ALLAH ADA TANPA TEMPAT; [Membongkar Aqidah Sesat Wahhabi Yang Sering Berbohong Besar Atas Nama Imam Abu Hanifah]

ALLAH ADA TANPA TEMPAT; [Membongkar Aqidah Sesat Wahhabi Yang Sering Berbohong Besar Atas Nama Imam Abu Hanifah]

Suatu ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna “Istawa”, beliau menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad)..

Di sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan kedustaan persis seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya, kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari pernyataan Al-Imam Abu Hanifah…
bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di atas langit serta di atas segala tempat, …
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, –di mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia–,…
Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri; Ibn Taimiyah).
Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Apa yang ditulis oleh Ibn al-Qayyim dalam untaian bait-bait syair di atas tidak lain hanya untuk mempropagandakan akidah tasybih yang ia yakininya. Ia sama persis dengan gurunya sendiri, memiliki keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Pernyataan Ibn al-Qayyim bahwa keyakinan tersebut adalah akidah al-Imam Abu Hanifah adalah kebohongan belaka. Kita meyakini sepenuhnya bahwa Abu Hanifah adalah seorang ahli tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada tempat atau arsy, karena arsy adalah makhluk Allah sendiri. Mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.

Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).

Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.

Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).

Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Asy-Syaikh ‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:

“Ada sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”, dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata: “Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit. Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.
Kita jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 197-198).

Asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai berikut:

Pertama: Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar, tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.

Kedua: Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’). Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia yakini.

Ketiga: Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah. Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah. Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).

Kemudian dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 108).

Dengan demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.

Orang pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri. Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua, yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 409).

Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).

Dan Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?! Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.

Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia (Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32).

Kemudian al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad, tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.

(Masalah): Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari al-Imam Abu Hanifah.

(Jawab): Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah…” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah…” ini diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah…” menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).

Namun hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan beliau berikut ini:

“Sebagian sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah: “Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya) tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 400).

Pada halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).

Pada bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Juga mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).

Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata, tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al Hamdu Lillah Rabb al-Alamin.

2 Responses

  1. Saya pingin tanya ustadz.., kalo demikian Allah juga berarti tidak punya ilmu dong, kan makhluk juga punya ilmu???

    Jawaban admin :
    ba’da tahmid dan shalalwat
    dalam mensifati sifat Allah SWT, maka kita menggunakan qaidah sifat 41.
    maka jika dalam suatu ayat / hadis tidak terdapat dalam 41 sifat tersebut (ayat/hadis mutasyabihat) maka kita memaknai sifat tersebut dengan :

    Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.

    Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.

    Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:
    Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah).

    adapun sifat 41 terdiri dari :
    a) 20 sifat wajib (Allah wujud, qidam, baqa, mukhalafatuhu lilhawaditsi, qiyamuhu binafsihi, qudrat, iradat, ILMUN, hayat, sama’, basyar etc)
    b) 20 sifat mustahil (kebalikan dari sifat wajib 20: mustahil Allah tidak wujud , mustahil Allah tidak qidam etc)
    c) 1 sifat yang boleh/jaiz bagi Allah yaitu Allah boleh menciptakan sesuatu atau Allah boleh memusnahkan sesuatu.

    maka jawaban pertanyaan anda: sifat ilmu adalah termasuk 20 sifat wajib bagi Allah yaitu ILMUN (artinya meiliki ilmu)
    maka kita boleh memaknainya langsung tanpa mentakwil yaitu Allah memiliki ilmu tapi ilmu yang dimilikiNYA tidak sama dengan makhluq (ilmu Allah maha luas, Allah tidak perlu/berhajat pada belajar/berexperiment dsb)

  2. Ass WW.

    Mohon disebutkan mana Ayat Alquran atau hadist yang menyatakan adanya sifat 20 itu.
    Terima kasih

    jawab :
    silahkan lihat :
    http://www.al-azim.com/masjid/infoislam/tauhid/sifat20.htm

    Adalah sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t. yang wajib bagi Allah yang wajib diketahui dengan tafsil ( satu persatu ) iaitu 20 sifat :

    1. Wujud : Ertinya Ada

    Iaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang menepati antara ada dengan tiada) .

    Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , kerana wujud itu zat maujud kerana tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahawa wujudnya Allah s.w.t. bukan sahaja di sisi agama Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada.

    Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
    ” Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang menjadikan langit dan bumi nescaya berkata mereka itu Allah yang menjadikan……………”
    ( Surah Luqman : Ayat 25 )

    2. Qidam : Ertinya Sedia

    Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah s.w.t kerana Allah s.w.t. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah s.w.t. bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama maknanya dengan Qadim iaitu Azali. Setengah ulama menyatakan bahawa kedua-dua perkataan ini sama maknanya iaitu sesuatu yang tiada permulaan baginya. Maka qadim itu khas dan azali itu am. Dan bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh sebaliknya, iaitu tiap-tiap azali tidak boleh disebut qadim. Adalah qadim dengan nisbah kepada nama terbahagi kepada empat bahagian :

    1 ) Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta’ala )
    2 ) Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta’ala )
    3 ) Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu seperti terdahulu bapa nisbah kepada anak )
    4 ) Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-kurangnya satu tahun )

    Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak harus dikatakan lain daripada Allah Ta’ala.

    3. Baqa’ : Ertinya Kekal

    Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah s.w.t . Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ).

    Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. Segala jisim semuanya binasa melainkan ‘ajbu Az-zanabi ( tulang kecil seperti biji sawi letaknya di tungking manusia, itulah benih anak Adam ketika bangkit daripada kubur kelak ). Jasad semua nabi-nabi dan jasad orang-orang syahid berjihad Fi Sabilillah yang mana ianya adalah kekal aradhi jua. Disini nyatalah perkara yang diiktibarkan permulaan dan kesudahan itu terbahagi kepada tiga bahagian :

    1) Tiada permulaan dan tiada kesudahan iaitu zat dan sifat Alllah s.w.t.
    2) Ada permulaan tetapi tiada kesudahan iaitu seperti Arash , Luh Mahfuz , syurga dan lain-lain lagi.
    3) Ada permulaan dan ada kesudahan iaitu segala makhluk yang lain daripada perkara yang diatas tadi ( Kedua ).

    4. Mukhalafatuhu Ta’ala Lilhawadith. Ertinya : Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

    Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telah
    ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya.
    Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada ber-
    tempat dan tiada dalam masa. Dan sesungguhnya sifat Allah Ta’ala itu tiada bersamaan dengan sifat yang baharu kerana sifat Allah Ta’ala itu qadim lagi azali dan melengkapi ta’aluqnya. Sifat Sama’ ( Maha Mendengar ) bagi Allah Ta’ala berta’aluq ia pada segala maujudat tetapi bagi mendengar pada makhluk hanya pada suara sahaja. Sesungguhnya di dalam Al-Quraan dan Al-Hadith yang menyebut muka dan tangan Allah s.w.t. , maka perkataan itu hendaklah kita iktiqadkan thabit ( tetap ) secara yang layak dengan Allah Ta’ala Yang Maha Suci daripada berjisim dan Maha Suci Allah Ta’ala bersifat
    dengan segala sifat yang baharu.

    5. Qiamuhu Ta’ala Binafsihi : Ertinya : Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya .

    Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak
    berkehendak kepada yang menjadikannya
    Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan Allah s.w.t. berkehendak
    kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya.
    Allah s.w.t itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama ada
    pada perbuatannya atau hukumannya.
    Allah s.w.t menjadikan tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-
    undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali kepada
    sekalian makhluk .
    Allah s.w.t menjadikan sesuatu ( segala makhluk ) adalah kerana
    kelebihan dan belas kasihannya bukan berhajat kepada faedah.
    Allah s.w.t. Maha Terkaya daripada mengambil apa-apa manafaat
    di atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali menjadi
    mudharat kepada Allah Ta’ala atas sebab kemaksiatan dan kemung-
    karan hamba-hambanya.
    Apa yang diperintahkan atau ditegah pada hamba-hambanya adalah
    perkara yang kembali faedah dan manafaatnya kepada hamba-hamba-
    nya jua.

    Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
    ” Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka pahalanya
    itu pada dirinya jua dan barangsiapa berbuat jahat maka bala-
    sannya ( seksaannya ) itu tertanggung ke atas dirinya jua “.
    ( Surah Fussilat : Ayat 46 )

    Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat itu dengan
    nisbah berkehendak kepada tempat dan kepada yang menjadikannya ,
    terbahagi kepada empat bahagian :
    1) Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang menjadi-
    kannya iaitu zat Allah s.w.t.
    2) Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang men-
    jadikannya iaitu segala aradh ( segala sifat yang baharu ).
    3) Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi berkehendak
    kepada yang menjadikannya iaitu segala jirim. ( Segala zat yang baharu ) .
    4) Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia pada zat
    iaitu sifat Allah Ta’ala.

    6. Al – Wahdaniyyah.
    Ertinya : Esa Allah Ta’ala pada zat , pada sifat dan pada perbuatan.

    Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat , pada
    sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil ( yang ber-
    hubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ).
    Makna Esa Allah s.w.t. pada zat itu iaitu menafikan Kam Muttasil pada
    Zat ( menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat
    Allah Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain.
    Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang ber-
    cerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat
    Allah Ta’ala.

    Makna Esa Allah s.w.t pada sifat iaitu menafikan Kam muttasil pada
    Sifat ( menafikan bilangan yang berhubung pada sifatnya ) iaitu tidak
    sekali-kali bagi Allah Ta’ala pada satu-satu jenis sifatnya dua qudrat
    dan menafikan Kam Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –
    bilangan yang bercerai pada sifat ) iaitu tidak ada sifat yang lain
    menyamai sebagaimana sifat Allah s.w.t. yang Maha Sempurna.

    Makna Esa Allah s.w.t. pada perbuatan iaitu menafikan Kam
    Muttasil pada perbuatan ( menafikan bilangan yang bercerai –cerai pada
    perbuatan ) iaitu tidak ada perbuatan yang lain menyamai seperti
    perbuatan Allah bahkan segala apa yang berlaku di dalam alam semua-
    nya perbuatan Allah s.w.t sama ada perbuatan itu baik rupanya dan
    hakikatnya seperti iman dan taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-nya seperti kufur dan maksiat sama ada perbuatan dirinya atau
    perbuatan yang lainnya ,semuanya perbuatan Allah s.w.t dan tidak
    sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada hakikatnya hanya pada
    usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas.

    Maka wajiblah bagi Allah Ta’ala bersifat Wahdaniyyah dan ternafi bagi
    Kam yang lima itu iaitu :
    1) Kam Muttasil pada zat.
    2) Kam Munfasil pada zat.
    3) Kam Muttasil pada sifat.
    4) Kam Munfasil pada sifat.
    5) Kam Munfasil pada perbuatan.
    Maka tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan yang lain
    menyamai dengan zat , sifat dan perbuatan Allah s.w.t .
    Dan tertolak segala kepercayaan-kepercayaan yang membawa kepada
    menyengutukan Allah Ta’ala dan perkara-perkara yang menjejaskan
    serta merosakkan iman.

    7. Al – Qudrah :
    Ertinya : Kuasa qudrah Allah s.w.t. memberi bekas pada mengadakan
    meniadakan tiap-tiap sesuatu.

    Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit
    ( tetap ) berdiri pada zat Allah s.w.t. yang mengadakan tiap-tiap yang
    ada dan meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah.
    Adalah bagi manusia itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu .
    Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagai
    Fikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.
    1) Iktiqad Qadariah :
    Perkataan qadariah iaitu nisbah kepada qudrat . Maksudnya orang yang beriktiqad akan segala perbuatan yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau jahat semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri dan sedikitpun tiada bersangkut-paut dengan kuasa Allah s.w.t.
    2) Iktiqad Jabariah :
    Perkataan Jabariah itu nisbah kepada Jabar ( Tergagah ) dan maksudnya orang yang beriktiqad manusia dan makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih samasekali ). 3) Iktiqad Ahli Sunnah Wal – Jamaah :
    Perkataan Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang mengikut perjalanan Nabi dan perjalanan orang-orang Islam iaitu beriktiqad bahawa hamba itu tidak digagahi semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan yang disengajanya, tetapi ada perbuatan yang di sengaja pada zahir itu yang dikatakan usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas sebenarnya sengaja hamba itu daripada Allah Ta;ala jua. Maka pada segala makhluk ada usaha dan ikhtiar pada zahir dan tergagah pada batin dan ikhtiar serta usaha hamba adalah tempat pergantungan taklif ( hukum ) ke atasnya dengan suruhan dan tegahan
    ( ada pahala dan dosa ).

    8. Al – Iradah :
    Ertinya : Menghendaki Allah Ta’ala.

    Maksudnya menentukan segala mumkin tentang adanya atau
    tiadanya.
    Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada
    Zat Allah Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus atas mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu apa yang diperbuatnya.
    Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bahagian ) di dalam dunia ini sebagaimana firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
    ” Janganlah kamu lupakan nasib ( bahagian ) kamu
    di dalam dunia ” .
    ( Surah Al – Qasash : Ayat 77 )

    Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah bersungguh-sungguh
    untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana menjunjung titah
    perintah Allah Ta’aladan menjauhi akan segala larangan dan
    tegahannyadan bermohon dan berserah kepada Allah s.w.t.

    9. Al – Ilmu :
    Ertinya : Mengetahui Allah Ta’ala .

    Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yang
    Maujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ).
    Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali
    berdiri pada zat Allah Ta’ala.

    Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara
    Itu tersembunyi atau rahsia dan juga yang terang dan nyata.
    Maka Ilmu Allah Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu di
    Alam yang fana’ ini.


    10. Al – Hayat .

    Ertinya : Hidup Allah Ta’ala.

    Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat
    Allah Ta’ala .
    Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak ( pendapat )
    Iaitu : sifat qudrat , iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.

    11. Al – Samu’ : Ertinya : Mendengar Allah Ta’ala.

    Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada
    Zat Allah Ta’ala. Iaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada terhijab ( terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara , tidak bersuara dan sebagainya. Allah Ta’ala Maha Mendengar akan segala yang terang dan yang tersembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud :
    ” Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “.
    ( Surah An-Nisa’a – Ayat 148 )

    12. Al – Bashar : Ertinya : Melihat Allah Ta’ala .

    Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri
    pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak , jauh atau dekat , terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud :

    ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “.
    ( Surah Ali Imran – Ayat 163 )

    13 . Al – Kalam : Ertinya : Berkata-kata Allah Ta’ala.

    Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali ,
    berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud :
    ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”.
    ( Surah Taha – Ayat 14 )

    Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
    bermaksud :
    ” ……..( kata orang Nasrani ) bahawasanya Allah Ta’ala
    yang ketiga daripada tiga……….”.
    ( Surah Al-Mai’dah – Ayat 73 )

    Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
    bermaksud :
    ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang
    kamu perbuat itu”.
    ( Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96 )

    Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada berbilang.
    Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang dari perkara yang dikatakan
    iaitu :
    1) Menunjuk kepada ‘amar ( perintah ) seperti tuntutan mendiri-
    solat dan lain-lain kefardhuan.
    2) Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan mencuri dan lain-lain larangan.
    3) Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-kisah Firaun
    dan lain-lain.
    4) Menunjuk kepada wa’ad ( janji baik ) seperti orang yan taat
    dan beramal soleh akan dapat balasan syurga dan lain-lain.
    5) Menunjuk kepada wa’ud ( janji balasan seksa ) seperti orang
    yang menderhaka kepada ibubapa akan dibalas dengan azab
    seksa yang amat berat.

    14. Kaunuhu Qadiran :
    Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala ,
    tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada
    sifat Qudrat.

    15.Kaunuhu Muridan :
    Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala ,
    tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada
    sifat Iradat.
    16.Kaunuhu ‘Aliman : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan
    Tiap-tiap sesuatu.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Al-Ilmu.

    17.Kaunuhu Haiyan : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Hayat.

    18.Kaunuhu Sami’an : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum, iaitu lain daripada sifat Sama’.

    19.Kaunuhu Bashiran : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Bashar.

    20.Kaunuhu Mutakalliman : Ertinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.

    Hakikatnya iaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , iaitu lain daripada sifat Qudrat.

Leave a reply to Jony. Cancel reply