SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (1)

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (1)

Luthfi Bashori

Bertabarruk yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesuatu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari barakah.

Ada seseorang yang menjalankan bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya.

Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun \`alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuahan dan sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya.

Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilak para shahabat Nabi SAW sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :

(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma\`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja\`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah SAW berumrah, beliau SAW menggundul rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya,, mereka berebut rambut Rasulullah SAW, kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah SAW ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.

(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW, lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.

Masih banyak dalil-dalil shahih yang akan disebutkan pada edisi berikutnya, tentang bolehnya bertabarruk (tabarrukan), yang sementara waktu diingkari oleh tokoh-tokoh Wahhabi Saudi Arabiyah, bahkan berpengaruh pada para polisi penjaga makam Nabi SAW, makam Sayyidina Hamzah, dan tempat-tempat berbarakah lainnya.

Sayangnya, sekalipun dengan jelas-jelas tanpa ilmu yang cukup, para polisi dan tokoh-tokoh wahhabi itu berani melarang para penziarah untuk bertabarruk memegang tirai besi makam Nabi SAW dan tempat-tempat barakah yang lainnya di Saudi Arabiyah.

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (2)
Penulis: Pejuang Islam [ 20/3/2010 ]

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (2)

Luthfi Bashori

(1). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian menggundul rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau SAW membagikannya kepada masyarakat muslim.

(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi SAW menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau SAW memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.

(3). Imam muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi SAW beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau SAW berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi SAW, kemudian Nabi SAW terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum.

(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi SAW bersabda : Engkau benar.

(5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah SAW berhijamah (canthuk), beliau SAW bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawah menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau SAW, maka beliau tertawa.

(6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka.

(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi SAW mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau SAW meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi SAW.

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (3)
Penulis: Pejuang Islam [ 22/3/2010 ]

SILAHKAN ANDA BERTABARRUK, KAMI MEMBERIKAN DALILNYA (3)

Luthfi Bashori

(1). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya kepadaku, dan akupun menciumnya. (HR. Atthabarani).

(2). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi SAW dengan kedua tanganku ini…! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.

(3). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah SAW, yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan…! Dulu Nabi SAW mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).

(4). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi SAW tersebut.

Masih banyak bukti hadits-hadits Nabi SAW tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi SAW, serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi SAW dan para wali serta orang-orang shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam.

Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.

Apalagi jika mengandung kesyirikan, seperti tempat pencarian nomer togel, kesaktian dukun santet dan pesugihan atau kuburan penyanyi legendaris kafir, dan kuburan tokoh-tokoh pluralisme lintas agama, yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.

Mudah-mudahan aqidah warga Sunni Syafi`i sebagai penghuni muslim mayoritas di Indonresia senantiasa dijaga oleh Allah.

ALLAH ADA TANPA TEMPAT; [Membongkar Aqidah Sesat Wahhabi Yang Sering Berbohong Besar Atas Nama Imam Abu Hanifah]

ALLAH ADA TANPA TEMPAT; [Membongkar Aqidah Sesat Wahhabi Yang Sering Berbohong Besar Atas Nama Imam Abu Hanifah]

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna “Istawa”, beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..

Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah…
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, …
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, –di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia–,…
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.

Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.

Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).

Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.

Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).

Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.

(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah…” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah…” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah…” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).

Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.

Pujian Ulama Terhadap Tasawwuf

Pujian Ulamak Terhadap Tasawwuf

Terdapat golongan yang menolak tasawwuf secara total bahkan ada yang menghukum ahli sufi secara umum sebagai zindiq, sesat dan sebagainya. Dan ada pula yang menggunakan kalam Imam Syafie sebagai modal untuk menolak tasawwuf tanpa melihat kepada penilaian yang adil (iaitu pujian Imam Syafie kepada tasawwuf). Maka di sini kita bawakan pujian para ulamak salafussoleh terhadap tasawwuf.

1) Imam Abu Hanifah radiyaLlahu ‘anhu (wafat 150 H) :

Seorang ahli fikir Hanafi, Al Hasfaki radiyaLlahu ‘anhu penulis kitab al Durr al Mukhtar telah mengutip; Bahawa Abu Ali ad Daqqaq radiyaLlahu ‘anhu berkata : Saya telah mengambil thariqat ini dari Abu al Qasim an Nasr Abadi radiyaLLahu ‘anhu , beliau berkata ; saya mengambilnya dari as Syibili dari as Saqathi dari Ma’ruf al Kharkhi, dari Daud ath Tho’i dan beliau mengambil ilmu sekaligus thariqat dari Imam Abu Hanifah radiyaLlahu ‘anhu. Setiap dari mereka memuji dan mengakui keutamaan Imam Abu Hanifah radiyaLlahu ‘anhu. Kemudian Imam al Hasfaki berpendapat :

“Sungguh aneh sekali..! Bukankah para pembesar ulama itu sebagai teladanmu? Apakah mereka diragukan pengakuan kebanggaannya ? Sedang mereka adalah para imam Thariqat ini sekaligus tokoh syari’ah (feqah) dan thariqat (tasawwuf), dan tokoh yang datang setelahnya dalam perkara ini adalah para pengikutnya, dan setiap orang yang bertolak belakang dengan apa yang mereka pegang itu ditolak dan dianggap bid’ah.

AbduLlah bin al Mubarak radiyaLlahu ‘anhu berkata :

“Tidak seorangpun yang lebih patut menjadi ikutan selain Imam Abu Hanifah kerana beliau sebagai seorang imam yang bertaqwa, bersih, wara’, ‘alim dan faqih, beliau telah dibukakan kasyaf, faham, kecerdasan dan ketaqwaan yang tidak ada pada orang lain.

Imam nawawi mengatakan kepada seorang yang bercerita kepadanya ;

Aku telah datang dari Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan : “Engkau telah datang dari penduduk bumi yang sangat ahli ibadah. Daripada sinilah kita dapat mengetahui bahawa para Imam Mujtahid dan ulama yang ‘amilin mereka itu sebenarnya adalah orang-orang sufi”

(Hasyiyah Ibn Abidin m/s 395-396)

2) Imam Malik radiyaLlahu ‘anhu (wafat 179H)

Imam Malik berkata :

“Barangsiapa yang memahami feqah tanpa bertasawwuf maka fasiq, dan barangsiapa yang bertasawwuf tanpa memahami feqah maka zindiq, dan barangsiapa yang telah menghimpun antara keduanya bererti ia telah merealisasikan kebenaran (

Hasyiyah Allamah al Adawi, Sheikh Ali al Adawi jilid 3 m/s 195)

3) Imam Asy Syafie (wafat 204H)

Imam Asy Syafie berkata

” Saya telah suhbah dengan kaum Shufi selama 10 tahun, kemudian hanya mendapatkan pelajaran dua huruf , dalam satu riwayat tiga ungkapan :

i. Waktu itu umpama pedang, jika engkau tidak menggunakannya maka ia akan menebasmu.

ii. Nafsumu jika tidak kau sibukkan dengan yang haq (benar), maka ia menyibukkanmu dengan bathil (salah).

iii. Rasa ketiadaan daya (merasakan wujud kebesaran ALlah) itu keselamatan (terpelihara) dirimu.

(Tahqiq Haqiqah Aliyah, Sheikh al Hafiz Al Suyuti, m/s 15)

Berkata Imam Syafi’e lagi :

Aku cinta kepada dunia kalian itu tiga :

a) Tidak berlebih-lebihan (sederhana)

b) Bergaul kepada orang dengan lemah lembut.

c) Meneladani cara tokoh-tokoh tasawwuf.

(Kasyful Khafa’, Imam Al Ajluni, jld 1, m/s 341)

4) Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H)

Pada awalnya sebelum Imam Ahmad bersuhbah (bersahabat) kepada orang shufi berkata kepada puteranya :

“Wahai puteraku berpeganglah kepada Hadith, jauhilah mereka yang menamakan dirinya sufi, kerana boleh salah satu daripada mereka itu seorang yang bodoh terhadap hukum-hukum agama.” Namun ketika beliau terlah bersuhbah dengan Abu Hamzah al Baghdadi as Sufi dan mengetahui keadaan mereka, beliau berkata kepada puteranya : “Wahai puteraku, engkau harus bermujalasah (duduk bersama-sama) dengan kaum sufi, kerana mereka telah menambahkan ilmu, muraqqabah, takut kepada Allah, zuhud dan ketinggian semangat kita”

(Kasyful Khafa’, Imam al Ajluni, jld 1, m/s 341)

Telah berkata Imam Muhammad as Safaraini al Hanbali daripada Ibrahim bin AbduLlah al Qalansi ; Bahawa Imam Ahmad telah berkata tentang kaum Sufi ;

“Aku tidak mengetahui orang yang lebih utama daripada mereka (sufi). Lalu ditanyakan; Mereka itu melantunkan nasyid, kemudian saling hanyut diri. Beliau menjawab : “Biarkan mereka bergembira sesaat bersama ALlah subahanahu wa ta’ala”.

(Manzumatul Adab, jilid 1 m/s 120)

5) Imam Abu AbduLlah al Harits al Muhasibi (wafat 243H)

Dalam kitab al Wasaya merupakan salah satu kitab induk ahli tasawwuf yang diakui, beliau berkata tentang pengalaman mujahadahnya yang pahit untuk mendapat hak (ALLah) sehingga mendapat petunjuk ke jalan Tasawwuf dan pada tokohnya , :

… Maka ALlah menghubungkanku kepada satu golongan hamba-Nya yang aku dapatkan pada mereka tanda-tanda ketaqwaan, wara’ dan pengutamaan kehidupan akhirat atas dunia, seta aku mendapatkan bimbingan dan pesan-pesan mereka yang bersesuaian dengan pendapat para Imam umat…

(Kitab al Wasoya, Imam al Muhasibi, m/s 27-32)

6) Imam al Izz bin Abdus Salam (wafat 660H)

Sultan ulama ‘Izzuddin bin Abdus salam berkata :

“Orang-orang sufi itu telah membangun landasan di atas kaedah syariah yang tidak menghancurkan dunia dan akhirat. Sedangkan selain mereka berdiri di atas rusum (zahir sahaja). Peristiwa karomah serta khwariqul adat yang terjadi di tangan mereka dapat dijadikan sebagai dalil kebenarannya. Hal itu, bahagian dari kedekatan ALlah serta redhaNya kepada mereka.

7) Imam an Nawawi (wafat 676H)

Imam an Nawawi berkata dalam kitabnya al Maqasid :

Prinsip asas Thariqat Tasawwuf itu ada lima :

  • Taqwa kepada Allah di saat sendiri dan bersama orang ramai. Untuk merealisasikan ketaqwaan ini adalah dengan menanamkan sifat wara’ dan istiqamah.
  • Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan. Untuk merealisasikannya dengan menjaga (sunnah) dan berakhlaq mulia.
  • Berpaling dari makhluk di saat bersama dan berpisah (maksudnya hatinya hanya bergantung kepada Allah dalam susah dan senang). Untuk merealisasikannya dengan menanamkan sabar dan tawakkal.
  • Redha kepada Allah kepada yang sedikit dan banyak. Untuk merealisasikan redha kepada Allah dengan menanamkan akhlaq qana’ah dan menyerah diri (tafwidh)
  • Kembali kepada Allah dalam susah dan senang. Dan merealisasikannnya dengan memanjatkan puja dan puji dan syukur kepada Allah apabila mengalami kesenangan dan sabar serta mengadu kepada Allah apabila dalam kesulitan.

(Maqasid al Imam an Nawawi fi at Tauhid wa al Ibadah wa Usul at Tasawwuf m/s 20)

Jangan pelik Ibnu Taimiyyah juga memuji tasawwuf lihat perkataannya (tetapi adakah golongan yang taksub dan taqlid pada Ibnu Taimiyyah menukilkan kalamnya ini?) :

“Orang-orang berselisih mengenai tareqat mereka, ada yang mencela kaum sufi dan tasawwuf, lalu mereka berkata : mereka (kaum sufi) adalah ahli bid’ah dan keluar dari sunnah. Ada juga pandangan yang baik dalam hal ini yang dikutip daripada segolongan Imam atau ulama dan diikuti oleh beberapa ahli feqah dan ilmu kalam. Ada juga sebahagian orang yang berlebihan dalam menganggap mereka sebagai makhluk yang paling mulia setelah para nabi. Dua pihak pertama dan terakhir itu tercela” Beliau menambahkan : Yang benar, “mereka adalah orang yang berjuang atau berijtihad untuk mentaati ALlah sebagaimana orang-orang yang berijtihad dalam mentaati ALlah.” Di antara mereka ada yang termasuk dalam sabiqin dan muqorrobin, Ada juga yang hemat (ashabul yamin) dan ada juga yang menzalimi dirinya serta melanggar perintah (berbuat maksiat kepada) Tuhannya. Ia juga berkata : Adapun para salikin (kaum sufi) yang lurus seperti halnya Fudhail bin Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abu Sulaiman ad Darani, Ma’ruf bin al Karkhi, Sir As Saqathi, Junaid bin MUhammad al Baghdadi dan para pendahulu (mutaqaddimin) lainnnya dan seumpama Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Syeikh Hammad dan Sheikh Bayan daripada Ulama kebelakangan (mutaakhirin).

(Majmu’ al Fataawa Ahmad ibn Taimiyah m/s : 516-517)

http://al-ghari.blogspot.com/

LAMPIRAN: Bait Diwan Imam Syafe’i yang dihilangkan oleh wahabi ****

BAIT YANG HILANG DARI DIWAN IMAM SYAFI’I !

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf,
maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa.
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih,
maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

COBA DOWNLOAD DARI :

http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=17&book=16

MAKA KALIMAT DI ATAS SUDAH HILANG !

BANDINGKAN DENGAN TERBITAN BEIRUT DAN DAMASKUS:

Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34



Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48



Bahkan terbitan Dar el-mareefah juga dihilangkan:
http://www.4shared.com/file/37064910/c3ad321/Diwan_es-Safii.html?s=1

Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi]

Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah

Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan disandarkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah. Di antaranya dalam firman Allah:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)

Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya.

Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjelaskan bahwa pemaknaaan seperti itu; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-‘Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:

سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (الأعلى: 1)

juga yang dimaksud dengan firman-Nya:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (اابقرة: 255)

Karena makna al-‘Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dengan jelas tentang hal ini Ibn Hajar menuliskan: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-‘Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-‘Âli, al-‘Alyy, dan al-Muta’âli”.

Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda.

Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18) menuliskan sebagai berikut:

“Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan:“Fulân Fawqa Fulân”, maka artinya si fulan yang pertama (A) lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua (B), bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa ‘Ibâdih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibâdih” (dengan mempergunakan kata jamak)“ (Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 23).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl menuliskan sebagai berikut:

“Allah berfirman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan berfirman tentang para Malaikat:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ (النحل: 50)

Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah:

يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)

dan firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18). Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat adalah firman Allah:

وَفَوْقَ كُلّ ذِي عِلمٍ عَلِيْمٌ (يوسف: 76)

Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan.
Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am: 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhâr; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Ghulâm Fawq as-Sulthân” atau “al-Ghulâm Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat, dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhâfuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Karena sesungguhnya seseorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” (Idlâh ad-Dalîl, h. 108-109).

Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya.

Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut:

“Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian.
Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.
Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalîfah Fawq as-Sulthân, Wa as-Sulthân Fawq al-Amîr”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulân Fawq Fulân”, maka artinya: “Si fulan (A) kedudukannya di atas si fulan (B)”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilm Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah:

وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ (الزخرف: 32)

artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun:

وَإنّا فَوقَهُمْ قَاهِرُوْنَ (الأعراف: 127)

yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun merasa menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” (Lihat dalam Risâlah Fî Nafy al-Jihah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 9, h. 47).

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân menuliskan tentang pemahaman kata fawq pada hak Allah, sebagai berikut:

“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhir Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhâfûna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Innâ Fawqahum Qâhirûn” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai mereka”.

Salah seorang ulama bahasa yang sangat terkenal; az-Zujaji, dalam kitab Isytiqâq Ismâ’ Allâh al-Husnâ menuliskan bahwa makna al-‘Alyy dan al-‘Âli pada hak Allah adalah dalam pengertian menguasai dan menundukan segala sesuatu.

Al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:

“Makna ke tiga; bahwa pengertian al-‘Uluww adalah al-Ghalabah (menguasai dan menundukan) seperti dalam firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna…” (QS. Ali ‘Imran: 139), artinya: “Kalian dapat menguasai dan menundukan musuh-musuh kalian”. Contoh lainnya seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab: “’Alawtu Qarnî…”, artinya: “Saya telah menguasai teman-teman sebaya saya”. Contoh lainnya firman Allah: “Inna Fir’awna ‘Alâ Fî al-Ardl” (QS. Al-Qashash: 4), artinya: “Fir’aun seorang yang berkuasa, sombong, dan durhaka”. Contoh lainnya firman Allah: “Wa an Lâ Ta’lû ‘Alâ Allâh” (QS. Ad-Dukhan: 19), artinya: “Janganlah kalian sombong atas Allah”. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan Nabi Sulaiman: “An Lâ Ta’lû ‘Alayya Wa’tûnî Muslimîn” (QS. An-Naml: 31), artinya: “Janganlah kalian sombong atasku dan datanglah kalian kepadaku dalam keadaan Islam”. Demikian pula nama Allah al-‘Alyy diambil dari kata al-‘Uluww dalam pengertian bahwa Allah maha tinggi atau maha agung pada derajat-Nya di atas segala apapun, artinya tidak ada apapun yang lebih agung dari pada Allah. Pengertian al-‘Alyy di sini bukan berarti Allah berada di arah atas, karena Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”.

Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:

“Allah berfirman: “al-Kabîr al-Muta’âl” (QS. Ar-Ra’ad: 9). Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits tentang nama-nama Allah; telah berkata al-Halimi: Pengertian ayat di atas ialah bahwa Allah Maha Suci dari segala apa yang ada pada makhluk-makhluk-Nya, seperti memiliki istri, anak, anggota badan (baik yang besar maupun anggota yang kecil), mengambil ranjang (tempat) untuk duduk di atasnya, bersembunyi di balik tirai supaya tidak terlihat, pindah dari satu tempat ke tampat lain, dan lain sebagainya. Karena sifat-sifat semacam ini sebagiannya menetapkan adanya bentuk dan penghabisan, sebagian lainnya menetapkan adanya kebutuhan kepada yang lain, dan sebagian lainnya menetapkan adanya perubahan. Sedikitpun sifat-sifat semacam demikian itu sangat tidak layak bagi Allah dan mustahil atas-Nya”.

Al-Imâm al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl dalam menjelaskan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhîm” (QS. Al-Baqarah: 255), firman Allah: “Sabbihisma Rabbik al-A’lâ” (QS. Al-A’la: 1), dan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Saba’: 23), menuliskan bahwa makna-makna itu semua penjelasannya adalah dalam pemahaman ketinggian derajat, keagungan, dan kekuasaan bagi-Nya, bukan dalam pengertian arah atau tempat yang tinggi. Kita semua sepakat dalam memahami makna-makna dari beberapa ayat tentang “Ma’iyyah Allâh”, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntun” (QS. Al-Hadid: 4), dan firman-Nya: “Innallâh Ma’a al-Ladzînattaqau…” (QS. An-Nahl: 128), bahwa makna “Ma’a” dalam ayat-ayat semacam ini bukan dalam pengertian Dzat Allah menyertai setiap makhluk-Nya. Artinya bahwa ayat-ayat ini tidak boleh dipahami secara zahir (literal). Maka demikian pula dalam memahami makna al-‘Alyy, al-‘Âli, atau al-Muta’âli pada hak Allah, itu semua tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Banyak dalil yang menunjukan kepada keharusan memahami makna seperti yang kita ungkapkan di atas, di antaranya firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna…” (QS. Ali ‘Imran: 139), juga firman Allah tentang Nabi Musa “Lâ Takhaf Innaka Anta al-A’lâ” (QS. Thaha: 68), serta firman Allah: “Wa Kalimatullâh Hiya al-‘Ulyâ” (QS. At-Taubah: 40). Ayat-ayat ini semua sama sekali bukan untuk menunjukan tempat dan arah atas, tetapi yang dimaksud adalah ketinggian kedudukan dan martabat (Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, h. 110-111).

Ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi dalam tafsirnya dalam penjelasan makna firman Allah: “Wa Annallâh Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Al-Hajj: 62) menuliskan sebagai berikut:

“al-‘Alyy artinya bahwa Allah maha menguasai atas segala sesuatu, Dia Maha Suci dari segala keserupaan dan penentang, dan Maha Suci dari segala pernyataan orang-orang kafir yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak sesuai bagi keagungan-Nya.
Al-Kabîr artinya bahwa Dia Allah yang maha agung dan maha besar dalam derajatnya, (bukan dalam makna bentuk). Menurut pendapat lain, makna al-Kabîr adalah bahwa Dia Allah yang memiliki segala kesempurnaan. Artinya bahwa wujud Allah itu mutlak; Dia ada tanpa permulaan (al-Qadîm al-Azaliy) dan tanpa penghabisan (al-Bâqî al-Abadiy)” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 12, h. 91).

Al-Imâm Abu al-Qasim al-Anshari an-Naisaburi dalam kitab Syarh al-Irsyâd; sebuah kitab teologi Ahlussunnah karya Imam al-Haramain, menuliskan pasal khusus dalam penjelasan makna-makna tentang sifat-sifat Allah yang kita sebutkan. Simak tulisan beliau berikut ini:

“Pasal; Tentang makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Kibriyâ’ dan al-Fawqiyyah. Seluruh orang Islam telah sepakat bahwa Allah maha agung. Dia lebih agung dari segala sesuatu yang agung. Dan makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Izzah, ar-Rif’ah, dan al-Fawqiyyah (pada hak Allah) semuanya memiliki satu pengertian, yaitu bahwa Dia Allah maha memiliki segala sifat kesempurnaan dan segala sifat kesucian. Artinya bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya, maha suci dari memiliki sifat-sifat benda, suci dari kebutuhan, suci dari kekurangan. Dan hanya Dia Allah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat Qudrah (Kuasa) yang mencakup atas segala sesuatu (dari Jâ’iz ‘Aqliy), sifat Irâdah (Kehendak) yang akan terlaksana bagi segala sesuatu yang ia kehendaki-Nya, sifat ‘Ilm (Mengetahui) yang mencakup atas segala sesuatu dari makhluk-Nya, maha memiliki sifat al-Jûd dan sifat ar-Rahmah, maha pemberi segala nikmat, maha memiliki sifat as-Sama’, al-Bashar, al-Qawl al-Qadîm (sifat kalam yang bukan berupa huruf, suara dan bahasa), dan maha kekal”.

Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh para Masyâyikh al-Azhar Cairo Mesir, antar generasi mereka ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Hanya beberapa gelintir oknum saja yang terkena faham tasybîh, dan itupun terjadi belakangan ini ketika faham-faham Wahhabiyyah merebak. Kita dapat pastikan bahwa pemegang tumpuk keilmuan di al-Azhar, atau yang dikenal dengan gelar Syaikh al-Azhar, dari generasi ke generasi di dalam akidah mereka semua memiliki faham Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas rintisan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Para Masyâyikh al-Azhar sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Di antara bukti atas itu adalah majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar sendiri, pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la menuliskan sebagai berikut: “al-A’lâ adalah salah satu sifat Allah, yang dimaksud dengan al-‘Uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.

Kemudian pada halaman berikutnya dalam majalah al-Azhar pada edisi yang sama dituliskan sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para ulama Salaf telah sepakat bahwa al-‘Uluww pada hak Allah mustahil maknanya dalam pengertian tempat yang berada di arah atas. Hal ini berbeda dengan faham sebagian orang bodoh yang sesat yang sama sekali tidak memiliki pegangan dalam permasalahan ini. Padahal sesungguhnya seluruh ulama, maupun ulama Salaf maupun ulama Khalaf, sepakat bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya”.

Waspadai ajaran wahhabi yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. Yang mengherankan pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Di dua tempat heh? A’udzu Billah….!!!! Ha-ula al-Musyabbihah yadlhak alaihim as-sufaha’ qablal ‘Uqala…!!!!

Ajarkan kepada anak-akan kita: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Inilah aqidah Rasulullah dan para sahabatnya; keyakinan mayoritas Ummat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah.

http://www.facebook.com/note.php?note_id=312724543329&id=1789501505&ref=mf

Tafsir Imam al-Qurthubi; Makna “Fawq” Dan Makna “al-Alyy” Pada Hak Allah Bukan Dalam Pengertian Tempat Dan Arah

Dari Tafsir Imam al-Qurthubi; Makna “Fawq” Dan Makna “al-Alyy” Pada Hak Allah Bukan Dalam Pengertian Tempat Dan Arah
Sunday, October 25, 2009 at 5:14am

Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam pengertian ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 3, h. 278, dalam QS. al-Baqarah: 255).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibadih…” (QS. al-An’am: 18), adalah dalam pengertian fawqiyyah al-Istila’ bi al-Qahr wa al-ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan, (bukan dalam makna bertempat di atas)” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 399, dalam QS. al-An’am: 18).

Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:

“Kaedah (yang harus kita pegang teguh): Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 390, dalam QS. al-An’am: 3).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِي بَعْضُ ءَايَاتِ رَبِّكَ (الأنعام: 158)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Yang dimaksud dengan al-Maji’ pada hak Allah adalah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong. Karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism (tubuh) atau Jauhar (benda)” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 7, h. 148, dalam QS. al-An’am: 158).

Pada bagian lain firman Allah tentang Nabi Yunus:

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لآإِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنبياء: 87)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi:

لاَ تُفَضِّلُوْنِي عَلَى يُوْنُس بْنِ مَتّى

memberikan pemahaman bahwa saya (Nabi Muhammad) yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 11, h. 333-334, dalam QS. al-Anbiya’: 87).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

وَجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Allah yang maha agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك 16)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari arah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan. Karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda (al-ajsam). Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa karena langit adalah tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujuan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga, hal ini sebagaimana Allah menjadikan ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita. Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat, maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azali), tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada -sebagaimana sifat Azali-Nya- tanpa tempat dan tanpa zaman” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 18, h. 216, dalam QS. al-Mulk: 16).

PENUTUP
Cukup bagi orang yang dibukakan pintu hidayah baginya oleh Allah dengan hanya mengambil perkataan al-Imam al-Qurthubi ini ia akan kuat berkeyakinan bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Kitab tafsir al-Qurthubi ini diakui sebagai kitab tafsir mu’tabar; baik oleh Ahlussunnah maupun oleh mereka yang tidak sepaham dengan Ahlussunnah…
Bila kemudian ada orang berkeyakinan Allah bertempat di atas arsy atau berada di langit, seperti keyakinan orang-orang Wahhabi, maka hendaklah ia periksa akal sehatnya..!!! Bagaimana ia berkata bahwa Allah di arsy atau di langit padahal ia yakin bahwa arsy dan langit itu adalah makhluk Allah??? Hasbunallah….!!! Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak Alayhim as-Sufaha’ Qabl al-‘Uqala…!!!

Tafsir Surat An-Najm : Kisah Shahih Peristiwa Isra Mi’raj

53. AN NAJM (BINTANG)

waalnnajmi idzaa hawaa

[53:1] Demi bintang ketika terbenam.
maa dhalla shaahibukum wamaa ghawaa

[53:2] kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
wamaa yanthiqu ‘ani alhawaa

[53:3] dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya.
in huwa illaa wahyun yuuhaa

[53:4] Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
‘allamahu syadiidu alquwaa

[53:5] yang diajarkan kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat.
dzuu mirratin faistawaa

[53:6] yang mempunyai akal yang cerdas; dan (jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
wahuwa bial-ufuqi al-a’laa

[53:7] sedang dia berada di ufuk yang tertinggi.
tsumma danaa fatadallaa

[53:8] Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
fakaana qaaba qawsayni aw adnaa

[53:9] maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
fa-awhaa ilaa ‘abdihi maa awhaa

[53:10] Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan
maa kadzaba alfu-aadu maa raaa

[53:11] Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya*.
* Menggambarkan turunnya wahyu yang pertama di gua Hira (Melihat Malaikat Jibril)
afatumaaruunahu ‘alaa maa yaraa

[53:12] Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?
walaqad raaahu nazlatan ukhraa

[53:13] Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
*Maksudnya melihat Malaikat Jibril (dgn wujud aslinya) saat isra mi’raj
‘inda sidrati almuntahaa

[53:14] (yaitu) di Sidratil Muntaha*.
* Sidratul muntaha adalah tempat yang paling tinggi diatas Langit ke 7
‘indahaa jannatu alma/waa

[53:15] Di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
idz yaghsyaa alssidrata maa yaghsyaa

[53:16] (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
maa zaagha albasharu wamaa thaghaa

[53:17] Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
laqad raaa min aayaati rabbihi alkubraa

[53:18] Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.

Keterangan :

Isra’ Bukanlah Mimpi
Telah menjadi ijma’ (konsensus) para ulama salaf, khalaf, ahli hadits, ahli kalam, ahli tafsir dan ahli fiqh bahwa Rasulullah di-isra’-kan dengan jasad dan ruhnya serta dalam keadaan sadar (bukan mimpi). Inilah pendapat yang benar
menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Anas ibn Malik, Umar ibn Khattab, Hudzaifah, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam ath-Thabari dan yang lainnya.

Andaikata peristiwa Isra’ tersebut hanyalah sekedar mimpi, maka orang-orang kafir Quraisy tidak akan menentangnya dan peristiwa Isra’ tersebut tidak akan menjadi salah satu mukjizat Rasulullah yang terbesar.
Mi’raj
Kemukjizatan Mi’raj telah dinash secara jelas dalam hadits shahih, seperti yang diriwayatkan Imam Muslim. Adapun dalam al Qur’an tidak ada nash yang menyebutkan lafazh “Mi’raj”. Namun ada ayat yang menjelaskan kejadian tersebut. Firman Allah ta’ala:

walaqad raaahu nazlatan ukhraa

[53:13] Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
‘inda sidrati almuntahaa

[53:14] (yaitu) di Sidratil Muntaha

Mi’raj adalah perjalanan yang dimulai dari Masjid al Aqsha hingga ke atas langit ke tujuh dengan menaiki tangga yang terpaut di antara langit dan bumi, dengan anak tangga yang terbuat dari emas dan perak. Kisah Mi’raj ini secara terperinci diriwayatkan dalam hadits yang shahih riwayat Imam Muslim. Disebutkan dalam hadits tersebut bahwa ketika Rasulullah bersama Jibril sampai pada langit yang pertama, dibukalah pintu langit tersebut setelah terjadi percakapan antara Jibril dan penjaga pintu. Hal ini terjadi setiap kali Rasulullah dan Jibril hendak memasuki tiap-tiap langit yang tujuh. Di langit pertama, Rasulullah bertemu dengan Nabi Adam, di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa, di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris, di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun, di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa, di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim shallallahu ‘alayhim wasallam.

Keajaiban-keajaiban Mi’raj
Ketika Rasulullah berada di suatu tempat yang berada di atas (suatu tempat yang lebih tinggi
dari langit ke tujuh), beliau diperlihatkan oleh Allah beberapa keajaiban ciptaan-Nya. Antara lain :
1. al Bait al Ma’mur, yaitu rumah yang dimuliakan, yang berada di langit ke tujuh. Setiap hari 70.000 malaikat masuk ke dalamnya lalu keluar dan tidak akan pernah kembali lagi dan seterusnya.
2. Sidrat al Muntaha, yaitu sebuah pohon yang amat besar dan indah, tak seorangpun dari makhluk yang dapat menyifatinya.

3. Surga, yaitu tempat kenikmatan yang disediakan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Surga berada di atas langit yang ke tujuh dan sekarang sudah ada. Firman Allah ta’ala :
( ( أعدت للمتقين ) (سورة ءال عمران : 133
Maknanya : “Telah disediakan (surga) bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Ali Imran : 133)
Di dalam surga Rasulullah juga melihat al Wildan al Mukhalladun, yaitu makhluk yang diciptakan Allah untuk melayani penduduk surga. Mereka bukan Malaikat, Jin, atau Manusia, mereka juga tidak punya bapak atau
ibu. Rasulullah juga melihat para bidadari. Jibril meminta Rasulullah untuk mengucap salam
kepada mereka, dan mereka menjawab :
“Kami adalah wanita yang baik budi pekerti lagi rupawan. Kami adalah istri orang-orang yang mulia”.
4. ‘Arsy, yaitu makhluk Allah yang paling besar bentuknya (H.R. Ibn Hibban) dan makhluk kedua yang diciptakan Allah setelah air (Q.S. Hud : 7). Imam al Bayhaqi mengatakan : “Para ahli tafsir menyatakan bahwa ‘arsy adalah benda berbentuk sarir (ranjang) yang diciptakan oleh Allah. Allah memerintahkan para malaikat untuk menjunjungnya dan menjadikannya sebagai tempat ibadah mereka dengan mengelilinginya dan mengagungkannya sebagaimana Ia menciptakan ka’bah di bumi ini dan memerintahkan manusia untuk mengelilinginya ketika thawaf dan menghadap ke arahnya di saat shalat” (lihat al Asma’ wa ash-shifat, hlm.497).

‘Arsy bukanlah tempat bagi Allah, karena Allah tidak membutuhkan tempat. Sayyidina ‘Ali berkata :
“إن الله خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته” رواه
أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق
Maknanya:”Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, dan tidak menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. (Riwayat Abu Manshur al Baghdadi dalam al farq bayna al firaq, hlm : 333)

Apakah Tujuan Isra’ dan Mi’raj ?
Tujuan dan hikmah yang sebenarnya dari Isra’ dan Mi’raj adalah memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya beberapa keajaiban ciptaan Allah sesuai dengan firman Allah dalam surat al Isra’: 1 di atas :
( لنريه من آياتنا )
Maknanya: “Agar kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran kami”.

serta mengagungkan beliau sebagai Nabi akhir zaman dan sebaik-baik nabi di antara para nabi, sekaligus sebagai penguat hati beliau dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh orang kafir Quraisy terlebih
setelah ditinggal mati oleh paman beliau Abu Thalib dan isteri beliau Khadijah. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari Isra’ dan Mi’raj bukanlah bahwa Allah ada di arah atas, lalu Nabi naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya. Karena Allah ada tanpa tempat dan arah, dan tempat adalah makhluk sedangkan Allah tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman :
( ( فإن الله غني عن العالمين ) (سورة آل عمران : 97
Maknanya : “Maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak membutuhkan) dari alam semesta”. (Q.S. Al Imran : 97)
Allah tidak disifati dengan salah satu sifat makhluk-Nya seperti berada di tempat, arah atas, di bawah dan lain-lain.

Juga perkataan Imam ath-Thahawi :
” لا تحويه الجهات الس  ت كسائر المبتدعات ”
“Allah tidak diliputi oleh salah satu arah penjuru maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut” (lihat al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi)
Hal ini merupakan ijma’ ulama Islam seluruhnya, maka barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat dan berarah di atas atau semua arah maka ia telah jatuh pada kekufuran. Wahyu yang diterima Rasulullah pada saat Isra’
dan Mi’raj Dalam hadits shahih yang sangat panjang riwayat Imam Muslim, Rasulullah menjelaskan mengenai peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dalam hadits tersebut diriwayatkan bahwa ketika Nabi berada di atas Sidratul Muntaha beliau mendengar kalam Allah di antaranya berisi kewajiban sholat 50 kali dalam sehari semalam bagi umatnya. Kemudian
terjadilah dialog dengan Nabi Musa ‘alayhissalam bahasa sebab kalam-Nya azali (ada tanpa permulaan). Pada malam yang mulia dan penuh berkah itu Allah membuka hijab dari Rasulullah; hal yang dapat menghalanginya dari mendengar kalam Allah yang azali. Allah memperdengarkan kalam- Nya dengan Qudrah-Nya pada saat Rasulullah berada di suatu tempat di atas Sidratul Muntaha ; suatu tempat yang tidak pernah dikotori dengan perbuatan maksiat dan bukan tempat di mana Allah berada seperti dugaan sebagian orang sebab Allah ada tanpa tempat.
Kisah-kisah tidak berdasar
1. Tidak boleh berkeyakinan bahwa pada saat Mi’raj Allah mendekat kepada Rasulullah sehingga jarak antara keduanya adalah dua hasta atau lebih dekat lagi seperti anggapan sebagian orang. Yang benar adalah bahwa yang mendekat kepada Rasulullah adalah Jibril, bukan Allah (baca tafsir surat an-Najm (53) : 8-9) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. Karenanya buku yang berjudul Mi’raj Ibnu Abbas dan Tanwir al Miqbas min tafsir Ibn Abbas (yang memuat beberapa hal yang menyalahi syara’) mesti dijauhi. Kedua buku tersebut bukanlah karya Ibnu Abbas, melainkan ada sebagian orang yang dengan
tanpa didukung dalil dan bukti yang kuat menyandarkan kepadanya.

2. Kisah yang menyatakan bahwa ketika Jibril telah sampai pada suatu tempat setelah Sidratul Muntaha kemudian berkata kepada Nabi : “Di sinilah seorang kawan berpisah dengan kawan yang sangat dicintainya, seandainya aku terus naik (ke atas) niscaya aku akan terbakar”. Ini adalah cerita dusta yang tidak berdasar sama sekali. y

3. Kisah yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah pada saat Mi’raj telah sampai ke atas langit ke tujuh di suatu tempat dimana beliau mendengar kalam Allah ta’ala dan beliau berkata : at-Tahiyyatu lillah, lalu dijawab oleh
Allah : as-Salamu ‘alayka ayyuha an-Nabiyyu Warahmatullahi Wabarakatuh. Riwayat ini meskipun tertulis dalam beberapa kitab tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj dan disampaikan oleh beberapa orang dalam ceramah-ceramah peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah kisah yang tidak Sahih (benar) karena pada malam Isra’ Mi’raj shighat atau lafazh
Tahiyyat belum disyari’atkan. Hanya sebagian rawi-rawi pendusta saja yang meriwayatkan kisah tersebut. Kisah dusta ini telah menyebardi banyak kalangan kaum muslimin maka harus dijelaskan hal yang sebenarnya. Riwayat tentang bacaan Tasyahhud atau Tahiyyat yang benar adalah sebagai berikut: Pada awalnya sebagian sahabat Rasulullah
sebelum disyari’atkan Shighat Tasyahhud, mereka mengucapkan dzikir atau bacaan : ” السلام على الله ، السلام على جبريل ، السلام على ميكائيل ”
Lalu Rasulullah melarang mereka mengatakan itu dan beliau mengatakan :
” إن الله هو السلام ”
Maknanya : “Allah itu adalah as-Salam –yang suci dari segala kekurangan- (jadi jangan katakan : as-Salam ‘ala Allah)”.

Kemudian Rasulullah mengajarkan kepada mereka untuk mengatakan :
” السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته ”
Mukjizat Isra’ dan Mi’raj selain penuh dengan hikmah dan pelajaran juga merupakan ujian bagi keimanan kita akan kekuasaan Allah ta’ala. Apakah kita termasuk orang yang beriman dengan sebenarnya atau justru mendustakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi ini dengan dalih filsafat dan logika, Wallahu A’lam wa Ahkam.

http://www.darulfatwa.org.au

WAHHABIY TERRORIS – Jaringan teroris internasional terbongkar di Malaysia

WAHHABIY TERRORIS

Keratan akhbar NSTP yg membuktikan 10 tahanan asing adalah berfahaman Wahhabiy

Saya tidak terkejut selepas membaca berita penangkapan 10 orang warga asing di bawah Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) baru-baru ini. Sebenarnya, latarbelakang suspek telah lama dihidu pihak keselamatan kita. PDRM menjustifikasikan suspek terlibat dengan organisasi pengganas antarabangsa. Menariknya, apabila kesemua suspek dipercayai berfahaman Wahhabiy. Bukan sekadar Wahhabiy biasa atau Wahhabiy Taqlid, tetapi kesemua suspek adalah terdiri dari kalangan Wahhabiy Jihadi. Yakni Wahhabiy Tegar. Tuan-puan boleh telusuri isu ini melalui keratan akhbar yang discan di atas dan capaian : http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2010&dt=0128&pub=Utusan_Malaysia&sec=Muka_Hadapan&pg=mh_01.htm

Syeikh Aiman al-Dakkak. Khabarnya beliau mengidap kencing manis kronik dan berulang alik ke hospital untuk mendapatkan rawatan dalam tahanan ISA sebelum dihantar pulang ke negaranya.

Aiman Dakkak bersama kroninya yang sedang berpeluk tubuh berjubah kelabu ialah Us Arif Nadzri, tutor Jabatan al-Qur’an dan al-Sunnah, FPI – UKM. Foto ini membuktikan fahaman dan metod pemikiran mereka sehati sejiwa.
Ketua organisasi Wahhabiy Jihadi yang berjaya ditangkap dalam operasi sepadu itu ialah Syeikh Aiman Yusuf al-Dakkak dari Syiria (gambar di atas). Beliau bermastautin disini sejak sekian lama dengan pembiayaan dari hartawan Arab Saudi untuk mengwahabikan rakyat Malaysia. Beliau mempunyai kenalan rapat dengan tokoh-tokoh Wahhabi Melayu. Sebelum dihantar pulang ke negara asal, Pihak polis perlu menyiasat hubungan beliau dengan Wahhabiy Melayu melalui panggilannya, usrah, kelas dan ceramah serta pergerakannya. Antara kroni dan murid-muridnya yang turut ditahan ialah :

-Azzahari bin Murad (warganegara Malaysia)
– Mohamed Hozifa (warga Syria)- anak kepada Aiman Al Dakkak
– Kutiba Al-Issa (warga Syria)

– Khalid Salem (warga Yaman)
– Luqman Abdul Salam (warga Nigeria)
– Hassan Barudi (warga Syria)
– Hussam Khalid (warga Jordan)
– Abdul Alhi Bolajoko Uthman (warga Nigeria)
Saya mengalu-alukan tangkapan yang dibuat oleh Bahagian Counter Terrorisme dan Bahagian Logistik Bukit Aman. Buktikan pada mereka bahawa Malaysia tiada tempat untuk fahaman ekstrem dan sebarang kegiatan Terroris.
Dengan penangkapan ini Pihak PDRM juga boleh membuat rumusan bahawa punca gejala terrorisme agama adalah berakarkan kepada fahaman ekstrem dan radikal. Dan fahaman ekstrem Wahhabiy merupakan salah satu sayap radikal Islam kontemporari. Justeru, jika kita ingin membendung gejala terroris, fahaman ekstremis dan radikal perlu terlebih dahulu dibendung secara total. Falsafahnya, jika tidak dibendung akar mana bisa mungkin dapat dibendung dahan, ranting dan buah Terroris agama. Tahniah PDRM kerana proaktif dalam berjihad membendung Terroris. Katakan Tidak pada Terroris.

WAHHABI GUNA HADITH PALSU DALAM AKIDAH…apa hukumnya?!

Bahaya Akidah Wahabi

WAHHABI GUNA HADITH PALSU DALAM AKIDAH…apa hukumnya?!


WAHHABI GUNA HADITH PALSU DALAM HAL AKIDAH…APAKAH HUKUMNYA WAHAI WAHHABI?!

Kitab yang telah discan diatas adalah: KITAB WAHHABI BERJUDUL ‘FATHUL MAJID FI SYARH KITAB AT-TAUHID’.
DALAM KITAB TERSEBUT AMAT JELAS WAHHABI BUAT HADITH PALSU MAKZUB DUSTA TERHADAP NABI MUHAMMAD DENGAN MENDAKWA NABI BERSABDA ‘ALLAH DUDUK ATAS KERUSI’.
INI ADALAH HADITH PALSU YANG TIDAK PERNAH DIRIWAYATKAN SECARA SOHIH MAHUPUN HASAN DAN TIDAK SABIT LANGSUNG DARI NABI MUHAMMAD.
WAHHABI SENGAJA MEREKA-REKA HADITH TERSEBUT SUPAYA UMAT ISLAM BERAKIDAH SEPERTI YAHUDI.
SOALAN SAYA KEPADA WAHHABI: APAKAH HUKUM MENGUNAKAN HADITH PALSU DALAM HAL AKIDAH?!

Sangat memalukan agama Islam dalam dunia dakwah secara penulisan apabila sebahagian umat yang mengaku Islam sendiri hanya membicarakan dan memfokuskan pada hal yang ranting dan meninggalkan hal yang asas.

Wahhabi memang suka berbicara hal kenduri arwah, baca Al-Quran atas kubur dan sebagainya dari perbalahan yang tidak memberikan kemenangan kepada Islam dan langsung tidak membawa kepada kesatuan umat Islam bahkan hanya membawa kepada perpecahan yang telah melarat sejak dibukukan sejarah. Ini lah yang diimpikan oleh golongan Wahhab agar umat Islam lemah tidak kuat dan papa kedana dalam mempertahankan Islam.

Kita tidak harus melayan rentak remeh Wahhabi dalam menyesatkan umat. Inilah nasihat saya kepada pejuang yang lebih alim dan tawadhu’.

______________

PENYELEWENGAN AQIDAH ‘ INSTITUT’ IBNU QAYYIM: ” NABI MUHAMMAD DUDUK ATAS ARASY, ALLAH PULAK DUDUK ATAS KERUSI” (berbukti)

Ayyo Yoo..Suda Tuka Ka?
——————————————————————————

Tahukah anda mengapa Wahhabi di tanah air kita begitu bangga dengan tokoh yang mereka sendiri tidak mempunyai sanad kepadanya iaitu Muhammad Bin Abu Bakar Ad-Dimasyqi IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH?
Ketahuilah lelaki ini bukanlah ulama Islam yang diambil kata-katanya dalam aqidah dan jugak feqah malahan serata tulisannya perlu berjaga-jaga kerana terdapat banyak percanggahan dengan agama Islam sebenar.
Selain itu Wahhabi Melayu cukup gemar mengunakana namanya dan kenyataan dhoifnya. Ini kerana sememangnya banyak kenyataan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah selari dengan hawa nafsu mereka tapi pada hakikatnya jelas menyeleweng dari aqidah sebenar sebagai contoh:

– Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah kata Allah Duduk Atas Kerusi.
– Wahhabi juga kata Allah Duduk Atas Kerusi Dan Meja.(maaf Kerusi jek).
– Yahudi juga mendakwa Allah duduk atas kerusi (Rujuk Safar Al-Muluk Al-Ishah 22 nom 19-20 dan dalam Safar Mazamil Al-Ishah 47 nom 8).

Sedangkan Allah dan RasulNya tidak pernah menyatakan sedemikian.

Mari kita teliti….

* IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH DAKWA ” NABI MUHAMMAD PULAK DUDUK ATAS ARASY” *

INILAH KITAB IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH YANG MENJADI RUJUKAN DAN PANDUAN UTAMA BAGI KESEMUA WAHHABI DI MALAYSIA BERJUDUL ” BADAI’UL FAWAID ” PADA JUZUK 4 CETAKAN MAKTABAH NIZAR MUSTOFA AL-BAZ:

PADA KITAB TADI IBNU QAYYIM MENDAKWA: ” NABI MUHAMMAD DUDUK ATAS ARASY” LIHAT BUKTI:

(DI ATAS) ADALAH ISI KANDUNGAN KITAB TERSEBUT TERTERA TAJUK DALAMNYA NABI MUHAMMAD DUDUK ATAS ARASY. DAN DINUKILKAN SECARA DUSTA SYAIR YANG PALSU KONONNYA NABI MUHAMMAD DUDUK ATAS ARASY DAN JANGAN INGKAR!.

Inilah fahaman yang pelik tidak berdasarkan kepada nas yang sohih. Pakai tibai ajek..habis tu yang wahhabi kata Allah Duduk Atas Arasy tu apa citta?! sapa yang duduk atas Arasy sebenarnya wahai Wahhabi ‘Institut’ Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah?!!
(*jgn ‘perasan’ institut hang tu…ni chek habaq pasal Ibnu Qayyim AL-JAUZIYYAH dan kesan aqidahnya pada Wahhabiyah…lainlah kalu hangpa tuh memang Wahhabi totok motok kotoQ).
Teringat plak chek pada senarai kesesatan Ayah pin yang dinyatakan dalam Majlis Fatwa antaranya Ayah Pin dakwa dirinya duduk atas arasy.

* IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DAKWA ” ALLAH PULAK DUDUK ATAS KERUSI ” *

KITAB IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH BERJUDUL ” SOWAIQUL MURSALAH ‘ALAL JAHMIYAH WAL MU’ATTILAH ” PADA JUZUK 2 CETAKAN MATBA’AH AS-SALAFIYAH DI MEKAH :

PADA KITAB TERSEBUT IBNU QAYYIM MENYANDARKAN KEPADA ALLAH SIFAT ‘ DUDUK ATAS KERUSI
& TURUN PERGI JUMPA NABI MUHAMMAD’ (LIHAT DIBAWAH&KLIK PADANYA KALAU NAK BESARKAN):

(DI ATAS) ADALAH ISI KITAB TERSEBUT YANG MENJADIKAN RUJUKAN UTAMA WAHHABIYAH DI MALAYSIA, PADA MUKASURAT 217 MENYATAKAN BAHAWA KONONNYA:
ALLAH DUDUK ATAS KERUSI SAMBIL MENJENGUK HAMBA-HAMBANYA DARI ARAH ATAS DAN ALLAH TURUN PERGI BERJUMPA DENGAN NABI MUHAMMAD LANTAS BERLAKU PERTEMUAN ALLAH DENGAN NABI MUHAMMAD PADA DUA JARAK TEMPAT.

Inilah aqidah Tajsim yang menyamakan Allah dengan makhluk dihidupkan oleh Wahhabi Malaysia sambil mengajar kanak-kanak kecil aqidah sesat ini bertujuan agar rosak aqidah generasi umat Islam kelak lantas bermaharajalela lah Mujassimah Al-Yahudiyah.

TEKS PENING SAMBIL TERMUNTAH:
Aqidah Wahabi sekejap tuhan duduk atas kerusi pastu Nabi pulak duduk atas Arasy pastu Arasy pulak qadim pastu tuhan duduk melepak atas arasy sekejap pastu Nabi duduk plak atas arasy pastu arasy duduk atas keru….asdgdfwglsdguysag
aduii..sakit lah kalau dok main ambil akidah yahudi mcm Wahabi buat nih..habis celaru……

Apepun saya doakan semoga Allah memberi hidayah Tauhid Tulen kepada agama Wahhabi.

http://www.abu-syafiq.blogspot.com

Materi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; Aqidah Rasulullah, Para Sahabat, Dan Keluarganya

Materi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; Aqidah Rasulullah, Para Sahabat, Dan Keluarganya

Materi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama\
Karya-karya ulama kita yang harus anda baca, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=287937743329&1&index=1

Materi tauhid dalam menjelaskan ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=276190138329&1&index=2

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi], klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=312724543329&1&index=0

Materi penjelasan kesesatan aqidah hulul dan wahdah al-wujud, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=178832598329

Pernyataan sebagian ulama Ahlussunnah terkemuka dalam menjelaskan ALLAH ADA TANPA TEMPAT, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=177358813329

Dari tulisan al-‘Arif Billah as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad (Shahib ar-Ratib); supaya anda kenal siapa Ahlussunnah Wal Jama’ah, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=174232968329

Materi penjelasan hakekat bid’ah dari a sampe z (supaya jangan sembarangan menuduh ahli bid’ah kepada orang lain), klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=171331573329

Dari tulisan Imam al-Ghazali dalam menjelaskan bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=171126758329

dan berbagai materi lainnya, banyak buuaaanggeeett… klik aja di sini http://www.facebook.com/notes.php?id=1789501505

DR. Muhammad Tahir Ul Qadri : Bongkar kesesatan terrorist wahhaby (al qaida – JI – MMI etc)

Tokoh Ulama Keluarkan Fatwa Antiteror

DR Muhammad Tahir Ul Qadri (Ulama Besar Islam sunni madzab hanafi, mantan menteri agama pakistan) : “Bom Bunuh diri (teroris) bukan ajaran islam”!!!

https://i0.wp.com/i2.ytimg.com/vi/sI_b43WCSKc/0.jpg

Selasa, 2 Maret 2010 –
Fajar Nugraha – Okezone

LONDON– Seorang ulama ternama mengeluarkan fatwa sebanyak 600 halaman yang menentang terorisme. Fatwa yang dikeluarkan di London, Inggris ini menurut ulama tersebut merupakan bentuk persuasif kepada pemuda muslim untuk berpaling dari kelompok ekstrimis muslim.

Fatwa ini dikeluarkan oleh Muhammad Tahir Ul Qadri, seorang ulama yang telah mempromosikan perdamaian dan dialog lintas agama selama 30 tahun.

Fatwa yang dikeluarkan olehnya ini merupakan yang pertama dikeluarkan, sejak fatwa serupa yang dirilis oleh kelompok muslim lain menyusul terjadinya serangan 11 September 2001 lalu di New York, Amerika Serikat.

Namun Qadri sendiri mengklaim jika fatwa yang dikeluarkannya kali ini berbeda dengan fatwa sebelumnya. Fatwa yang ia keluarkan kali ini menyebutkan, teroris dan pelaku bom bunuh diri sebagai golongan tidak beragama. Ulama yang juga bergelar doktor ini menyatakan fatwanya mencakup lebih jauh dibandingkan fatwa sebelumnya.

“(Fatwa) ini merupakan sebuah fatwa yang paling komprehensif yang menulis subjek tentang terorisme,” ungkap Dr Qadri seperti dikutip Reuters, Selasa (2/3/2010).

“Saya mencoba untuk tidak meninggalkan satu pun fakta mengenai masalah terorisme dan mencoba untuk menjawab semua pertanyaan yang relevan dengan subjek ini,” imbuh Dr Qadri.

Fatwa Dr Qadri sendiri ditanggapi positif oleh Dosen Ilmu Islam Universitas Cambridge, Inggris, Tim Winter. Winter melihat meskipun fatwa ini serupa dengan fatwa sebelumnya, ia mengakui jika fatwa Dr Qadri memang selangkah lebih maju.

“Menyatakan teroris sebagai kalangan yang tidak beragama adalah tidak biasa, karena tidak ada aturan jelas untuk menyatakan jika para teroris merupakan muslim.” ungkap Tim Winter. “fatwa ini mungkin akan diabaikan oleh kelompok Islam garis keras. Namun untuk warga muslim yang menghormati para ulama mungkin akan mengikuti fatwa ini,” tambahnya.

Penulis 350 buku mengenai ajaran Islam ini merupakan pemimpin organisasi pendidikan dan religi, Minhaj ul Quran. Mantan Menteri Pakistan dan rekan dari Perdana Menteri Pakistan yang tewas terbunuh Benazir Bhutto ini, sering memberikan kuliah di seluruh dunia. Kuliahnya tersebut berisi pesan perdamaian usai serangan 11 September 2001 di AS. (faj)(rhs)

http://www.minhaj.org/english/tid/10358/Salafytobat–DR-Muhammad-Tahir-Ul-Qadri–Bongkar-kesesatan-terrorist-wahhaby.html

Lihat Video dan download (part 1):

http://video.google.com/videoplay?docid=-1432989404737450226&ei=FIGOS5eMIZG8wgO3n9jEBg&q=terrorist+Muhammad+Tahir+Ul+Qadri&hl=en&view=3&emb=1#
Lihat Video dan download (part 2):

http://video.google.com/videoplay?docid=1330759126367082878&hl=en&emb=1#

———————————————————————————————————————————————

DR Hendropriyono (Bekas Ketua Badan Intelejen Indonesia/ BIN): Semua Teroris Berfaham Wahhaby

“Zionist yahudi ingin menguasai dunia penghalangnya adalah Islam dan Kristen”

bagai mana yahudi untuk mengalahkan islam dan kristen?

1. Yahudi mengadu islam  vs kristen dengan membuat aliran-aliran radikal (spt majelis  mujahidin indonesia (wahaby), noordin M top cs (wahaby), taliban (wahaby, taliban/alqaida adalah pendatang yang memecah balah umat islam di afgan dan yang merusak perjuangan suci rakyat afgan melawan penjajah, ia menegakan hukum wahaby bukan hukum islam), dsb.

2. Mengadu sesama umat islam (membuat aliran-aliran sesat seperti wahhaby, islam liberal dsb.)

3. Mengadau sesama kristen (seperti membuat aliran-aliran radikal  dalam kristen)

Yang Saya Maksud Wahabi Aliran Keras

Tidak semua Wahabi, lho. Yang saya maksudkan adalah Wahabi aliran keras. Kelompok ini tidak mau berpartai, karena partai menurutnya kafir.

Wahabi aliran keras. Itu yang dimaksudkan Hendropriyono ketika menyebut habitat Noordin M Top sehingga sulit untuk ditangkap. Kepada Sabili di Jogjakarta, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Wahabi di balik serangan bom di Indonesia .

Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Jenderal TNI (Purn) Dr. Ir. Drs. Abdullah Mahmud Hendropriyono SH, SE, MBA, MH menyebut Wahabi, terkait dengan rentetan pemboman yang terjadi di negeri ini. Ketika Sabili mengkonfirmasi wahabi yang dimaksud, Hendro menjelaskan panjang lebar.

“Ketika itu saya ditanya oleh Metro TV tentang teroris, kenapa masih terus terjadi? Saya bilang, selama lingkungan masih ada yang menerima Noordin M Top, maka terorisme akan terus berlangsung. Agama kita, memberi pengertian yang dalam, bahwa tujuan yang baik tidak harus menghalalkan segala cara. Yang rugi, jelas umat Islam dan negara kita sendiri. Karena itu, harus dihentikan. Tujuan baik kalau caranya salah tetap salah.”

Lantas siapa yang dimaksud dengan lingkungan atau habitat Noordin M Top? Dikatakan Hendro, doktrin klasik kita, cuma mengenal dua, yaitu: al mukminin dan al kafirin. Antara al mukminin dan al kafirin itu ada yang dipertajam, dan ada yang memperhalus. “Yang mengkafir-kafirkan sesama Muslim inilah yang saya maksud sebagai habitat. Abu Ghifari, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) adalah salah satu yang tidak setuju doktrin mengkafir-kafirkan, makanya dia keluar dari JI, tapi bukan berarti dia tidak Islam. Kalau anggota JI punya pendirian seperti dia, Indonesia pasti aman.”

Hendro memberi contoh, Yayasan Muaddib di Cilacap, justru menciptakan masyarakat sendiri. Inilah masyarakat yang menjadi habitat Noordin M Top. Sekarang polisi terus memburu ketua yayasan pesantren itu.


Nasir Abbas


Baca Buku Membongkar “Jamaah Islamiyah”

Menurut Hendro, Noordin M Top punya akses langsung ke Al Qaidah. Karenanya, dunia kecolongan. Usamah bin Ladin dan Aiman Az Zawahir, sudah masuk ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Begitu JI dikendalikan oleh Abu Rusydan dan Nasir Abbas, organisasi itu mulai moderat.

“Tidak semua Wahabi, lho. Yang saya maksudkan adalah Wahabi aliran keras. Kelompok ini tidak mau berpartai, karena partai menurutnya kafir. Kelompok keras ini beranggapan, dalam Islam tidak ada demokrasi. Menurut saya, setiap negara seyogianya punya filsafat dan ideologinya sendiri. Setelah itu, kita bisa hidup berdampingan secara damai. Tapi kalau mengusung ideologi internasionalisme, tidak bakal ketemu.”

Dikatakan Hendro, bahasa yang digunakan dalam terorisme ternyata terbelah atas dua tata permainan bahasa; mengancam dan berdoa. “Para pelaku terorisme juga mengalami kegagalan kategori, yaitu ketidakmampuan untuk membedakan pengetahuannya sehingga mengakibatkan subjek dan objek terorisme menjadi tak terbatas,” ungkap Hendro yang baru menyandang predikat doktor ilmu filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) dan berhasil meraih cumlaude Sabtu lalu (25/7).

Subjek terorisme mempunyai kondisi kejiwaan yang memungkinkan berkembangnya fisik, emosi dan intelektual secara optimal, karena mereka adalah orang normal, buka orang gila. Semua tindak terorisme, termasuk di Indonesia saat ini, adalah implementasi cara berpikir para pelakunya. Terorisme sendiri terjadi akibat ideologi, bukan kepentingan. “Apa yang bisa menghentikan terorisme adalah dengan menghentikan cara berpikir seorang yang berkepribadian terbelah. Kalau itu berhenti, teroris berhenti.”

Terorisme, kata Hendro, terjadi akibat benturan dua filsafat universal dunia, yakni demokrasi yang tidak dilaksanakan secara etis dan fundamentalisme. Selama keduanya belum berubah ke arah yang lebih baik dan menyatu, terorisme akan terus ada.

Diakui Hendro, di antara ideologi itu, ada yang menginginkan liberalisme dan kapitalistik. Sedangkan Islam menginginkan kekhilafahan. Kalau kita ingin perdamaian dunia, maka harus merupakan sintesis dari dua tesis. Sekuler-liberal dengan Islam yang akomodatif-moderat. “Kalau tidak gitu, gak ketemu. Teror dibalas teror gak selesai. Dunia akan terus kecolongan, sebelum kita selesaikan.”

Jadi yang ngebom-ngebom itu Wahabi, begitu? “Wahabi aliran keras lah yang mengakomodir Noordin M Top masih tetap hidup. Apa susahnya mencari Noordin M Top, dia orang Malaysia, logatnya saja kentara bahwa dia bukan orang Indonesia . Makanya lingkungan atau habitatnya harus dibersihkan. Yaitu aliran keras Wahabi yang kawin dengan aliran keras Ikhwanul Muslimin.”

Bukankah Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin berbeda? “Ya, akhirnya mengerucut di Al Qaidah. Jadi Usamah itu adalah gabungan salafi, wahabi, ikhwan,” terang Hendropriyono.

Seringkali Wahabi dijadikan stigma terhadap kelompok Islam tertentu. Yang ujung-ujungnya adalah Islamphobi. Menanggapi itu, Hendro mengatakan, “Itu orang nggak ngerti. Apa gunanya kita punya kementrian agama, harusnya diberi penjelasan, apa itu wahabi, salafi, Ikhwanul Muslimin dan Al Qaidah, biar jelas. Kalau yang menjelaskan intelijen, saya disalahin melulu. Capek saya,” ujar lelaki kelahiran Yogyakarta , 7 Mei 1945.

Yang jelas, tudingan Wahabi pernah dilekatkan pada PKS dan ormas Islam lainnya. Mereka tidak terima. “Memang, orang pasti akan bertanya, Wahabi yang mana? Salafi yang mana? Itu sama saja menyebut Jawa yang mana? Sekali lagi, yang saya maksudkan adalah Wahabi aliran keras yang tidak mau berpartai. Kalau ada yang mengikuti demokrasi, mereka akan mengkafirkan. Ini Wahabi yang saya maksud. Orang yang menyebut kafir karena menolak demokrasi, ini harus dibersihin. Terorisme akan hidup terus selama masih ada orang yang suka mengkafirkan!”

Apakah penyebutan Wahabi ini akan menjadi pukat harimau bagi gerakan Islam? Hendro yang mengaku dari kecil sekolah di Muhammadiyah pun juga Wahabi. Tapi, Hendro mengatakan, Muhammadiyah bukan Wahabi yang merusak. “Mereka takut. Kan saya tidak mau pukul rata, saya bukan orang tolol, ini Wahabi yang mana dulu. Yang maksudkan alah wahabi aliran keras. Memang yang lembut bisa menjadi keras. Itulah harus kita bersihin. Sebut saja Muhammadiyah, ada tarik menarik, untuk menjadi Wahabi, ada pula yang ingin menjadi Liberal. Posisi Muhammadiyah pun jadi rebutan ideologi.”

Perkembangan geopolitik global menjadi penyebab lahirnya terorisme global. Tapi tidak harus teror jawabannya, harusnya uswatun hasanah. Teror itu bukan perang. Hendro tidak setuju, dengan memunculkan Wahabi ini akan melemahkan spirit Islam sendiri. “Oh, nggak, bukan begitu. Kita tidak usah bergantung Wahabi. Kita berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits. Kenapa kita harus ikut-ikutan yang bukan Nabi. Tujuan baik kalau jalannya salah, keliru.”

Persoalannya bukan hanya di dalam internal umat Islam sendiri, melainkan juga keterlibatan unsur asing. Hendro mengatakan, bukan tidak mungkin, ada keterlibatan CIA. Yang jelas, yang bisa menyelesaikan adalah kita sendiri, bukan orang lain. Sebab, jika dari luar, nambah gak karuan negeri ini.

Menurut Hendro, untuk menghancurkan suatu jaringan ada empat poin yang bisa dilakukan. Pertama, tangkap orang-orang kunci. Kedua, putuskan hubungan. Ketiga pangkas support logistic. Keempat bersihkan lingkungan. Kempat inilah yang akan menghancurkan organisasi. Ketika bom berulangkali terjadi, ada kemirisan yang muncul, umat Islam kembali menjadi kambing hitam. “Itulah yang membuat saya sedih. Makanya sebelum saya mati, mudah-mudahan saya masih bisa melihat Indonesia aman, dan menjadi ummatan wahidah, umat yang bersatu. Umat ini terbelah akibat Noordin M Top.” (sabili)

(Oleh Adhes Satria & Eman Mulyatman)

http://swaramuslim.net/more.php?id=6307_0_1_0_M

https://salafytobat.wordpress.com/2009/08/21/wahhaby-agen-yahudi-dalang-semua-semua-aksi-teroris/