Bid’ah / Bidaah

I. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.

Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yg tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yg bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa-apa yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan…dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah. Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yg ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

II. Siapakah yg pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?

Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.

Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yg baru, sungguh semua yg Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik-baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

III. Bid’ah Dhalalah

Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal-hal baru yg baik adalah hati yg sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yg maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin.

IV. Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)

Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)

“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah

Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam? (Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa)

http://artikelislami.wordpress.com

Kenapa Ulama Guna Istilah “Bid’ah Dholalah dgn bid’ah hasanah” Bukan “sunnah sayyi’ah dgn sunnah hasanah”

Posted on May 11, 2009 by salafytobat | Edit

FAHAMAN YANG SAHIH PADA AL- SUNNAH DAN AL- BID’AH.
Disediakan

OLEH :
AL-USTAZ ABD RAOF AL-BAHANJI AL-ALIYY.
http://pondoktampin.blogspot.com

Al-Sunnah dan al-Bid’ah adalah dua perkara yang berlawanan pada tuturan Soohib al- Syara’ , maka tidak dapat didefinasikan salah-satu dari keduanya melainkan dengan mendefinasikan pasangannya, dengan makna bahawa keduanya adalah saling berlawanan, (dengan sebab berlawanan definasi, ternyata segala perkara). Sesungguhnya kebanyakan pengarang telah mendefinasikan makna al-Bid’ah terlebih dulu dari al-Sunnah , maka sebab itu mereka jatuh kejurang yang sempit yang tidak mampu untuk keluar darinya dan berlumuran dengan dalil-dalil yang bercanggah dengan penta’rifan al- Bid’ah mereka . Jika mereka mendahulukan definasi al-Sunnah nescaya mereka dapat keluar dari kekeliruan dengan dhobith- dhobith yang tidak bercanggahan. Rasulullah s.a.w dalam hadis-hadis berkenaannya, bersungguh-sungguh mendahulukan mendefinasikan al-Sunnah , kemudian barulah dengan pasangannya yang berlawanan iaitu al-Bid’ah , seperti yang dilihat dalam hadis-hadis yang berikut:

1. Hadis Jabir disisi Muslim:

كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا خطب احمرت عيناه وعلا صوته : ويقول أما بعد فأن خير الحديث كتاب الله خير الهدى هدى محمد صلى الله عليه وآله وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثه بدعة وكل بدعة ضلالة

{ Adalah Rasulullah apabila berkhutbah , merah kedua mata baginda dan meninggi suara. Baginda bersabda : Amma ba’du ,maka sebaik-baik hadis itu adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejahat –jahat perkara adalah perkara baru. Tiap-tiap perkara baru adalah Bid’ah , dan setiap bid’ah adalah sesat.}. AL-Bukhari telah mentakhrijkannya sebagai mawquf atas Ibnu Mas’ud.

2. Menjelaskannya lagi oleh hadis Irbadh disisi Abi Daud dan al-Tirmizi , al-Tirmizi berkata Hasan Sahih , Ibnu Majah dan selain beliau
وعظنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم موعظة بليغة وجلت منها القلوب ودرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظه مودع فأوصنا فقال : أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع وان تأمر عليكم عبد حبشي فأنه من يعش بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة

{Rasulullah s.a.w, telah memberi wa’adz kepada kami satu wa’adz yang hebat sehingga hati kami berasa takut dan mata, maka kami berkata ” Wahai Rasulullah , seolah-olahnya wa’adz ini untuk yang terakhir, wasiatkankan kami . Baginda bersabda : Daku berwasiat kepada kamu dengan bertakwa kepada Allah s.w.t dan dengarlah (patuhilah amir ) sekalipun bahawa memerintahkan kamu oleh seorang Habsyhi , Sesungguhnya….. sesiapa yang sempat hidup selepas wafatku akan melihat pertelingkahan yang banyak . Maka lazimkan olehmu berpegang dengan al-Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa al- Rashidin al- Mahdiyyin , gigitlah ia dengan gigi gerham . Jaga-jagalah akan perkara-perkara baru, maka sesungguhnya setiap yang bid’ah adalah sesat}.

3. Telah menjelaskannya lagi oleh hadis Muslim dari Jarir r.a:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله اجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شئ ومن سن في الإسلام سنه سيئة كان عليه وزرها ووز من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من اوزارهم شئ

{Sesiapa yang melakukan satu SUNNAH yang baik didalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala sesiapa yang beramal dengan (SUNNAH) nya selepas (kematian) nya.Tidak berkurang pahalanya sedikitpun. (Sebaliknya) sesiapa yang melakukan satu SUNNAH yang buruk , adalah dosa atasnya dan dosa mereka yang beramal dengan (SUNNAH BURUK) nya selepas (kematian) nya, tidak berkurang sedikitpun dosa-dosa mereka yang akan ditanggungnya).}

Seumpama hadis-hadis ini ada lagi hadis-hadis lain yang beredar disekitarnya . Salahsatunya hadis riwayat Ibnu Masud r.a:
( من دل على خير فله مثل أجر فاعله )

{Sesiapa yang menunjjukan perkara kebaikan maka baginya seumpama pahala orang yang melakukannya.}.

من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص من أجورهم شئ ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الآثم

{Sesiapa yang menyeru kepada petunjuk , nescaya dia mendapat pahala seumpama pahala mereka yang mengikutinya ,tidak ada kurang pahalanya sedikitpun. Sesiapa yang menyeru kepada kesesatan ,adalah ia mendapat dosa….. hingga akhir hadis…}.

Cublah kita perhatikan pada susunan ayat hadis-hadis tersebut. Nabi s.a.w telah mendahulukan anjuran menuruti Sunnah/petunjuk kemudian barulah diikuti tegahan bid’ah/kesesatan.. disetiap kalimat yang datang dari Penghulu Segala Rasul ,adalah hikmat dan makna yang perlu diperhatikan dengan teliti . Jangan gopoh dan melulu membuat kesimpulan .Perhatikanlah dan telitilah pada hadis yang pertama lawan bagi- “Perkara baru (al-muhdath) dan al-Bid’ah” – adalah- “Petunjuk Nabawi”-, dan bahawa petunjuk Rasul adalah sebaik-baik petunjuk . dan sejahat-jahat perkara baru yang bertentangan bagi petunjuk adalah bid’ah.

Hadis yang kedua ini :

.عليكم بسنتي وسنة الخلفاء … الخ
. واياكم ومحدثان الأمور فأن كل محدثة بدعة

dan pada hadis yang ketiga – “al-Sunnah yang baik (al-sunnah al-Hasanah)”- dilawankan -dengan “al-Sunnah yang buruk ( al-Sunnah al-Sayyiah)”;
من سن سنة حسنة ومن سن سنة الحسنة مقابل بالسنة السيئة من سن سنة حسنة ومن سن سنة سيئة

Oleh itu, “al-Sunnah” yang disebut diawal hadis-hadis tersebut adalah merupakan “Asal” atau punca , sedangkan perkara yang keluar atau terbit atau dikatakan furu’ dari asalnya,disebut
“al-Bida’h”.

Kemudian marilah kita menyelidik , apakah yang dimaksudkan dengan “al-Sunnah” yang telah dilawankan dengan pasangannya “al-Bid’ah” didalam hadis riwayat al-Irbadh tersebut?.

“Al-Sunnah” pada sisi bahasa Arab dan disisi Syara’ bermakna “al-Thoriqah” iaitu “Petunjuk Rasul s.a.w” . Pentakrifan begitu sebenarnya adalah yang paling tepat sebab ianya telah diambil dari sisi pihak matan Hadis-hadis tersebut sendiri .

Lihatlah saja pada kalimat dalam hadis Jabir :
من دعا إلى هدى

(Sesiapa yang telah menyeru kepada “Petunjuk” Rasul s.a.w )…

Satu lagi pada hadis Sahih yang Masyhur :
لتتبعن سنن من قبلكم

(Nanti kamu akan mengikuti sunnah-sunnah mereka yang terdahulu dari kamu)

– maksudnya – Thoriqah mereka- .

Demikian juga hadis: (Sesiapa yang melakukan satu SUNNAH yang baik didalam Islam…(Sebaliknya) sesiapa yang melakukan satu SUNNAH yang jahat) iaitu maksudnya adalah “Thoriqah- seperti makna-makna hadis dulu juga..

Maka Thoriqah Rasul s.a.w adalah PetunjukNya (al-Huda), samada menerimanya atau menolaknya adalah disebut juga al-Sunnah yang yang dimaksudkan dan ditafsirkan oleh hadis Jabir r.a dengan – Sunnah yang Baik- dan Sunnah yang jahat- iaitu Thoriqah yang baik atau Thoriqah kejahatan atau Petunjuk yang baik dan Petunjuk yang jahat. Disebut juga method.

Mendefinasikan al-Sunnah dalam hadis-hadis tersebut dengan makna-makna lain , seperti mana definasi “al-Sunnah” dalam ilmu Musthalah dan ilmu Usul Fiqh atau ilmu Fiqh , adalah kekeliruan yang membawa kepada bencana yang dahsyat dalam arena keilmuan.

1.Takrif al-Sunnah disisi ilmu Musthalah memaksudkan “hadis-hadis”.

2.Takrif al-Sunnah disisi ilmu Fiqh dan Usulnya, bermaksud Muqobil (lawanan) bagi “al-Waajib”.

Kedua-dua bentuk takrifan tesebut adalah bertentangan dan tidak menepati kehendak-kehendak hadis-hadis yang berkaitan. Kerana takrif al-Sunnah pada sisi kedua-dua bidang tersebut adalah bukan makna-makna yang difaham dari hadis-hadis yang berkaitannya. Bahkan yang dimaksudkan dengan “al-Sunnah” atau “Sunnatur Rasul” disisi hadis-hadis tersebut adalah -ThoriqahNya- pada Perbuatan, Perintah, Menerima dan Menolak – ianya juga merupakan Thoriqah Khalifah-khalifahnya (Khulafaa al-Raashidin) , yang telah mengikuti ThoriqahNya pada Perbuatan, Perintah, Menerima dan Menolak.

Saya menegaskan , jika dipakai makna ayat “Sunnatun Hasanatun dan Sunnatun Sayyiatun” sebagai makna 2 takrifan yang tersebut adalah yang betul dan menepati kehendak lafaz hadis tersebut?, maka timbul kemuskilan yang besar pula, iaitu ” adakah pernah dijumpai dimana-mana petunjuk dalil bahawa terdapatnya satu contoh Sunnah Jahat (Sunnatun Sayyiatun) dalam Perbuatan, perkataan dan cita-cita Nabi s.a.w????? “. maka fikirkanlah dan kajilah dengan melalui method yang wajar.

Lampiran (dari admin salafytobat) :

1. Ayat al-qur’an

Bid’ah Huda (baik) dan Bid’ah Dlalalah (sesat). Allah ta’ala berfirman:
( (ورهبانية ابتدعوها ما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله) (سورة الحديد : 27
Maknanya: “… dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridlaan Allah” (Q.S. al Hadid: 27) >>>> lihat dalam ayat ini : ini fi’il atau kata kerja yg artinya mengada-adakan ,(lafadz bid’ah adalah kata isim (benda))
Allah memuji perbuatan para pengikut nabi Isa ‘alayhissalam yang muslim, yaitu melakukan rahbaniyyah (menjauhkan diri dari hal-hal yang mendatangkan kesenangan nafsu, supaya bisa berkonsentrasi penuh dalam melakukan ibadah), padahal hal itu tidak diwajibkan atas mereka. Hal ini mereka lakukan sematamata

2. Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

Pertama, riwayat Abu Nu’aim;

اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.

‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ

وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :

Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.

3. Bid’ah menurut wahhaby???

Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur),  bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan