Bab 10. Amalan Nisfu sya’ban dan bulan rajab, ibnu taymiyah buat

*Cara Amalan Nisfu sya’ban dan bulan rajab

* Dalil dan jawaban bagi mereka yang membantahnya

* Bukti ibnu taymiyah mengerjakan amalan khusus pada nisfu sya’ban

*Keterangan singkat amalan di bulan rajab

Setelah ada keterangan sebelum ini mengenai cara memperingati hari-hari Allah swt. dan lain sebagainya didalam bab Maulidin (kelahiran) Nabi saw., maka kami ingin mengutip berikut ini kemuliaan bulan/malam nishfu Sya’ban dan bulan Rajab. Didalam Islam telah dikenal adanya hari-hari, bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah swt. umpamanya hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Haji dan lain sebagainya. Allah swt. akan lebih meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya melebihi daripada hari-hari atau bulan-bulan biasa. Dengan demikian siapa yang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut lebih besar harapannya Allah swt. akan mengampunkan dosanya dan do’anya dikabulkan oleh-Nya

Bulan Sya’ban/malam nishfu Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah termasuk bulan suci atau mulia dan cukup dikenal di kalangan kaum muslimin karena banyak riwayat hadits yang mengemukakan kemuliaan bulan tersebut.

Nama Sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nishfu (pertengahan) Sya’ban yaitu tanggal 15 bulan Sya’ban, sedangkan malam nishfu Sya’ban yaitu mulai waktu Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Banyak hadits Hasan yang dipandang mu’tamad oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan malam nishfu Sya’ban, diantaranya, Hadits  dari ‘Aisyah:

مَا رَأيْتُ رَسُوْلُ الله .صَ. : إسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍِ قَطُّ, إلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ , وَمَا رَأيْتُهُ فِىْ شَهْرٍ كْثَـَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

“Tidak terlihat olehku Rasulallah saw. berpuasa satu bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak satu bulan yang hari-harinya lebih banyak dipuasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”. (Bukhari dan Muslim)

Riwayat dari Usamah bin Zaid ra. katanya :

قُلْتُ : يَا رَسُوْلُ اللهِ لَمْ أرَاكَ تَصُومُ مِنْ شَهِْرمِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانِ؟

قَالَ ذَالِكَ شَهْرُْ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْهُ , بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وَهُوَ شَهْـرٌ تُرْفَعُ بِهِ

الأعْمَال اِلَى رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأحِبُّ اَنْ يُرْفَعُ عَمَلِى وَأنَا صَائِمٌ.

“Tanya saya: ‘Ya, Rasulallah kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Ujar Nabi; ‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban) diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa’ ”. (HR.Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Hadits dari Ummu Salamah ra., katanya: ‘Belum pernah aku melihat Nabi saw. berpuasa dua bulan berturut-turut terkecuali di bulan Sya’ban dan Ramadhan”. (HR. Tirmidzi dengan sanad Hasan)

Abu Dawud mengemukakan hadits dari Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah ra. sebagai berikut: “Bulan yang paling disukai Rasulullah saw. ialah berpuasa di bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambung puasanya hingga ke Ramadhan”. (Sulaiman bin al-Asy’at al-Sijistani, Sunan Abu Daud, t.th, Dar al-Fikr : Beirut , hlm 323 juz 2)

Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (dan dishohihkan oleh Ibnu Huzaimah): “Usamah berkata pada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, saya tak melihat engkau melakukan puasa (sunat) sebanyak yang engkau lakukan dalam bulan Sya’ban‘. Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang’’ “.

Hadits dari Imran Ibnu Hushain ra. bahwasanya Nabi saw. pernah berkata pada seseorang lelaki; “Apakah engkau pernah berpuasa sebagian dari bulan Sya’ban ini? Jawab lelaki itu: ‘Tidak ‘. Sabda Nabi saw.: ‘Jika engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan, maka puasalah dua hari sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban’. (HR. Bukhori dan Muslim)

Mengenai nishfu Sya’ban yang diriwayatkan Tirmudzi didalam An-Nawadir dan oleh Thabarani serta Ibnu Syahin dengan sanad Hasan (baik), berasal dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menerang- kan bahwa:

هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانِ يَغْفِرُ الله ُ المُسْتَغْفِرِيْنَ , وَ يَرْحَمُ المُسَْتَرْحِمِيْنَ وَ يُؤَخِّرُ أهْلَ الحِقدِ عَلَى حِقْدِهِمْ

“Pada malam nishfu Sya’ban ini Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta menangguhkan (akibat) kedengkian orang-orang yang dengki”.

Disekitar hadits terakhir diatas ini beredar sejumlah hadits lainnya yang memandang mustahab/baik kegiatan menghidupkan (ihya) pada malam nishfu tersebut. Diantaranya; hadits riwayat Ibnu Majah dari Amirul mukminin Ali ra.;  Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad dari ‘Aisyah ra., riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Musa ra. dan sebagainya. Terkabulnya do’a yang dipanjatkan pada malam tersebut lebih besar harapannya dan pada bulan itu lah diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin.

Ada hadits lagi yang dikemukakan juga oleh ulama yang diandalkan golongan pengingkar ini yaitu Syeikh al-Albani (dalam silsilah al-Ahadits al-Sahihah, No. 1144) yaitu: “Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci)”.

Hadits dari A’isyah ra: “Suatu malam Rasulullah salat, kemudian beliau ber-sujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: ‘Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian’?. Lalu aku menjawab: ‘Tidak ya Rasulullah, aku hanya berpikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama’. Lalu beliau bertanya: ‘Tahukah engkau, malam apa sekarang ini’. ‘Rasulullah yang lebih tahu’, jawabku. ‘Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Dia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki‘ “. (HR. Baihaqi) Menurut perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.


Dalam hadits Ali kw, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka hidup- kanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: ‘Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing’ “. (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).


Ingat sekali lagi bahwa para Ulama berpendapat bahwa hadits lemah dapat di gunakan untuk Fadhail ‘Amal (keutamaan amal). Walau pun sebagian hadits-hadits tersebut tidak shahih, namun melihat dari hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya’ban jelas mempunyai keutamaan dibandingkan dengan malam-malam lainnya..

Menurut seorang ahli ilmu Ibn Thawus dalam buku ‘Iqbal’, riwayat dari Kumail bin Ziyad Nakha’i (sahabat Imam Ali bin Abi Thalib kw.), yang katanya: “Pada suatu hari, saya duduk di Masjid Basrah bersama maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., membicarakan hal nishfu Sya’ban. Ketika beliau ditanya tentang firman Allah swt dalam surat Ad-Dukhaan: 4:

فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أمْرٍ حَكِيْمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala uruasan yang penuh hikmah”

Amirul Mukminin mengatakan bahwa ayat ini mengenai malam nishfu Sya’ban, orang yang beribadat dimalam itu, tidak tidur, dan membaca do’a Hadrat Hidr as. akan lebih besar harapan diterima do’anya. Ketika beliau pulang kerumah- nya, dimalam itu, saya menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali bertanya: ‘Apakah keperluan anda kemari’? Jawab saya; ‘Saya kemari untuk mendapatkan do’a Hadrat Hidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya berkata: ‘Ya, Kumail, apabila anda menghafal do’a ini dan membacanya setiap malam Jum’at, cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan ditolong Allah swt., di beri rezeki, dan do’a ini akan makbul. Ya, Kumail, lamanya persahabatan serta kekhidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat dan kemuliaan untuk belajar’.

Dalam Mafatih, muhaditts besar Al-Qummi, yang dikutip dalam Mishbah-ul-Mutahajjid, disebutkan bahwa do’a Hadrat Hidr adalah do’a terbaik, dan ter- masyhur sebagai do’a hadrat hidr, serta Imam Ali kw, mengatakan pada Kumail untuk membacanya di malam nishfu Sya’ban dan setiap malam Jum’at. Dikatakan bahwa do’a ini dapat memperluas pintu rezeki dan melawan niat jahat musuh.

Disamping do’a hadrat hidr diatas tersebut ada do’a malam nishfu Sya’ban yang masyhur/terkenal juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah di dalam Al-Mushannif dan oleh Abu Dunya didalam Ad-Dua, berasal dari Ibnu Mas’ud ra. Juga ada hadits dari Ibnu Umar yang mengatakan,‘ Seorang hamba Allah yang memanjatkan do’a do’a itu, Allah pasti meluaskan penghidupannya(rezekinya)

Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan At-Thabarani meriwayatkan juga hadits tersebut dengan lafadh (versi) tidak jauh berbeda. Banyak berita-berita riwayat yang menerangkan, bahwa orang yang memanjatkan do’a malam nishfu Sya’ban ini akan diluaskan rezekinya dan sebagainya. Juga beberapa sumber rujukan yang mengisnadkan sebagian isi do’a nishfu dari Umar bin Khattab ra.

Sebagian isi do’a yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud antara lain berbunyi: ’Ya Allah, jika Engkau telah menyuratkan nasibku.….dan seterusnya’. Bagi yang ingin mengetahui lafadh do’a ini, bisa baca pada kitab majmu’ syarif yang banyak dijual pada toko-toko buku agama dan harganya terjangkau dikalangan umum.

Keterangan-keterangan demikian ini tentu atas dasar taufiq atau persetujuan dari Nabi saw. Sebab tidak ada kewenangan pada seorang sahabat atau lain- nya untuk memberitahu suatu imbalan pahala yang bersifat ghaib kalau tidak dari Nabi saw. Jadi do’a-do’a nishfu Sya’ban baik yang dari Imam Ali kw.(do’a Hadrat Hidhr) serta dari sahabat-sahabat Nabi lainnya diatas ini sudah terkenal di kalangan para salaf, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyangkal atau mensesatkannya, kecuali golongan pengingkar ini!

Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:

Ibadah dan berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni bermohon kepada Allah swt. untuk kebaik- an didunia dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan Isya’, banyak hadits yang tidak diragukan ke- benarannya mensunnahkan shalat enam raka’at tersebut. Jika seorang hamba Allah ber tawassul kepada-Nya melalui shalat enam raka’at itu, sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan shalih, dan itu tidak dapat di sangkal. Karena itu sama halnya orang yang melakukan sholat Hajat, yaitu shalat sunnah yang dengan bulat dibenarkan oleh semua umat Islam.

Cara ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca surat Yaasin pada malam nishfu Sya’ban ini, setiap setelah baca Yaasin sekali langsung disambung dengan do’a dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali. Bacaan pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt., bacaan yang kedua dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari berbagai kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas). Ini semua tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya, dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya.

Kebaikan yang diminta oleh seorang hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat kenyataannya berharapan agar Allah swt. berkenan menghapus keburukannya atau dosanya, karena amal kebaikan itu akan meniadakan keburukan, sebagaimana firman-firman Allah swt. berikut ini :

إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئـاتِ

Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan ( Hud : ayat 114 ).

ََاُوْلآئكََ يُبَـدّلُ اللهُ سَيِّـئَاتِهِمْ حَسَـنَاتٍ

“Mereka itulah orang orang yang keburukannya diganti Allah dengan kebaikan”. (Al-Furqan : 70).

ثُـمَّ بَدَّلْـنَـا مَكَانَ السَّـيِّـئَةِ الحَسَـنَةَ

“Kemudian keburukan (yang ada pada mereka) Kami ganti dengan kebaikan”. (Al-A’raf:95).

Sedangkan dalam hadits dari Ibn Mas’ud ra berkata:

وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْد(ر) أَنَّ رَجُلأ أَصاَبَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً فَاتَى النَّبِيِّ فَأخْبَرَهُ فَأنْزَلَ الله ُتَعَالَى

: وَأَقِمِ الصَّلآةَ طَرَفَىِ النَّهَارٍوَزُلَفـاً مِنَ الَّليـلِ أِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهـِبْنَ السَّيئَاتِ.

فَقَالَ الرَّجُلُ : أَلِي هَذَا ؟ قَالَ : لِجَمَيعِ أُمّتِي كُلِّهِمْ (رواه البخاري و مسلم )

“Seorang lelaki mencium wanita, maka ia datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah menurunkan (firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus keburukan. Maka orang itu bertanya: ‘Apakah hukum ini khusus untukku’? Jawab Nabi saw: ’Untuk semua umatku’ “. (HR.Bukhori dan Muslim)

Setiap hari kita dianjurkan beramal sholeh disamping amalan wajibnya, dan Allah swt. akan memberi pahala bagi orang yang mengamalkannya. Lepas dari itu, kita mengenal dalil-dalil didalam Islam yang menunjukkan bahwa ada hari-hari, bulan dan malam-malam tertentu yang mana pada waktu-waktu tertentu tersebut Allah swt. lebih meluaskan ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada hamba Allah yang sedang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi daripada hari-hari, malam-malam atau bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini semua yang penting adalah agar orang tidak menyakini bahwa pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada hari atau bulan yang dimuliakan diantaranya malam nishfu Sya’ban itu diwajibkan atau ditekankan oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat dengan mereka, me- mandang salah dan durhaka. Tidak lain kegiatan ibadah sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah mubah bagi siapa yang beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang beroleh taufiq ilahi tidak banyak jumlahnya.

Masih banyak hadits lainnya yang tidak kami kemukakan di bab ini mengenai keistemewaan-keistemewaan serta pahala beramal ibadah pada hari atau bulan-bulan tertentu umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin dan Kamis, bulan Ramadhan, puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa pada hari ‘Asyura, giat beribadah pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan mengenai bacaan surat tertentu dari Al-Qur’an dan lain sebagainya.

Juga hadits-hadits yang meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat yang disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari tiga masjid, kesucian lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi Ibrahin as. dan lain sebagainya. Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan bahwa didalam Islam telah dikenal adanya keistemewaan dari Allah swt. bagi orang yang beramal ibadah pada waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut.

Bila ada orang mengatakan bahwa semua hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an, serta tempat-tempat tertentu itu sama semuanya tidak ada yang lebih utama satu sama lain, begitu juga amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat tertentu sama juga pahalanya, maka kami ingin bertanya pada mereka:

Apakah gunanya  riwayat-riwayat mengenai; pahala-pahala amalan tertentu, bacaan yang mempunyai manfaat tertentu, pahala ibadah pada tempat-tempat dan bulan-bulan tertentu serta malam yang Allah meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya dan lain sebagainya, kalau semuanya itu tidak ada keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah semua dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan dimunkarkan karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena berlawanan dengan pahamnya sebagian ulama?

Kami sayangkan masih adanya golongan muslimin yang sering aktif menteror sesama saudara muslim yang mengamalkan amalan-amalan ibadah nawafil / sunnah atau mubah yang banyak telah kami kemukakan dibuku ini. Golongan pengingkar ini setiap kali datang bulan-bulan diantaranya bulan Maulidin Nabi saw., bulan Sya’ban, bulan Rajab menyebarkan makalah-makalah dari website mereka yang ditulis oleh ulama golongan ini. Ulama mereka menulis hadits-hadits dan ayat Ilahi yang menurut paham mereka sebagai larangan mengamalkan amalan-amalan mubah yang tersebut diatas ini. Mereka ini tidak segan-segan langsung menvonnis bahwa amalan-amalan yang diamalkan oleh kaum muslimin didunia pada bulan-bulan tertentu itu sebagai amalan Haram, Bid’ah Munkar atau syirik dan lain sebagainya. Tetapi herannya kaum muslimin yang mengamalkan ini bertambah banyak, jadi bertambah banyak makalah-makalah yang mereka tulis bertambah banyak orang yang mengamalkan amalan-malan sunnah atau mubah tersebut. Subhanallah.

Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutama an bulan Rajab dan amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya, keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/ sunnah atau mubah ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam sehingga sering mengakibatkan sesat-mensesatkan atau benci-membenci antar sesama muslim. Siapa yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan yang tidak akan mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga !!

Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadits baik yang dhoif mau pun yang shohih atau hasanyang juga diakui oleh sebagian ulama golongan pengingkar ini sendiri. Hanya sayangnya ulama golongan tertentu ini karena fanatiknya dengan paham mereka sendiri tidak segan-segan dan berani menvonnis bahwa amalan-amalan itu semuanya bid’ah munkar yang harus diperangi dan lain sebagainya.

Yang sering digembar-gemborkan oleh golongan ini seperti biasanya tentang amalan-amalan (Tawassul, Tabarruk, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, peringatan maulidin Nabi saw.dan sebagainya) yaitu omongan berikut ini:

“Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”.

Atau ucapan mereka: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi saw. yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus men- jauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.

Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini, juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan nawafil atau mubah tersebut. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, munkar, syirik dan sebagai- nya’ tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.

Dengan omongan seperti diatas itu bahwa ‘Rasulallah saw., para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan amalan…. , seakan-akan mereka itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah saw. atau zamannya para sahabat beliau saw. sehingga menyaksikan dengan mata kepala sendiri amalan-amalan yang diamalkan oleh Nabi saw. dan para sahabat beliau saw. !! Sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelumnya bahwa Allah swt. berfirman: “Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengamalkannya)”. (QS. Al-Hasyr : 7). Dalam ayat ini tidak dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernah di kerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

Begitu juga hadits Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”! (HR.Bukhori). Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’.

Dengan demikian memahami makna ayat dan hadits yang terakhir diatas itu, kita bisa mengambil kesimpulan: Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuat- an haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an mau pun Hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi bukan seenak nya menurut pemikirannya sebagian orang.

Semua perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam sudah jelas diterangkan dalam Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan yang jelas mengenai suatu amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah amalan yang bersangkutan itu berlawanan dengan hukum yang telah digariskan oleh syari’at Islam (hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan hadits terakhir diatas itu jelas maknanya: Bahwa suatu perbuatan tidak boleh diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi saw., para sahabat atau salafus sholih tidak pernah mengamalkannya !!.

Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah (rekyasa yang baru) itu otomatis haram, sesat dan lain sebagainya. Banyak sekali amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw. mau pun setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan oleh beliau saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa amalan Bid’ah para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya. (keterangan lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini). Bagaimana golongan pengingkar ini mengatakan pengikut para Salaf Sholeh, sedangkan tokoh dari paraf Salaf Sholeh yaitu para sahabat tidak pernah memunkar- kan amalan-amalan Bid’ah yang dikerjakan antar para sahabat itu??

Dalil-dalil golongan pengingkar dan jawabannya:

Hadits pertama: “Barangsiapa yang shalat seratus raka’at pada malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap raka’at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir hadits”.

Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir hadits”.

Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, ia baca pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali ………sampai akhir hadits”.

Hadits Keempat: “Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw. Shalat nishfu Sya’ban 14 raka’at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali……sampai akhir hadits”.

Kata mereka selanjutnya:

Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits (diatas) ini kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer pertama s/d ketiga) majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (yang keempat) juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).

Kata Imam Nawawi: “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua Bid’ah, Munkar lagi Jelek”. (Bacalah kitab As-Sunan wal Mubtada’at halaman 144,145 karangan Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).

Kata Ibnu Taimiyah: “Shalat ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam nishfu Sya’ban, adalah Bid’ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya??) Dusta dengan Ijma’ Ahli Ilmu Hadits”. (Bacalah kitab: Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 halaman 131 sampai dengan 135).

Kata Imam Fatany: “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak ada satu pun kabar atau riwayat (yang shahih) melainkan riwayat yang dho’if atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab QUT dan Ihya’ dan yang selain keduanya”. (baca kitab: As-Sunan wal Mubtada’at Halaman 144 dan 145). Di kitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut disunatkannya shalat nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itu lah Imam Fatany memperingatkan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak mempunyai salah?

Oleh karena itu Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat di Kitab Ihya mengatakan, “Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah hadits yang Bathil ! dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanadnya dlo’if ! (baca kitab: Ihya ‘Ulumiddin jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali)

Jawaban:

Tidak ada pengakuan atau kepercayaan para Imam diatas ituadanya hadits-hadits diatas yang berkaitan dengan sholat pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan tertentu didalam sholat tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan orang yang meng- amalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu. Para imam ini hanya mengatakan semua amalan yang telah dikemukakan dalam hadits diatas itu bid’ah (rekyasa baru), karena menurut mereka Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan atau cara sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab.

Bila benar, Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela oleh para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan kepada orang yang mengemukakan hadits atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw. tidak pernah mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan, selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah di gariskan oleh syari’at Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca keterangan selanjutnya). Jadi para ulama diatas itu juga tidak mengharamkan atau memunkarkan orang-orang yang mengamalkan amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.

Para Imam itu juga tidak mengingkari adanya hadits Rasulallah saw. lainnya yang diakui juga oleh para ulama pakar lainnya mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah kami kemukakan sebelumnya dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘..pada bulan Sya’ban diangkatnya amalan-amalan ke Rabbul ‘Alamin….sampai akhir hadits’. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulllah saw. bersabda:.’…pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan mengampuni orang yang mohon ampun …sampai akhir hadits’. Dan hadits lainnya yang telah dikemukakan sebelumnya.

Mengapa justru golongan pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua amalan-amalan ibadah pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkar dan melarang orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia tersebut? Apa dalil larangannya dari Nabi saw.?

Begitu juga golongan pengingkar dan pengikutnya ini mempunyai paham bahwa hadits-hadits yang dhoif walau pun dalam masalah kebaikantidak boleh untuk diamalkan, dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam hadits dhoif itu diamalkan maka otomatis menjadi haram atau bid’ah sesat yang harus diperangi. Akidah mereka seperti itu telah menyalahi Ijma’ (sepakat) Ulama yang mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh diamalkan bila berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/ baik)”.

Hadits dhoif adalah hadits yang mempunyai asal/akar tetapi belum memenuhi syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena ada diantara perawi dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai amalan yang sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia meningkat menjadi hadits Hasan/Baik, begitu juga hadits Hasan bila banyak diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadits shohih.

Hanya dengan satu hadits saja walau pun misalnya hadits ini lemahtetapi banyak diriwayatkan dari berbagai jalan sudah cukup buat kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan amalan-amalan sholeh pada kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu. Apalagi masih ada dalil yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadits mengenai kemulia- an bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar! Itu namanya minta menangnya sendiri !!

Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan bahwa tidak ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk beribadah pada malam tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau haram untuk sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu Sya’ban yang mulia itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para sahabat atau dari para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan ibadah (sholat, membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam tersebut? Sudah Tentu Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan amalan-amalan sholeh. Agama Islam tidak pernah melarang orang mengamal- kan kebaikan selama hal ini tidak berlawanan dengan yang telah digariskan oleh syari’at, serta tidak disyariatkan sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya syari’at sering menganjurkan agar kita selalu mengamalkan amalan-amalan sholeh/ kebaikan !!

Yang penting semuanya itu ialah bahwa orang tidak mewajibkan amalan-amalan tersebut karena dia termasuk amalan sunnah atau mubah. Karena amalan yang mubah atau sunnah tidak boleh diwajibkan, begitu juga sebalik- nya amalan yang wajib tidak boleh dihukum sebagai tidak wajib. Tidak ada satu pun dari golongan muslimin yang mengamalkan amalan ibadah pada malam nishfu mempunyai firasat bahwa amalan itu adalah amalan yang di wajibkan oleh syari’at Islam, tidak lain ini hanya omongan atau isu-isu yang diada-adakan oleh golongan pengingkar ini !!

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah Muthlaq (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di larang oleh agama. (ump. setelah sholat Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan lain sebagai- nya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih).

Firman Allah swt. dalam surat (Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah padaKu Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya dalam surat Thaahaa:14; ‘..Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak membatasi lafadh/ kalimat do’a yang harus dibaca, begitu juga Dia tidak membatasi hanya sholat wajib saja, malah ada firman Allah swt. agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat waktu malam) atau amalan-amalan disamping amalan wajibnya !!

Perkataan Imam Nawawi: “Bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah di malam itu (malam nishfu) adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw. Beliau (Imam Nawawi) mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, maupun di dalam kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki”.

Jelas yang dimaksud Imam Nawawi ialah sholat bentuk ritual yang ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban dan sholat Raghaib 12 raka’at dibulan Rajab itu Bid’ah (artinya rekyasa yang baru) yang tidak ada dalinya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak mengatakan bahwa amalan itu ‘Bid’ah mungkar yang Haram dikerjakan’ ! Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah sholat sunnah atau bacaan-bacaan didalam sholat yang di amalkan para sahabat yang sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintah kan oleh Rasulallah saw. atau tidak dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra. pernah mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat Tarawih, Siti Aisyah ra sendiri membid’ahkan sholat Dhuha yang beliau kerjakan dan lain sebagainya yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah dibuku ini. Tetapi tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa kata-kata ‘Bid’ah’ itu otomatis Haram, Munkar yang harus diperangi. Pikirkanlah !

Sebab sholat sunnah Muthlaq itu boleh dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang dikehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih dibagi menjadi dua macam yaitu Muthlaq dan Muqayyad. Untuk sunnah Muthlaq cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada namanya).

Imam Nawawi –rahimahullah– sendiri berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan seterusnya. Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang tidak di ketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi’i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal .11)

Pada halaman 12 di kitab yang sama diatas ini ditulis, bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda sampai disini Abu Dzar menangiskemudian di lanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ ”. (Menurut al-Albani dalam kitabnya ,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul Minnah jilid 1 hal. 292 cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan di dalamnya tidak ada perawi yang diperselisih- kan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini) .

Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad itu terbagi dua:

1).Yang disyariatkan sebagai sholat-sholat sunnah yang mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang disebut sholat Rawatib (ump..sholat sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan Isya’). 2). Yang disyariatkan bukan sebagai sholat sunnah yang mengikuti sholat Fardhu/wajib (ump. Sholat Tasbih, sholat Istisqa dan lain-lain).

Hadits diatas yang mengemukakan bahwa sahabat Nabi saw. yang terkenal Abu Dzar ra. telah melakukan sholat sunnah Muthlaq (yang hanya niat sholat saja), tanpa mengetahui berapa jumlah raka’at yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang menegor beliau dan mengatakan bahwa amalan itu Bid’ah munkar, Haram dan sebagainya! Abu Dzar ra. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan amalan sholat sunnah itu berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah …..’.

Mengapa justru golongan pengingkar ini berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah Muthlaq pada malam nishfu sebagai bid’ah munkar, haram dan lain sebagainya?

Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang dibolehkan/sah sholat sunnah satu, dua, sampai ratusan raka’at dengan satu kali salam bila sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak meng- ingkari kebolehan orang untuk sholat sunnah (Mutlaq) terserah berapa raka’at yang dia kehendaki, mengapa golongan pengingkar ini berani membid’ahkan munkar atau haram orang yang mengamalkan ibadah sholat sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih hanya ulama golongan pengingkar saja yang pandai, cerdas dan menguasai ilmu fiqih? Jadi para imam yang di kemukakan oleh golongan pengingkar tadi hanya mencela atau memunkarkan kepada orang yang mengemukakan hadits atas nama Rasulallah saw. karena beliau saw. menurut penelitian mereka tidak pernah menganjurkan amalan-amalan tertentu pada malam nishfu atau pada bulan Rajab. Jadi bukan amal ibadahnya yang dicela atau disesatkan seperti yang dipahami oleh golongan pengingkar.

Umpama saja kita tolerans dengan golongan pengingkar yaitu membenarkan paham mereka bahwa para imam itu benar-benar mengharamkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban atau Rajab. Ini pun bukan suatu dalil yang harus di ikuti karena dalam syari’at tidak ada pengharaman sholat sunnah dengan bacaan-bacaan tertentu dalam sholat tersebut. Malah sebaliknya banyak dalil yang menganjurkan agar kita memperbanyak ibadah sunnah dan berdzikir serta banyak riwayat yang menulis bahwa para sahabat mengamalkan amalan bid’ah hasanah yaitu menambah bacaan dalam sholat fardhu yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw..

Wahai golongan pengingkar janganlah seenaknya menghukum amalan ibadah sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau haram dikerjakan! Meng- hukum sesuatu amalan nafilah sebagai bid’ah munkar atau haram harus menunjukkan nash yang khusus atas keharaman amalan tersebut, jadi tidak seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan, itu urusan kalian tidak ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain semuanya itu hanya amalan sunnah atau mubah !!

Cukup banyak dalil baik dari firman Allah swt. mau pun dari sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu berbuat kebaikan, dan setiap kebaikan walau pun kecil akan dicatat pahalanya! Apakah sholat sunnah atau do’a kepada Allah swt. itu bukan termasuk kebaikan? Begitu juga tidak ada dalil, baik dari Allah swt. maupun dari Rasulallah saw., yang mengatakan bahwa semua amalan  itu haram hukumnya atau bid’ah munkar bila tidak pernah dikerjakan oleh Nabi saw., para sahabat atau para salaf !!! (Sekali lagi bacalah keterangan ulama-ulama pakar dalam bab Bid’ah atau bab lainnya pada buku ini )

Ibnu Taimiyyah menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan amalan yang khusus.

Ibnu Taimiyah mengkhususkan amalan sholat pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya’ban sebagai berikut:

إذا صلَّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ


Artinya: Apabila seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya’ban secara individu atau berjamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik“.


Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya’ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara ber- jama’ah, Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.

Pada halaman 132 dikitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu Sya’ban:


وأما ليلة النصف – من شعبان – فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات

(Berkenaan malam Nishfu Sya’ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya’ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya’ban, sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam nishfu sya’ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat”. Dalam kitabnya Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan yang artinya:


ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد – ابن حنبل من أئمة السلف – ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن

(Malam Nishfu Sya’ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang meng- khususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya’ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits: ‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab hadits Musnad dan Sunan”. Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai bulan dan malam Nishfu Sya’ban.

Jelas sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan amalan khusus pada nishfu Sya’ban termasuk di dalamnya sholat sunnah. Belliau juga mengatakan bahwa amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban dikerjakan oleh para Salaf !!!


Tetapi sayangnya golongan pengingkar yang mengaku sebagai penerus akidah Ibnu Taimiyyah ini telah mengharamkan dan membid’ahkan mungkar amalan dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu Taimiyyah yang sepaham dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu Taimiyyah yang tidak sepaham dengan mereka dikesampingkannya !!

Apakah mereka ini juga berani membid’ahkan mungkar ulamanya sendiri? Apakah mereka ini akan merubah atau mengartikan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sudah jelas tersebut sebagaimana kebiasaan merekasampai sesuai dengan paham mereka?


Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.


Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya!!

Masih banyak lagi pendapat para ulama yang membolehkan amalan ibadah khusus pada malam nishfu Sya’ban karena merupakan amalan kebaikan yang mendekatkan/taqarrub kepada Allah swt. Dengan demikian para ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman sekarang telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Wallahu A’lam

Amalan-amalan pada bulan Rajab

Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasarnya memperkuat juga keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab. Lepas dari itu semua, kami ingin mengutip dan mengumpulkan ,secara singkat, riwayat-riwayat mengenai kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab berikut ini. Keterangan yang muktamad tentang bulan Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang dihormati dan dimuliakan, atau dalam Al-Qur’an di sebut sebagai Asyhurul Hurum, yaitu, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. Dalam bulan tersebut, Allah swt. melarang peperangan dan ini merupa- kan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah swt berfirman dalam surat At-Taubah: 36 sebagai berikut:

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semua- nya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Didalam surat Al-Maidah:2, Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan janganlah melanggar kehormatan bulan-bulan haram“.

Empat bulan haram itu disebutkan juga dalam sabda Rasulullah saw. berikut: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan haram dan tiga diantaranya berturut-turut, yaitu dzul qa’dah, dzul hijjah, muharram dan rajab mudhar yang berada di antara jumadil awal, jumadil akhir dan sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam al-Qurtubi di dalam tafsir-nya bahwa Nabi saw.sendiri pernah menegaskan bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”. (al-Qurtubi, Jami’ Ahkam al-Qur’an, juz.6, hlm 326 )

Bulan-bulan haram memiliki kedudukan yang agung, dan bulan Rajab termasuk salah satu dari empat bulan tersebut.

Hadits dari Anas bin Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdo’a, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’ Artinya, ‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan’ “. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadits no 2346 dan Tabrani). Hadits ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar didalam Musnadnya sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar(616). Ibnu As-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658). Ath-Thabarany di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473).

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)“. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Imam Ath-Thabrani meriwayatakan hadits dari Abu Hurairah ra “bahwa Nabi saw. tidak menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.” (ibid, hlm 161 juz 9 hadits no. 9422)

Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan puasa sunat) sabda Nabi saw., ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’ itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Ditulis juga oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abu Bakar), sebagai- mana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadits yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunnahkan puasa di dalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Puasa/Shaum di bulan Rajab dibolehkan (ibahah) berdasarkan hadits shahih.. Tetapi tidak satu pun dalil-dalil shahih dari Rasulallah saw. yang menentukan/ menetapkan tanggal-tanggal tertentu (seperti 1 Rajab, 17 Rajab, 27 Rajab, dan sebagainya), semua hadits berkenaan dengan tanggal-tanggal tersebut adalah dha’if atau maudhu’ sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Sebagian sahabat dan salafus-shalih memakruhkan jika berpuasa Rajab sebulan penuh dan sebagian lainnya tidak memakruhkannya.

Ada hadits shahih tentang hal tersebut adalah; Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah menceritakan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: ‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’ “. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’ mengatakan: Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26). Saya (Albani) katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).

Kendati pun demikian, ada pula hadits-hadits lain yang memakruhkan ber- puasa di bulan Rajab, jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (VIII/330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab sama sekali walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abubakar (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I/180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ III/893).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab ra juga tidak menyukai puasa di bulan Rajab (namun kedudukan haditsnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath (XVI/427 no. 7851), tetapi Imam Al-Haitsami mengomentari hadits ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya Rijal-nya Tsiqat.” (Majma’ Az-Zawa’id, III/191).

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, berbunyi: “Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan: ‘Sesungguhnya do’a itu mustajab pada lima malam: malam juma’at, malam ‘Idul Adha, malam ‘Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’ “. (al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al-Mukarramah, juz.3 hlm 319).

Masih banyak hadits yang beredar mengenai beramal sholeh pada bulan Rajab dan Sya’ban yang tidak kami kemukakan disini. Berdasarkan keterang- an di atas, jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab mem- punyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa terdapat hadits-hadits yang shohih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif, dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban dan Rajab. Begitu juga banyak hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan bulan Rajab. Oleh karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua hadits tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu, dhoif ….dan tidak ada yang shohih atau hasan. Setiap isu dan dalil harus di pahami secara menyeluruh lagi mendalam agar kita tidak tersesat dari landasan yang benar.

Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa yang sering kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya. Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah, puasa atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump. seusai sholat Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih), begitu juga puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Karena firman Allah swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya “Dirikanlah sholat untuk mengingatKu”. Dalam ayat ini tidak dibatasi lafadh do’a yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya sholat wajib saja. Sedangkan mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadits yang meriwayatkan.

Semua ibadah yang diamalkan karena Allah swt. itu adalah baik, malah amalan-amalan yang di kerjakan pada zaman jahiliyyah pun bisa kita tiru kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Sebagai contoh satu hadits yang diriwayatkan Al-Hakim dari Nubaisyah ra.; “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw., ‘Wahai Rasulullah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini? Beliau saw. menjawab: ‘Sembelihlah binatang ternak karena Allah, di bulan apa pun, lakukanlah kebaikan karena Allah dan berilah makanan’ “. (Imam Al-Hakim mengatakan: ‘Isnad hadits ini adalah shohih tetapi tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam shohih mereka berdua’. (Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263 )

Misalnya ada hadits Nabi saw. sudah tentu tidak mungkin yang melarang umatnya berpuasa atau beramal sholeh di bulan Sya’ban dan Rajab, hadits ini akan diteliti betul-betul oleh para ulama, karena jelas bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menganjurkan orang berpuasa dan sholat sunnah disamping yang wajib dan beramal sholeh setiap waktu!!

Imam Syaukani sendiri dalam Nailul Authar mengatakan, “Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab begitu juga tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”. Dengan demikian amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak sholat sunnah atau berdzikir adalah amalan mubah, yang sudah pasti juga mendapat pahala dari Allah swt.. Karena semua amalan baik walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagaik keburukan (Al-Zalzalah:7-8)! Begitu juga menurut kaidah ulama hadits yang dhoif boleh diamalkan bila mengandung Fadhail ‘Amal.

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah, puasa atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang dimakruhkan oleh agama (ump. seusai sholat Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih), begitu juga puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Karena firman Allah swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya “Dirikanlah sholat untuk mengingatKu”. Dalam ayat ini tidak dibatasi lafadz do’a yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya sholat wajib saja. Sedangkan mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadits yang meriwayatkan. Yang penting semuanya ini ialah bahwa orang tidak mewajibkan atau mensyariatkan amalan-amalan tersebut karena dia termasuk amalan mubah.

Marilah kita semua tidak saling cela mencela sesama muslim hanya masalah amalan sunnah atau mubah. Orang yang tidak mau beramal pada bulan yang mulia itu juga tidak ada salahnya begitu pun juga orang yang ingin beramal pada bulan yang mulia itu akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu amalan yang baik (sholat, berdzikir, berdo’a dan lain-lain) yang tidak diberi pahala oleh Allah swt. Hal ini banyak difirmankan oleh Allah swt. dan diriwayatkan dalam hadits Nabi saw. Yang tidak dibolehkan oleh syari’at ialah merubah atau menambah amalan-amalan pokok yang telah digariskan/ditetapkan oleh syariat agama. (Umpama sholat Shubuh sengaja 3 raka’at dll.) Wallahu a’lam.

Semoga dengan kutipan singkat dan sederhana mengenai bulan/nishfu Sya’ban atau bulan Rajab ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua ummat muslimin, amin. Begitu juga dengan adanya firman-firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw.serta wejangan-wejangan para ulama pakar yang tertulis di buku ini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua perbuatan kebaikan, dengan cara bagaimana pun, asal tidak keluar dari syariat dan tidak merubah hukum-hukum pokok agama itu adalah baik/mustahab apalagi yang mendatangkan mashlahat/kebaikan malah dianjur kan oleh agama.

Insya Allah, tidak ada nash/hukum yang mengharamkan atau melarang amal kebaikan yang telah kami kemukakan dibuku ini malah sebaliknya cukup banyak dalil baik secara langsung maupun tidak langsung yang menganjurkan untuk beramal kebaikan. Arti atau makna yang dimaksud kebaikan dalam agama itu luas sekali. Janganlah kita sendiri yang membatasinya, sehingga dengan mudah mengambil satu hadits tentang suatu amalan kemudian hadits ini digunakan dalil untuk melarang/mengharamkan amalan lainnya !

Insya Allah kebingungan kita bisa teratasi dengan adanya dalil-dalil dibuku ini tentang suatu amalan yang semuanya telah diuraikan oleh ulama-ulama pakar berdasarkan ayat-ayat Ilahi dan hadits Nabi saw., dengan demikian amalan-amalan seperti; Tawassul, Tabarruk, kumpulan majlis dzikir, peringatan-peringatan keagamaan dan lain sebagainya bisa lebih lancar jalannya. Karena semua itu adalah sebagian dari syiar agama !

Bagi pembaca yang ingin lebih luas mengetahui dalil-dalil dan wejangan para ulama mengenai bid’ah, peringatan maulidin Nabi saw., peringatan-peringatan agama lainnya, penambahan kata-kata Sayyidina didepan kata Muhammad saw. serta hal-hal lainnya yang sering dikeritik atau dicela oleh golongan pengingkar dan kawan-kawannya, silahkan membaca buku-buku:

Pembahasan Tuntas perihal Khilafiyah, oleh H.M.M.Al-Hamid Al-Husaini dan Sebagian besar isi bab Nishfu Sya’ban kami kutip dan kumpulkan dari kitab: Pembahasan Tuntas perihal Khilafiyah, oleh H.M.M.Al-Hamid Al-Husaini, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, juga kami kutip dan kumpulkan dari bermacam-macam website.

Buku baru yang berjudul Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/ Wahabi isinya belum sekomplit yang ada di website ini (insya Allah pada cetakan kedua) dan belum beredar merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung hubungi toko-toko: di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia.

Bab 9. Washithah/ Tawassul dan tabarruk

Wasithah/Tawassul dan Tabarruk

Daftar isi Bab 9 ini diantaranya:
    • Sekelumit pengantar makna tawassul
    • Ayat-Ayat al-Quran yang berkaitan dengan Tawassul / Istighotsah
    • Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung
    • Tawassul melalui Amal Saleh
    • Tawassul melalui Do’a Rasul
    • Tawassul melalui Do’a Saudara Mukmin
    • Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh
    • Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh
    • Hadits-Hadits tentang Legalitas/pembolehan Tawassul / Istighotsah
    • Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
    • Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala wafatnya
    • Pengertian tawassul menurut Ibnu Taimiyyah
    • Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Imamnya madzhab Wahabi/ Salafi tidak mengingkari tawassul
    • Diantara dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
    • Tabarruk
    • Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran
    • Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari bekas air wudhu Nabi saw.
    • Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat pada Nabi saw.
    • Tabarruk para Sahabat dengan keringat, rambut dan kuku Nabi saw.
    • Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi saw.
    • Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi saw.
    • Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan Tempat Shalat Nabi
    • Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi saw.
    • Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw.
    • Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk
    • Jenazah dan Kuburan/Pusara Ulama yang Diambil Berkah
    • Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan dan jawabannya

  • Sebenarnya bab ini juga sudah saya singgung pada halaman sebelumnya umpama dalam bab Siapakah golongan Wahabi…, tapi marilah sekarang kita rujuk dalil-dalil khusus yang berkaitan dengan Tawassul dan Tabarruk, dengan demikian insya Allah para pembaca lebih jelas dan mantep mengenai dibolehkannya tawassul/tabarruk ini. Sementara ada orang memandang wasithah/tawassul dan tabarruk hal yang dilarang dan di kategorikan sebagai syirik. Kebanyakan mereka yang melarang minta per- tolongan kepada makhluk itu atau bertawassul berdalil kepada firman Allah dan hadits Rasulallah saw. (kita bicarakan tersendiri) yang menurut faham mereka sebagai larangan bertawassul atau bertabarruk.

    Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh firman Allah swt. dan hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang ber- kenan menolong anda serta yang mengatur semua hubungan dalam kehidup an ini adalah Allah swt.

    Jika Islam melarang seorang muslim minta tolong kepada sesamanya, atau minta tolong pada Rasulallah saw., tentu beliau saw. melarang kaum muslimin minta tolong kepadanya, dan beliau tidak akan pernah mau dimintai tolong supaya berdo’a, agar Allah swt. menurunkan hujan di musim kemarau dan berdo’a untuk lainnya. Terbukti bahwa beliau tidak pernah menolak permintaan mereka ini. Hadits-hadits yang golongan pengingkar buat sebagai dalil tersebut, tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ke yakinan kaum muslimin, yaitu akidah tauhid, bahwa penolong yang sebenar- nya adalah Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara.

    Kalau permintaan tolong pada selain Allah swt. dilarang,  maka akan ber- tentangan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang membolehkan tawassul dan minta tolong dengan sesama manusia. Jadi minta pertolongan pada makhluk atau tawassul tersebut mustahab/boleh selama orang tersebut tidak mempunyai keyakinan/akidah bahwa Nabi, para waliyullah dan sebagainya tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga yakin bahwa orang yang mohon syafa’at ini adalah sebagai upaya/iktisab sedangkan yang dimintai syafa’at adalah ‘wasithah’ tidak lebih dari itu.

    Hakekat ‘Tawassul’ merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada Allah swt.

    Yang menjadi pertanyaan adalah; Adakah sarana-sarana lain yang sah menurut syariat Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah swt. ataukah dalam penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserah kan kepada manusia? Untuk menjawab secara ringkas maka dapat kita katakan bahwa: Jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah swt. tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk mendekat- kan diri kepada Allah swt. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh syariat Islam –yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah saw.– saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah swt.

    Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil umum maupun khusus– maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas ‘Tawassul/Istighatsah’ sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw. maupun prilaku para Salaf Sholeh dan Ulama Salaf Ahlusunnah wal Jama’ah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita ter- jerumus ke dalam jurang bid’ah sesat, seperti yang dapat sebagian amalan yang kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun ter jerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/ Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami tekts. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang di inginkan oleh Islam.

    Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washilah’  (penyampai/ penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘wasala fulan ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan yang dapat men- dekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la).

    Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian menjadi ‘istigha- tsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.

    Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang disahkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam penentu an obyek maka terjadi perbedaan juga dalam menghukuminya. Dari perbeda an hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari kelompok yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak mau menerima pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah sesat atau syirik. Di sini, kita akan mengklasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian:

    Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme

    Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kitab “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahabi .red) mengatakan kepadamu; ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati’ (QS Yunus: 62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatil annya (seperti Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. red) sedang kalian tidak memahaminya (tidak bisa menjawabnya) maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih) ‘ ”. (Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60).

    Disini jelas sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan sesat (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya syafa’at, kedudukan tinggi para nabi disisi Allah swt. sehingga dimintai istighatsah/ tawassul…dst.nya. Bahkan disini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajar-kan kepada para pengikutnya ‘cara melarikan diri’ dari diskusi tentang doktrin an sektenya dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabbuh (yang samar) dan muhkam (yang jelas) ayat-ayat al-Qur’an. Termasuk cara mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme untuk bertobat tanpa terbukti kesalahannya. Ternyata, akhirnya cara-cara licik ini pun yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahabi ketika terdesak dalam berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi kebiasaan buruk mayoritas para pengikut sekte tersebut.

    Contoh lain: Nashiruddin al-Albani yang konon adalah seorang ahli hadits dari kalangan Wahabi pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah) dia menyatakan bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong masalah akidah”.

    Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti Wahabi: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta syafa’at darinya maka ia telah merusak keislam-annya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).

    Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (bahkan Islam secara keseluruhan).

    Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk ini. Insya-Allah dalam buku ini kita jelaskan mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Kita akan memberikan contoh beberapa tokoh dari mereka saja:

    Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi .red) dan men- datangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan do’aku di sisi (kuburan)nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)

    As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta pertolongan berkait an suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasulallah saw. memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafa’atnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan do’anya, walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala sese- orang meminta; ‘aku memohon kepadamu (wahai Rasulallah .red) untuk dapat menemanimu di sorga…’, tiada yang dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw. menjadi sebab dan pemberi syafa’at” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374)

    As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin dengan mengatakan: “Dan bertawassul kepada Allah swt. melalui para nabi dan manusia sholeh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)

    Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab Hanbali pernah menyata- kan: “Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Ja’far (keturunan Rasulullah saw. yang kelima pen.) dan aku ber tawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagai- mana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).

    Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani

    Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati bahwa terkadang ia mengingkarinya, terkadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelas- nya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi Tawassul menjadi tiga kategori:

    Petama: Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini ter- golong asal muassal Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur) terhadap hal yang umum dan yang khusus.

    Kedua: Tawassul dengan do’a dan syafa’at Nabi dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat memberi syafa’at dan mendengar do’a semasa hidupnya dan sehingga di akhirat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya. Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.

    Sedangkan yang ketiga ialah: Tawassul untuk mendapat syafa’atnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50).

    Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah pun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas/kebolehan tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya. Dari penjelasan di atas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu telah terbantah dengan dalil-dalil dalam ajaran Islam itu sendiri.

    Yang perlu djelaskan dari ungkapan di atas berkaitan dengan pendapat kedua yaitu Islam secara keseluruhan melegalkan konsep dan praktek Tawassul/ Istighatsah kepada Nabi saw. dan orang-orang sholeh. Jadi dalam masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, Tabarruk juga masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahabi– ternyata kelompok Salafi (baca:Wahabi) sendirian, selain karena mereka juga tidak memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Qur’an, sunnah Rasulallah maupun perilaku Salaf Sholeh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; ‘Dalam masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam’.

    Dalam arti garis besar makna Tawassul/Wasithah ialah perantara, misalnya kita berdo’a pada Allah swt. dengan menyertakan nama Muhammad Rasul- Allah saw. atau nama pribadi seseorang ahli taqwa dalam do’a kita tersebut atau berdo’a pada Allah swt. dengan menyebut-nyebut amal kebaikan yang telah kita jalankan. Dengan demikian lebih besar harapan do’a kita akan di kabulkan oleh Allah swt. Ingat, bahwa kita dalam tawassul ini berdo’a pada Allah swt. jadi bukan berdo’a pada makhluk untuk menyekutukan Allah swt.!

    Juga termasuk makna wasithah/tawassul ialah minta pertolongan pada makhluk, tidak langsung kepada Allah swt., begitupun juga minta syafa’at kepada Nabi saw., para sahabat atau kepada para waliyullah/ahli taqwa yang masih hidup atau telah wafat.

    Ayat-Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Tawassul / Istighotsah

    Dalam pandangan al-Qur’an akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah/ Tawassul adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah swt.. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Qur’an sehingga tidak mungkin dapat dipungkiri oleh kelompok muslim mana pun, termasuk kelompok Wahabi, jika mereka masih mempercayai kebenar an al-Qur’an. Dalam al-Qur’an akan kita dapati beberapa contoh dari permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Hal itu agar supaya Allah swt. mengabulkan do’a dan hajatnya dengan segera. Di sini kita akan memberi beberapa contoh yang ada:

    Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah swt. berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku (Nabi Isa as.) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman’ ”.

    Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengikut Isa al-Masih ber-tawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidup- kan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah swt.., sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi.

    Tetapi mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa as. memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah /wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang di inginkan olehnya niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah swt. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; Meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent (merdeka) dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin dan percaya bahwa semua kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah swt. tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Namun aneh jika kelompok Wahabi langsung menvonis musyrik bagi pelaku tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.

     Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah swt.. berfirman: “Mereka berkata:Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’ ”.

    Jika kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Ya’qub as. mereka tidak meminta pengampunan dari Ya’qub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah swt.. Dan ternyata, nabi Ya’qub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah swt., karena Allah Maha mendengarkan segala per- mohonan dan do’a, malahan nabi Ya’qub as menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang’ ”(QS Yusuf: 98).

    – Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

    Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki keduduk- an (jah/maqom/wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah swt.untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta per- tolongan (istighotsah) kepada Allah swt… Dan terbukti (nanti kita akan dijelaskan dalam halaman berikutnya) bahwa banyak dari para sahabat mulia Rasulallah saw. yang tergolong Salaf Sholeh menggunakan kesempat an emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah swt.. melalui per antara Rasulullah saw.. Hal ini yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jama’ah dalam mengkritisi ajaran Wahabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahabiyyah” (Lihat: halaman 22).

    Semua ahli tafsir al-Qur’an termasuk Mufasir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa: 64 itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melaku- kan kesalahan. Yang kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah meresponnya:

     Allah menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung, Dia memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi Rasulallah saw dan kemudian memintakan ampun kepada Allah swt, dan Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat mereka. Dengan demikian Rasulallah saw. bisa dijuluki sebagai Pengampun dosa secara kiasan/majazi sedangkan Allah swt. sebagai Pengampun dosa yang hakiki/sebenarnya. (baca keterangan pada bab 2 dalam buku ini)

     Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan (menyertakan Rasulallah saw. dalam permohonan ampun mereka) hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.

    Lihat firman Allah swt. itu malah Dia yang memerintahkan para sahabat untuk minta tolong pada Rasulallah saw. untuk berdo’a pada Allah swt. agar mengampunkan kesalahan-kesalahan mereka, mengapa para sahabat tidak langsung memohon pada Allah swt.? Bila hal ini dilarang maka tidak mungkin Allah swt. memerintahkan pada hamba-Nya sesuatu yang tidak di zinkan-Nya ! Dan masih banyak lagi firman Allah swt. meminta Rasul-Nya untuk memohonkan ampun buat orang lain umpamanya: Q.S 3:159, QS 4:106, QS 24:62, QS 47:19,  QS 60:12, dan QS 63:5.

    Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahabi dan pengikutnya adalah:

    Jikalau istighotsah atau tawassul adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengabulkan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Saya berlindung kepada Allah swt.dalam hal itu. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan– umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

    Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah/tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha Mendengar- kan do’a, dan seterusnya….maka Oh, betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik– para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan Oh, betapa cerdasnya Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut madzhabnya terhadap ajaran murni Ilahi….

    Firman Allah swt.: Sulaiman berkata, ‘Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, ‘Aku akan datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya’. Seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata, ‘lni termasuk kurnia Tuhanku.’ “ (QS. an-Naml: 38 – 40).

    Firman Allah swt. itu menerangkan bahwa Nabi Sulaiman as. ingin men datangkan singgasana Ratu Balqis dari tempat yang jauh dalam waktu yang cepat sekali. Hal ini merupakan kejadian yang luar biasa, sehingga Nabi Sulaiman as. dengan pengetahuan yang cukup luas mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan kekuasaan Allah. Dan pada saat itu Nabi Sulaiman as. tidak minta tolong langsung pada Allah swt. melainkan minta tolong kepada makhluk Allah swt. untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis tersebut. Semua ini ialah dalil yang menunjukkan bahwa minta tolong pada orang lain tidak menafikan ketauhidan kita kepada Allah swt.. baik itu dilakukan secara ghaib maupun secara alami. Syirik adalah urusan hati.

    Jika Nabi Sulaiman as. meminta perkara ghaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita terlebih lagi boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab yaitu Rasulallah saw. dan Ahlu-Baitnya. Begitu juga menurut para ahli tafsir yang mendatangkan singgasana ratu Balqis itu jelas bukan Nabi Sulaiman sendiri tetapi orang lain, karena dalam ayat ini Nabi Sulaiman bertanya kepada ummatnya dan salah satu dari ummatnya yang mempunyai ilmu sanggup mendatangkan singgasana itu dengan sekejap mata. Dengan demikian seorang yang mempunyai ilmu ini bisa dijuluki juga sebagai Penolong/Pemindah singga-sana Ratu Balqis secara kiasan sedangkan Penolong/Pemindah yang hakiki /sebenarnya ialah Allah swt..

    Sama halnya orang yang meminum obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Obat ini bisa dijuluki secara kiasan/majazi sebagai Penyembuh Penyakit tersebut sedangkan Penyembuh Penyakit yang hakiki/sebenarnya adalah Allah swt.

    Apakah Syirik bila seorang mengatakan si A Penolong saya atau obat itu Penyembuh penyakit saya ? Sudah tentu tidak syirik selama orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa semuanya itu hanya sebagai perantara sedangkan Penolong dan Penyembuh yang sebenarnya adalah Allah swt. Jadi disini yang penting adalah keyakinan seseorang! Begitu juga halnya dengan ulama pakar yang menulis kitab-kitab Maulud, Burdah dan sebagai nya yang mana dikitab-kitabnya itu ada disebutkan bahwa Rasulallah saw. sebagai Penolong, Pengampun dosa dan sebagainya. Tidak lain mereka ini juga mengerti dan faham benar bahwa Penolong, Pengampun yang sebenarnya adalah Allah swt. Perbuatan seperti ini bukanlah syirik !!

    Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw..  Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) yang berbunyi:

    فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

    “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.

    Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib,  oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada  cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.

    Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:

    Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:

    قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,

    فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ

    وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله

    مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ

    صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.

    “Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.

    Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.

    Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:

    وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ

    ‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.

    Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :

    قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,

    وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ  خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا

    آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ

    تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ  تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ

    “Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muham- mad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.

    Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:

    لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟

    وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ

    لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,

    وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ

    “Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.

    Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada tempatnya. Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:

    “Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.: “Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman : 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini–pen.) dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagai- mana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“. Demikianlah Ibnu Taimiyyah.

    Firman-Nya dalam  surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:

    اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ

    مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ

    الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ  لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ

    كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ

    “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masingdan telah menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34).

    Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Obyek Tawassul / Istighotsah

    Dalam al-Quran, Allah swt.. telah menekankan kepada ummat Muhammad saw. untuk melaksanakan tawassul, dan Dia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap do’a hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran:

    Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung:

    Allah swt. berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)

    Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdo’a kepada Allah swt.. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah swt.., obyek utama do’a, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.

    Tawassul melalui Amal Sholeh:

    Amal sholeh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah swt. Amal sholeh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah swt. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah swt.. Ketika tawassul berarti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal sholeh adalah salah satu dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi.

    Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah swt. dalam al-Qur’an berfirman: “Dan (ingat- lah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo’a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ ” (QS al-Baqarah 127-128)

    Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Sholeh (pem- bangunan Ka’bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim al-Khalil agar Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.

    Tawassul melalui Do’a Rasul:

    Allah swt. dalam al-Qur’an (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul disisi-Nya. Allah swt., juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh– para manusia diperintah untuk tidak menyamakannya dengan seruan ter- hadap manusia biasa lainnya. Allah swt. berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS an-Nur: 63)

    Bahkan dalam kesempatan lain Allah swt. juga menjelaskan, betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah swt. itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).

    Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. dan menyatakan bahwa perbuatan kedua nya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad saw. di mata Allah swt.. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah swt… dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan ‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’ ” (QS at-Taubah: 94).

    Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74).

    Masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah saw. adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasulallah saw. semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan do’a –tentu do’a yang baik– dengan menjadikan Rasulallah saw. sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah swt. akan enggan menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah saw. maka kita telah menyeru Allah swt. dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.

    Atas dasar itu, Allah swt. memerintahkan kepada para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonggak yang tidak tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah saw.) dan meminta pengampunan di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad saw.adalah kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah swt.

    Dalam hal itu Allah swt… berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64). Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah swt…: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5).

    Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah saw. memiliki kedudukan, kemuliaan dan keagungan di mata Allah swt.., Pencipta dan Penguasa alam semesta. Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad saw. semacam ini hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah saw. tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul saw. niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasulallah sebagai manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahabi ter- jerumus ke lembah penyesatan kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji Rasulullah saw.dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sohih, baik pujian yang ter- jelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia hakekat Muhammad saw. –dan nabi-nabi lain– ini pulalah yang akan kita jadikan dalil ‘Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Lahir telah wafat’, pada halaman selanjutnya.

    Tawassul melalui Do’a Saudara Mukmin:

    Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah swt. dalam al-Qur’an adalah, do’a saudara mukmin. Dalam al-Qur’an, Allah swt… berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman’; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’ ” (QS al-Hasyr: 10). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang belakangan telah mendo’akan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa do’a untuk orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah do’a kepada yang telah wafat –walau bukan anak serta famili (kerabat)– akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.

    Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Sholeh:

    Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya. Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui do’a Rasul maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar menjadi sarana pengkabulan do’a, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah swt.. Sebagai contoh apa yang di lakukan nabi Ya’kub as. dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah swt.. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui do’a Nabi, dengan tawassul melalui diri Nabi.

    Jadi, disini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah swt. melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul di sisi Allah swt.. Ini merupakan bentuk inayah khasshah (anugerah khusus) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah swt. itu diletakkan kepada pribadi para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah swt..

    Hal itu sebagaimana Allah swt. telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh pengikut sejati Rasulallah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah swt.. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah swt.. berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan meng- haramkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).

    Jika kunci terkabulnya do’a terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap manusia Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagai- mana do’a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah swt..

    Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do’a manusia sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan (jah/ maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia sholeh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan do’a’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia sholeh’ terdapat relasi/hubungan erat dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt.. Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadits yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadits dari Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat tig orang yang tertutup didalam goa. Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138 hadits ke-16789; Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385; Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadits ke-3578 dan kitab lainnya.

    Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh:

    Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw.. Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh, dimana diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah swt…

    Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana apa yang di kemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal ra ini, Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun’. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah bersabda: ‘Wahai Muadz !’ aku (Muadz) menjawab: ‘Ya wahai Rasulallah !?’. Rasulallah bertanya: ‘Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?’. aku (Muadz) menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Rasulallah bersabda: ‘“Ia tiada akan mengadzabnya’ “. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).

    Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah swt… Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah swt.– maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur’an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia.

    Allah swt.. berfirman: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122). Atau sebagaimana dalam firman Allah swt… lainya; “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan ber- imanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Peng- ampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28).

    Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.

    Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Ya’qub)– telah melakukan tawassul. Dan al-Qur’an pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan do’a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan do’a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki kajian selanjutnya.

    Hadits-Hadits tentang Legalitas/pembolehan Tawassul / Istighotsah

    Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadits dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah terhadap Rasulallah saw. dan para hamba Allah yang sholeh. Dengan adanya dalil-dalil ini kita akan lebih mantep lagi atas legalitas, manfaat dan hikmah dari tawasuul dan tabarruk tersebut.

    Hadits-hadits yang menyebutkan tentang masalah itu adalah sebagai berikut:

     Riwayat yang mengisahkan tawassulnya Nabi Yusuf as kepada Rasulallah saw. , waktu beliau didalam sumur, At-Tsa’labi mengisahkan:

    “Pada keempat harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s. mendatanginya dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur’? Jawab Yusuf as: ‘Saudara-saudaraku’. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa?  Yusuf as berkata: ‘Mereka dengki karena kedudukanku di depan ayahku’. Jibril as. berkata: ‘Maukah engkau keluar darisini’?  Yusuf a.s.berkata mau. Jibril as berkata: ‘Ucapkanlah (do’a pada Allah swt.) sebagai berikut’: ‘Wahai Pencipta segala yang tercipta, Wahai Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang Menyertai segala kumpulan, Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan, Wahai Yang Menemani semua yang sendirian, Wahai Penakluk yang Tak Tertakluk kan, Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati, Wahai Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian, Wahai Pencipta langit dan bumi, Wahai Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan, Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga ’ “.

    Lalu Yusuf a.s. mengucapkan do’a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam sumur, menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudara nya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduga nya”. ( At Tsa’labi 157, Fadhail Khamsah 1:207).

    Lihat riwayat ini,  Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril as. untuk berdo’a pada Allah swt. agar bisa cepat keluar dari sumur dengan sholawat serta tawassul kepada Rasulallah saw.dan keluarganya. Begitu juga riwayat Nabi Adam as. yang telah kami kemukakan sebelumnya, yang mana Rasulallah saw. dan keluarganya ini belum dilahirkan dialam wujud ini !

    –   Do’a masih akan terhalang bila orang yang berdo’a tersebut tanpa bertawassul dengan bersholawat pada Nabi saw.. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap do’a antara seorang hamba dengan Allah selalu diantarai dengan hijab (penghalang, tirai) sampai dia mengucapkan sholawat pada Nabi saw.. Bila ia membaca sholawat, terbukalah hijab itu dan masuklah do’a.’ (Kanzul ‘Umal 1:173, Faidh Al-Qadir 5:19)

    Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. juga berkata, Rasulallah saw. bersabda: “Setiap do’a terhijab (tertutup) sampai  membaca sholawat pada Muhammad dan keluarganya”. ( Ibnu Hajr Al-Shawaiq 88 )

    Juga ada riwayat hadits sebagai berikut: “Barangsiapa yang melakukan sholat dan tidak membaca shalawat padaku dan keluarga (Rasulallah saw.), sholat tersebut tidak diterima (batal)”. (Sunan Al- Daruqutni 136)

    Mendengar sabda Nabi saw. ini para sahabat diantaranya Jabir Al-Anshori berkata: ‘Sekiranya aku sholat dan didalamnya aku tidak membaca sholawat pada Muhammad dan keluarga Muhammad aku yakin sholatku tidak di terima’. (Dhahir Al-Uqba : 19)

    Begitu juga Imam Syafi’i dalam sebagian bait syairnya mengatakan:  “Wahai Ahli Bait (keluarga) Rasulallah, kecintaan kepadamu diwajibkan Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan, Cukuplah petunjuk kebesaranmu, Siapa yang tidak bersholawat (waktu sholat) padamu tidak diterima sholatnya…. “    .

    Banyak hadits yang meriwayatkan agar do’a kita dikabulkan oleh Allah swt. dengan bertahmid dan bersholawat dahulu sebelum memulai membaca do’a. Begitu juga banyak riwayat bagaimana cara kita bersholawat kepada Rasulallah saw. dan keluarganya serta manfaatnya sholawat itu. Tidak lain semua itu termasuk tawassul/wasithah pada Rasulallah saw. dan keluarga- nya, bila tidak demikian dan tidak ada manfaatnya, maka orang tidak perlu menyertakan/menyebut nama beliau saw. dan keluarganya waktu berdo’a pada Allah swt.!

    Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan: “Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasulllah; ‘Berdo’alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!’. Kemudian Rasulallah ber- sabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)’. Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya (untukku)!’. Rasulallah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca do’a tersebut:

    ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang meng- hampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafa’at bagiku’.

    Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya”. (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495; Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385; Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1, hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula ).

    Syeikh Ja’far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadits diatas ini di dalam bukunya yang berjudul Ma’a al-Wahabiy yinfi Khuthathihim wa ‘Aqa’idihim. Dia berkata, “Tidak ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini. Bahkan, ulama yang dipercaya oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui keshohihan sanad hadits ini, dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja’far yang terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu Ja’far al-Khathmi. Dia seorang yang dapat dipercaya.’

    Raffa’i seorang penulis golongan Wahabi abad ini yang selalu berusaha mendhaifkan/melemahkan hadits-hadits yang khusus berkaitan dengan tawassul dia pun menshohihkan hadits diatas ini. Dia berkata tentang hadits ini: “Tidak diragukan bahwa hadits ini shahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan do’a Rasulallah saw..” (Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 158).

    Raffa’i berkata didalam kitabnya ini, “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Nasa’i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Zaini Dahlan, didalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadits ini beserta dengan sanad-sanadnya yang shohih yang kesemuanya berasal dari Bukhari didalam tarikh-nya, serta Ibnu Majah dan Hakim didalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadits ini didalam kitabnya al-Jami’ (Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab Khulashah al-Kalam. dan At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66).

    Walaupun Raffa’i hanya mengatakan orang buta tersebut bisa melihat dengan  perantaraan do’a Rasulallah saw. toh dia mengakui kesohihan hadits yang berkaitan dengan tawassul ini ! Yang sudah pasti orang buta tersebut berdo’a kepada Allah swt. sambil bertawassul dan menyertakan nama Rasulallah saw. dalam do’anya dan beliau saw. sendiri telah mengajarkan kepadanya bagaimana cara berdo’a kepada Allah swt..!

    Apakah Rasulallah saw. akan mengajarkan kepada orang buta itu sesuatu yang berbau kesyirikan atau kekufuran? Mengapa Rasulallah saw. memerintahkan kepada orang buta tersebut agar menyebutkan nama beliau saw. didalam do’anya, kalau semuanya ini tidak mempunyai keistemewaan ?

    Anehnya, sebagian pengikut Wahabi menyatakan bahwa tawassul/istigho- tsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan Maha Men- dengar dan Mengetahui (Allah swt). Mereka berkata: “Kenapa kita harus berdo’a melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah dan do’anya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha Men-dengar lagi Maha Mengetahui atas do’a para hamba-Nya?”.

    Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh golongan pengingkar yang berpikiran semacam itu adalah: Mengapa Rasulallah saw. menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan, “…Namun jika engkau meng- hendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”, apakah Nabi –makhluk kekasih Ilahi itu– tidak mengerti bahwa Allah swt. Maha Mendengar dan Maha Mengetahui?

    Dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena musibah tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi ‘Bi Muhammadin’ adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) nabi Muhammad saw. yang tertera dalam kata ‘Nabiyyurrahmah’. Jika tidak maka sejak semula Nabi saw. akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan hanya do’a Nabi– yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah saw.

    – Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan ber- bangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu’. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat ”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)

    Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasulallah saw. mengajar- kan kepada kita bagaimana kita berdo’a untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta do’a dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin ‘alaika‘ (demi para pemohon kepada-Mu), Rasulallah saw. disitu tidak menggunakan kata ‘Bi haqqi du’a Saailiin ‘alaika’ (demi do’a para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasulallah saw. membenarkan –bahkan mengajar- kan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah swt.– untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah swt. dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat dan sebagainya.

    – Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da ummi ‘ (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw. menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw. sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan meng- gunakan tangan beliau saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw. berbaring disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”. (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)

      Hadits yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, ketika Fathimah binti Asad isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad. Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad, kemudian berbaring seraya bersabda:

    “Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku panggilan ibu, karena Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya, lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumaa memasukkan jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)

    Pada hadits itu Rasulallah saw. bertawassul disamping pada diri beliau sendiri juga kepada para Nabi sebelum beliau saw.! Dalam hadits itu jelas beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. sambil menyebutkan dalam do’anya demi diri beliau sendiri dan demi para Nabi sebelum beliau saw. Kalau ini bukan dikatakan sebagai tawassul, mengapa beliau saw. didalam do’anya menyertakan kata-kata demi para Nabi ? Mengapa beliau saw. tidak berdo’a saja tanpa menyebutkan …demi para Nabi lainnya ?

    Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin Malik.

    Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling memper- kuat kebenarannya.

    Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulallah bersumpah demi keduduk- an (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasulallah saw. memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.

    – Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasulallah saw. dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i hal. 300)

    Penjelasan-penjelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadits-hadits yang ada. (Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)

    Walaupun beberapa hadits di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia sholeh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/ istigho- tsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat? Marilah kita ikuti kajian selanjutnya.

    Prilaku Salaf Sholeh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah

    Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabi’in dan tabiut at-tabi’in adalah termasuk dalam golongan salaf sholeh dimana mereka hidup sangat dekat dengan zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah saw. dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung men- dapat jawabannya dari baginda Rasulallah saw.. Salah satu dari sekian perkara yang menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemaham an para sahabat berkaitan dengan konsep istighotsah /tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.

    Disini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang menjelaskan pemaham an Salaf Sholeh–yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia Rasul saw.– berkaitan dengan konsep tersebut, dan praktek mereka dalam kehidup an sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:

    Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya (Nabi) dengan mengatakan:

    “يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ”َ.

    (“Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untuk ku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku”). (Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)

    Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasulallah saw., serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah. Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasulallah saw. terhadap salah seorang sahabat itu sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui diri Muhammad sebagai Rasulullah saw., satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahabi memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.

    Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas bin Malik :

    عَنْ أنَسِ, أنَّ عُمَرَبْنَ الخَطَّابِ كَانَ إذَاقُحِـطُوْا إستََسْـقََى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ: اللهُـمَّ إنَّـا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَنَسْقِيْنَا

    وَإنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بَعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري)                                                             

    “Bahwasanya jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab memohon hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib. Dalam do’anya ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi saw. dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata; ‘Maka Allah menurun- kan hujan pada mereka’ ”. (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

    Perbuatan khalifah Umar dengan tawassul pada paman Nabi saw. tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang mengingkari, mensyirikkan atau tidak membenarkan prakarsa khalifah ini. Khalifah Umar ra. yang sudah terkenal dikalangan kaum muslimin masih menyertakan paman Rasulallah saw. didalam do’anya kepada Allah swt., apalagi kita-kita ini.

    Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khattab telah memohon do’a hujan melalui Abbas (paman Rasulallah) dengan menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shohih).

    Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait (keluarga) Nabi”.

    Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

    Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah telah memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: ‘Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing’. ( Lebih kami sayangkan lagi ada sebagian ulama yang mengakui keshohihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tawassul dan tabarruk, tapi mereka berani memutar balik maknanya dan sampai-sampai berani melarang dan mensyirikkan hal tersebut pada orang yang mengamalkannya! Na’udzubillah . )

    Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasulallah saw.– melakukan hal yang pernah diajarkan Rasulallah kepada para sahabat mulia beliau saw.. Walaupun riwayat di atas menunjuk- kan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah wafat adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada dalil baik dari firman Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. yang menyatakan kalau tawassul pada orang yang telah wafat itu haram sedangkan pada orang yang masih hidup dibolehkan! Sebenarnya tawassul pada pribadi seseorang baik yang masih hidup maupun telah wafat itu inti/pokoknya adalah sama, yaitu berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama pribadi seseorang itu. Kalau ini dilarang berarti semua bentuk tawassul itu harus diharamkan juga.

    Apakah golongan pengingkar ini lupa atau pura-pura lupa bahwa nabi Adam as. bertawassul pada Nabi saw. yang antara lain diriwayatkan oleh ulama pakar yang mereka andalkan yaitu Syeikh Ibnu Taimiyyah, begitu juga mengenai tawassul Nabi Yusuf a.s kepada beliau saw., tawassul mereka pada Nabi saw. yang mana beliau bukannya sudah wafat malah belum dilahirkan dialam wujud ini !  Begitu juga tawassul Rasulallah saw. kepada para Nabi sebelum beliau saw.

    Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasulallah saw.– juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara dhahir telah mati. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas menjelaskan akan dibolehkannya tawassul/istighotsah dan menyangkal pendapat madzhab Wahabi dan pengikutnya yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan –Maha Mendengar dan Maha Mengetahui– Allah swt.. Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul melalui diri selain Rasulallah saw. (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah swt..

    Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala wafatnya:

    Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)

    Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

    Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulallah saw. tanpa mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada yang telah meninggal:

    “Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)

    Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.

    Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasulallah saw. yang tergolong Salaf Sholeh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulallah?

    Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumi- kan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

    Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).

    Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124, Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’. Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa meng- hendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.

    Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah wafat adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i), –sebagaimana yang di-isukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak mungkin Imam Ali bin Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim akan berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan:

    1. Imam Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah wafat. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasulallah saw. telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Imam Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadits-hadits di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasulallah saw. yang dijuluki al-Amin (di- percaya) itu?

    2- Hadits-hadits pujian Rasulallah terhadap pribadi khalifah Ali itu benar. Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa ber- tawassul/istighotsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat itu adalah legal menurut syari’at Islam. Karena telah dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai pintu gerbang ilmu Rasulallah saw., yang selalu bersama kebenar an, selalu bersama al-Qur’an dan yang diberi mandat Rasulallah saw. untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, setelah wafat Rasulallah saw.. Tentu, bagi seorang Ahlusunnah wal Jama’ah sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia mau pun di akhirat, terkhusus bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita melakukan kesalahan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahabi, mudah menvonis sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis hadits lemah (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.

    Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhur- ah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:

    “Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahu kan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.

    Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengah- kan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.

    Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu tawassul kepada Rasulallah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu. Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung ber- do’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?

    Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

      Hadits serupa diatas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)

    Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar–. yang ber- kata: “Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang kemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah sese- orang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577)

    Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam beliau yaitu yang diketengah- kan oleh Al-Hafidz Abubakar Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:

    “Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.

    Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.

    Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits tersebut dan para imam berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab yang mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini yang mengatakan bahwa tawassul dengan makam Rasulallah saw. itu perbuatan kufur, sesat atau syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan hadits tersebut Palsu. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany sendiri turut mengetengahkan dan membenarkan hadits tersebut. Mengenai kedalaman ilmu, keutamaan perangai para imam yang mengetengahkan hadits tersebut telah dikenal semua ulama tidak perlu keterangan yang lebih jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil tawassul kepada Rasulallah setelah wafatnya, sahabat Nabi saw. ini bukan hanya ber- ziarah saja kepada beliau saw., tapi sambil mohon kepada Rasulallah saw. agar beliau saw. berdo’a kepada Ilahi untuk menurunkan hujan.

    Riwayat-riwayat di atas juga menguatkan bahwa berapa di kalangan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir telah meninggal dunia. Lantas apakah golongan madzhab Wahabi masih ber- sikeras menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak pernah mencontohkan per- buatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syari’at Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah golongan ini berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang telah wafat? Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan golongan pengingkar, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Sholeh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.

    Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw.. Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:

    “Ketika aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang terlepas dari belenggu “.

    Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:

    “Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.

    Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.

    Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah saw.) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, “Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajat- nya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula mem- perhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya maka katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkan-lah hajatku’ Kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu’.

    Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’. Ia (Utsman bin Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku.

    Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’ (info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi Rasulallah karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)

    Al-Mundziri (At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan At-Thabarani diatas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadits itu.

    Lihat hadits diatas ini contoh yang cukup jelas seorang yang diajari oleh Ustman bin Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh Allah swt. dengan berdo’a dan tawassul kepada Rasulallah saw. sambil menyertakan dalam do’anya itu nama Rasulallah saw. dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu tidak ada satupun sahabat yang memprotes. Bila hal tersebut dilarang/ di haramkan dalam agama Islam atau berbau syirik maka tidak mungkin akan di amalkan oleh sahabat Nabi Utsman bin Hunaif ini.

    Utsman bin Hunaif ra. pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulallah saw. (baca haditsnya pada halaman sebelumnya), kemudian Rasulallah saw. menyuruh seorang tuna netra untuk wudu’ dan sholat dua raka’at. Setelah sholat seorang buta itu berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama Nabi saw. dalam do’anya itu. Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulallah saw. memerintahkan atau mengajari orang ini untuk berdo’a sambil tawassul dengan nama beliau. Beliau saw. adalah contoh dari ummatnya semua perbuatan yang beliau lakukan bakal ada ummatnya yang meniru dan beliau saw. tidak akan dan tidak pernah menyuruh ummatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar dari akidah syariat Islam dan berbau kesyirikan !!

    Sedangkan hadits yang terakhir diatas Utsman bin Hunaif atas prakarsanya sendiri mengamalkan cara berdo’a yang diajarkan Rasulallah saw. pada orang buta tersebut. Peristiwa terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulallah saw. pada zamannya khalifah ketiga.

    Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulallah saw.yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya namun ia juga terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah pemahaman sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulallah tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat? Jika ada pengikut sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak?

    Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/ istighotsah kepada Rasulallah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman madzhab Salafi (baca:Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya saja ‘wafat’, tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju kepada Allah swt.

    Hadits-hadits diatas dan masih banyak hadits-hadtis tawassul yang tidak di kemukakan disini itu semuanya jelas mengarah kebolehan atau legalitas dari tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada madzhabnya, golongan pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna hadits-hadits yang berlawanan dengan faham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat Utsman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagai- mana pun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.

    Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa ulama-ulama pakar telah menulis mengenai bertawassulnya Nabi Adam as. kepada Rasulallah saw. umpama; di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na’im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya Rasulallah saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya. Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain.

    Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan Rasulallah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Allah swt. berfirman:

    “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)

    Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah ?

    Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.

    Sedangkan dalam hadits-hadits Rasulallah saw. diantaranya disebutkan:

    وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ

    Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya”. (HR Muslim, Abu Daud dan lainnya

    إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ

    “Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.

     Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).

    ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.

    ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !

    Riwayat diatas ini diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan disini.

    Hadits-hadits diatas ini juga menunjukkan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta tolong kepada Allah!

    Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’?

    Jadi sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu hanya sekedar washithah.

    Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu !!

    Allah swt. menetapkan bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat kita dalam menunaikan sholat. Ini bukan berarti kita disuruh atau menyembah Ka’bah tersebut tapi tidak lain kita hanya menghormati/ta’dzim pada Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci peninggalan Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan pertama yang didirikan manusia dibumi sebagai tempat beribadah kepada Allah swt. Bila ada seorang muslim yang ber- keyakinan bahwa dia beribadah demi Ka’bah karena ruku’ dan sujud menghadap kearahnya atau mencium dan mengusap Hajar Aswad sebagai ibadah/penyembahan, maka hancurlah keimanan dan keislaman-nya. Begitu juga sama halnya dengan tawassul, kita berdo’a kepada Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah kepada hamba Allah yang kita tawassuli tersebut !

    Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai wasithah. Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui wasithah yaitu malaikat Jibril as. Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat sering mengadukan duka deritanya pada beliau saw. dan mohon dido’akan oleh beliau agar mem- peroleh kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan demikian beliau sendiri juga merupakan wasithah bagi para sahabatnya. Beliau saw. tidak pernah bersabda pada sahabatnya jangan mengadukan nasibmu padaku, atau kalian berbuat kufur atau syirik karena minta padaku tidak langsung pada Allah swt., dan sebagainya. Para sahabat mengetahui pula bahwa apa yang diberikan Rasulallah saw. pada hakekatnya adalah seizin Allah dan atas limpahan karunia-Nya kepada beliau saw.

    Sebagaimana sabda beliau saw.: (Innamaa Anaa Goosimun Wallahu Mu’thi) artinya: “Aku hanyalah membagikan, Allah-lah yang memberi”.

    Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar dari saudara-saudara kita yang berkata; Si A Penolong si B atau kebutuhan si A dicukupi oleh si B dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan mencukupi kebutuhan semua makhluk adalah Allah swt. Minta pertolongan pada orang lain ini tidak dipandang sebagai perbuatan syirik karena didalamnya tidak terdapat unsur mempertuhankan orang yang dimintai pertolongan tersebut.

    Tawassul itu merupakan salah satu cara berdo’a dan juga merupakan satu cara menghadapkan diri kepada Allah swt., sedangkan yang menjadi tujuan pokok hakiki/sebenarnya adalah Allah swt. Pihak yang kita tawassuli sudah tentu orang yang dicintai oleh orang yang bertawassul padanya, dengan mempunyai keyakinan pula bahwa Allah swt. cinta pada pihak yang dijadikan wasilah. Jika tidak demikian, tidak mungkin orang akan bertawassul pada- nya. Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu kelaziman atau keharusan hanya sarana yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya wasilah ini se- penuhnya ditangan Allah swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak tertuju kepada Allah swt.

    Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa segenap kaum muslimin telah bersepakat cara berwasilah dengan amal kebaikan, umpama orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagai nya tidak lain ia bertawassul dengan amal kebaikan tersebut, bahkan ke mungkinan terkabul permohonan/do’anya kepada Allah swt. lebih dapat di harapkan. Tawassul dengan cara ini dengan amal kebaikantelah di sepakati kebenarannya oleh para ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dalam risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul Wal Wasilah’, karena ada hadits Rasulallah saw. dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga orang yang tersekap di dalam goa hingga tidak bisa keluar. Masing-masing berdo’a pada Allah swt. dengan tawassul pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka amalkan) sendiri-sendiri. Orang pertama bertawassul dengan amal baktinya pada orang tua. Orang kedua bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri dari maksiat, sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga amanat dan menunaikannya dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu do’a mereka dikabulkan oleh Allah swt. akhir- nya mereka bisa keluar dari goa tersebut.

    Sedangkan letak perberdaan pendapat para ulama yaitu bila bertawassul tidak dengan amal kebaikannya tapi tawassul dengan pribadi orang lain seperti riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sebenarnya pendapat-pendapat dalam hal ini hanya mengenai bentuknya saja, bukan mengenai inti/pokok persoalannya. Sebab, pada hakekatnya bertawassul dengan pribadi seseorang sama artinya dengan tawassul dengan amal kebaikan pribadi yang ditawassuli itu. Karena pribadi orang yang ditawassuli tersebut adalah pribadinya yang diyakini amal kebaikannya. Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..

    Pengertian tawassul menurut Ibnu Taimiyyah:

    Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:

    “Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.

    Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.

    Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu di- benarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.” Dari perkataan Ibnu Taimiyyah diatas kita dapat diambil dua pengertian:

    a). Seorang Muslim yang taat, mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah saw. serta mempercayai syafa’at beliau, dapat dibenarkan kalau ia ber- tawassul dengan ketaatannya, kecintaannya dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau saw. Kita bertawassul dengan Nabi kita Muhammad saw. dibawah kesaksian Allah swt., bahwa tawassul kita itu benar-benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada beliau saw. Tambah lagi dengan keyakinan kita bahwa beliau saw. adalah seorang Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi martabatnya dalam pandangan Allah swt.

    Itulah yang melandasi tawassul kita dengan beliau saw. dalam usaha men- dekatkan diri kepada Allah swt.. Tidak ada seorang pun dikalangan kaum muslimin yang dalam bertawassul dengan Nabi saw. tidak dengan didasari pengertian seperti itu atau pengertian-pengertian lain yang tidak semestinya. Hanya saja, ada yang dalam bertawassul mengucapkan pengertian itu dengan lisan, ada pula tidak. Namun dapat dipastikan semuanya tidak mem- punyai pengertia selain itu.

    b) Ibnu Taimiyyah mengatakan, bahwa barang siapa yang dido’akan oleh Rasulallah saw. ia dapat bertawassul dengan do’a beliau. Mengenai itu kita mempunyai keyakinan, bahwa Rasulallah saw. senantiasa mendo’akan ummatnya. Hal ini kita ketahui dari berbagai hadits, antara lain yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra.: “Aku tahu benar bahwa Rasulallah saw. orang yang baik hati, karena itu aku berani berkata kepada beliau: ‘Ya Rasulallah, berdo’alah untukku’. Kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi ‘Aisyah atas segala dosanya dimasa lalu dan dimasa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara terang-terangan’. Aisyah ra tertawa. Kepadanya Rasulallah saw. bertanya: ‘Apakah engkau gembira mendengar do’aku? Ia menjawab: ‘Bagaimana aku tidak gembira karena do’a anda’? Rasulallah saw. kemudian menegaskan: ‘Itulah do’a bagi ummatku yang kuucapkan setiap sholat’ ”. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Bazar dengan para perawi hadits shohih, dan Ahmad bin Manshur Ar-Ramadiy sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab Majma’uz-Zawa’id).

    Karena itu setiap muslim boleh bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. dalam memanjatkan do’a kepada Allah swt. Misalnya dengan mengucapkan: “Ya Allah, Nabi dan Rasul-Mu Muhammad saw. telah berdo’a bagi ummat nya, dan aku ini seorang dari ummat beliau. Dengan do’a beliau aku bertawassul mohon kepada-Mu, ya Allah, agar diampuni segala dosa dan kesalahanku dan dikarunia rahmat-Mu….” dan seterusnya menurut apa yang di inginkan. Iapun boleh menyingkat do’a yang diucapkannya itu cukup dengan menyebut: “Ya Allah kupanjatkan do’a kepadamu dengan ber- tawassul pada Nabi dan Rasul-Mu, Muhammad saw….dan seterusnya”. Dengan kalimat singkat ini ia telah mengungkapkan isi hatinya sesuai dengan kalimat dalam do’a yang panjang sebelumnya. Dengan berdo’a seperti diatas ini tidak menyalahi ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama Islam!!

    Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Imamnya madzhab Wahabi/Salafi tidak mengingkari tawassul ?

    Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul, tetapi anehnya atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab Al-Istifta: “Tidak ada salahnya orang bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia mengatakan, ‘bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul khusus kepada Nabi Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk’.

    Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia mengatakan: ‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya’ “. Demikianlah antara lain yang dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Majmu’atul-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’ dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu ‘Abdul-Wahhab.

    Lepas dari itu semua, dengan adanya riwayat-riwayat baik dari Firman Allah swt., Sunnah Rasulallah saw. atau wejangan para ulama pakar yaitu mengenai tawassulnya Nabi Adam as. dan hamba Allah lainnya kepada Rasulallah saw. baik beliau saw. masih hidup maupun telah wafat, kita tidak perlu mempersoalkan apakah kisah ini benar atau tidak benar, shohih atau dho’if, namun kenyataan membuktikan bahwa para ulama pakar yang telah dikemukakan tadi mencantumkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka.

    Mungkinkah para ulama pakar –yang sudah dikenal ketakwaan dan ilmu mereka ini– mencantumkan sesuatu yang berbau kekufuran dan kesesatan atau kesyirikan? Atau mungkinkah mereka ini mengarang-ngarang seenak-nya sendiri tidak mempunyai rujukan dalil dari sunnah Rasulallah saw.? Apakah mereka ini telah dituduh mempropagandakan penyembahan kepada hamba Allah atau kepada kuburan dan lain sebagainya? Apakah semua riwayat tawassul itu semuanya palsu, dikarang-karang oleh para perawinya? Dengan satu dalil/riwayat yang shohih saja, sudah cukup sebagai dalil diper- bolehkannya tawassul itu apalagi dengan banyaknya riwayat tentang masalah tersebut. Renungkanlah !

    Diantara dalil-dalil orang yang membantah serta jawabannya:

    Kami kira para pembaca cukup jelas dengan membaca firman Allah dan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan Tawassul tadi serta keterangan-keterangan para ahli Fiqih yang mana tawassul itu, baik untuk orang yang masih hidup atau sudah wafat, dibolehkan/tidak dilarang oleh agama dan tidak dikhususkan tawassul pada Rasulallah saw. saja boleh tawassul pada waliyullah, orang-orang sholihin lainnya.

    Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:

    Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan:

    “Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang diper- bolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.

    Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan—pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:

    Pendapat pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.

    Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.

    Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak mem benarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagai- mana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).

    Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.

    Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.

    Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal ke bajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagai- mana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasul- Allah saw. tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.

    Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:

    “Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk men- dekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)

    َلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا

    “…Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)

    لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ

    Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (Ar-Ra’ad : 14)

    Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lainnya tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandanga. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !

    Juga golongan pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :

    وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْمَ لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ لِنَفْسٍ  شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ

    “Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (Al-Infithar:17-19)

    Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.

    Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:

    لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ

    Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (Ali Imran : 128)

    Dan firman-Nya lagi : قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَقْعًا وَلآ ضَرًّا

    Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (Al-A’raf : 188)

    Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!

    Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.

    Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharap- kan syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan per- mohonan yang diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawassul.

    Ayat Az-Zumar : 3 diatas yang oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan…., tapi diayat ini menyebutkan; Kami tidak menyembah mereka melainkan…..

    Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu, mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah.

    Kaum musyrikin meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara bebas, dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan soal tawassul atau tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah sesuatu selain Allah’.  Ayat-ayat diatas itu ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada Allah swt. dan tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah.

    Ayat-ayat diatas juga menunjukkan sikap dan pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya tidak dibenarkan. Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta sesembahan lainnya yang mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya, bukan hanya sebagai sekedar wasithah sebagaimana menurut ucapan mereka  untuk mendekatkan hubungan mereka dengan Allah.

    Kalau kaum musyrikin benar-benar memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah, maka mereka tidak akan menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya. Juga kalau kaum musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka tentu dalam perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan atau keimanan kaum musyrikin bahwa berhala Hubal bukan sebagai wasithah tapi sebagai Tuhan mereka, dengan sendirinya keimananan kaum musyrikin jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang bertawassul tersebut.

    Bila golongan pengingkar tawassul ini konsekwen dan adil dengan berdalil surat Al-Jin:18 ini mereka harus melarang semua orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang baik itu Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin yang masih hidup maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu ….janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’tanpa menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih hidup. Tetapi sayangnya mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang tawassul dan mengartikan ayat Ilahi dan Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri, sehingga sering berlawanan dengan paham- nya sendiri. Jadi tidak lain ayat ini ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan Allah swt. dengan sesembahan yang lain, sedangkan orang yang ber- tawassul berdo’a dan menyembah kepada Allah swt. dan tidak menyekutu- kannya.

    Selain telah kami singgung baik dalam kajian sebelum ini maupun kajian sesudah ini bahwa, beberapa Nabiyyullah yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah dan tawassul. Nabi kita Muhammad saw. sebagai penghulu para nabi dan Rasul bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah swt.. pun telah membiarkan orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul padanya. Jika mencari berkah (baca mengenai tabarruk pada halaman berikut) dan tawassul adalah haram, syirik atau perbuatan ghuluw maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah orang yang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain untuk bertabarruk atau ber tawassul. Namun, mengapa justru mereka malah melakukannya? Begitu juga para sahabat Rasulallah saw. dan para ulama pakar telah mengamal- kan semuanya ini.

    Apa yang di-isukan oleh golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang dimaksud Al-Qur’an, hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam madzhab, juga jauh dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.

    Golongan pengingkar juga berdalil pada hadits shohih berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi bahwa Rasulallah saw. bersabda pada sahabatnya sebagai berikut:

    إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ

    , وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَليْـَكَ

    “Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimupun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.

    Juga didalam Majma’ul Kabir Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya Rasulallah saw. ada seseorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu !’. Kepada mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu tidak dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah”.

    Masih banyak orang yang memahami hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka berpedoman semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah syirik (keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan menolong anda yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan ini adalah Allah swt..

    Hadits-hadits diatas tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara, tidak lebih dari itu !

    Begitu juga kalau semua pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar, syirik maka Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi Sulaiman as pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml : 38-40), karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as. seorang nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab dan bisa minta langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada ummatnya dalam hal yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak memilik kedudukan nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan washitah/ perantara bagi beliau.

    Begitu juga riwayat nabi Yusuf a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang tuna netra disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf a.s., juga beliau setelah mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf as bisa melihat kembali. Padahal kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah meyakini dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang itu sangat penting dalam syari’at Islam.

    Mengapa nabi Yusuf a.s. tidak langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat kembali tanpa harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ? Jadi ghamish itu juga bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa dikatakan pengambilan barokah (tabarruk).

    Bila tawassul atau minta tolong pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu dilarang/diharamkan oleh agama, maka Rasulallah saw. tidak akan men- ceriterakan mengenai Nabi Adam as. yang waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan riwayat-riwayat tawassul yang telah kami kemuka- kan pada halaman sebelumnya.

    Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki bisa menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus melalui Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini, semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal lain-lainnya adalah Allah swt. sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul . Sekali lagi sudah tentu orang yang ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan dicintai oleh Allah swt.

    Penghormatan, pemuliaan, tawassul dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang shalih lainnya itu juga mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji dan dimuliakan. Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir siang malam baik berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir. Berapa banyak firman ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan dan pahala orang-orang yang sering berdzikir (silahkan rujuk pada bab Faedah dzikir dibuku ini).

    Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :

    اَلآ اِنَّ اَوْلِيَاءَ الََلهِ لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكاَنُوْا يَتَّقُونَ

    “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.

    Hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami didalam Masnadul-Firdaus berasal dari Mu’adz bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :

    ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ.

    “Ingat kepada para Nabi adalah bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin adalah kaffarah (menebus dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat kuburan mendekatkan kalian kepada surga”.

    Ibnu Babuwaih didalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:

    ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ) عِبَادَة

    “Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.

    Dengan adanya firman Allah dan hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa para sahabat Nabi saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga dicintai dan dipuji-puji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak berdzikir pada Allah swt. Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang baik.Sebagaimana firman Allah swt.:

    وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينِ

    “Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para sholihin). (At-Taubah : 119)

    Perjalanan dan gerak-gerik mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan Allah swt. dan segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt. Dengan demikian panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang selalu makbul, tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan barokah) dari tempat dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah pada Allah swt dan sebagainya.

    Jelaslah bagi golongan yang mau berpikir, sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri pada Allah swt. pada hakekatnya berdasar- kan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah Nabi saw.

    Hadits  yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id dan menilainya sebagai hadits shohih sebagai berikut:

    حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم

    فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ   

    “Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.

    Juga sabda beliau saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :

    مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ.

    “Setiap salam yang disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.

    ‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulallah saw bersabda:

    قاَلَ رَسُولُ اللهِ.صَ. اِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء الْخَلآِئقِ،

    فَلآ يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدًا أِلىَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ،

    هَذَا فُلآنُ اِبْنُ فُلآنُ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ

    “Allah mewakilkan Malaikat didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia. Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya: si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)

    Dari semua hadits tersebut jelas buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam yang disampaikan oleh ummat-nya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan, dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo’a keselamatan dan ampunan untuk ummatnya.

    Ibnu Taimiyyah sendiri dalam beberapa kitabnya menegaskan bahwa ber tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan. Beliau tidak membeda-bedakan apakah tawassul itu dilakukan orang selagi Rasulallah saw. masih hidup, setelah wafat, dihadapan beliau sendiri ataupun diluar pengetahuan beliau saw. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Al ‘Izzu bin ‘Abdussalam yang memperbolehkan orang bertawassul pun diketengahkan juga oleh Ibnu Taimiyyah didalam kitab Al-Fatawil-Kubra. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam risalah yang ditulis nya kepada Al-Maruzy berkata: Bahwa ia dalam berdo’a kepada Allah swt. bertawassul dengan Rasulallah saw.

    Kami sayangkan, walaupun banyak dalil mengenai tawassul/istighotsah serta wejangan para ulama pakar dalam buku ini, masih ada saja golongan yang mengingkari atau sampai-sampai berani mensyirikkan orang-orang yang berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama beliau saw. atau para ahli taqwa lainnya didalam do’anya atau bertabarruk pada mereka ini.

    Apakah golongan pengingkar ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka?, sehingga ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan firman Allah dan hadits-hadits  agar orang-orang tetap tidak mengetahui riwayat-riwayat yang telah di kemukakan tadi. Golongan pengingkar ini juga berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah sajalah yang bisa diminta secara langsung, dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahlukNya !

    Kami juga ingin bertanya lagisetelah adanya keterangan riwayat-riwayat dan wejangan para ulama pakar dibuku ini pada golongan pengingkar tawassul/ tabarruk ini:

    ‘Apakah Rasulallah saw. dan para sahabatnya yang menjalankan tawassul dan tabarruk tidak mengerti makna nash Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mereka untuk melarang serta mensyirikkan tawassul, tabarruk yang tercantum dilembaran buku ini ? Apakah mungkin para ulama pakar yang sudah dikenal pribadi mereka sendiri mencantumkan riwayat-riwayat yang berbau kesyirikan, kekufuran, dan penyembahan kepada hamba Allah swt.? Apakah semua riwayat yang cukup jelas diperbolehkannya tawassul dan tabarruk itu, bukan dianggap sebagai dalil tawassul/tabarruk, karena berlawanan dengan pahamnya? Saya berlindung pada Allah dalam hal ini.

    TABARRUK

    Marilah kita sekarang meneliti dan membaca kutipan dibawah mengenai dalil-dalil Tabarruk yang telah kami singgung sebelumnya diatas. Ada golongan yang keliru dalam memahami tabarruk pada Rasulallah saw., bekas-bekas peninggalannya, ahlul baitnya dan para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah. Mereka kemudian menganggap setiap orang yang menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang seperti ini berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi masalah-masalah tersebut.

    Tabarruk berasal dari kata Barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah swt. dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah swt.. Juga tabarruk ini mempunyai pengertian sama dengan tawassul/istighotsah, yang telah kami kemukakan tadi.

    Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sebab untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Allah swt. juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat menjadi sarana Allah swt memberkati orang untuk mencapai ke sembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam peng- ampunan dosa dan lain sebagainya.

    Tabarruk boleh dilakukan dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya pribadi Rasulallah saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan orang shalih lainnya, termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakamannya atau lain- nya yang juga pernah mereka jamah atau mereka jadikan tempat untuk ber-ibadah dan berdzikir pada Allah swt.

    Benda-benda pusaka atau tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan karena benda atau ruangan tersebut tapi karena kaitan- nya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah memanfaatkan benda dan tempat tersebut dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) pada Allah swt. Sehingga pada benda atau tempat tersebut pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tenteram. Inilah keberkahan yang di minta oleh orang yang bertabarruk dari Allah swt.

    Juga syarat lainnya bahwa orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana-sarana (benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat mendatangkan manfaat maupun madharat tanpa seizin Allah swt. Sebab semua manfaat dan madharat berada dalam kekuasaan Allah swt. sepenuhnya

    Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran

    Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah swt. adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia men- ciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak tergantung kepada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya. Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.

    Dalam al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya, secara mendasar dan murni (esensial) berkah dan pemberian berkah hanya berasal milik dan hak priogresif Allah swt. semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt. memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah swt. telah mem- berkati seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang di berkati tersebut:

     Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud: 48).

     Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya..” (QS an-Naml: 8).

     Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).

     Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).

    Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:

     Allah swt. telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).

     Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).

     Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).

    Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:

    Allah swt. telah memberikan berkah kepada al-Qur’an: “Dan Al-Qur’an itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).

     Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya)…” (QS an-Nur: 35).

    Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).

     Allah swt telah memberkati waktu malam dimana al-Qur’an turun (lailatul Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).

    Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt. dalam al-Qur’an menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:

    Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisahkan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap Tabut (peti) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.

    Menurut riwayat, ‘Peti’ itu adalah peti dimana nabi Musa waktu bayi telah di letakkan oleh ibunya ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga di temukan oleh istri Fira’un, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia, peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka, Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka Allah swt. menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit. Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda. Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ketengah-tengah mereka. Allah swt. mengutus Tholut. Melalui dialah para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka remehkan.

    Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi ‘dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun’ berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).

    Mengenai tabut itu Ibnu Katsir didalam kitab Tarikh-nya mengetengahkan keterangan yang ditulis oleh Ibnu Jarir sebagai berikut:

    “Mereka yakni ummat yang disebut dalam ayat diatas setiap berperang melawan musuh selalu memperoleh kemenangan berkat tabut yang berisi Mitsaq (Taurat). Dengan tabut yang berisi sisa-sisa peninggalan keluarga Nabi Musa dan Nabi Harun itu Allah swt. menciptakan ketenangan bagi mereka dalam menghadapi musuh. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, bahwa tabut itu terbuat dari emas yang selalu dipergunakan untuk mencuci (membersihkan) hati para Nabi”. (Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid II hal. 8).

    Dalam Tafsir-nya Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa didalam tabut itu berisi tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua buah lembaran Taurat dan pakaian Nabi Harun. Sementara orang mengatakan didalam tabut itu terdapat sebuah tongkat dan sepasang terompah.(Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hal. 313).

    Al-Qurthubi mengatakan: “bahwa tabut itu diturunkan Allah kepada Nabi Adam as. dan disimpan turun-temurun hingga sampai ketangan Nabi Ya’qub as., kemudian pindah tangan kepada Bani Israil. Berkat tabut itu orang-orang Yahudi selalu menang dalam peperangan melawan musuh, tetapi setelah mereka berbuat durhaka kepada Allah, mereka dapat dikalahkan oleh kaum ‘Amaliqah dan tabut itu berhasil dirampas dari tangan mereka (kaum Yahudi)”. (Tafsir Al-Qurthubi jilid III/248).

    Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt menguji mereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.

    Ummat yang disebut dalam ayat diatas selalu bertawassul atau bertabarruk dengan tabut yang mereka bawa kemana-mana dan selalu menang didalam setiap peperangan. Apa yang dilakukan oleh umat itu ternyata tidak dicela atau dipersalahkan oleh Allah swt.

    Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Ya’qub a.s. terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku (baju Nabi Yusuf) ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf pun akhirnya pulih penglihatannya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat barakah yang dicurahkan oleh Allah swt. kepada baju/gamis Yusuf.

    Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsir-nya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang di hasilkan oleh Yusuf dari permohonan (do’a). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan. (Tafsir al-Kasyaf jilid 2 hal. 503).

    Tentu sangat mudah bagi Allah swt. untuk mengembalikan penglihatan Nabi Ya’qub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt. menjadikan beberapa benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt. juga meng- inginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt., sehingga semua itu dapat menjadi ‘sarana’. Allah swt. memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan do’a, pensyafa’atan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.

    Jika para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lalu bagaimana dengan benda-benda (seperti: mihrab dan mimbar….), tempat (seperti: rumah, masjid dan makam…), waktu (seperti: peringatan hari wafat, kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj..) dan mengenang ke utamaan (melalui bacaan kitab Burdah, Maulid Diba’, Barzanji …) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw., penghulu para nabi dan rasul, makhluk Allah yang paling sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shohih? Pikirkanlah!

    Dalil-dalil Tabarruk para Sahabat dari bekas air wudhu Nabi saw.:

    –  …Urwah Al-Tsaqafi, salah seorang utusan Makkah melaporkan pada kaumnya: “Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung pada kaisar Kisra dan Najasyi. Demi Allah belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad saw. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Mereka usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah mereka berlomba melaksanakannya, bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia ber bicara mereka merendahkan suara dihadapannya. Mereka menundukkan pandangan dihadapannya karena memuliakan nya”.(HR. Bukhori 3 : 255)

    Hadits yang semakna diatas, banyak diriwayatkan oleh para perawi dan penghafal hadits yaitu kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi saw., ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya–: “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada selembar rambut pun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksana- kannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadits panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).

    – Thalq bin ‘Ali meriwayatkan: “Kami keluar (meninggalkan daerah) sebagai perutusan kepada Rasulallah saw. Setelah beliau saw. kami bai’at, kami shalat bersama beliau. Kemudian kepada beliau kami beritahukan bahwa kami masih mempunyai bi’ah (gereja atau kuil ). Kepada beliau kami minta agar diberi sebagian dari sisa air wudhunya. Beliau lalu menyuruh orang mengambilkan air, kemudian berwudhu dan berkumur lalu menumpahkan bekas air kumurnya ke dalam sebuah tempat/wadah. Kepada kami beliau berkata: ‘Pulanglah, dan setibanya didaerah kalian hancurkanlah bi’ah kalian itu lalu siramlah tempat itu dengan air ini, kemudian bangunlah masjid di atasnya’. Kami katakan pada beliau bahwa daerah kami, amat jauh, dan air akan menguap habis karena (dalam perjalanan) udara sangat panas. Beliau memberi petunjuk: ‘Tambahkan saja air (kedalam wadah), air ini akan menjadi lebih baik’ “. (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Al-Misykat nr. 716).

    Tidak ragu lagi bahwa dalam jiwa perutusan itu terdapat rahasia (semangat) yang amat kuat yang mendorong mereka minta air bekas wudhu Rasulallah saw. Padahal kota Madinah tidak pernah kekurangan air dan didaerah tempat tinggal orang itu sendiri banyak air. Mengapa mereka mau bersusah payah membawa sedikit air dari Madinah ke daerahnya yang menempuh jarak cukup jauh dan dalam keadaan terik matahari? Tidak lain adalah ber- tabarruk pada Rasulallah saw.dengan bekas air wudhu beliau.

    – Dari Abu Juhfah, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau ber ada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barang siapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan mengguna- kannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada di tangan temannya”.

    Dalam lafadh itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lalu beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadits ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).

    – Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajah- nya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya–: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadits ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).

    I

    bnu Hajar dalam mensyarahi/menerangkan makna hadits tersebut menyata- kan: “Apa yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu sebagai- mana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat lainnya” (Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).

    – Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengata- kan: Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur Badho’ah kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke dalam- nya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: ‘Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah’, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)”. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).

    – Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuh lah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60 / jilid 7 halaman 150 / jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).

     Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi ber-wudhu pada sebuah wadah, kemudian (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadits ke-35472).

    – Sewaktu Rasulullah saw. datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuh dadanya. Kemudian Zuhair merasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Dia berkata: ‘Aku lantas mengusapkan punggungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau’ ”. (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadits ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 halaman: 267).

    Hadits-hadits diatas ini termasuk bukti yang cukup kuat dan terkenal, yang menunjukkan tabarruk kepada beliau saw. dan dengan petilasan (bekas) air wudhunya. Dengan petilasan air wudhu beliau saw. bisa menyembuhkan penyakit. Setelah membaca hadits-hadits diatas dan hadits lainnya, apakah orang masih egois dan fanatik kepada ulamanya, yang selalu menyangkal adanya barokah pada pribadi seseorang? Apakah perbuatan itu tidak ter- golong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Ini juga harus dijawab dengan adil dan konsekwen dari golongan pengingkar!

    Dalil Tabarruk anak-anak para Sahabat kepada Nabi saw. :

    Imam Muslim dalam kitab Shohih-nya jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Sholeh dalam mengambil berkah Rasulallah saw. untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf wau, bagian pertama, bab wau kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah di hukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: ‘Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang kemudian beliau do’akan’ ”.

    – Dari ummu Qais: “Suatu saat dia mendatangi Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di pakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak mencucinya”. (Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 62 kitab al-Ghasl; Sunan an-Nasa’i jilid 1 hal.93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am; Sunan at-Turmudzi jilid 1 hal. 104; Sunan Abu Dawud jilid 1 hal. 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub; Sunan Ibnu Majah jilid 1 hal. 174).

    Ibnu Hajar berkata: “Dari hadits ini memberikan beberapa pengertian, penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Fathul-Bari jilid 1 hal. 326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadits ke-223).

    – Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dahulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“.( Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadits ke-223).

    – Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk dido’akan”. (Lht. Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 hal.479 ; Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 1 hal.5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).

    – Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan dido’akannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada”. (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).

    Tabarruk para Sahabat dari air dan sisa minum Nabi saw. :

    – Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasulallah mengambil air pada sebuah tempat. Beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Beliau bersabda: ‘Minumlah kalian berdua dari (air) itu, dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua’”.(Shohih al-Bukhari jilid 1 hal.55 kitab al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).

    Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air– adalah untuk memberikan berkah kepadanya (air)”. (Fathul Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).

    – Dalam sebuah riwayat disebutkan: Aku telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasulallah): ’Kenapa kamu melaku kan hal itu’? Ia berkata: ‘Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikit pun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya’”. (Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 575 hadits ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 109).

    Tabarruk para Sahabat dengan keringat, rambut dan kuku Nabi saw.:

    – Nabi saw. tidur siang dirumah Ummu Sulaim, yang punya rumah menampung keringat beliau saw. pada sebuah botol. Ketika Nabi saw. ter bangun dan bertanya: ‘Apa yang engkau lakukan?’. ‘Ya Rasulallah kami mengharapkan berkahnya untuk anak-anak kami’. Nabi saw. menjawab; ‘Ashabti, Engkau benar’ ! (HR. Muslim 4 :1815; Musnad Ahmad 3:221-226).

    – Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghampar- kan tikar kulit untuk Nabi, kemudian beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi”. (Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti’dzan).

    Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebut- kan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang shahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah meng- ambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Dia me- letakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: ‘Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur diatas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)’ ”. (Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).

     Abu Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. berkata: Ya Rasulallah, saya akan menikahkan anak perempuan saya, saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apapun. Nabi saw. bersabda: ‘Aku tidak punya apa-apa’. Rasulallah saw.bersabda: ‘Tapi besok datanglah padaku bawa botol yang mulutnya lebar…’. Pada esok harinya ia datang lagi, Nabi saw. meletakkan kedua sikunya diatas botol dan keringat beliau saw. mengalir memenuhi botol itu’”. (Fath al Bari 6 : 417, Sirah Dahlan 2:255, Al Bidayah Wa Al-Nihayah 6 : 25).

    Kita tidak tahu apa yang dilakukan sahabat dengan sebotol keringat itu. Mungkin digunakan sebagai minyak wangi –seperti Ummu Salamah– atau mewasiatkan pada ahli warisnya supaya botol (walau keringatnya sudah kering) dikuburkan bersama jasadnya (seperti Anas bin Malik). Ini tidak lain mengenang dan memuliakan Atsar (bekas) serta tabarruk yang berkaitan dengan orang yang dicintai! Kenyataan ini berarti menunjukkan bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meridhai perbuatan para sahabat tersebut. Beliau saw. juga sebagai contoh bagi umatnya, bila perbuatan tersebut sebagai pengkultusan atau berbau kesyirikan dan lain sebagainya, maka beliau saw. tidak akan mengizinkan dan melakukannya.

    –  ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Muwahhab menuturkan; “Keluargaku menyuruh aku datang kepada Ummul Mu’minin Ummu Salamah membawa air dalam sebuah mangkuk. Ia keluar membawa wadah air terbuat dari perak. Di dalamnya terdapat beberapa guntingan rambut Rasulallah saw. Ketika itu orang yang menderita sakit mata atau penyakit lainnya mengirim pesuruh kepadanya membawa wadah (makhdhabah), yang lazim digunakan untuk mencelupkan sesuatu. ‘Utsman bin Abdullah berkata lebih lanjut: ‘Aku mencoba melihat apa yang berada didalam genta, ternyata kulihat ada guntingan-guntingan rambut berwarna kemerah-merahan’ ”. (HR. Bukhori dalam kitabnya Al-Libas bab Mayudzkaru Fisy-Syaib).

    Imam Al-‘Aini mengatakan, bahwa keterangan mengenai soal diatas tersebut sebagai berikut: “Ummu Salamah menyimpan sebagian dari guntingan rambut Rasulallah saw., yang berwarna kemerah-merahan, ditaruh dalam sebuah wadah seperti genta. Banyak orang diwaktu sakit bertabarruk pada rambut beliau saw. dan mengharap kesembuhan dari keberkahan rambut tersebut. Mereka mengambil sebagian dari rambut itu lalu dicelupkan ke dalam wadah berisi air, kemudian mereka meminumnya. Tidak lama kemudian penyakit mereka sembuh. Keluarga ‘Utsman mengambil sedikit air itu, ditaruh dalam sebuah wadah dari perak. Mereka lalu meminumnya dan ternyata penyakit yang mereka derita menjadi sembuh. Setelah itu mereka menyuruh ‘Ustman mencoba melihat dan ternyata dalam genta itu terdapat beberapa guntingan rambut berwarna kemerah-merahan”. (Lihat ‘Umdatul-Qari Syarh Shahih Al-Bukhori jilid 17 hal. 79).

    – Sewaktu Muawiyah akan wafat, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)

    – Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406 tentang [tarjamah] Umar bin Abdul Aziz).

    – Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang [tarjamah] Anas bin Malik)

    – Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya di letakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).

    Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari– dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 hal. 207).

    – Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya mengetengahkan riwayat dari Ibnu Sirin yang menuturkan bahwa; ‘Ubaidah As-Salmani menyampaikan hadits tersebut kepadaku.  Kemudian ia berkata: ‘Jika aku mempunyai se helai saja dari rambut beliau saw., itu lebih kusukai daripada semua perak dan emas serta apa saja yang berada di permukaan bumi dan dalam perutnya’.

    – Riwayat yang disebut oleh Al-mala dalam As-Sirah: “Ketika Abu Thalhah membagikan beberapa helai rambut Rasulallah saw. kepada sejumlah orang sahabat, Khalid bin Al-Walid minta agar ia diberi rambut ubun-ubun beliau saw. Abu Thalhah memberi apa yang diminta oleh Khalid. Terbukti berkah rambut ubun-ubun beliau itu Khalid sering meraih kemenangan dalam ber bagai peperangan”. ( ‘Umdatul Qari Syarh Al-Bukhori, Jilid 8 hal. 230-231).

    Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang di pangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuni nya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan disalah satu tangan mereka” (Kitab shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 hal.83; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 hal.591; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 hal. 68; Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303; Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadits ke-11955).

     Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lalu beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Ia (Abdulah bin Zaid) berkata: ‘Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau’ “. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 hal. 630 hadits ke-16039; as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 hal.68; Majma’ az-Zawa’id jilid 4 hal. 19).

    Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperang an .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahir- Rahmanir Rahim”. (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadits-30136).

    – Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: “Aku berkata kepada Ubaidah; ‘Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas’. Ia bekata: ‘Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya’ ”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 hal. 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).

    – Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan rambut itu?. Ia berkata: ‘Sesungguhnya sewaktu Rasulallah mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapat kannya’ ”. (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).

    Jika rambut Rasulallah saw. seperti rambut kebanyakan orang, mengapa para tokoh Salaf Sholeh mengharapkannya, bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia, untuk pengobatan dan lain sebagainya? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah para tokoh Salaf Sholeh melakukan kesyirikan? Apakah riwayat-riwayat diatas dan berikut ini yang jelas berkaitan dengan Tawassul, Tabarruk semuanya dhoif/lemah, maudhu’, palsu walaupun diriwayatkan oleh pakar-pakar ulama hadits karena berlawanan dengan paham golongan pengingkar? Ini yang harus dijawab oleh golongan pengingkar secara adil dan konsekwen !

    Dalil Tabarruk para Sahabat dari gelas, piring Nabi saw. :

     Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadits, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau bersabda: ‘Berilah kami minum, wahai Saha!’. Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya. (perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: ’Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya’”. (Shohih al-Bukhari jilid 6 hal. 352 dalam kitab al-Asyrabah; Shohih al-Muslim jilid 6 hal.103 bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).

     Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: ‘Aku melihat gelas itu dan minum menggunakan gelas tersebut’ ”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).

     Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: ‘Engkau akan kuberi minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi’”. (Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).

     Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Beliau memberikannya kepadanya. Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: ‘Keluarkan buatku piring Rasulullah. Aku keluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, selebihnya ia percikkan ke wajahnya’ ”. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971; Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202 dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).

    Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasulallah dengan gelas bekas bibir Rasulallah sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong tokoh Salaf Sholeh merebutkannya? Apakah perbuatan itu tidak tergolong qhuluw (berlebih-lebihan) yang menyebabkan orang ter- jerumus ke dalam kesyirikan? Apakah golongan pengingkar berani menyata- kan bahwa itu perbuatan tercela yang diajarkan oleh para sahabat yang tergolong tokoh para Salaf Sholeh? Mereka harus konsisten dengan pahamnya yang menyatakan bahwa perbuatan itu adalah syirik, yang me- niscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.

    Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi saw.:

    –  Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Rasul saw. menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan perasaan takut. Aku tanyakan: ‘ Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas tanganmu’ ? Beliau saw. menjawab: ‘Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka menjauhinya), adapun kalian, makanlah darinya..’ ”. (Kitab al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 halaman 201; Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 halaman 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 halaman 510)

    –  Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang ter gantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadits ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)

    –  Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Beliau saw. meminum darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243)

    Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh golongan pengingkar dengan jujur: Apakah perbuatan yang telah dikemuka- kan semua dalam bab tawassul dan tabarruk ini tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah golongan pengingkar menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran golongan pengingkar hendak menumbuhkan dan menyebar- kan ajaran para Salaf Sholeh? Salaf Sholeh yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya?, padahal segenap Salaf Sholeh membolehkan dan mengamalkan tawassul dan tabarruk ! Pikirkanlah!!

    Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan Nabi saw. :

    Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syari’at Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadits-hadits yang menyebutkan bahwa para Salaf Sholeh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul saw., setelah wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadits-hadits di bawah ini:

     Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: “Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: ‘Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!’. Aku siram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman’. Beliau saw. memberikannya kepadaku. Selanjut- nya berkata Muhammad bin Jabir: ‘Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan’”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)

    Jika apa yang dimiliki Rasulallah sama dengan milik kebanyakan orang, mengapa dia meminta kain Rasulallah untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasulallah itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk kategori syirik, maka selayaknya golongan pengingkar tidak perlu mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Sholeh, tetapi peng- hidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Sholeh).

     Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: “Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Aku dengar Tsabit al-Banani berkata: ‘Itu adalah sandal Rasulallah’ ”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)

    Jika sandal Rasulallah sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.

     Dalam sebuah riwayat, Rasulallah bersabda: “Barangsiapa yang ber- sumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal 4/357 hadits ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).

    Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasulallah saw., menurut lisan Rasulallah sendiri, dan para sahabat pun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasulallah saw. ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadits ke-46389).

    Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid, mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdo’a” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulalllah).

    Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebut- kan bahwa; “Beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lalu mengusapkannya ke mukanya”. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasulallah dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Hibban halaman 9). Jika golongan pengingkar selalu menyatakan syirik buat pengambilan berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah dari mimbar Rasulallah, maka apakah layak kelompok ini mengaku sebagai ‘penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Sholeh’? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai ‘penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh ?

    Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadits saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke tekts aslinya.

    Dalam beberapa riwayat dan hadits lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadits seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasulallah saw. (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6); para sahabat meng ambil berkah dari cincin Rasulallah dengan meniru bentuknya (Shahih Bukhari 7/55; Shohih Muslim 3/1656; an-Nasa’i 8/196; Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadits ke-472); para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasulallah dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16; Sunan Ibnu Majah 2/1177; Musnad Ahmad bin Hanbal 6/456 hadits ke-22318; Fathul Bari 3/144 tentang hadits 1277); Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasulallah untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412; as-Sirah al-Halabiyah 3/242;Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19); hadits Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur; Shohih Muslim 2/647; Musnad Ahmad 7/556 hadits ke-26752; Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadits ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764).

    Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi saw.:

     Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasulallah saw. juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Nafi’ berkata, ‘bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu’. Aku bertanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’)”. (Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)

    Dari hadits di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunnah kannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Fathul Bari 1/469; menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; ‘Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi’. Pernyataan yang sama juga terdapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).

    Tetapi pada kenyataannya, mengapa para muthawwi’ (rohaniawan sekte Wahabi) berusaha menghalang-halangi para jama’ah haji yang ingin ber tabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasulallah saw. yang beliau pakai untuk beribadah dan shalat di sana, dengan alasan Rasulallah saw. dan Salaf Sholeh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?

     Ibnu Atsir berkata bahwa, ”Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw., sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasulallah pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasulallah pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi saw. (untuk berteduh) pun di singgahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati k keringan”. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, terjemah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi– juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 2/269 hadits ke-5968, Shohih Bukhari 3/140; Shohih Muslim 2/1981)

    Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasulallah? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasulallah saw.? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Sholeh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu? Ataukah mereka ini akan memutar balik makna riwayat-riwayat yang berkaitan Tawassul, Tabarruk sampai sesuai dengan pahamnya?

      Dari Anas bin Malik; “Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasulallah) sebagai mushalla. Rasulallah pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, kemudian Rasulallah melaksanakan shalat di atasnya yang di-ikuti oleh beberapa sahabat lainnya”. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).

      Dari Anas bin Malik; “Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lalu berkata kepada Nabi: ‘Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat’. Dan (Anas) berkata: ‘Beliau saw. datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau saw. melakukan shalat, kami pun mengikutinya’ ”. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756; dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)

     Suatu saat, datang Atban bin Malik salah seorang sahabat Rasulallah dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasulallah saw. kepada Rasulallah seraya berkata: ‘”Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan meng- genangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka ‘Wahai Rasulallah, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan me- laksanakan shalat di rumahku’. Rasululah saw bersabda kepadanya: ‘Aku akan melaksanakannya, insya-Allah’. Atban berkata: Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasulallah besama Abu Bakar. Kemudian Rasulallah meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; ‘Dibagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?’. Aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”.(Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175; Shohih Muslim 1/445, 61& 62)

    Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Mengenai komentar Al-Ulyani lihat dan baca halaman selanjutnya yaitu pada kalimat Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan di bab ini.

    Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw.:

    Pada kajian lalu telah kita sebutkan beberapa hadits yang menjelaskan bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkan nya ke mukanya. Semua perbuatan itu jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan madzhab Wahabi (Muttauwi’) terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ter- hadap mimbar Rasulallah saw..

    Kajian dan telaah kita berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kuburan/Pusara’ yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang sering mengatakan penghidup ajaran para Salaf Sholeh (Salafi). Padahal kalau kita teliti paham mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jama’ah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kuburan/makam Rasulullah saw. Kaum muslimin yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan madzhab Wahabi itu, ketika mereka hendak mengusap tempat-tempat yang para sahabat Rasul saw. mengamalkannya.

     Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: ‘Sadarkah apa yang telah engkau lakukan?’. Kemudian lelaki itu menengok kearah Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan: ‘Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasulallah’. Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda: ‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menangis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah’ ”. (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404).

    Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam Mu`jam al-Kabir (4:189) dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam al-Zawa’id (5:245), Al-Hakim dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan juga, al-Subki didalam Shifa’ al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam  al-Zawa’id 4:2). Hadits di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.

    Atas dasar hadits diatas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh madzhab Salafi (baca: Wahabi).

    Hadits diatas itu jelas menunjukkan disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari makam Rasulallah saw. Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan barokah semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana yang dianggap oleh kaum Wahhabi. Bila tidak demikian mengapa Abu Ayyub ra. tidak cukup beri salam dan berdo’a kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkan wajah- nya diatas pusara Nabi saw.? Dalam konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah, karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap bersikeras melarang perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi munkar tidak perduli siapa yang berbuat (baik itu sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah Abu Ayyub?

    Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat suci di Saudi Arabia. Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis syirik, bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena kesalahan mereka dalam memahami dan mempraktekkan kaidah Syadzudz Dzarai dan dalam menentukan tolak ukur antara Tauhid dan syirik.

    Bila apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar Rasulallah itu tergolong perbuatan syirik (sebagaimana paham kaum Wahabi) maka mungkinkah seorang sahabat besar semacam beliau melaku- kan perbuatan syirik atau akan berbuat sesuatu yang berbau kekufuran atau kesyirikan? Sudah Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan pengingkar menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?

     Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasa- an sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137; Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4 hal. 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)

    Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

     Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanan- nya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)

    Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasulallah? Mengapa ulama madzhab Wahabi menvonnis syirik kepada penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara Rasulallah saw. dan kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena ber- lawanan dengan pahamnya?

     Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah di- kebumikan, Siti Fatimah –puteri Rasul satu-satunya– bersimpuh disisi kuburan Rasulallah dan mengambil sedikit tanah makam Rasulallah kemudian diletakkan dimukanya dan sambil menangis ia pun membaca be- berapa bait syair….”. (al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 hal.18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2 hal.340, Irsyad as-Sari jilid 3 hal. 352 dsb.nya)

    Jika apa yang dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid’ah yang dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasulallah yang tergolong Salaf Sholeh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahabi ?

     Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kuburan Rasulallah). “Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Beliau langsung bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444)

    Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering mengambil tanah dari pusara Rasulallah. Aisyah (ummul mukminin) ra. membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: ‘Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di atasnya’ ”.

    Masihkah golongan pengingkar yang mengatas namakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasulallah atau pun orang awam biasa ! Beranikah golongan ini menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?, sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya?

    Antar Para Sahabat pun Saling Bertabarruk:

    Pertama-tama, kita akan melihat beberapa tekts tentang: apakah diperboleh- kan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia sholeh dan bertakwa pasca masa mereka? Kita di sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa, menurut Ahlusunah wal Jama’ah, semua sahabat adalah Salaf Sholeh yang layak ditiru dan diikuti.

     Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5 hal. 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta do’a hujan melalui ‘Abbas (paman Rasulallah) sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan menyatakan: ‘Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau meng- anugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami. Kemudian turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shahih).

     Dalam kitab yang sama diatas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.

    Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid 2 halaman 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunnah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.

     Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

     Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: ‘Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasulallah’.

     As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448) menyatakan bahwa; ”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang ber- hadapan dengan kuburan (Rasulallah, red). Di situ terdapat pintu Rasulallah yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: ‘Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini’. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan ‘Tempat para Pemimpin’ (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.

     Dalam kitab yang sama di atas, as-Samhudi (pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi saw. terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya’ ”.

     Ibn Sa’ad dalam kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107) menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Ia berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk mendo’akan kami kepada Allah dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit air yang kau punya’!. Kemudian diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancar- kan air dengan melimpah” .

     Ibnu Hajar dalam kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310 pasal ke-3 tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho (salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga men- ciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)

    Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah ber- tabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa meng- ambil berkah dari orang-orang sholeh dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Sholeh telah melakukannya.

    Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutama- an di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Sholeh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik pribadi orang Sholeh itu, do’anya maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak sholeh dan takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi, maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.

    Dari riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’ dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” halaman: 261 dan as-Syatibi -dalam karyanya yang berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana keduanya sepakat bahwa; ‘Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasulallah saja’. Hal itu karena mereka beralasan bahwa Rasulallah tidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan lainnya adalah; ‘Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini’ (tabarruk kepada pribadi selain Nabi). Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah, sebagaimana tidak diper- bolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat’.

    Telah jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan. Entahlah mengapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu?. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, mengapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak pernah memerintah- kan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?

    Walaupun Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis bertabarruk selain kepada beliau saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram dan sebagainya. Mengapa justru al-Jadi dan as-Syatibi berani melarangnya?, sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak pernah melarangnya !

    Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditkemukakan bahwa selain peninggalan Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkahnya sewaktu masa hidup mereka, bagaimana dengan perkara tadi setelah kewafatan mereka? Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Sholeh dan bertakwa? Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan mereka? Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung sebelumnya bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah akan kita jelaskan berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak seperti sangkaan golongan pengingkar yang dengan tegas menyatakannya sebagai perbuatan syirik.

    Jenazah dan Kuburan/Pusara Ulama yang Diambil Berkah:

    Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama Ahlussunnah dari berbagai madzhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari berbagai peninggalan Nabi saw. setelah wafat beliau terkhusus pusara suci beliau saw. dan dari para manusia sholeh lainnya, kini kita akan melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini kepada kuburan para sahabat Rasulallah saw. dan ulama mereka.

     Kuburan Bilal al-Habsyi –seorang sahabat besar dan muadzin Rasulallah– yang berada di Damaskus (Syiria) adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan Rasul-Nya yang selalu diziarahi dan diambil berkah oleh banyak dari kaum muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari berkah darinya, namun para Waliyullah pun turut berdo’a dan mengambil berkah darinya. (Lihat: Rihlah bin Jubair halaman: 251)

     Kuburan Abu Ayyub al-Anshari (di Istanbul, Turki) juga termasuk yang di ambil berkahnya. Al-Hakim an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala as-Shohihain jilid: 3 halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah al-Shofwah jilid: 1 halaman: 407)

     Makam sahabat besar Suhaib ar-Rumi juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan as-Samhudi sendiri pernah mencoba tanah kuburannya untuk mengobati demam. Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin Abdul Mutthalib –paman Nabi dan penghulu para syahid– dimana as-Samhudi menukil ucapan az-Zarkasyi yang menyatakan: “Tanah makam Hamzah di ambili oleh orang-orang untuk pengobatan”. ( Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69).

     Salah seorang sahabat Rasulallah saw. yang bernama Abu ‘Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari yang dalam kitab Siar A’lam an-Nubala jilid 1 halaman 279 disebutkan bahwa kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang kuburan- nya menjadi salah satu tempat pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah pekuburannya kemudian membawa- nya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya as-Samhudi jilid 1 halaman 115)

     Makam Umar bin Abdul Aziz salah seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H) menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh adz-Dzahabi. (Tadzkirah al-Huffadz jilid 1 hal. 339).

     Pusara salah seorang cucu Rasulullah yang bernama Imam Ali bin Musa ar-Ridho yang kuburannya berada di Thus juga menjadi

    obyek ziarah dan pencarian berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika kami keluar bersama Imam ahli Hadits Abu Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah Abi Ali ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang ingin menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus. Beliau mengatakan: ‘Aku melihat betapa penghormatan, kerendahan dan perendah- an dirinya –yaitu Ibnu Khuzaimah– terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya’ ”. (Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani jilid 7 hal. 339)

    Abdullah bin al-Haddani yang terbunuh (syahid) pada ‘hari Tarwiyah’ di tahun 183 H juga merupakan salah seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah kaum muslimin. Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat misik yang kemudian mereka taburkan di baju mereka. (Lihat: Hilliyatul Auliya karya Abu Na’im al-Isbahani jilid: 2 halaman: 258 atau kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani jilid: 5 halaman: 310)

     Kuburan Ma’ruf al-Karakhi pun termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu al-Jauzi dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak menonjol dan diambil berkahnya. Ibrahim al-Harbi mengatakan: ‘Kuburan Ma’ruf adalah obat yang mujarab’ ”. (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman: 324)

     Kuburan al-Khidr bin Nashr al-arbali (wafat tahun 567 H) seorang ahli fikih dari mazhab Syafi’i kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku telah menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni kuburannya dan mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 12 halaman: 353)

     Kuburan Nuruddin Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah pejuang dan penguasa negeri Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 306)- juga termasuk yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya berada di Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak wangi dan dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)

     Kuburan Imam al-Bukhari (pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau, menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol. Sampai-sampai para penjaga tidak mampu menjaga kuburan tersebut. Kami telah melupakan diri kami sendiri, lantas kami menyerbu kuburan tersebut bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai ke kuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah jilid: 2 halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi jilid: 12 halaman: 467)

    Dan masih banyak lagi kuburan-kuburan lain yang menjadi pusat ziarah mau pun pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak, Syiria, Mesir, Pakistan, Yordania, Yaman, Iran, Indonesia, Malaysia, Singapore dan negara-negara lainnya. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para kekasih Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya dan mencari berkah darinya, berdasarkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasulallah melalui sahabat-sahabat mulia beliau yang menjadi sandaran kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa legalitas ber- tabarruk. Jika hal tersebut tetap dinyatakan oleh golongan pengingkar sebagai perbuatan ghuluw, syirik, maka apa kata mereka ketika melihat kuburan dan jenazah Ahmad bin Hanbal yang diakui sebagai Imam hadits mereka dan jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan sama semacam itu oleh kelompok dari mereka sendiri?

    Marilah kita lihat apa yang terjadi dengan kuburan Imam Ahmad bin Hanbal dan jenazah Ibnu Taimiyah:

    Ibnu Hanbal: Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah. (Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah halaman: 14)

    Ibnu Taimiyah: Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’) jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan jenazahnya memenuhi jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru sehingga kerumunan kian bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban mereka di atas keranda guna mengambil berkah. Kayu-kayu keranda jenazah banyak yang putus akibat terlampau banyak orang yang bergelayut- an. Mereka juga meminum air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, bekas memandikan jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; ‘Benang yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya untuk menghalau kutu-kutu pun mereka beli dengan harga seratus lima puluh dirham”. (Lihat: al-Bidayah wa an-nihayah jilid: 14 hal. 136 atau pada kitab al-Kuna wa al-Alqob jilid: 1 halaman: 237)

    Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang mati) adalah syirik atau bid’ah, maka penziarah kubur Imam Ahmad bin Hanbal semuanya para ahli bid’ah dan kaum musyrik. Lebih kasihan lagi pengantar jenazah Ibnu Taimiyah, betapa tidak, karena para pengantar jenazahnya berebutan untuk mengambil barokah dari keranda, minum air bekas memandikan jenazah beliau dan lain sebagainya.

    Mari kita rujuk lagi macam-macam bentuk riwayat lainnya yang berkaitan dengan Tabarruk.

    –    Samiri, (pada zaman Nabi Musa as.) yang mengambil barakah dari tanah dimana Jibril as melaluinya. Ketika Samiri mengambil dan melemparkan tanah pada patung anak sapi yang dibuatnya, patung jadi bisa bersuara, karena berkah dari tanah bekas jejak malaikat Jibril as.tersebut. Firman Allah swt :

    قَالَ بَصُرْتُ بِمَالَمْ يَبًْصَرُوْا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ اَثَرِ  الرَّسُوْلِ فَنَبَذْتُهَاوَكَذَالِكَ سَوَّلَتْ لِى نَفْسِى

    (Samiri menjawab): “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui nya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku”. (S Thaahaa [20] ayat 96)

    Hampir semua ahli tafsir menginformasikan bahwa yang dmaksud dengan jejak Rasul dalam ayat diatas adalah jejak malaikat Jibril a.s.

    Begitu juga firman Allah swt. agar menjadikan tempat berdirinya Nabi Ibrahim as. waktu membangun Ka’bah sebagai tempat sholat: ..’Dan jadikan lah sebagian maqam (tempat berdiri) Ibrahim tempat sholat’. (Al-Baqarah :125). Disini menunjukan bahwa Allah swt. memuliakan Rasul-Nya Ibrahim as. dan menjadikan tempat berdirinya beliau sebagai tempat yang mulia yang dianjurkan manusia untuk melakukan sholat pada tempat tersebut dan pengambilan barokah.

    Silahkan juga rujuk tentang riwayat para sahabat percaya bahwa rumah yang pernah dimasuki Rasulallah ada barakahnya. (Bukhari,jilid 5, Buku 58, nomer 159, Ahmad Musnad 3:98 #11947, Bukhari, jilid 7, Buku 71, Nomer 647, Malik in al-Muwatta; Buku 50 nomer 50:4:10,  Abu Dawud, 41: 5206).

    – Mu’adz Ibnu Jabal dan Bilal (ra) datang kemakam Nabi duduk menangis dan mengusapi mukanya dengan tanah itu. (Ibnu Majah 2:1320).

    – Nabi memerintahkan para sahabat untuk mengambil berkah dari sumur di mana onta betina Nabi Sholeh minum disitu. (Bukhari, jilid 4, Buku 55, no 562).

    Menurut riwayat sumur Nabi Sholeh a.s.ada dikota ‘Asir di Saudi Arabia dekat perbatasan Yaman. Banyak para sahabat waktu itu diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Mu’az bin Jabal, Abu Musa Al- Asy’ari (ra) diutus oleh Rasulallah saw. ke Yaman dan sahabat lainnya diutus untuk dakwah keluar kenegara-negara selain Hijaz (sekarang Saudi Arabia) misalnya Khalid bin Walid ke Najran, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif dan sebagainya.

    Nah, kalau sumur yang ontanya Nabi Sholeh as pernah minum air disana berapa waktu silam sebelum zaman Nabi saw. saja masih bisa menjadikan barokah apalagi bekas-bekas peninggalan manusia yang mulia dan taqwa yakni Rasulallah saw. atau para sahabat dan para waliyullah yang mana mereka semua dimuliakan oleh Allah swt. Jadi penghormatan serta peng ambilan barokah dari tempat yang suci tidak sama dengan menyembahnya !

    Firman Allah swt. kepada Nabi Musa a.s.: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa“. (QS Thaahaa:12).

    Allah swt. sendiri menyatakan lembah Thuwa adalah tempat yang suci sehingga Nabi Musa as. ditempat ini diperintahkan untuk menanggalkan terompahnya sebagai penghormatan (ta’dhim) pada tempat tersebut. Ini bukti bahwa ada tempat-tempat yang disucikan oleh Allah swt. Apa mungkin Allah swt. memerintahkan sesuatu yang berbau syirik ? Sudah tentu tidak mungkin! Dengan demikian kita harus bisa membedakan antara ta’dhim/ penghormatan dan ibadah !

    Khalifah Umar ra. ketika mengunjungi Ka’bah berkata pada Hajar Al-Aswad: ‘Kamu tidak bisa apa-apa, tapi saya menciummu untuk mengikuti Rasulallah saw.’ Atas ucapan Khalifah Umar ini khalifah Ali kw. berkata pada khalifah Umar sebagai berikut: ‘Rasulallah saw. berkata dihari pengadilan hajar Al-Aswad akan menjadi perantara (saksi) atas orang-orang’. (Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasai, Al-Baihaqi, At-Tabharani dan Al-Bukhari dalam kitab Risalahnya) dan khalifah Umar ra berterima kasih pada Amirul mukminin Ali bin Thalib kw.

    Golongan Salafi/Wahabi menyebarkan versi hadits terakhir diatas ini dengan mengurangi dari riwayat aslinya. Mereka menceritakan hanya sampai kata-kata khalifah Umar ra. saja, dan membuang perkataan khalifah Ali kw. yang menyatakan bahwa Hajar al-Aswad akan menjadi wasilah atau perantara pada hari pengadilan nanti. Golongan ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian isi dari Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka. Sayangnya ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan atau menolak hadits-hadits yang telah kami kemukakan, supaya orang-orang tetap tidak tahu mengetahui hadits-hadits seperti itu. Sedangkan pengikut-pengikutnya hanya mengikuti apa yang diucapkan oleh para ulama mereka ini.

    Mengenai hajar aswad Ibnu Hibban dalam kitab Shohih-nya mengatakan: “Bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Al-hajaru war ruknul yamaaniyyu yahutthul khataayaa hatthan’. Artinya: “Hajar aswad (batu hitam) dan rukun yamani menggugurkan dosa sebanyak-banyaknya”. (dinukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq jilid 5 cet.pertama hal. 152). Banyak riwayat lain mengenai hajar aswad ini.

    Diriwayatkan oleh Imam Muslim (Lihat kitab Al-Libas Wa Az-Zinah jilid 3, halam 140) sebagai berikut: Asma binti Abubakar As-Shiddiq ra menuturkan, bahwa ia pernah mengeluarkan jubah thayalisah (yaitu pakaian kebesaran yang lazim dipakai oleh raja raja Persia), pada bagian dada dan dua lipatan yang membelahnya berlapiskan sutera mewah. Menurut Asma itu adalah jubah Rasulallah saw. yang dulu disimpan oleh Aisyah ra. Setelah Aisyah wafat jubah itu disimpan oleh Asma. Asma mengatakan, bahwa Nabi saw. semasa hidupnya pernah memakai jubah tersebut dan sekarang , kata Asma, jubah itu kami cuci dan kami manfaatkan untuk bertabarruk mohon kesembuhan bagi penderita sakit ”.

    Imam al-Bukhari dalam kitab shahih-nya menuliskan satu bab khusus tentang “Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau saw. dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)

    Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan, bahwa ‘Asma binti Abubakar pada suatu hari mengeluarkan sehelai jubah, kemudian berkata kepada orang-orang yang hadir: ’Dahulu Rasulallah saw. memakai jubah ini. Jubah ini kami cuci dan airnya kami gunakan untuk menyembuhkan orang-orang sakit’.

    Ibnu Qusaith dan Al-‘Utbi dalam kitab ‘Thabaqat’ yang disusun oleh Ibnu Sa’ad mengatakan, bahwa para sahabat Nabi pada saat memasuki masjid Nabawi mengusapkan tangan pada mimbar Rasulallah saw. yang berdekat- an dengan makam beliau dengan maksud bertabarruk dan bertawassul. Mereka kemudian menghadap kiblat lalu berdo’a.

    Dalam Thabaqat ini Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin ‘Abdulqadir juga mengata- kan, “bahwa ia melihat ‘Abdullah bin ‘Umar Ibnul Khattab ra. bertabarruk dengan mengusapkan tangannya pada tempat duduk Rasulallah saw. yang berada di mimbar beliau, kemudian mengusapkan tangan itu pada wajah- nya”. Dalam riwayat yang lain lagi, Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga mengusapkan tangannya pada bagian mimbar yang dahulu sering dipegang oleh Rasulallah saw.”.

    Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Ibnu Umar pernah meletakkan tangannya pada tempat duduk di mimbar Rasulallah saw., kemudian ia mengusapkan tangannya ke wajah.

    Ibnu Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia Imam Ahmad membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda bulat dari kayu yang berada diatas mimbar (kuno), tempat berpegang pada saat orang sedang berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id salah seorang ulama Fiqih di Madinah semuanya pernah melaku- kan hal seperti itu”. (Lihat Iqtidha As-Shirathil Mustaqim, halaman 367).

    Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/ bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh lainnya yang menyatakan bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.

    Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyata- kan: ‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi: ‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi’ “. (Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).

    LIhat riwayat ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad ber- fatwa membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid’ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah me- lakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal !”.

    Imam Ahmad bin Hanbal sendiri pernah juga bertabarruk dan Al-Hafidz membenarkannya. Hal itu dituturkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad (putera Imam Ahmad). Saya pernah melihat ayahku mengambil sehelai rambut Rasulallah saw. lalu dicium dengan mulutnya. Bahkan saya pernah melihatnya menempelkan rambut Rasulallah saw. pada matanya, kemudian mencelup kannya dalam air lalu diminumnya air itu bertabarruk mohon kesembuhan. Saya pernah juga melihat ayahku memegang piring Rasulallah saw., kemudian dicucinya lalu ia minum air yang berada dipiring itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum air Zam-zam bertabarruk mohon kesembuh an, dan setelah itu ia mengusap-usap tangan dan mukanya dengan air tersebut’.

    Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ini telah bertanya pada ayahnya mengenai orang yang menyentuh atau mengusap-usap rummanah mimbar Rasulallah saw. dan mengenai orang yang mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu hitam yang terletak dipojok Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan tersebut ayah beliau Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal itu tidak ada salahnya!. Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari pendapat kaum Khawarij dan dari berbagai bid’ah (Lihat Siyaru A’lami-Nubala’ jilid 11 hamalan 312).

     Dinukil dari Ibnu Jama’ah (as-Syafi’i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah) meriwayatkan: Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasulallah dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah’. Beliau menjawab: “Tidak mengapa”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1414).

    Syeikh Ibnu Hajar berfatwa: “Sebagian menggali dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencium segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)

    Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i Jilid:1 Halaman: 276)

    Syeikh Muhibbuddin at-Thabari berfatwa: “Diperbolehkan mencium dan menyentuh kuburan. Itu merupakan perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Lihat: Asna al-Matholib jilid: 1 halaman: 331 atau sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1407)

    Syeikh ar-Ramli as-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib karya al-Hamzawi halaman: 219)

    Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh (Lihat: Syarh al-Mawahib jilid: 8 halaman: 315).

    Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: Tiada keraguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasulallah) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)” (Lihat: Kanzul Matholib halaman: 20 dan Masyariq al-Anwar jilid: 1 halaman: 140).

    Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan dada’. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruhnya) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya” (Lihat: Syarh as-Syifa’ jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404)

    Imam Muslim mengetengahkan hadits dari Anas yang mengatakan : “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kerumah kami, kemudian beliau tidur hingga berkeringat. Ibuku datang membawa sebuah botol (wadah) lalu mewadahi keringat beliau yang menetes. Setelah bangun tidur beliau saw. bertanya: ‘Hai Ummu Sulaim, Apakah yang telah engkau perbuat?’ Ibuku menjawab: ‘Keringat (anda) ini hendak kujadikan minyak wangi dan itu merupakan minyak wangi yang paling harum baunya’ “.

    Tabarruk pernah juga dilakukan oleh Rasulallah saw.dalam Isra’ yaitu dari Al-Baitul Haram ke Al-Baitul Maqdis. Ditengah perjalanan beliau turun dari Buraq yang dikendarainya kemudian menunaikan shalat dibeberapa tempat tertentu, seperti di Thur Sina, Di Baitul Laham (Betlehem, tempat kelahiran Nabi ‘Isa as.), dan lain-lain sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab hadits dan sirah (sejarah) Nabawiyyah.

    Tabarruk dengan petilasan/bekas orang-orang wali dan shalih itu juga di perkenankan oleh syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal mem- perbolehkan orang mencium makam Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk. Ketika Ibnu Taimiyah melihat orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan. Selanjutnya Imam Al’Iraqi berkata padanya : “Apa anehnya? Bukankah kami telah meriwayat-kan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum air bekas cucian baju Imam Syafi’i ? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.

    Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia ber- tabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.

    Al-Khatib dalam Tarikh-nya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu lamanya Imam Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu Hanifah.

    Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.

    Contoh perbuatan tabarruk yang sampai sekarang bisa dilihat masyarakat muslimin yaitu mengusap dan mencium batu hitam (Hajr Al Aswad) dan minum air Zam-zam, berdo’a ditempat-tempat tertentu: di ‘Arafah, Mina, Muzdalifah (Masy’aril Haram) serta sholat di masjid-masjid tertentu dan sebagainya. Tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai manasik ibadah haji, disitu kaum muslimin berdo’a, bersembah sujud kepada Allah swt. dan lain-lain.

    Komentar Al-Ulyani al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” mengenai hadits Atban bin Malik & jawabannya

    Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh golongan pengingkar, namun kali ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu pengikut sekte Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin.

    Untuk mempersingkat, kita akan ambil beberapa masalah (dibawah ini) yang sering mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab Wahabi yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani yang menolak, mengharamkan atau mensyirikkan Tabarruk dan jawaban dari golongan yang membolehkan Tabarruk.

    Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

    “Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu melalui perminta berkah (tambahan) terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya…” (QS az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa, tabarruk (mengharap berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah. (Lihat: kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)

    Jawabannya:

    Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu– bahwa, beberapa nabi Allah yang mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita (Muhammad saw) –yang sebagai penghulu para nabi dan rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah Dia ciptakan– pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari berkah (tabarruk) adalah haram–karena syirik– maka tentunya para nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa justru mereka malah melakukannya? Lagi pula, apa yang di-isukan oleh kelompok Wahabi di atas tadi, selain tidak sesuai dengan al-Qur’an, Hadits dan bukti sejarah dari Salaf Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu (az-Zumar:3) sendiri. Beberapa alasan berikut ini:

    Pertama: Semua orang tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya. Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali kepada niat. Bukankah Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya (Hadits Muttafaq Alaihi). Tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.

    Kedua: Dalam ayat itu (Az-Zumar:3) disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan…” di situ terdapat kata “Menyembah” yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembah an. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan itu (sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah. Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah telah memerintahkan para malaikat dan jin untuk bersujud di hadapan dan untuk nabi Adam? Bukankah nabi Ya’qub beserta anak-anaknya telah sujud di depan nabi Yusuf? Ini yang membedakan antara prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan berkah. Ini merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam prilaku per ibadatan. Kaum muslimin selain tidak meyakini kepemilikan sifat ketuhanan selain Allah, sehingga obyek selain Allah memiliki kelayakan untuk di sembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari kehendak Ilahi, karena hanya Dia Yang Maha kuasa nan sempurna, dan yang layak disembah.

    Ketiga: Ayat dari surat az-Zumar tadi Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan…” tapi dikatakan; “kami tidak menyembah mereka melainkan…” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan dalam akhir-akhir surat Yasinmaka mereka akhirnya meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara inde- pendent dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dan tentu pula kaum muslimin tidak pernah berpikir semacam itu. Semua kaum muslim meyakini bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin dan kehendak Allah swt., termasuk pemberian berkah. Karena Allah swt.sumber segala yang ada di alam semesta ini.

    Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

    Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap mulia bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari yang dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat Rasulallah dari kelompok Anshar, yang turut dalam perang Badar. Ketika dia mendatangi Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah pengelihatanku, padahal aku mengimami shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka banjir selalu menggenangi lembah yang menghubungkanku dengan mereka, sehingga aku tidak dapat mendatangi masjid mereka, dan shalat bersama mereka Aku ingin engkau datang ke rumahku dan shalat di rumahku, sehingga aku menjadikannya (tempat itu) sebagai mushalla”. Mendengar hal itu Rasul bersabda: ‘Aku akan melakukannya, insya-Allah”. Kemudian berkata ‘Atban: ‘Keesokan harinya, Rasul bersama Abu Bakar datang, ketika menjelang tengah hari. Rasul meminta izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah, dan langsung menannya- kan: ‘Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?’. Dijawab: ‘Aku mengisyaratkan pada salah satu sudut rumah’. Rasulullah berdiri dan ber- takbir. Kami pun mengikutinya berdiri dan mengambil shaf (barisan shalat). Beliau melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman 170/175 atau Shahih Musim jilid 1 halaman 445/61/62).

    al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini dia menyatakan:

    “Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di rumahnya, ketika tidak dapat mendatangi masjid karena lembah digenangi air. Atas dasar itu ia meng- hendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di Rumah” (Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagaimana Barra’ bin ‘Azib melaku- kan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjama’ah. Ini termasuk hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat berjama’ah di rumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam. Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan pasti arah kiblat, karena Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 68-69).

    Jawabannya:

    Itu adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadits di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

    Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat jama’ah di rumah adalah ‘salah satu’ sebab, tetapi ‘bukan satu-satunya’ sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Atban sangat menghendaki tabarruk dari tempat shalat Rasulallah. Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu, Rasulallah langsung menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla, dirumahnya. Jika isu sekte wahabi di atas itu benar maka selayak-nya Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya tadi, mungkin di ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan pintu masuk. Dan kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasulallah tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw.. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasulallah saw. langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanya- kan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.

    Kedua: Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasulallah saw. kerumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk mem- peroleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasulallah lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasulallah, apalagi dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasulallah saw.. Dan dikarenakan Rasulallah hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai mana tekts hadits) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulallah adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasulallah hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.

    Ketiga: Perkiraan penulis madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah) yang ada, juga apa yang ia perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik dari apa yang dipahami oleh pribadi agung seperti Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Syarah Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani berkaitan dengan hadits tadi mengatakan:

    a. “Dalam hadits ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat dirumahnya dan Nabi pun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)

    b. Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)

    Keempat: Taruhlah benar –jika kita terpaksa ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis Wahabi tersebut– apa yang dinyatakan oleh penulis Wahabi yang berkaitan dengan hadits Rasul dari sahabat ‘Atban tadi, maka bagaimana menurut para pengikut Wahabi berkaitan dengan banyak riwayat lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti pada kasus yang dapat kita lihat diantaranya pada riwayat-riwayat berikut ini:

    a. Dari Anas bin Malik; Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang ke rumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasul) sebagai mushalla. Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).

    b. Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lantas berkata kepada Nabi: “Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat, lantas kami pun mengikutinya. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)

    Hadits-hadits diatas jelas menyatakan inginnya pengambilan barokah dari Rasulullah saw, pada tempat sholat mereka, tidak seperti hadits ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani. Hadits-hadits semacam itu (Hadits ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab para imam ter- kemuka lainnya.

    Lantas giliran kita kembali bertanya kepada pengikut sekte Wahabi: Apakah tujuan Shahabiyah Ummu Sulaim agar kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di rumahnya bersama Rasulallah sebagaimana tujuan sahabat ‘Atban yang telah meminta Nabi saw. shalat di rumahnya, untuk menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita lihat dalam fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) dari Rasulullah saw? Apakah paman sahabat Anas tadi yang tentunya pengelihatannya masih kuat juga bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan arah kiblat?

    Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah dari tempat shalat Nabi bahkan ingin menjelaskan kepada Rasulallah saw. akan ketidakhadirannya di shalat jama’ah Rasul, apakah tidak cukup sekedar memberitahu (meminta izin) Rasulallah akan penyebab ketidakhadirannya di masjid untuk melakukan shalat jama’ah karena adanya uzur atau terdapat kepentingan lain sehingga diketahui oleh Nabi? Mengapa mereka malah meminta Rasulallah saw. melakukan shalat di bagian tertentu dari rumahnya sehingga mereka nantinya juga akan shalat di tempat tersebut?

    Ada sebagian golongan Wahabi berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan, namun wilayah dan tempat bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga (tidak berpindah lokasinya) dan dapat dikenali oleh banyak orang. Ditempat-tempat bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jama’ah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentu- nya. Riwayat-riwayat semacam itu akan banyak kita dapati dalam buku-buku hadits terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan menyebutkan hadits-hadits atau bukti sejarah karena mengingat banyaknya halaman dibuku ini.

    Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

    “Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam untuk meng harap berkah dari Allah dari tempat tersebut, baik dari sisi berkah rizki mau pun menghindari fitnah maka ia akan diberi kebaikan yang banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk dengan cara menyentuh-nyentuh tanah, batu, pohon-pohonan yang ada di daerah tersebut atau meletakkan tanahnya di air untuk pengobatan atau semisalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa, bukan pahala. Karena ia telah melakukan tabarruk yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 42).

    Jawabannya:

    Untuk menjawab isu sekte Wahabi dalam masalah ini, mari kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

    Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para sahabat yang ter- golong Salaf Sholeh telah sering melakukan pengambilan berkah dengan mengusap-usap mimbar Rasulallah sembari berdo’a. Sahabat Ibnu Umar mengusap bekas tempat duduk Rasulallah di atas mimbar kemudian meng- usapkan kedua telapak tangannya ke raut mukanya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, termasuk Rasulallah saw. telah mengusap-usap kepala dan badan seseorang sembari mendo’akannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam usapan beliau saw. Karena jika tidak, maka do’a Rasul untuk kesembuhan mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap anggota tubuh seseorang?

    Apa tujuan Rasulallah saw. melakukan hal tersebut kalau bukan mem- berikan barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang diberikan kepada setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sekali riwayat-riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan beberapa dari riwayat tersebut sebagai contoh saja:

    a. Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menyatakan: “Sesungguhnya Nabi pernah membaca do’a perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan mengusap tangan kanannya sembari mengucapkan do’a: ‘Ya Allah, Tuhan manusia, jauhkanlah bencana (darinya). Sembuhkanlah ia, karena Engkau Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat yang tidak menyisakan penyakit…’ ” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)

    b. Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw. pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku serahkan panji (bendera perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan membuka (pertolongan-Nya) melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi) adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah beserta Rasul-Nya pun mencintainya”. Ia (perawi) berkata: “Akhirnya orang-orang begadang untuk menunggu siapakah gerangan yang akan di anugerahi panji tadi. Ketika pagi telah tiba, orang-orang mendatangi untuk mengharap dianugerahi kemuliaan tadi”. Perawi berkata: Rasul bersabda: ‘Dimanakah Ali bin Abi Thalib?’. Dijawab: ’Ada wahai Rasul. Ia sedang sakit mata’. Rasulallah bersabda: ‘Datangkanlah ia’! Lalu di datangkanlah Ali. Kemudian Rasulallah memberikan ludahnya ke mata Ali sembari mendo’a- kannya. Sembuhlah penyakitnya seakan tidak pernah mengalami sakit. Kemudian Rasulallah memberikan panji tersebut kepada Ali”. (Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 333; as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid 5 hal. 46/108; Musnad Abi Ya’la jilid 1 hal. 291; al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid 6 hal. 152 dan kitab Majma’ az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).

    c. As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasulallah dikeluhi oleh seseorang akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan tersebut pada jarinya sembari meletakkan jempol (tangan) beliau ke tanah, kemudian meng angkatnya dengan mengungkapkan: ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan debu tanah kami, dan dengan ludah sebagian dari kami, akan disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah’ ”. (Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati dalam hadits Sahih Bukhari jilid 7 hal. 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan sedikit perbedaan redaksi)

    Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanah Madinah memiliki keberkahan khusus dari Allah untuk kesembuhan penyakit. Itu semua berkat keberadaan Rasulallah saw. bersama para kekasih Allah , baik dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para manusia sholeh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh saja dari hadits-hadits Rasulallah saw. tersebut:

    a. Rasulallah bersabda: “Debu Madinah menjadi pengobat dari penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

    b. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah) menjadi penyembuh dari segala penyakit”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

    c. Rasulallah bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya tanahnya (Madinah) adalah pengaman dan penyembuh penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 hal. 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

    Jika tanah Madinah secara umum memiliki keberkahan semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasulallah saw. yang disitu jasad suci beliau saw. –makhluk Allah termulia dikebumikan? Lantas salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan ajaran (hadits) Rasulallah jika ada seseorang yang mengambil tanah Madinah untuk mengambil berkah darinya, baik untuk mengobati penyakitnya, atau sekedar disimpan untuk bertabarruk? Mana yang sesuai dengan ajaran Rasul; orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah, ataukah yang menyatakan bahwa bertabarruk terhadap tanah semacam itu tergolong bid’ah atau syirik, sebagaimana yang diaku oleh kelompok Wahabi?

    Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan beberapa kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian disakralkan oleh masyarakat muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat yang di muliakan oleh Allah swt. dengan anugerah khusus semacam itu. Sehingga di sakralkan oleh kaum muslimin, sesuai dengan apa yang diungkapkan melalui lisan suci Rasulullah saw. Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia, pembenci Syirik nomer wahid– menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah sebagai sarana (wasilah) pengobatan (tabarruk), apakah pengikut beliau dapat divonis bid’ah atau syirik ketika mengikuti ajaran dan saran beliau saw. tadi?

    Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah karena Rasulallah pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lalu bagaimana dengan Hajar Aswad, rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua Tsur yang semua adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan orang-orang yang mencintai junjungannya tersebut? Apakah ketika bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas divonis dengan bid’ah dan syirik, sebagai mana kita lihat perbuatan kelompok sekte Wahabi terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain? Mengapa kaum Wahabi melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’, ‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk bertabarruk, dengan alasan bid’ah dan syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari Rasulallah?, padahal banyak sekali contoh dari Rasulallah saw. dan salaf Sholeh !! Siapakah sekarang yang bid’ah, golongan muslimin yang mengikuti sunnah Rasulallah saw. atau golongan pengingkar ini ?

    Sayang, madzhab Salafi (baca.Wahabi) dan pengikutnya merasa paling benar dan paling mengerti dalam hukum syari’at. Semoga Allah swt. memberi hidayah kejalan yang benar kepada kaum muslimin. Amin

    Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

    Salaf Sholeh telah melarang pengambilan berkah dan penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas, ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah berkata: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? ‘Pergilah dan tulislah hadits’!. Dan sewaktu beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab: ‘Bertanyalah kepada ulama’!. Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’) beliau mengatakan: ‘Haram buatku berbicara tentang wara’, jika Byisr hidup niscaya ia akan menjawabnya’. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas, lantas menjawab: ‘Pergilah kepada orang-orang zuhud ! Kami memiliki apa sehingga kalian datang kepada kami?’. Suatu saat seseorang datang kepada nya dan mengusapkan tangannya ke bajunya dan kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkari hal tersebut dengan keras sembari berkata: ‘Dari siapa engkau mengambil perkara semacam ini’ (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 86).

    Jawabannya:

    Untuk menjawab isu penulis madzhab Salafi/Wahabi di atas, hendaknya kita perhatikan beberapa poin di bawah ini:

    Terbukti bahwa ternyata penulis Wahabi tadi memahami sesuatu hal yang berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam madzhab tadi dalam mengingkari tabarruk orang-orang terhadap dirinya, bukan berarti pengingkaran mereka terhadap keyakinan tabarruk itu sendiri. Harus dibeda- kan antara mereka melarang orang bertabarruk kepada dirinya, dengan dari semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa, para imam madzhab itu sendiri telah melakukan tabarruk.

    Dan apa yang disunting oleh penulis Wahabi tadi tidak lain adalah tergolong sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’) para imam madzhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dimana kita tahu bahwa ‘tawadhu’’ me- rupakan salah satu bentuk dan sikap nyata dari setiap ulama yang sholeh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menvonis orang yang ber- tabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran sebagaimana yang dilakukan oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dari sisi metode (manhaj) dan pola pikir, serta sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama madzhab tahu bahwa tabarruk bukan ter- golong prilaku syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk pengkafiran, seperti yang dilakukan sekte Wahabi. Dengan bukti lain bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah kita singgung di urutan artikel tabarruk sebelumnya telah melakukan tabarruk terhadap para ulama dan manusia sholeh yang hidup sezaman atau sebelum mereka. Bahkan sebagian mereka telah bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia sholeh.

    Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai sikap tawadhu’ beliau, bahkan diartikan dengan sebenarnya, maka ungkapan beliau seperti: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah dan tulislah hadits’! atau ungkapan beliau; ‘Bertanyalah kepada ulama’, meniscayakan bahwa kita (kaum muslimin, juga pengikut sekte Wahabi) tidak perlu menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rujukan, karena beliau bukan ulama. Namun terbukti bahwa, ternyata kelompok Wahabi pun yang selama ini ‘mengaku’ (konon) menjadikan Imam Ahmad sebagai panutannya, justru tidak konsisten terhadap ungkapan Imam Ahmad tadi. Lalu mana konsistensi kelompok Wahabi dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?

    Bila kita toleransi lagi dengan sekte Wahabi dan membenarkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad bin Hanbal melarang orang bertabarruk dengan pribadi orang, maka larangan Imam Ahmad itu pun terbantah dengan banyak hadits shohih yang telah kami kemukakan diatas yang melegalkan Tabarruk, termasuk Imam Ahmad sendiri ikut meriwayatkannya. Jadi yang benar ialah Imam Ahmad tidak mengharamkan Tabarruk tetapi yang melarang Tabarruk itu ialah imam dari sekte Wahabi dan pengikutnya itu sendiri dengan meng- atas namakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah !

    Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh golongan pengingkar dalam menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan prilaku tabarruk atau tawassul Mereka tidak memiliki argumen apa pun berkaitan dengan hadits, riwayat, maupun bukti sejarah, apalagi al-Quran yang membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah maupun syirik!!

    Dari sini jelas sekali bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan kesakralan khusus kepada beberapa obyek tertentu dari makhluk-Nya agar manusia menjadikannya sebagai sarana tabarruk atau tawassul. Dan terbukti bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah saw. bukan hanya tidak melarang, bahkan beliau sendiri telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan tabarruk dari obyek-obyek sakral tadi. Dan ajaran itu berjalan terus dari generasi ke generasi hingga kita sekarang ini.

    Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan tabarruk, namun dari seri kajian tabarruk ini pun kita juga telah bisa menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai pada berbagai bentuk, seperti:

    1- Tempat; seperti; Kota Madinah, Arafah, Muzdalifah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang sholeh…dsb.nya

    2- Benda; seperti; Mushaf Al-Quran, semua penginggalan Nabi, Sahabat, Ulama dan manusia sholeh lainnya…dsb.nya

    3- Orang/pribadi agung; seperti; mengenang manusia-manusia mulia dari para nabi, syuhada’, shalihin berkaitan dengan zaman kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah hidup mereka…dan sebagainya. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca berbagai bentuk shalawat dan puji-pujian untuk Rasul, seperti tercantum didalam kitab-kitab Maulid Diba’, Burdah, Barzanji, Shalawat Badr…dan sebagainya.

    4- Waktu; seperti; waktu-waktu yang disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang berkaitan dengan momen khusus kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu kaum muslimin memperingati acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, Nuzulul Quran…dan sebagainya. Wallahu A’lam.

    Dengan contoh riwayat-riwayat diatas ini cukup bagi kita bahwa tabarruk atau tawassul itu mustahab/baik malah menjadikan do’a dan amalan kita lebih cepat diterima oleh Allah swt. Orang-orang yang mengingkari atau menyesatkan amalan tersebut tabarrruk, tawassul merekalah yang membuat bid’ah yang menyembunyikan hadits-hadits shohih atau memutar- balik maknanya tentang perbuatan-perbuatan sahabat baik dizaman hidup- nya Rasulallah saw atau sesudah wafatnya atau perbuatan para salaf yang telah kami kemukakan dibuku ini.

    Perbuatan-perbuatan para sahabat mengenai tabarruk, tawassul pada waktu beliau saw. masih hidup tidak ditegur atau dilarang oleh Nabi malah diridhai oleh beliau saw. Begitu juga perbuatan para sahabat dan istri Nabi saw. setelah wafatnya beliau saw. juga tidak ada sahabat lainnya yang mencela,  mensyirikkan perbuatan mereka. Demikian pula perbuatan antara para ulama pakar yang telah kami kemukakan juga ! Renungkanlah!

    Memang golongan pengingkar ini tidak bisa membedakan antara tabarruk, tawassul, ta’dzim dengan penyembahan atau pengkultusan. Dengan peng- haraman, pensyirikan mereka tentang masalah ini, seakan-akan mereka ini merasa lebih pandai, taqwa dan lebih mengetahui syari’at Islam dibanding- kan dengan Rasulallah saw., para kerabat, para sahabatnya serta para ulama pakar yang melakukan tawassul, tabarruk , ta’dzim dan sebagainya ! Saya berlindung pada Allah dalam hal ini.

    Begitu juga tidak ada terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu tersebut atau menyembah hajar aswad karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah kuburan karena berdiri khidmat dihadapan kuburan atau mencium kuburan itu. Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi karena Ka’bah, Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan hancurlah keimanan dan ke Islamannya.

    Jadi yang penting semuanya disini adalah keyakinan atau niat dalam hati, karena semua amal itu tergantung pada niatnya Apa salahnya bila orang ingin mencium, mengusap kuburan Rasulallah saw.atau para ahli taqwa lainnya, selama niat orang tersebut hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan sebagai penyembahan ?

    Memang golongan pengingkar selalu mengarang-ngarang, menafsir, menyangka perbuatan seseorang seenaknya saja karena tidak sepaham dengan pendapatnya, seakan-akan mereka tahu niat didalam hati setiap orang.

    Insya Allah dengan keterangan sederhana dan dalil-dalil mengenai tawassul, tabarruk yang cukup jelas ini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui amalan mana yang diridhoi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semoga hidayah dan taufiq dari Allah swt., selalu dilimpahkan pada kaum muslimin. Amin. Insya Allah dengan adanya kutipan ini bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin lainnya dan kita semua bisa melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi-Nya, sehingga kita tidak mudah mencela kaum muslimin yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu tersebut mengusap-usap, mencium dan sebagainya bekas-bekas para Nabi, wali…. yang telah kami kutip dan kumpulkansebagai perbuatan syirik, munkar atau sesat dan sebagainya ! Wallahu a’lam.

    Sebagian besar isi dari bab Tawassul/Tabarruk ini kami kutip dan kumpulkan dari kitab: Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh Almarhum H.M.H Al-Hamid Al-Husaini dan kitab-kitab lainnya serta dari situs Salafy Indonesia sebagai penulis Sastro H.

    Buku baru yang berjudul Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/ Wahabi belum beredar merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung hubungi toko-toko di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia.

    Bab 8. Maulidin Nabi saw.serta mengagungkan Nabi saw, syair nabi

    Maulidin Nabi saw.serta mengagungkan Nabi saw

    Daftar isi Bab 8 ini diantaranya:
  • Keterangan singkat mengenai peringatan Maulidin Nabi saw.
  • Cara-cara memperingati hari-hari Allah
  • Nama-nama kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
  • Dalil-dalil dan manfaat yang berkaitan dengan peringatan Maulidin Nabi saw.
  • Pendapat para Ulama dan tokoh cendekiawan Muslim
  • Masalah berdiri waktu pembacaan Maulid
  • Sekelumit Makalah
  • Sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Rasulallah saw.
  • Mengagungkan Nabi Muhammad saw.
  • Syair-syair untuk Nabi saw. dari para sahabat
  • Mencampur aduk antara Ta’dim/pengagungan dan Ibadah
  • Rasulallah saw.bukan manusia biasa tapi manusia sempurna/Kaamil

  • Setelah kita membaca dalil-dalil diperbolehkannya tawassul/tabarruk kepada Nabi saw., para sahabat dan kaum sholihin, marilah kita sekarang meneliti makna dan hikmah peringatan maulidin Nabi saw. (peringatan kelahiran Nabi saw.) dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Menurut riwayat pertama kali yang mengadakan acara peringatan-peringatan hari kelahiran dan kewafatan adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya.

    Golongan pengingkar ada yang mengatakanmenurut riwayat sejarahawal mula peringatan maulidin Nabi saw. diadakan oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang itu kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at Islam maka dibolehkan dan malah di anjurkan oleh Islam untuk mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian melihat siapa yang berbicara tapi dengar- kan apa yang dibicarakan’.

    Jadi walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya bila hal itu bermanfaat bagi masyarakat. Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari jalan macam-macam untuk menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan sesuatu amalan tersebut.

    Riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal lahir beliau saw. tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi saw. dan para sahabat. Peringatan maulid ini diselenggarakan oleh muslimin yang terdiri baik dari kaum ulama mau pun kaum awam seluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq, Indonesia, Malaysia, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan, India serta dinegara-negara barat dan lain sebagainya.

    Di Saudi Arabia walaupun disini tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut. Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia dan sering menghadiri peringatan maulid disana.

    Malah sekarang yaitu di Madinah setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya Amirul Mukminin Ali kw. yang diajarkan pada Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.

    Penulis sendiri, waktu naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksi- kan hal tersebut serta memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut. Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang ada- nya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal ter- sebut, maka mereka tidak bisa melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan berkumpul bersama untuk membaca dzikir.

    Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa ke hidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/ bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi saw. Sebab masa hidup beliau saw. dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para ulama pakar untuk mengumpulkan orang guna memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut.

    Allah swt. berfirman: “ ’Isa putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turun- kanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”. (QS. Al-Maidah [5] :114)

    Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka. Bagi ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini. Mengapa golongan pengingkar selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari maulid beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?

    Allah swt.. berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. ” (QS. Ibrahim [14] : 5)

    Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat itu ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Ummat nabi Musa disuruh oleh Allah swt. untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu baik itu yang berupa nikmat atau berupa adzab dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan maulid itu kita selalu di ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulallah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul ! Mengapa justru golongan pengingkar melarang dan membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari kelahiran Rasulallah saw.?

    Lupa adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata : Summiyal-Insan liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63 terdapat isyarat bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan: ‘Tidak ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.

    Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila orang telah di ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.

    Bahkan para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhammad saw disebut juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.

    Dengan keterangan singkat diatas jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai yang akan men- jerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati kelahiran para Nabi dan Rasul.

    Cara-cara memperingati hari-hari Allah

    Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetap- kan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah ataupun secara individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal mem- peringati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara berjama’ah.

    Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikah an, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja tanpa makna.

    Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memper- ingati   Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).

    Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat berkumpul untuk mem- peringati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“. (Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).

    Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat hadits lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian yang didendang- kan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar. Peringatan demikian itu di lakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan hari bersejarah lain nya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam.

    Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar [ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan ‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini. Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu lengkapnya sebagai berikut:

    “Pada suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Abubakar, masing-masing kaum mem- punyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’ “. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).

    Yang dimaksud dalam hadits kata hari raya kita ialah hari terlimpahnya nikmat Allah swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu Bukhori dan Muslim memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.

    Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku. Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw. segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.

    Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw. sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata : ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!

    Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab (tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.

    Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan: “Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw. merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.

    Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang bermain-main itu Rasulallah saw. ber- sabda: ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus ber- main hingga merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah’ “!.

    Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!

    Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits tersebut diatas ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar diketahui oleh segenap kaum muslimin.

    Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa Rasulallah saw. mem- benarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau peringat an-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) teriring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan hari besar bersejarah itu.

    Beliau saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.

    Dalam shohih Muslim halaman 168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin? Beliau saw. menjawab: “Pada hari ituyakni hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena men- cakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw. sendiri berpuasa setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita sebagai ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?

    Pernyataan beliau saw. itu bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai ke absahan peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw. yang meng- hubungkan hari kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang perlu diperingati sewaktu-waktu.

    Begitu juga Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’us-Shriathil-Mustaqim, mengata- kan: “Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu’min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh orang lain”.

    Soal bentuk dan cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan per- kembangan masyarakat setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat, asal- kan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:

    Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat terbang dan sebagainya.

    Pembacaan Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.

    Cara pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun do’a.

    Dalam hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.

    Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali dalil dapat kita ketemukan.

    Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamal- kan dengan cara bagaimana pun selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi’i menegas kan: Hal ihwal baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau ijma’ atau hadits (atsar), itu adalah bid’ah dhalalah (bid’ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-‘Izz bin ‘Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i.

    Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi saw. untuk diamalkannya. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam) bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah ada lah mubah atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits-hadits shahih) yang mengharamkan masalah itu’. Untuk lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa yang dimaksud Bid’ah dalam hadits Rasulallah saw. pada bab “Bid’ah yang dipermasalahan” di buku ini, dengan demikian kita bisa menilai sendiri mana yang disebut bid’ah dholalah / sesat dan bid’ah yang dibolehkan oleh syari’at.

    Nama kitab-kitab yang menulis riwayat hidup Rasulallah saw.

    Menurut riwayat pada malam Rasulallah saw. dilahirkan tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan. Peristiwa yang tertulis didalam hadits ter- masuklah getaran yang dirasakan di istana ‘Chosroes’ dan padamnya api yang telah menyala selama 1000 tahun di Persi dan beberapa peristiwa lain yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya jilid 2 halaman 265-268.

    Dalam kitab al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 halaman 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah swt.) telah mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu diutus-Nya Nabi saw. untuk menyampaikan Islam”.

    Sering kita baca atau dengar didalam peringatan maulidin Nabi saw. orang-orang membaca kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para ulama pakar setelah zaman Nabi saw dan para sahabat. yang dikitab-kitab itu di ceriterakan riwayat tentang kelahiran Nabi saw., keutamaan, kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Kami akan mengutip beberapa saja nama ulama dan kitab maulid mereka berikut ini:

    Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun dikemukakan bahwa orang pertama yang menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw.) ialah Muhammad bin Ishaq terkenal dengan nama Ibnu Ishaq wafat pada tahun 151 H (pada zaman tabi’in). Dengan indah dan cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah.

    Dapat dipastikan masa hidupnya Muhammad bin Ishaq ini pada zaman yang menurut sejarah Islam disebut zaman kaum Tabi’in. Karenanya dapatlah di simpulkan, bahwa semua yang ditulis dan diterangkan olehnya berasal dari orang-orang yang menyaksikan sendiri kehidupan para sahabat Nabi saw.. Hasil penulisannya kemudian diteruskan pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213 H. Ia menulis riwayat tentang perilaku ke hidupan Nabi saw., dan berhasil menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama riwayat kehidupan Nabi saw. Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. atau oleh para sahabat terdekat beliau saw.. Meski pun demikian ternyata buah karyanya beroleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para ulama dan para pemuka masyarakat Islam. Tidak lain semuanya ini bertujuan memelihara dan me lestarikan data sejarah kehidupan Nabi saw.

    Adapun orang pertama yang menulis kitab maulid Nabi dan kemudian dibaca didepan umum dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa daulat ‘Abassiyah, adalah Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi wafat tahun 207 H . Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat Nabi saw. mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat maulid Nabi saw.. Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak dibaca didalam per- guruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka.

    Allamah Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari Daril-Mushtofa mengatakan bahwa Siti Khaizuran, bunda Musa Amirul Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke Madinah, lalu menyuruh penduduk menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di dalam masjid Nabawi.

    Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam madzhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan; “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah timbulnya perasaan tenteram disamping kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing, seperti mengeluar- kan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka juga memper- ingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.

    Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan amalan yang mendatangkan pahala.

    Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki wafat tahun 756 Hmenulis kitab khusus tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan, barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta keagungan maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.

    Imam Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar Al-Haitsami As-Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i wafat tahun 973 Hmenulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw. sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan.

    Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy wafat tahun 716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad saw., ke agungan yang tidak ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul dirumahnya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.

    Dalam kitab Insanul-‘Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin Burhanuddin Al-Halabi mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi saw., memang merupakan bid’ah hasanah/baik, bid’ah mahmudah/terpuji, sama sekali bukan bid’ah dholalah atau bid’ah madzmumah/tercela atau munkarah (bid’ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan shalat tarawih berjama’ah sebagai bid’ah hasanah. Dengan demikian maka orang yang berdiri sebagai tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi saw. disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.

    Ibnu Bathuthah dalam buku catatan pengembaraannya menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk dan cara memperingati maulid Nabi saw. yang dilakukan oleh Sultan Tunisia, Amirul Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sultan ini pada hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan umum dan terbuka dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan-minum secukup nya. Untuk itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas). Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab. Ia menyebut berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.

    Sultan Ibril, Mudzaffar wafat tahun 620 H semasa hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua bulan sebelum bulan Rabi’ul-awwal, ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala kegiatan guna memeriahkan peringatan maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam yang datang ke Ibril untuk menghadiri peringatan maulid Nabi Muhammad saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan dengan datangnya hari yang mulia itu. Konon biaya yang dihabiskan untuk keperluan peringatan maulid seperti itu tidak kurang dari dua ratus ribu dinar tiap tahun. Demikian juga menurut pengembara yang lain lagi, Ibnu Khalkan. Dalam sebuah buku yang ditulisnya ia mengetengahkan keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.

    Untuk menyingkat halaman dibuku, kami hanya kutip nama para ulama lainnya yang menulis kitab maulid Nabi saw. ialah: Imam Al-Hafidz Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar wafat tahun 973 H; Imam Abul-Khattab ‘Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia menulis kitab maulid; Imam Al-Hafidz Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya Al-Arus terkenal dengan nama Kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya pada tahun 590 H ; Allamah Imam Yusuf An-Nabhani ; Imam Jamaluddin As-Sayuti ; Imam Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H ; Imam Al-Hafidz Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy wafat tahun 346 H kitab maulidnya terkenal dengan nama Kitab Maulid Al-Mas’udi.;

    Imam Ash-Shalih As-Sayyid Al-Bakri dikenal dengan kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri ; Imam Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi wafat tahun 1033 H nama kitab maulidnya Kitab Maulid Al-Maqdisi Al-Hanbali ; Allamah ‘Utsman bin Sind wafat tahun 205 H menulis kitab maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah saw.; Syeikh Hasan Asy-Syathi wafat tahun 1274 H dan Al-‘Allamah Abus-Surur Asy-Sya’rawi wafat tahun 1136 H kedua-duanya telah menulis kitab maulid. Seorang ulama ahli tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani Al-Manawi menulis kitab maulid terkenal sangat indah; Al-‘Allamah Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha, pemimpin majalah Al-Manar telah menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir. Selain ulama masa lampau pada zaman-zaman berikutnya hingga zaman kita sekarang ini masih tetap banyak ulama yang menulis kitab-kitab maulid Nabi Muhammad saw.. Diantaranya: As-Sayyid Muhammad Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang ditekankan (sunnah mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik. Dan masih banyak lagi nama-nama para ulama yang menulis kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum disini.

    Insya Allah para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan Maulid ini sudah ratusan tahun yang lalu dikenal dan dijalankan oleh para ulama dan para Salaf dan Khalaf. Peringatan-peringatan maulid Nabi sudah biasa juga diadakan oleh raja-raja serta sultan-sultan di Turki, Mesir, Iraq, India dan diberbagai negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan cara dan dalam bentuk yang berbeda-beda variasi, sesuai dengan adat ke biasaan setempat.

    Dengan adanya keterangan singkat diatas ini saja kita bisa bertanya: Mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan, mensesatkan, men- syirikkan dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang mulia ini tanpa berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa Nabi saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya? Apakah para ulama pakar yang telah dikemukakan diatas itu tidak mengerti hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang mengerti?

    Dalil-dalil dan hikmah yang berkaitan dan mengarah kebolehan peringatan Maulid

    Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah, untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:

    قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

    Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai kamu”.( Surat Aal-Imran : 31).

    Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah bersabda:

    لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَ النَّاسِ اجْمَعِيْنَ.

    “Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya.”

    Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi saw. bersabda; “Tidak sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu sendiri.” Umar bin Khattab ra berkata; “Ya Rasulallah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.

    Mari kita rujuk lagi firman Allah swt. berikut ini:

    لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأوْلِى الألْبَابِ

    Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul) terdapat  pelajaran bagi orang-orang yang berakal”. ( S.Yusuf :111).

    Dan firman-Nya:

    وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَك

    “Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu “. ( S. Hud : 120 )

    Firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (S. Al-Hajj : 32)

    Firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. ( Al-Haj : 30)

    Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat para Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as. dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa, bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidup- an, kemuliaan/kedudukan para Rasul ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan memperteguh iman dalam hati.

    Jadi kalau kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!

    Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang ber- taqwa adalah orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan orang yang mengagungkan apa yang mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan ke-Rasul-annya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang ter- besar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.

    Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruh- nya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.

    Didalam majlis maulid ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana semuanya ini  sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :

    إنَّ اللهَ َمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي

    Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi” (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah Tuhan,

    يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

    ” Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya “.

    Arti shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggi- kan dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.

    Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah ! Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan para sahabat.

    Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita sebagaimana Firman-Nya:

    وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ

    “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat : 55)

    Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:

    اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ

    “Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (S. Hud : 114)

    Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat kebaikan. Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits diatas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan dan ke imanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep di hati kita bila selalu di ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!

    Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim

       Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut: “Memang ada sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak membenarkan adanya peringatan-peringatan ke agamaan dalam bentuk apa pun juga dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syari’at.

    Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah ceramah dan pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam mas media. Peringatan akan dapat mengingat- kan kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman sebagai berikut:

    وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ

    “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat : 55)

    Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.

    Mulai dari bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.

       Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang sebagai suatu peristiwa terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh dunia.

    Ada pun mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara yang mengakui Islam sebagai agama resmi.

       Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir, gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islamy menerangkan antara lain sebagai berikut: “Perayaan peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.

    Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka (yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan–pen) ialah mengenai pengertian atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah. Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.

    Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan lain adalah bid’ah yang di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah ” (Asy-Syura:21)

    Jadi bid’ah yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok–pen) didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan keagamaan lainnya”.

        Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang peringatan maulid Nabi saw. “Setelah abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keada- an lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.

    Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang Quraish–pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku tersebut:

    ‘Ketika beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu pihak, melawan orang orang  dari Bani Hawazin. Konon waktu itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’ ”!

      Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw. yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam”.

        As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawy, dikerajaan Arab Saudi yang berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada golongan Salafi/Wahabi sebagaimana kebiasaannya berani meng- kafirkan seorang ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad al-Maliki ini karena tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami di masukkan kegolongan yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan beriman kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Amin–pen.).

    Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam, makalahnya Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia) tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penya’ir Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama dan para penya’ir Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983, yang terbit di Makkah.

    Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw. dalam makalahnya itu antara lain: Sebenarnya sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita. Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun, sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya berusaha memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan mengenai jaiz atau bolehnya penyelenggaraannya.

    Lebih baik saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw. seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyata- kan pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna menyemarakkan/menggembirakan kaum muslimin, semua- nya itu boleh/jaiz, tidak dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau saw. adalah  lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.

    Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk mem- peringati Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wah- kan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan itupun para ulama dapat meng- ingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguh nya beliau itu, bagaimana keagungan dan keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw. sehari-hari, bergaul dengan para sahabat- nya, bagaimana beliau menunaikan ibadah kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.

    Dalil-dalil jaiz/bolehnya perayaan dan peringatan maulid, sebagai berikut :

    Peringatan maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan mereka Rasulallah saw. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu Lahab, misalnya. Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari Senin Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah, sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!

    (Begitu juga Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan bertauhid?–pen.)”.

    Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:

    ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ

    ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”.    (HR Muslim dalam shahihnya).

    Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuan- nya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.

    Pernyataan senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupa- kan tuntunan Al-Qur’an. Allah berfirman:

    قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ  فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا

    “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’ “.    (S.Yunus: 58)

    Allah swt. memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam.

    Dan firman-Nya :

    وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ

    “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (Al-Anbiya:107)

    Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa terjadinya peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya, menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, setiba Rasul-Alah di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu, dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw. menjawab:

    نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

    ‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.

    Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada per- orangan (individu) yang memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’.

    Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf ( terdahulu) dan yang belum pernah terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’. Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin  adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram. Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya (niatnya).

    Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:

    “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendak lah kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Al-Ahzab : 56)

    Betapa banyak pahala kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari umatnya yang ber- shalawat kepada beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau, mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan berbagai segi kemuliaan beliau. Bukan- kah kita diharuskan mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan mem- benarkannya? Dikitab-kitab maulid banyak memaparkan semuanya itu.

    Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih menyempurnakan keimanan kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah kecintaan kita dan lebih menyempurna- kan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman:  “Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)

    Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.. Pada umumnya semua ulama dan kaum muslimin ber- pendapat tidak ada cara tertentu atau cara khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang ber- manfaat bagi mereka didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyata- kan pujian-pujian dengan menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya, perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.

    Masalah Berdiri waktu  Pembacaan Maulid.

    Mengenai soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Sepanjang pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.

    Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk lagi bahwa mereka beranggapan kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini termasuk ‘kekurang- ajaran’ terhadap kedudukan Rasulallah saw.

    Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan seperti itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran  dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw., orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..

    Imam Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’ adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya. Salman Al-Farisy (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut keinginannya”. Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’ yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.

    ( Lihat dua hadits terakhir diatas ini kalau ruh seorang mu’min biasa saja bisa bepergian kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw. itu semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang di berikan Allah swt. terhadap hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra : 85)..pen–.)

    Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama sekali tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya ( yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt. Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri , kawasan dan daerah. Para ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.

    Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanjiy. Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw. dengan segenap pikiran dan perasaannya”.

    Dalam sebuah pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri diatas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.) karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau d sebut, bahkan beliau mendekatinya’.

    Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah Rosyidun yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan mereka itu mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang men- sunnahkan berdiri.

    Syeikh Al-Barzanjiy berkata: ‘Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi (dzihn). Mem- bayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish. Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada beliau saw. yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak melanggar ketentuan syari’at ‘.

    Memang benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.

    Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah. Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara khusus menolak pendapat Imam Nawawi  dengan menulis bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.

    Sebuah hadits Muttafaq ‘alaih meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat pemimpin kalian’. Yang dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka di suruh berdiri untuk menolong Sa’ad tu