عليهم في كل صلاة ، ثم ترك القنوت عليهم ، فأما في الفجر ، فإنه لم يتركه حتى فارق الدنيا ، كما روى أنس بن مالك عنه صلى الله عليه وسلم في ذلك وقال آخرون : لا قنوت في شيء من الصلوات المكتوبات ، وإنما القنوت في الوتر

dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat.

berkata Imam Nawawi : mengenai Qunut subuh, Rasul saw tak meninggalkannya hingga beliau saw wafat, demikian riwayat shahih dari anas ra. (Syarah nawawi ala shahih Muslim)

Berkata Imam Ibn Hajar AL Asqalaniy : Dan telah membantah sebagian dari mereka dan berkata : Telah sepakat bahwa Rasul saw membaca Qunut Subuh, lalu berikhtilaf mereka apakah berkesinambungan atau sementara, maka dipeganglah pendapat yg disepakati (Qunut subuh), sampai ada keterangan yg menguatkan ikhtilaf mereka yg menolak (Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy)

Dan berkata Imam Ibn Abdul Barr : sungguh telah shahih bahwa Rasul saw tidak berhenti Qunut subuh hingga wafat, diriwayatkan oleh Abdurrazaq dan Addaruquthniy dan di shahihkan oleh Imam Alhakim, dan telah kuat riwayat Abu Hurairah ra bahwa ia membaca Qunut subuh disaat Nabi saw masih hidup dan setelah beliau saw wafat,
Dan dikatakan oleh Al Hafidh Al Iraqiy, bahwa yg berpendapat demikian adalah Khulafa yg empat (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu’anhum), dan Abu Musa ra, Ibn Abbas ra, dan Al Barra’, dan lalu diantara para Tabiin : Hasan ALbashriy, Humaid, Rabi’ bin khaytsam, Sa’id ibn Musayyab, Thawus, dan banyak lagi, dan diantara para Imam yg berpegang pada ini adalah Imam Malik dan Imam Syafii,
Walaupun ada juga yg mengatakan bahwa Khulafa Urrasyidin tidak memperbuatnya, namun kita berpegang pada yg memperbuatnya, karena jika berbenturan hukum antara yg jelas dilakukan dengan yg tak dilakukan, maka hendaknya mendahulukan pendapat yg menguatkan melakukannya daripada pendapat yg menghapusnya. (Syarh Azzarqaniy alal Muwatta Imam Malik)

Imam Ibn Abdul Bar kemudian menyebutkan pula pendapat yg menentang pendapat diatas.

walhasil saudaraku, tak perlu diperpanjang perdebatan masalah Qunut, karena telah baku bahwa Imam Malik dan Imam Syafii melakukannya, dan Imam Hanafi dan Imam Hambali tak melakukannya.

– Lagi-lagi syaikh Bin Baz (wahaby) membuat bid’ah baru dalam shalat, yaitu “Tangan bersedekap pada waktu i’tidal”….ini adalah bid’ah yang dibuat-buat. Tidak ada dalil yang menunjukan perkara ini, dan hal ini tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah dan tidak dijumpai dalam fatwa-fatwa imam ahlusunnah (imam-imam 4 madzab). Lihatlah orang-orang yg terpengaruh kitab sesat “sifat shalat nabi karya albani” mereka merasa shalat mereka yang paling benar dan mereka bersedekap setelah i’tidal (ini adalah bid’ah yang nyata!).

9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut…” dan Hadits Rasulullah saw : “aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” ( HR. Mutafaqul’alayh). Sabda Rasul saw : “Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim)

10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua,

sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”.

Sujud dua kali yaitu dengan meletakkan dahinya semuanya atau sebagiannya pada tempat shalatnya dalam keadaan terbuka dan melakukan penekanan padanya serta menjadikan bagian bawah (belakang) badannya lebih tinggi dari bagian atas (depan)nya (at-Tankis), meletakkan sebagian dari kedua lututnya dan bagian dalam kedua telapak tangannya dan bagian dalam jari – jari kedua kakinya. Sebagian ulama di luar
mazhab Syafi’i mengatakan : “Tidak disyaratkan dalam sujud at-Tankis, maka seandainya kepalanya lebih tinggi dari pada duburnya sah shalatnya menurut mereka” (Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 18).

11. Duduk diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”

12. Tuma’ninah diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”

13. Tasyahud akhir,
Riwayat Muslim dari Ibn Abbas berkata Rasul saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthoybatulillah…” sampai dengan akhir.

Tasyahhud akhir , yaitu membaca :
اَلتحيا  ت اْلمُباركَات ال  صلَوا  ت الطَّيبا  ت للهِ، اَل  سلاَم علَيك أَيه ا النبِ ي
ورحمةُ اللهِ وبركَاته، اَل  سلاَم علَينا وعلَى عباد اللهِ ال  صالحين أَش هد أَنْ
لاَ إِله إَلاَّ اللهُ وأَشهد أَنَّ محمدا رسولُ اللهِ.

Atau paling sedikitnya membaca:
اَلتحيا  ت للهِ سلاَم علَيك أَيها النبِي ورحمةُ اللهِ وبركَاته س لاَم علَين ا
وعلَى عباد اللهِ ال  صالحين أَشهد أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وأَش هد أَنَّ محم دا
رسولُ اللهِ.

(Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17)

– Mengenai mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyy wr wb”, adalah wajib dan merupakan Syarat Sah shalat, demikian dalam Madzhab Syafii, mengenai pendapat para muhaddits lainnya bahwa setelah wafat mereka merubah pembacaan salam itu maka Imam Syafii tetap berpegang pada yg diajarkan langsung oleh Rasul saw dimasa hidupnya,

dan Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadh yg diajarkan dimasa hidupnya Nabi saw, demi menjaga lafadh shalat yg diajarkan oleh Rasul saw (Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 318)dan didalam madzhab syafii tidak sah terkecuali mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh” (AL Majmu’ Juz 4 hal 81),

dan Imam syafii memang merupakan satu satunya Imam yg sangat berhati hati dalam memutuskan hukum dan fatwa, terbukti sebagian besar ulama bermadzhabkan syafii.

Adapun kitab “sifat shalat nabi” yg ditulis Syaikh nashiruddin Albani adalah kitab yg mengajarkan kesesatan!. Dalam buku ini Albany melarang membaca “Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh” ini adalah pendapat yg lemah dan menyesatkan umat. Albani mengutip pendapat ini secara tidak lengkap dari kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar Atsqalani), padahal ibun Hajar Atsqalani adalah jelas-jelas ulama bermadzab syafei! dan dalam kitab Fathul Bari (Ibnu Hajar Atsqalani) menyebutkan berbagai pendapat dalam bacaaan tahiyat hanya untuk menambah wawasan pembaca mengenai bacaan tahiyat shalat, tetapi bacaan tahiyat yang paling shahih adalah Pendapat Imam Syafii tetap berpegang pada yg diajarkan langsung oleh Rasul saw dimasa hidupnya, dan Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadh yg diajarkan dimasa hidupnya Nabi saw, demi menjaga lafadh shalat yg diajarkan oleh Rasul saw (Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 318)

14. Duduk diTasyahud akhir,
sebagaimana hadits 2 diatas “ ketika duduk untuk berTasyahud…”

15. Bershalawat kepada Rasul saw,
sebagaimana hadits 3 diatas “ Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”. Imam Syafi’I berpendapat bahwa beshalawat atas Rasul saw dan keluarganya dalam shalat adalah Wajib bagi kita, sebagaimana hadits 3 diatas.

Shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘alayhi wa sallam paling sedikit membaca:
اَلّل  ه  م صلِّ على محمد (Allahummashali ‘ala Muhammad)

ucapan ucapan itu boleh saja dilakukan dan boleh tidak, karena tak ada perintah dalam hadits beliau saw yg menjelaskan kita harus memanggil dg Sayyidina atau lainnya.
maka menambahi nama sahabat dg Radhiyallahu ‘anhu pun boleh atau boleh pula tidak, atau saat shalat kita membaca surat dan menyebut nama para nabi, maka boleh mengucapkan / menambahkan alaihissalam, namun yg jadi masalah adalah mereka yg “tak mau” atau bahkan “melarang” menyebut sayyidina pada para sahabat bahkan pada Rasul saw
karena Rasul saw memperbolehkannya, sebagaimana sabda Beliau saw : “janganlah kalian berkata : beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb mu (Rabb juga bermakna pemilik, ucapan ini adalah antara budak dan tuannya dimasa jahiliyah), tapi ucapkanlah (pada tuan kalian) Sayyidy dan Maulay (tuanku dan Junjunganku), dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka : wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu” (shahih Bukhari hadits no.2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249.

maka jelaslah bla budak saja diperbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada sahabat yg mereka itu adalah guru guru mulia seluruh muslimin, sebagaimana ucapan yg masyhur dikalangan sahabat : “aku adalah budak bagi mereka yg mengajariku satu huruf”, atau hadits Nabi saw yg bersabda : “bila seseorang telah mengajarkanmu satu ayat maka engkau telah menjadi budaknya” maksudnya sepantasnya kita memuliakan guru guru kita, lebih lebih lagi para sahabat, karena par sahabat sendiri satu sama lain mengucapkan

Rasul saw bersabda dihadapan para sahabat seraya menunjuk Hasan bin Ali ra anhuma : “sungguh putraku ini (hasan bin Ali) adalah Sayyid, dan ia akan mendamaikan dua kelompok muslimin” (shahih Bukhari hadits no.3430, juga dg hadits yg semakna pada hadits no.2557)

berkata Umar bin Khattab ra kepada Abubakar shidiq ra : “aku membai’atmu, engkau adalah sayyiduna, wa khairuna, wa ahibbuna” (engkaulah pemimpin kami, yg terbaik dari kami, dan yg tercinta dari kami). (shahih Bukhari hadits no.3467)
Umar ra berkata kepada Bilal dg ucapan sayyidina. (shahih Bukhari hadits no.3544).
dan masih banyak lagi dalil dalil shahih mengenai hal ini.

16. Salam,
sebagaimana hadits 4 diatas “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifak bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarnakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki)

17. Tertib,
Sebagaimana urutan rukun – rukun hadits diatas.

Tertib (berurutan). Dan jika dia sengaja meninggalkannya (tertib) seperti melakukan sujud sebelum ruku’ maka batal shalatnya. Dan jika dia lupa maka hendaklah dia kembali ke posisi yang ia lupa kecuali dia pada posisi tersebut (tetapi dalam raka’at lain) atau setelahnya maka dia menyempurnakan raka’atnya dan raka’at di mana dia ada yang lupa salah satu gerakannya tidak dihitung (diabaikan), maka jika dia tidak ingat bahwa dia telah meninggalkan ruku’ kecuali setelah ia ruku’ pada raka’at sesudahnya atau ketika sujud pada raka’at
sesudahnya maka gerakan yang ia lakukan antara yang demikian itu diabaikan (tidak dihitung) (Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17).

catatan :

– Mengenai qadha shalat fardhu, hukumnya adalah wajib menurut kemampuannya.

Dalilnya adalah ketika nabi saw dan para sahabat terbangun terlambat shalat subuh setelah terbitnya matahari, Nabi saw dan sahabat meng Qadha nya saat setelah terbangun, dan nabi saw memerintahkan sahabat untuk tetap sakinah, jangan terburu buru dalam wudhu lalu merekapun meng Qadha shalat subuh setelah terbit matahari. (Shahih Muslim Bab : Meng Qadha shalat yg tertinggal dan disunnahkan untuk menyegerakannya hadits no.680).

– mengenai menempelkan kaki dan kerapatan shaf mengenai hadits hadits nya adalah hadits hadits shahih, dan sangat banyak teriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan muslim, saya tak mungkin menyebutkannya satu persatu, namun keberadaannya adalah sunnah, bukan rukun shalat, maka jika shaff shalat tidak rata dan teratur maka shalatnya tetap sah namun merupakan hal yg makruh, telah berkata demikian Al Hafidh Al Imam Ibn Rajab bahwa meratakan shaff adalah hal yg merupakan bentuk kesempurnaan shalat (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab Shalat Juz 5 hal.142)

namun Imam Ibn Rajab menjelaskan pula mengenai pendapat Imam Bukhari bahwa mereka yg tak meratakan shaf itu berdosa, maka Imam Ibn Rajab menjelaskan bahwa yg dimaksud adalah jika mereka menolak dan tidak mau (bukan tak sengaja) untuk meratakan shaf nya (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab shalat Juz 5 hal 143)

demikian pula dijelaskan oleh Imam Ibn Batthal dalam kitabnya, bahwa meratakan shaff merupakan salah satu dari sunnah nya shalat, dan tidak melakukannya tidak membatalkan shalat (Sharah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal 424). Walaupun ada ikhtilaf dalam hal ini,

– mengenai Isbal (tidak membuat pakaian menjela/memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasul saw dalam sholat dan diluar shalat, demikian disebutkan dalam hadits Shahih dalam kitab Syama’il oleh Imam Tirmidzi,dan bukanlah merupakan hal yg wajib, sebagaimana difahami dari matan hadits bahwa hal itu adalah wajib namun Ijma’ ulama sepakat bahwa hal itu adalah sunnah mu’akkadah.

Mengenai amalan setelah shalat (setelah mengucapkan salam berarti shalat sudah selesai) diantaranya yang menjadi amalan umat muslim ialah sunah menyapu muka, mengenai hal akan saya jelaskan sebagai berikut :

Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathoni, yang menyebut dalam kitabnya “Munyatul Musholli” halaman 18, antara lain:-

…Adapun sunnat yang dikerjakan kemudian daripada sembahyang, maka adalah Nabi s.a.w. apabila selesai daripada sembahyang menyapu dengan tangannya di atas kepalanya dan dibacanya: “Dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kebingungan (stress) dan kedukaan.”

( بسم الله الذي لا إله إلا هو الرحمن الرحيم. اللهم اذهب عني الهم و الحزن )

Alangkah indahnya amalan ini, di mana kita memohon kepada Allah agar segala yang merunsingkan kita, yang membingungkan kita, yang menggundahkan hati sanubari kita, yang bikin kita stress, yang membuat kita berdukacita, sama ada ianya kedukaan dunia lebih-lebih lagi di akhirat nanti, biarlah dihilangkan oleh Allah s.w.t. segala kerunsingan dan kedukaan tersebut daripada kita. Amalan ini bukanlah memandai para ulama membuatnya tetapi ada sandarannya daripada hadits Junjungan Nabi s.a.w., dan jika pun hadits – hadits ini tidak shohih (yakni dhoif) maka kaedah yang digunapakai oleh ulama kita ialah hadits dhoif itu adalah hujjah untuk fadhoilul a’maal. Antara haditsnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnus Sunni, al-Bazzar dan Ibnu ‘Adi. Di sini aku nukilkan riwayat Ibnus Sunni dalam “‘Amalul Yawm wal Lailah” halaman 35, yang meriwayatkan bahawa Sayyidina Anas bin Malik r.a. berkata:-
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم
إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى

ثم قال: أشهد أن لاإله إلا الله الرحمن الرحيم،
اللهم أذهب عني الهم و الحزن

Adalah Junjungan Rasulullah s.a.w. apabila selesai daripada sholat, baginda menyapu dahinya dengan tangan kanan sambil mengucapkan: “Aku naik saksi bahawasanya tiada tuhan yang disembah selain Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan dan kedukaan.”

Dalam “Bughyatul Mustarsyidin“, kitab masyhur himpunan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi, Mufti negeri-negeri Hadhramaut, pada halaman 49 dinyatakan:

(Faedah) Ibnu Manshur telah meriwayatkan bahawasanya adalah Junjungan Nabi s.a.w. apabila selesai sholatnya, baginda menyapu dahinya dengan tapak tangan kanannya, kemudian melalukannya ke wajah baginda sehingga sampai ke janggut baginda yang mulia, sambil membaca:

بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب و الشهادة الرحمن الرحيم
اللهم أذهب عني الهم و الحزن و الغم
اللهم بحمدك انصرفت و بذنبي اعترفت
أعوذ بك من شر ما اقترفت
و أعوذ بك من جهد بلاء الدنيا و عذاب الآخرة

“Dengan nama Allah yang tiada tuhan selainNya, yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Maha Pemurah, Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan, kesedihan dan kekesalan. Ya Allah, dengan pujianMu aku berpaling dan dengan dosaku aku mengaku. Aku berlindung denganMu dari kejahatan apa yang aku lakukan dan aku berlindung denganMu dari kepayahan bala` dunia dan azab akhirat.

Begitulah, wahai ikhwah sandaran kita untuk beramal dengan menyapu muka selepas salam sholat. Oleh itu jangan mudah gusar melihat yang melakukannya. Kalau kita tidak suka, maka bagi kita amalan kita dan bagi mereka amalan mereka.

***Penulis : Abu Haidar ( Pulau Pinang – Malaysia, https://salafytobat.wordpress.com )

Alumni Pondok Pesantren Darussa’adah (Jl. Purnawirawan 7 -Gunung Terang – Bandar Lampung)***

Rujukan :

AL Majmu’ Juz 4 hal 81

Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 318

Al Mughniy Juz 1 hal 278

Bughyatul Mustarsyidin“, kitab masyhur himpunan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi, Mufti negeri-negeri Hadhramaut (yaman) , halaman 49.

Fathul Mu’in

Fathul Bari

Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201

Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki

Jawaban Habib Munzir Almusawa tentang Fiqh Shalat

Munyatul Musholli, halaman 18, Syaikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathoni

Mukhtasar Harari, 17 rukun shalat, hal 17

Shahih muslim

Shahih Bukhari

Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut

Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41

Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi

Syarah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal 424

Syarah Safinatunnajah

Sifat salat nabi, syaikh nasiruddin albany

Download kitab fiqh ahlusunnah “memuat ibadah-ibadah yang utama” Klik saja!

Atau download di :

Click to access Mukhtassar_Al-Harari.pdf

*******************************************************************************************

Manaqib (Biografi) Albany

Adalah tukang jam yang bernama Muhammad Nashiruddin berasal dari negara Albania. Cukup sebagai bantahan terhadapnya, pengakuanya bahwa dia dulunya bekerja sebagai tukang jam dan hobinya membaca buku-buku tanpa mendalami ilmu Agama pada para ahlinya dan tidak mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits bahkan sanadnya terputus (tidak bersambung sampai ke Rasulullah), sanadnya kembali kepada buku-buku yang dibacanya sendiri. Dia mengakui bahwa sebenarya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan hawa nafsunya dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadhifkan hadits adalah tugas para. hafiz saja.

Al Albani, sebagaimana kits ketahui telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul “Almukhtasar al Uluww; “, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya “at-Tawassul” . Dia, menganggap Nabi -SAW- seorang yang sesat sebagaimana ia menuduh sesat orang-orang yang bertawassul pads para Nabi dan para Wali dalam kitabnya “Fatawa al Albani”. Dia juga mengkafirkan Ahlussunnah; al Asyairah dan (al Maturidiyah dalam kaset rakaman suaranya yang dibagikan oleh pengikutnya. Dialah yang menyerukan untuk menghancurkan al Qubboh al Khadlra’ dan menyuruh memindahkan makam Nabi ke. luar Masjd sebagaimana dalam kitabnya “Tandzir as-Sajid’ dan dia melarang umat Islam mengucapkan dalam shalat merekaAssalamu ‘alayka ayyuhan-Nabiyy”. Dia berkata: Katakan “Assalamualannabiyy alasannnya karena Nabi telah meninggal, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul “Sifat shalat an-Nabi”. Dia juga memaksa Ummat Islam di Palestine untuk menyerahkan Palestine kepada orang Yahudi sebagaimana dalam kitabnya “Fatawa al Albani”. Dalam kitab yang sama dia juga mengharamkan Ummat Islam untuk mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah mati di makamnya. Dia juga mengharamkan bagi seorang perempuan untuk memakai kalung emas dalam, kitabnya “Adaab az-Zafaaf “, mengharamkan etas Umat Islam berwudlu lebih dan satu mud dan mandi lebih dari lima mud (satu mud takarannya sama dengan dua telapak Langan ukuran sedang), perkataannya ini dikutip oleh “Majattah at¬Tamaddun”, Juga mengharamkan Umat Islam membawa Subhah(Tasbih) untuk berzikir sebagaimana dipaparkannya dalam kitabnya “Silsilah al Ahadits adl-Dha’ifah”, mengharamkan Ummat Islam melaksanakan solat tarawih dua puluh raka’at di bulan Ramadan sebagaimana ia katakan dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan”. Dia juga mengharamkan umat Islam melakukan shalat sunnah qabliyali jum’at sebagaimana disebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al Ajwibah an-Nafah”. sebagaimana umum diketahui, ia juga mengharamkan membaca al-Qur’an untuk orang-orang muslim yang telah meninggal dunia dan juga mengharamkan perayaan maulid Nabi, mengharamkan ziarah ke makam, Nabi Dan melarang mengucapkan lafazh “Sayyidina” untuk Nabi dan menganggapnya bid’ah clan pelakunya seorang mubtadi’.

Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak kesesatannya, kami hanya menyebutkannya secara ringkas karena perkataan-perkataan tersebut jelas-jelas mendustakan al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ sehingga tidak memerlukan banyak tambahan penjelasan lagi. Ini adalah bukti bahwa al Albani hanya ingin mengikuti hawa nafsunya pangkat dan harta. Bagi orang yang tahu, jelas bahwa al Albani adalah “” seburuk buruk Wahhabiyah (Wahhabiyah adalah agama yang banyak dibantah oleh ulama mazhab empat) pada masa kini. Alhamdulillah banyak para Ulama dan para ahli hadits yang membantahinya, di antara mereka adalah:

1. Muhaddits Syam Syekh Abd Allah al Harari

2. Muhaddits Maroko Svekh Abd Allah alGhumari
3. Muhaddits India Syekh Habib al-Rahman al Azhami
4. Mantan. Menteri Urusan Agama dan WakafEmiriyah Arab Bersatu Muhammad ibn Ahmed al Khazraji
5. Mantan Ketua MUI Propinsi DKI Jakarta K.H. M. Syafi’i Hadzami
6. dan banyak Ulama ulama lainnya.
Nasihat kami bagi seluruh umat Islam untuk tidak membaca kitab-kitabnya dan tidak merujuk kepada tashih dan tadh`ifnya dalam hadits. Justru kewajiban syar’i adalah melakukan tahzir terhadapnya dan terhadap karangan-karangannya den-ti membela Islam dan Muslimin.

petikan Tahzir Al Syar`i